Kisah Kaum Sodom: Peringatan yang Abadi
Dalam bentangan sejarah peradaban manusia, Allah SWT tidak pernah membiarkan suatu kaum tersesat tanpa adanya petunjuk dan peringatan. Setiap umat telah diutus kepada mereka seorang rasul, seorang pembawa berita gembira sekaligus pemberi ancaman. Tujuannya satu: untuk mengembalikan mereka ke jalan yang lurus, jalan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu kisah paling monumental dan sarat akan pelajaran adalah kisah tentang sebuah kaum yang melampaui batas, yaitu kaum Sodom. Penting untuk dipahami sejak awal bahwa kaum Sodom adalah kaum nabi yang mulia, yaitu Nabi Luth 'alaihissalam.
Kisah ini bukanlah sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan sebuah catatan nyata tentang puncak kemakmuran material yang diiringi dengan jurang kehancuran moral. Ia adalah cermin bagi generasi-generasi setelahnya, sebuah monumen peringatan tentang konsekuensi dari menentang fitrah dan menolak seruan kebenaran. Nabi Luth, yang merupakan keponakan dari Nabi Ibrahim 'alaihissalam, diutus secara spesifik untuk membimbing masyarakat yang menetap di kota Sodom dan beberapa kota di sekitarnya, seperti Gomorrah. Wilayah ini digambarkan sebagai tanah yang sangat subur, hijau, dan penuh dengan sumber daya alam. Kemakmuran ini seharusnya menjadi sarana untuk bersyukur, namun bagi mereka, ia justru menjadi pintu gerbang menuju keangkuhan dan kemaksiatan yang belum pernah ada sebelumnya.
Kebejatan Moral yang Belum Pernah Terjadi
Sebelum diutusnya Nabi Luth, kaum Sodom telah tenggelam dalam kubangan dosa yang pekat. Mereka tidak hanya melakukan satu jenis kejahatan, melainkan telah menciptakan sebuah ekosistem kemaksiatan yang sistematis dan terstruktur. Kejahatan mereka bukan lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena rasa malu, tetapi telah menjadi sebuah kebanggaan yang dipertontonkan di ruang-ruang publik, di pasar, dan di tempat perkumpulan mereka. Puncak dari semua kebejatan ini adalah sebuah perbuatan keji yang sama sekali baru dalam sejarah umat manusia: hubungan sesama jenis di antara kaum laki-laki. Perbuatan ini merupakan penentangan total terhadap fitrah penciptaan yang telah Allah tetapkan, di mana Ia menciptakan manusia berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan, untuk melestarikan keturunan dan membangun masyarakat yang sehat.
Namun, dosa mereka tidak berhenti di situ. Kitab-kitab tafsir merincikan bahwa kebobrokan moral kaum Sodom mencakup berbagai aspek kehidupan. Mereka adalah para perampok yang kejam di jalanan. Para musafir dan pedagang yang melintasi wilayah mereka tidak pernah merasa aman. Mereka akan merampas harta benda, dan tidak jarang melakukan kekerasan fisik. Kejahatan ini begitu merajalela sehingga jalur perdagangan di sekitar Sodom menjadi jalur yang paling ditakuti. Selain itu, mereka juga terkenal dengan kekikiran yang luar biasa dan permusuhan terhadap tamu. Alih-alih memuliakan tamu, mereka justru akan mengganggunya, merampas hartanya, dan melakukan perbuatan tidak senonoh.
"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: 'Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?' Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas."
Perbuatan keji itu mereka lakukan secara terang-terangan. Majelis dan tempat pertemuan mereka bukanlah tempat untuk berdiskusi hal-hal yang bermanfaat, melainkan menjadi panggung untuk melakukan kemungkaran. Mereka tidak memiliki rasa malu sedikit pun. Inilah kondisi masyarakat yang didatangi oleh Nabi Luth, seorang hamba Allah yang saleh, dengan misi yang sangat berat: mengajak mereka kembali kepada akal sehat dan jalan Tuhan.
Dakwah Penuh Kesabaran di Tengah Penolakan
Nabi Luth 'alaihissalam memulai dakwahnya dengan penuh kelembutan dan hikmah. Beliau tidak datang dengan caci maki, melainkan dengan logika dan ajakan yang menyentuh nurani. Beliau mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat Allah yang melimpah ruah, berupa tanah yang subur dan kehidupan yang sejahtera. Beliau mempertanyakan kewarasan mereka, mengapa mereka meninggalkan apa yang telah Allah ciptakan secara alami untuk mereka, yaitu para wanita, dan justru memilih jalan yang menyimpang dan kotor.
Seruan utama Nabi Luth adalah tauhid, mengajak mereka untuk bertakwa kepada Allah. "Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam." Kalimat ini adalah standar dakwah para nabi, yang menunjukkan ketulusan misi mereka. Mereka tidak mencari keuntungan duniawi, tidak mengejar jabatan, kekuasaan, ataupun harta. Misi mereka murni karena perintah Allah dan kasih sayang kepada umat manusia, agar mereka tidak terjerumus ke dalam kebinasaan.
Namun, bagaimana respons kaum Sodom? Hati mereka telah mengeras laksana batu. Nasihat yang lembut dianggap sebagai angin lalu. Peringatan yang tegas dianggap sebagai gangguan. Mereka tidak hanya menolak, tetapi juga melecehkan dan mengancam Nabi Luth. Mereka berkata, "Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir." Ancaman pengusiran ini menunjukkan betapa mereka merasa terganggu dengan keberadaan suara kebenaran di tengah-tengah mereka. Mereka ingin hidup dalam kegelapan tanpa ada satu pun lentera yang mengingatkan mereka akan kesalahan yang mereka perbuat.
Salah satu argumen paling ironis yang mereka lontarkan adalah dengan mencela kesucian Nabi Luth dan keluarganya. Mereka menganggap orang-orang yang ingin menjaga kebersihan diri dari perbuatan keji sebagai kelompok yang aneh dan sok suci. "Usirlah Luth dan keluarganya dari negerimu; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (menganggap dirinya) suci." Logika mereka telah terbalik. Kemurnian dianggap sebagai aib, sementara kekejian dianggap sebagai norma dan gaya hidup yang harus dipertahankan. Inilah puncak dari kesesatan, ketika standar baik dan buruk telah dijungkirbalikkan sepenuhnya.
Ujian Terberat dan Kedatangan Para Malaikat
Setelah bertahun-tahun berdakwah tanpa hasil, penolakan kaum Sodom mencapai puncaknya. Mereka tidak lagi hanya mengancam, tetapi secara terbuka menantang Nabi Luth untuk mendatangkan azab yang sering ia peringatkan. "Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar." Tantangan ini adalah bentuk keangkuhan tertinggi, sebuah deklarasi perang terbuka terhadap Tuhan semesta alam. Pada titik inilah, doa Nabi Luth terpanjat ke langit. Ia memohon pertolongan kepada Allah dari kerusakan yang diperbuat oleh kaumnya.
Doa seorang nabi yang terzalimi pun dikabulkan. Allah SWT mengutus beberapa malaikat-Nya untuk melaksanakan tugas membinasakan kaum Sodom. Namun, sebelum menuju Sodom, para malaikat ini singgah terlebih dahulu di kediaman Nabi Ibrahim 'alaihissalam dalam wujud manusia, yaitu pemuda-pemuda yang sangat tampan. Mereka membawa kabar gembira kepada Nabi Ibrahim tentang kelahiran putranya, Ishaq. Setelah itu, mereka memberitahukan misi utama mereka: untuk menghancurkan negeri kaum Luth.
Nabi Ibrahim, dengan sifatnya yang penuh kasih sayang, sempat berdialog dan memohon kepada para malaikat, "Sesungguhnya di kota itu ada Luth." Beliau khawatir keponakannya akan ikut menjadi korban. Para malaikat menenangkan beliau dengan berkata, "Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami pasti akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya, kecuali istrinya. Dia termasuk orang-orang yang tertinggal (untuk dibinasakan)."
Ketika para malaikat utusan itu tiba di rumah Nabi Luth pada sore hari, Nabi Luth merasa sangat susah dan cemas. Beliau tidak mengetahui bahwa mereka adalah malaikat. Yang beliau lihat adalah tamu-tamu berwajah rupawan, dan beliau tahu persis tabiat kaumnya yang bejat. Beliau khawatir tidak akan mampu melindungi tamu-tamunya. Beliau berkata dalam hatinya, "Ini adalah hari yang amat sulit." Beliau berusaha menyembunyikan kedatangan mereka, namun berita itu bocor juga. Dan yang membocorkan berita itu tidak lain adalah istrinya sendiri.
Istri Nabi Luth, meskipun hidup serumah dengan seorang nabi, hatinya tidak pernah beriman. Ia tetap berpihak pada keyakinan dan gaya hidup kaumnya yang sesat. Ia menjadi mata-mata di dalam rumah suaminya sendiri. Dialah yang memberikan tanda kepada para pemuka kaum Sodom bahwa di rumah Luth ada tamu-tamu pria yang sangat menarik. Tak lama kemudian, kabar menyebar dengan cepat. Kaum Sodom, yang didorong oleh nafsu setan, berbondong-bondong datang mengepung rumah Nabi Luth. Mereka menggedor-gedor pintu dan menuntut agar tamu-tamu itu diserahkan kepada mereka.
Nabi Luth berada dalam posisi yang sangat terjepit. Beliau keluar menghadapi mereka dan memohon dengan sangat. Dalam keputusasaannya, beliau menawarkan putri-putrinya untuk mereka nikahi secara sah, sebagai alternatif yang suci dan halal. "Wahai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?" Namun, hati mereka telah buta. Mereka menjawab dengan congkak, "Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki."
Di puncak keputusasaan inilah, ketika Nabi Luth merasa tidak lagi memiliki kekuatan, para tamu itu akhirnya menyingkap jati diri mereka. "Wahai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggumu." Kemudian, atas perintah Allah, para malaikat itu memukulkan sayap mereka ke wajah orang-orang yang mengepung di luar, membuat mata mereka menjadi buta. Mereka meraba-raba dalam kebingungan, tidak dapat menemukan jalan pulang. Ini adalah mukjizat pertama sebelum azab yang lebih besar tiba.
Detik-detik Menjelang Kehancuran Total
Para malaikat kemudian memberikan instruksi yang jelas kepada Nabi Luth. "Maka pergilah kamu di akhir malam beserta keluargamu, dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang menoleh ke belakang, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka. Sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?"
Perintah ini sangat tegas dan penuh makna. Mereka harus pergi di kegelapan malam, meninggalkan segala harta benda dan kenangan di kota terkutuk itu. Perintah untuk "tidak menoleh ke belakang" adalah sebuah simbol. Ia melambangkan keharusan untuk melepaskan diri sepenuhnya dari masa lalu yang kelam, dari ikatan emosional dengan masyarakat yang durhaka. Menoleh ke belakang berarti masih ada rasa simpati atau keraguan, sebuah ikatan yang belum putus dengan kemaksiatan. Istri Nabi Luth, yang hatinya masih terpaut pada kaumnya, ditakdirkan untuk melanggar perintah ini. Ia menoleh ke belakang, meratapi nasib kaumnya, dan seketika itu juga ia terkena azab bersama mereka.
Bayangkan suasana tegang pada malam itu. Nabi Luth dan kedua putrinya berjalan dalam senyap, menjauhi kota yang telah membesarkan mereka, kota yang sebentar lagi akan lenyap dari muka bumi. Setiap langkah adalah perpisahan dengan dunia yang mereka kenal, menuju sebuah ketidakpastian yang hanya dilandasi oleh iman dan kepatuhan kepada perintah Allah. Mereka bisa mendengar hiruk pikuk kaum yang buta itu, dan mungkin juga merasakan getaran-getaran awal dari bumi yang akan segera murka. Waktu subuh yang dijanjikan semakin mendekat, membawa takdir yang tidak bisa ditawar lagi bagi penduduk Sodom.
Azab Dahsyat yang Menjungkirbalikkan Negeri
Tepat ketika fajar mulai menyingsing, azab Allah datang dengan cara yang luar biasa mengerikan dan belum pernah disaksikan sebelumnya. Al-Qur'an menggambarkannya dalam beberapa tahapan yang menunjukkan kedahsyatannya. Pertama, datang suara teriakan yang mengguntur (Ash-Shayhah), sebuah pekikan dahsyat yang memekakkan telinga dan meremukkan jantung, melumpuhkan siapa saja yang mendengarnya.
Kemudian, terjadilah peristiwa yang paling mengerikan. Malaikat Jibril, atas perintah Allah, mengangkat seluruh kota Sodom dan sekitarnya ke angkasa, begitu tinggi hingga para malaikat di langit bisa mendengar suara kokok ayam dan gonggongan anjing dari bumi. Lalu, kota-kota itu dibalikkan, bagian atasnya menjadi bagian bawah, dan dilemparkan kembali ke bumi dengan kekuatan yang menghancurkan ('aaliyahaa saafilahaa).
"Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim."
Seolah itu belum cukup, saat kota itu hancur berkeping-keping, Allah menghujani mereka dengan batu-batu dari tanah liat yang dibakar (sijjil). Batu-batu ini bukanlah batu biasa. Setiap batu telah ditandai, dipersiapkan secara khusus, dan ditujukan untuk individu tertentu dari kaum pendosa itu. Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa lolos. Hujan batu belerang yang panas itu menyempurnakan pemusnahan total. Tidak ada yang tersisa kecuali puing-puing, debu, dan danau air asin yang kelak dikenal sebagai Laut Mati.
Hanya dalam hitungan beberapa jam, sebuah peradaban yang makmur, kota-kota yang ramai, dan sebuah kaum yang angkuh telah lenyap tanpa bekas. Mereka dimusnahkan secara total, hanya menyisakan Nabi Luth dan para pengikutnya yang beriman, yaitu anggota keluarganya (kecuali istrinya). Pemandangan yang tersisa adalah sebuah lanskap kehancuran, sebuah bukti fisik yang abadi tentang akibat dari menentang Allah dan para utusan-Nya.
Pelajaran Abadi dari Kebinasaan Kaum Sodom
Kisah ini diulang di beberapa surat dalam Al-Qur'an bukan tanpa alasan. Ia mengandung pelajaran-pelajaran fundamental yang relevan di setiap zaman. Pertama, kisah ini adalah peringatan keras tentang bahaya menentang fitrah manusia. Allah menciptakan manusia dengan tatanan alamiah yang harmonis. Ketika tatanan ini secara sengaja dirusak, ditentang, dan digantikan dengan penyimpangan, maka yang terjadi adalah kerusakan, tidak hanya pada level individu tetapi juga pada level sosial, yang pada akhirnya mengundang murka Ilahi.
Kedua, ia menunjukkan betapa berbahayanya ketika kemaksiatan tidak lagi dianggap sebagai dosa, tetapi dinormalisasi, dilegalkan, bahkan dibanggakan. Ketika suatu masyarakat secara kolektif merayakan dan melindungi perbuatan dosa, mereka sedang membuka pintu bagi azab kolektif. Kehancuran kaum Sodom bukan hanya karena perbuatan individu, tetapi karena perbuatan itu telah menjadi identitas komunal mereka yang mereka pertahankan mati-matian.
Ketiga, kisah ini menyoroti pentingnya peran seorang pemberi peringatan (amar ma'ruf nahi munkar). Nabi Luth tidak pernah lelah menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, meskipun ia sendirian dan terus-menerus diintimidasi. Keberadaannya menjadi hujjah atau argumen yang membatalkan alasan apapun bagi kaumnya di hadapan Allah. Mereka tidak bisa lagi berkata, "Tidak ada seorang pun yang pernah memperingatkan kami."
Keempat, nasib istri Nabi Luth adalah pelajaran yang sangat mendalam tentang iman dan loyalitas. Berada di lingkungan orang saleh tidak menjamin keselamatan jika hati tidak ikut beriman. Keselamatan bersifat personal. Istri Luth secara fisik bersama nabi, tetapi hatinya, simpatinya, dan loyalitasnya berada bersama kaumnya yang kafir. Pengkhianatannya bukan hanya kepada suaminya, tetapi kepada kebenaran itu sendiri, sehingga ia pantas mendapatkan nasib yang sama dengan kaum yang ia bela.
Terakhir, sisa-sisa peninggalan kaum Sodom, yang oleh banyak sejarawan dan ahli geologi diidentifikasi di sekitar wilayah Laut Mati, menjadi tanda kekuasaan Allah (ayat) yang nyata. Laut Mati adalah sebuah danau dengan kadar garam yang sangat tinggi sehingga tidak ada kehidupan yang bisa bertahan di dalamnya. Ia adalah monumen bisu yang terus-menerus menceritakan kisah tentang sebuah kaum yang pernah hidup makmur lalu dibinasakan karena kedurhakaan mereka. Ia menjadi pengingat bagi setiap orang yang melewatinya, bahwa janji dan ancaman Allah adalah sebuah kebenaran yang pasti terjadi.
Kisah tentang bagaimana kaum Sodom adalah kaum nabi Luth, pada akhirnya adalah kisah tentang pilihan. Pilihan antara mengikuti petunjuk fitrah dan wahyu, atau mengikuti hawa nafsu dan keangkuhan. Nabi Luth dan pengikutnya memilih jalan keselamatan, sementara kaumnya memilih jalan kebinasaan. Pilihan itu selalu terhidang di hadapan setiap individu dan setiap generasi, dan konsekuensinya, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh sejarah, adalah mutlak dan tidak dapat diubah.