Representasi tipografi dari nama Ali bin Abi Thalib.
Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib merupakan periode krusial dalam sejarah Islam, menandai babak akhir dari empat Khulafaur Rasyidin. Setelah wafatnya Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah keempat. Pengangkatannya bukanlah tanpa gejolak; ia naik takhta di tengah krisis politik dan perselisihan internal yang mendalam di kalangan umat Islam. Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, dikenal karena kedalaman ilmunya, keberaniannya, dan komitmennya yang teguh terhadap prinsip-prinsip keadilan Islam.
Masa kekhalifahan Ali dimulai dengan tuntutan utama: memulihkan ketertiban dan menegakkan keadilan. Salah satu prioritas pertamanya adalah mencopot pejabat-pejabat yang dianggap korup atau kurang kompeten yang diangkat pada masa sebelumnya, khususnya di provinsi-provinsi besar. Langkah ini, meskipun berdasarkan niat baik untuk membersihkan birokrasi, justru menimbulkan penolakan keras dari kalangan elit lama yang merasa kehilangan kekuasaan dan pengaruh. Situasi ini segera memicu tantangan besar pertamanya.
Tantangan terbesar yang langsung dihadapinya adalah tuntutan untuk menghukum para pembunuh Utsman. Namun, Ali menunda penindakan tersebut hingga keadaan politik lebih stabil, sebuah keputusan yang disalahartikan oleh banyak pihak sebagai bentuk melindungi para pelaku. Ketidakpuasan ini memuncak pada serangkaian konflik bersenjata yang mendefinisikan hampir seluruh masa pemerintahannya.
Kekhalifahan Ali dibayangi oleh konflik internal yang dikenal sebagai Perang Saudara Pertama atau Fitnah Kubra. Konflik ini melibatkan beberapa tokoh terkemuka sahabat Nabi. Yang paling signifikan adalah Pertempuran Jamal (Unta), di mana Ali berhadapan dengan sekelompok sahabat terkemuka, termasuk Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan istri Nabi, Aisyah binti Abu Bakar. Pertempuran ini dimenangkan oleh pihak Ali, namun menyisakan luka mendalam dalam persatuan umat.
Konflik yang paling berkepanjangan dan bersejarah adalah perseteruan dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam (Suriah) yang menolak mengakui kekhalifahan Ali sebelum keadilan atas kematian Utsman ditegakkan. Perselisihan ini mencapai puncaknya dalam Pertempuran Shiffin. Pertempuran tersebut berakhir dengan keputusan untuk melakukan arbitrase (tahkim), sebuah langkah yang, meskipun dimaksudkan untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut, justru melemahkan posisi politik Ali di mata sebagian pengikutnya yang menganggap tahkim sebagai pengkhianatan terhadap prinsipnya.
Akibat dari peristiwa tahkim, sekelompok besar pendukung Ali meninggalkan barisannya. Mereka menolak hasil arbitrase dan menyatakan bahwa baik Ali maupun Muawiyah telah berdosa karena menyerahkan keputusan kepada manusia. Kelompok ini dikenal sebagai Khawarij (mereka yang keluar). Kaum Khawarij kemudian menjadi ancaman militer ketiga bagi kekhalifahan Ali, dikenal karena kefanatikan dan ketidakmauan mereka untuk berkompromi.
Meskipun masa pemerintahannya singkat dan penuh gejolak, warisan intelektual dan spiritual Ali bin Abi Thalib tetap tak tertandingi. Ia adalah sumber utama ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) dan dikenal sebagai 'Gerbang Ilmu' bagi Nabi Muhammad SAW. Ajaran-ajarannya, yang banyak terkumpul dalam kitab Nahj al-Balaghah (Jalan Kefasihan), menjadi rujukan penting dalam etika, filsafat, dan teologi Islam.
Prinsip utama yang selalu ia tegakkan adalah:
Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhir tragis. Ia wafat setelah dibunuh oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam ketika sedang melaksanakan salat Subuh di Masjid Agung Kufah. Pembunuhannya menandai berakhirnya periode Khulafaur Rasyidin, dan membuka jalan bagi Muawiyah untuk mendirikan kekhalifahan Umayyah, mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarki turun-temurun.
Meskipun masa pemerintahannya dipenuhi konflik dan kegagalan politik untuk menyatukan umat secara total, Ali dikenang sebagai figur ideal yang berusaha keras menerapkan standar moralitas Islam yang paling murni di tengah badai pergolakan politik pasca-wafatnya Nabi.