Kisah Kaum Nabi Nuh dan Peringatan yang Abadi
Jauh di masa lampau, terbentang sebuah zaman di mana manusia hidup dalam rentang waktu yang panjang, generasi silih berganti dalam naungan tauhid. Mereka adalah keturunan dari manusia pertama, mewarisi ajaran lurus untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tanpa sekutu bagi-Nya. Namun, seiring berjalannya waktu, bisikan-bisikan menyesatkan mulai merayap masuk ke dalam sanubari manusia. Perlahan tapi pasti, kabut kejahilan mulai menutupi cahaya kebenaran, dan dari sanalah bermula sebuah kisah besar tentang penolakan, kesabaran, dan azab yang dahsyat: kisah kaum Nabi Nuh.
Akar Penyimpangan: Dari Penghormatan Menjadi Penyembahan
Kisah penyimpangan kaum Nabi Nuh tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia adalah sebuah proses degradasi spiritual yang berlangsung dari generasi ke generasi. Semua berawal dari niat yang tampak mulia, yaitu untuk mengenang dan menghormati orang-orang saleh yang telah wafat. Di antara mereka, ada lima sosok yang sangat dihormati karena kesalehan dan kebijaksanaannya: Wadd, Suwa', Yaghuth, Ya'uq, dan Nasr. Mereka adalah panutan masyarakat, simbol ketaatan kepada Tuhan.
Ketika kelima orang ini wafat, masyarakat merasa kehilangan yang mendalam. Mereka merindukan kehadiran dan nasihat-nasihat bijak dari para panutan tersebut. Di tengah kesedihan inilah, Iblis menemukan celah untuk melancarkan tipu dayanya yang pertama. Ia datang kepada kaum itu dan membisikkan sebuah ide: "Buatlah patung-patung atau gambar-gambar dari orang-orang saleh itu di tempat-tempat perkumpulan kalian. Namailah patung-patung itu dengan nama mereka. Dengan begitu, setiap kali kalian melihatnya, kalian akan teringat pada kesalehan mereka dan akan lebih bersemangat dalam beribadah kepada Tuhan."
Ide ini terdengar masuk akal dan mulia. Kaum itu pun setuju dan mulai membuat patung-patung untuk mengenang kelima tokoh tersebut. Pada awalnya, tidak ada niat sedikit pun untuk menyembah patung-patung itu. Mereka hanyalah monumen pengingat, sebuah memorial untuk membangkitkan semangat spiritual. Generasi pertama yang membuat patung-patung ini masih memegang teguh ajaran tauhid. Mereka tahu betul bahwa patung-patung itu hanyalah benda mati, tidak memiliki kekuatan apa pun.
Namun, waktu terus berjalan dan generasi pun berganti. Generasi pertama yang mengetahui sejarah dan tujuan asli pembuatan patung-patung itu telah tiada. Ilmu tentang hakikat patung-patung itu mulai memudar. Generasi kedua masih melakukan ritual penghormatan, namun pemahaman mereka sudah mulai kabur. Iblis kembali datang dengan bisikan yang lebih licik. Ia meyakinkan mereka bahwa para leluhur mereka tidak hanya membuat patung sebagai pengingat, tetapi juga sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka mulai melakukan ritual-ritual khusus di hadapan patung-patung itu, dengan keyakinan bahwa hal itu akan membuat doa mereka lebih didengar.
Puncaknya terjadi pada generasi ketiga dan seterusnya. Ilmu tentang tauhid telah benar-benar hilang. Sejarah asli pembuatan patung telah terlupakan, digantikan oleh dongeng dan mitos yang diciptakan Iblis. Ia datang dan berkata kepada generasi baru ini: "Sesungguhnya nenek moyang kalian menyembah patung-patung ini. Melalui merekalah, nenek moyang kalian meminta hujan dan mendapatkan pertolongan." Dari sinilah penyembahan berhala pertama kali terjadi di muka bumi. Patung Wadd, Suwa', Yaghuth, Ya'uq, dan Nasr tidak lagi sekadar monumen, tetapi telah berubah menjadi tuhan-tuhan yang disembah selain Tuhan Yang Maha Esa. Kesyirikan telah merajalela, dan kegelapan spiritual menyelimuti seluruh negeri.
Diutusnya Seorang Rasul: Seruan Nuh yang Tak Kenal Lelah
Di tengah kegelapan pekat kesyirikan inilah, Tuhan dengan rahmat-Nya mengutus seorang rasul dari kalangan mereka sendiri. Ia adalah Nuh, seorang hamba yang saleh, bijaksana, fasih berbicara, dan memiliki kesabaran yang luar biasa. Ia diutus dengan satu misi agung: mengajak kaumnya kembali ke jalan yang lurus, jalan tauhid, dan meninggalkan penyembahan berhala yang sia-sia.
Nabi Nuh memulai dakwahnya dengan penuh semangat dan kasih sayang. Ia berkata kepada kaumnya:
"Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar."
Seruannya sangat jelas dan fundamental. Ia tidak meminta upah, tidak mencari kekuasaan, dan tidak menginginkan kedudukan. Tujuannya murni untuk menyelamatkan kaumnya dari kesesatan di dunia dan azab di akhirat. Ia menjelaskan kepada mereka betapa tidak masuk akalnya menyembah patung-patung yang mereka pahat dengan tangan mereka sendiri. Patung-patung itu tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, tidak bisa memberi manfaat, dan tidak pula bisa mendatangkan mudarat. Bagaimana mungkin mereka berpaling dari Tuhan Yang Maha Pencipta, Pemberi rezeki, Yang Menghidupkan dan Mematikan, kepada benda-benda mati yang tak berdaya?
Nabi Nuh menggunakan berbagai metode dalam dakwahnya. Ia berdakwah siang dan malam, tanpa henti. Ia menyeru mereka secara terang-terangan di hadapan publik, di pasar-pasar, dan di tempat-tempat perkumpulan. Ia juga mendatangi mereka secara pribadi dari rumah ke rumah, berbicara dengan lembut dan penuh hikmah. Ia memberikan kabar gembira tentang ampunan dan surga bagi mereka yang mau beriman, dan memberikan peringatan keras tentang azab dan neraka bagi mereka yang tetap ingkar.
Ia mencoba menyentuh hati mereka dengan menunjukkan tanda-tanda kebesaran Tuhan yang ada di sekeliling mereka. Ia mengajak mereka merenungkan penciptaan langit yang berlapis-lapis, bulan yang bercahaya, dan matahari sebagai pelita. Ia mengingatkan mereka tentang bagaimana Tuhan menciptakan manusia dari tanah, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dari bumi sebagai rezeki, dan kepada-Nyalah mereka semua akan kembali. Semua argumen logis dan bukti-bukti nyata ia sampaikan, berharap ada secercah cahaya hidayah yang masuk ke dalam hati kaumnya.
Dakwah ini berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, ratusan tahun lamanya. Sebuah periode yang menunjukkan betapa luar biasanya kesabaran dan keteguhan hati Nabi Nuh. Ia tidak pernah putus asa, meskipun respons yang ia terima hanyalah penolakan, cemoohan, dan hinaan.
Penolakan Kaum yang Sombong
Namun, seruan kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Nuh seolah menabrak dinding kesombongan yang tebal. Mayoritas kaumnya, terutama para pemuka dan orang-orang kaya, menolak mentah-mentah ajakannya. Mereka tidak hanya menolak, tetapi juga melancarkan berbagai tuduhan dan serangan verbal kepada Nabi Nuh.
1. Tuduhan Sebagai Manusia Biasa
Argumen pertama yang mereka lontarkan adalah status Nabi Nuh sebagai manusia biasa. Mereka berkata: "Kami tidak melihat kamu, melainkan hanyalah seorang manusia seperti kami." Bagi mereka, seorang utusan Tuhan haruslah malaikat atau makhluk luar biasa, bukan seseorang yang makan, minum, dan berjalan di pasar seperti mereka. Logika picik ini membuat mereka buta terhadap kebenaran pesan yang dibawanya. Mereka lebih fokus pada siapa yang menyampaikan, bukan apa yang disampaikan.
2. Merendahkan Para Pengikut
Mereka juga mencela para pengikut Nabi Nuh. Yang beriman kepada Nabi Nuh mayoritas adalah orang-orang miskin, kaum pekerja, dan mereka yang dianggap rendah dalam tatanan sosial. Para pemuka kaum yang angkuh itu berkata: "Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja." Kesombongan kelas sosial telah membutakan mata hati mereka. Mereka tidak bisa menerima kebenaran jika harus berada dalam barisan yang sama dengan orang-orang yang mereka anggap rendah.
3. Tuduhan Mencari Keuntungan Pribadi
Mereka menuduh Nabi Nuh memiliki motif tersembunyi. Mereka menganggap dakwahnya hanyalah cara untuk mendapatkan keunggulan, kekuasaan, atau posisi di atas mereka. Meskipun Nabi Nuh berulang kali menegaskan, "Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas seruanku ini," mereka tetap bersikukuh dengan tuduhan mereka. Mereka tidak bisa memahami konsep berjuang tanpa pamrih, karena standar hidup mereka adalah materi dan kekuasaan.
4. Tuduhan Gila dan Dusta
Ketika semua argumen mereka terpatahkan, mereka beralih ke penghinaan pribadi. Mereka menuduh Nabi Nuh sebagai seorang pendusta dan orang gila. Setiap kali Nabi Nuh berbicara, mereka akan memasukkan jari-jari ke telinga mereka dan menutupkan baju ke wajah mereka karena tidak ingin mendengar kebenaran. Mereka menunjukkan kebencian dan penolakan yang ekstrem. Mereka mengejek, menertawakan, dan menganggapnya sebagai bahan lelucon.
Sikap kaum Nabi Nuh ini adalah cerminan dari penyakit hati yang paling berbahaya: kesombongan (takabur). Mereka sombong karena status sosial, sombong karena kekayaan, dan sombong karena merasa tradisi nenek moyang mereka adalah yang paling benar. Kesombongan inilah yang menjadi penghalang utama antara mereka dan hidayah Tuhan. Mereka lebih memilih untuk mempertahankan status quo yang sesat daripada menerima kebenaran yang akan meruntuhkan tatanan sosial dan kebanggaan palsu mereka.
Perintah Membangun Bahtera di Tengah Padang Gersang
Setelah berdakwah selama ratusan tahun dengan kesabaran yang tak terbatas, dan hanya segelintir orang yang mau beriman, Nabi Nuh akhirnya sampai pada titik di mana ia menyadari bahwa kaumnya tidak akan pernah berubah. Mereka telah terkunci dalam kekafiran dan kesombongan. Ia pun mengadu kepada Tuhannya, memohon agar tidak ada seorang pun dari orang-orang kafir itu yang dibiarkan hidup di muka bumi, karena jika mereka dibiarkan hidup, mereka hanya akan melahirkan generasi-generasi kafir yang akan terus menyesatkan hamba-hamba Tuhan yang lain.
Doa Nabi Nuh dikabulkan. Tuhan mewahyukan kepadanya bahwa tidak akan ada lagi dari kaumnya yang akan beriman selain mereka yang telah beriman. Dan sebagai hukuman atas pembangkangan mereka, Tuhan akan menimpakan azab berupa banjir dahsyat yang akan menenggelamkan seluruh negeri. Namun, sebelum azab itu datang, Tuhan memerintahkan Nabi Nuh untuk melakukan sebuah pekerjaan yang tampaknya sangat aneh dan tidak masuk akal: membuat sebuah bahtera (kapal) yang sangat besar.
Perintah ini aneh karena Nabi Nuh dan kaumnya tinggal di wilayah yang jauh dari laut atau sungai besar. Mereka berada di daratan yang bisa dibilang kering. Membangun sebuah kapal raksasa di tengah daratan adalah sebuah tindakan yang mengundang tawa dan cemoohan.
Namun, sebagai seorang nabi yang taat, Nabi Nuh segera melaksanakan perintah Tuhannya tanpa keraguan sedikit pun. Di bawah pengawasan dan petunjuk langsung dari Tuhan, ia mulai mengumpulkan kayu, menebang pohon, dan memulai konstruksi bahtera raksasa itu. Ia dan para pengikutnya yang setia bekerja keras, memotong, memahat, dan merangkai kayu-kayu menjadi sebuah struktur kapal yang kokoh.
Proses pembangunan bahtera ini menjadi babak baru dalam episode cemoohan kaumnya. Setiap kali para pemuka kaum itu lewat di dekat lokasi pembangunan, mereka tidak melewatkan kesempatan untuk mengejek. "Wahai Nuh! Sejak kapan kamu menjadi tukang kayu? Dulu kamu mengaku sebagai nabi, sekarang kamu sibuk membuat kapal di tengah gurun. Apakah kamu akan menariknya ke laut atau kamu berharap air pasang akan sampai ke sini?" ejek mereka sambil tertawa terbahak-bahak.
Nabi Nuh, dengan ketenangan dan keyakinan yang datang dari wahyu Tuhannya, hanya menjawab:
"Jika kamu mengejek kami sekarang, maka sesungguhnya kami pun akan mengejekmu kelak sebagaimana kamu mengejek kami. Dan kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan siapa yang akan ditimpa azab yang kekal."
Jawaban Nabi Nuh bukanlah jawaban keputusasaan, melainkan jawaban yang penuh keyakinan akan janji Tuhannya. Ia tahu bahwa tawa mereka akan segera berganti dengan tangisan penyesalan. Ia tahu bahwa kapal yang mereka tertawakan akan menjadi satu-satunya alat keselamatan, sementara istana-istana megah mereka akan ditelan oleh air bah.
Pembangunan bahtera ini juga menjadi ujian terakhir bagi kaumnya. Siapa pun yang memiliki sedikit saja akal sehat akan berpikir, mengapa seorang yang dikenal jujur dan waras selama ratusan tahun tiba-tiba melakukan hal yang aneh ini? Mungkin ada sesuatu yang benar-benar akan terjadi. Namun, kesombongan dan kedegilan hati mereka telah menutupi akal sehat mereka. Mereka terus dalam ejekan dan kesesatan hingga akhir.
Azab yang Menghancurkan: Banjir Besar
Akhirnya, setelah bahtera selesai dibangun sesuai dengan petunjuk ilahi, datanglah saat yang ditentukan. Tanda-tanda dimulainya azab mulai terlihat. Tuhan memerintahkan Nabi Nuh untuk segera memasukkan semua pengikutnya yang beriman ke dalam bahtera. Jumlah mereka tidak banyak, hanya segelintir orang yang setia selama ratusan tahun masa dakwahnya.
Selain para pengikutnya, Nabi Nuh juga diperintahkan untuk memasukkan sepasang dari setiap jenis binatang ke dalam bahtera—jantan dan betina. Ini adalah perintah untuk menjaga kelestarian makhluk hidup di bumi setelah bencana besar yang akan datang. Dengan kuasa Tuhan, berbagai jenis binatang, dari yang terkecil hingga yang terbesar, datang berpasangan dan masuk ke dalam bahtera dengan tertib.
Tanda utama datangnya banjir adalah ketika sebuah tungku di rumah Nabi Nuh mulai memancarkan air. Ini adalah tanda yang tidak lazim, menandakan bahwa sesuatu yang luar biasa akan terjadi. Segera setelah semua penumpang—manusia dan hewan—berada di dalam bahtera, pintu langit pun terbuka. Hujan turun dengan lebatnya, bukan seperti hujan biasa, melainkan seolah-olah seluruh isi langit ditumpahkan ke bumi. Pada saat yang sama, mata air di bumi memancar dengan dahsyatnya. Air tidak hanya datang dari atas, tetapi juga menyembur dari bawah. Dua sumber air raksasa ini bertemu dan dengan cepat menaikkan permukaan air.
Bahtera itu pun mulai terangkat dan berlayar di atas gelombang yang tingginya seperti gunung. Di luar, pemandangan yang mengerikan terjadi. Orang-orang kafir berlarian panik, mencoba menyelamatkan diri. Mereka naik ke tempat-tempat yang lebih tinggi, ke bukit-bukit, dan ke puncak-puncak gunung, berharap bisa lolos dari amukan air.
Dialog Tragis dengan Sang Putra
Di tengah-tengah pemandangan yang kacau itu, Nabi Nuh melihat salah satu putranya (yang bernama Kan'an dalam beberapa riwayat) berada di luar bahtera, mencoba menyelamatkan diri. Hati seorang ayah bergetar melihat putranya berada dalam bahaya. Dengan penuh kasih sayang, Nabi Nuh berseru:
"Wahai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir."
Ini adalah panggilan terakhir, sebuah tawaran keselamatan yang didasari oleh cinta seorang ayah. Namun, kesombongan yang sama yang telah merasuki para pemuka kaumnya, ternyata juga telah merasuki hati putranya sendiri. Dengan angkuh, putranya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah ini."
Ia berpikir bahwa kekuatan alam, ketinggian sebuah gunung, dapat menyelamatkannya dari azab Tuhan. Ia menolak untuk percaya bahwa ini adalah hukuman ilahi. Nabi Nuh dengan sedih berkata: "Tidak ada yang dapat melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang." Namun, sang anak tetap pada pendiriannya. Seketika itu juga, sebuah gelombang besar datang dan memisahkan mereka berdua. Anak itu pun tenggelam bersama kaumnya yang durhaka.
Kisah ini mengandung pelajaran yang sangat mendalam: ikatan iman lebih kuat daripada ikatan darah. Keselamatan tidak didasarkan pada nasab atau keturunan, tetapi pada ketaatan dan keimanan kepada Tuhan. Bahkan anak seorang nabi pun tidak akan selamat jika ia memilih jalan kekafiran.
Air terus naik hingga menenggelamkan segala sesuatu di muka bumi, termasuk puncak-puncak gunung tertinggi. Tidak ada satu pun dari orang-orang kafir yang selamat. Mereka semua binasa dalam amukan air bah, sebagai balasan atas kesombongan dan penolakan mereka terhadap kebenaran.
Sebuah Awal yang Baru
Setelah kehendak Tuhan terlaksana dan bumi dibersihkan dari kaum yang zalim, Tuhan pun memerintahkan: "Wahai bumi, telanlah airmu, dan wahai langit (hujan), berhentilah." Seketika itu juga, hujan berhenti, air mulai surut, dan bahtera itu pun berlabuh dengan selamat di atas Gunung Judi.
Nabi Nuh dan para penumpang bahtera—orang-orang beriman dan pasangan-pasangan hewan—akhirnya keluar dari kapal untuk memulai kehidupan baru di bumi yang telah disucikan. Mereka adalah cikal bakal peradaban manusia yang baru, peradaban yang didirikan di atas fondasi tauhid dan ketaatan kepada Tuhan.
Kisah kaum Nabi Nuh bukanlah sekadar dongeng dari masa lalu. Ia adalah sebuah cermin dan peringatan abadi bagi seluruh umat manusia. Di dalamnya terkandung pelajaran-pelajaran berharga yang relevan di setiap zaman.
Ibrah (Pelajaran) dari Kisah Kaum Nabi Nuh:
- Bahaya Kesyirikan: Kisah ini menunjukkan betapa berbahayanya penyekutuan Tuhan. Kesyirikan adalah dosa terbesar yang dapat menghapus semua amal baik dan mendatangkan azab yang pedih. Ia sering kali dimulai dari hal-hal yang dianggap sepele, seperti penghormatan yang berlebihan terhadap orang saleh, yang kemudian berkembang menjadi penyembahan.
- Kesabaran dalam Berdakwah: Nabi Nuh adalah teladan utama dalam kesabaran. Berdakwah selama ratusan tahun dengan hasil yang minim namun tidak pernah menyerah adalah bukti keteguhan iman yang luar biasa.
- Akibat Kesombongan: Penyakit utama kaum Nabi Nuh adalah kesombongan. Mereka menolak kebenaran bukan karena tidak memahaminya, tetapi karena gengsi, status sosial, dan keengganan untuk tunduk pada kebenaran yang dibawa oleh seseorang yang mereka anggap setara atau lebih rendah. Kesombongan adalah penghalang terbesar hidayah.
- Pentingnya Iman di Atas Ikatan Darah: Kisah tragis putra Nabi Nuh mengajarkan bahwa ikatan akidah lebih utama daripada ikatan keluarga. Syafaat atau pertolongan tidak berlaku bagi mereka yang memilih jalan kekafiran, sekalipun memiliki hubungan darah dengan seorang nabi.
- Janji Pertolongan Tuhan bagi Orang Beriman: Sekalipun orang-orang beriman adalah minoritas yang lemah dan tertindas, pertolongan Tuhan pasti akan datang. Bahtera adalah simbol keselamatan yang Tuhan sediakan bagi hamba-hamba-Nya yang taat di tengah-tengah kebinasaan orang-orang kafir.
- Kepastian Azab bagi Para Penentang: Kisah ini menegaskan bahwa janji Tuhan tentang azab bagi mereka yang menentang kebenaran adalah sebuah kepastian. Penundaan azab bukanlah berarti pembatalan, melainkan sebuah kesempatan untuk bertaubat yang jika disia-siakan akan berakhir dengan penyesalan abadi.
Demikianlah kisah besar tentang kaum Nabi Nuh. Sebuah narasi tentang pertarungan abadi antara tauhid dan syirik, antara kesabaran dan kesombongan, antara keimanan dan kekufuran. Semoga kita dapat memetik pelajaran darinya dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai dan sesat.