Membedah Akar Fitnah Wahabi: Studi Kritis Perspektif Sejarah dan Teologi

Simbol Diskusi dan Perbedaan Pemahaman Gambar abstrak yang menggambarkan dua siluet kepala saling berhadapan dengan garis-garis pemikiran yang berbeda keluar dari masing-masing kepala, menunjukkan dialog atau perbedaan pandangan.

Gerakan yang berlandaskan pada pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, seringkali disingkat Wahabisme, telah menjadi salah satu subjek perdebatan teologis dan sosial paling intens dalam diskursus Islam modern. Di berbagai belahan dunia, terutama di wilayah yang secara historis dipengaruhi oleh Sunni tradisional atau Sufisme, muncul narasi yang menggolongkan pemahaman ini sebagai "fitnah" atau penyimpangan. Untuk memahami akar dari klaim ini, penting untuk melakukan telaah yang objektif, meninjau dasar historis dan doktrinalnya.

Latar Belakang Historis dan Kontekstualisasi

Gerakan ini bermula pada pertengahan abad ke-18 di Najd, Jazirah Arab, sebagai sebuah reformasi keagamaan yang bertujuan untuk memurnikan praktik Islam dari apa yang mereka anggap sebagai bid’ah (inovasi sesat) dan sinkretisme yang merusak tauhid murni. Fokus utama mereka adalah pada penolakan terhadap praktik seperti ziarah kubur yang dianggap sebagai bentuk syirik (kemusyrikan), pemujaan terhadap wali, dan otoritas tarekat sufi.

Kritik awal terhadap gerakan ini seringkali berakar pada reaksi dari kesultanan mapan dan ulama Sunni arus utama yang merasa terancam oleh radikalisasi pemahaman keagamaan. Ketika aliansi antara ulama Najd dan keluarga Al Saud menguat, gerakan ini kemudian menyebar melalui ekspansi politik, yang mana dalam banyak kasus, disertai dengan penghancuran tempat-tempat suci yang dianggap menyimpang dari ajaran mereka. Peristiwa penghancuran ini sering dijadikan bukti utama oleh para penentang bahwa ideologi tersebut bersifat destruktif dan intoleran.

Perdebatan Teologis Inti: Tauhid dan Bid’ah

Akar fitnah yang sering dituduhkan terletak pada konsep mereka tentang tauhid (keesaan Allah) yang sangat ketat, khususnya terkait dengan syirk. Kaum Wahabi menekankan pemisahan absolut antara Rububiyyah (kekuasaan Tuhan) dan Uluhiyyah (hak untuk disembah), menganggap bahwa praktik meminta syafaat (perantaraan) melalui Nabi Muhammad SAW atau para wali adalah bentuk *syirk ashghar* (syirik kecil) atau bahkan *syirk akbar* (syirik besar).

Bagi ulama Sunni tradisional, termasuk mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah yang dominan di Nusantara, syafaat dan tawassul (mencari kedekatan dengan Tuhan melalui perantara yang saleh) adalah praktik yang sah dan dianjurkan, asalkan keyakinan utama tetap tertuju hanya kepada Allah. Tuduhan fitnah muncul ketika interpretasi ini diterapkan secara ekstrem, menghasilkan vonis takfir (pengkafiran) terhadap Muslim lain yang berbeda pandangan mengenai praktik ibadah sehari-hari.

Implikasi Sosial dan Politik

Di luar ranah teologi murni, tuduhan fitnah juga diperkuat oleh dampak sosial dari penyebarannya. Kritik menyoroti kecenderungan gerakan ini untuk menolak tradisi lokal (adat) dan mazhab fiqih yang sudah mapan, menyebabkan fragmentasi sosial. Di banyak negara mayoritas Muslim, di mana Islam terjalin erat dengan budaya lokal dan struktur sufistik, pemikiran yang menuntut pemurnian radikal seringkali dilihat sebagai agenda asing yang bertujuan memecah belah persatuan umat.

Fitnah ini tidak hanya sebatas perbedaan pendapat ulama, melainkan telah menjadi isu geopolitik. Sejak era modernisasi, dana dan dukungan dari negara-negara yang menganut ideologi ini telah memperluas pengaruhnya, yang oleh para kritikus dilihat sebagai upaya untuk mendominasi wacana keislaman global dengan menyingkirkan keragaman historis Sunni.

Penutup: Menuju Pemahaman yang Lebih Luas

Membedah akar fitnah Wahabi memerlukan pemisahan antara doktrin reformis murni yang bertujuan membersihkan akidah (yang diakui oleh banyak ulama sebagai upaya yang sah) dan praktik politik atau ekstremisme yang muncul dari penerapan doktrin tersebut secara kaku dan eksklusif. Kontroversi akan terus berlanjut selama ada ketegangan antara keinginan untuk kembali ke sumber-sumber awal Islam (salaf) dan penghormatan terhadap tradisi keilmuan serta keragaman budaya yang telah berkembang selama berabad-abad dalam tubuh Islam. Pemahaman yang komprehensif menuntut kita untuk melihat konteks, sejarah, dan dampak nyata dari setiap interpretasi ajaran agama.

🏠 Homepage