Ikon Kebersihan Fitrah

Panduan Lengkap Mencukur Bulu Kemaluan Menurut Islam

Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh, mengatur setiap aspek kehidupan pemeluknya, dari urusan ibadah ritual hingga kebiasaan sehari-hari yang paling personal sekalipun. Salah satu aspek yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam adalah kebersihan (Thaharah). Kebersihan tidak hanya dipandang sebagai bagian dari kesehatan, tetapi juga sebagai manifestasi dari keimanan seorang Muslim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Kesucian itu adalah setengah dari iman." Hadits ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan kebersihan dalam Islam.

Di antara berbagai praktik kebersihan pribadi yang diajarkan, terdapat satu amalan yang termasuk dalam kategori sunan al-fitrah atau amalan-amalan yang sesuai dengan fitrah (sifat asal) manusia. Amalan tersebut adalah mencukur bulu kemaluan. Meskipun terkesan sebagai urusan yang sangat pribadi, Islam memberikan panduan yang jelas mengenainya, menunjukkan bahwa tidak ada satu pun aspek kehidupan yang luput dari tuntunan syariat. Memahami hukum, tata cara, dan hikmah di balik anjuran ini adalah bagian dari upaya seorang Muslim untuk menyempurnakan agamanya dan meneladani sunnah Nabi.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif tentang topik mencukur bulu kemaluan menurut Islam. Pembahasan akan mencakup dasar hukumnya dari hadits-hadits Nabi, pandangan para ulama dari berbagai mazhab, tata cara yang dianjurkan, batasan waktu yang ditetapkan, serta hikmah dan manfaat yang terkandung di dalamnya, baik dari sisi syariat maupun kesehatan. Dengan pemahaman yang utuh, diharapkan setiap Muslim dapat menjalankan amalan ini dengan landasan ilmu yang benar dan niat yang lurus untuk mengikuti tuntunan agamanya.

Dasar Hukum dan Kedudukannya dalam Islam

Landasan utama anjuran untuk mencukur bulu kemaluan bersumber dari hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang sunan al-fitrah. Fitrah di sini bermakna keadaan asal penciptaan manusia yang lurus, bersih, dan cenderung kepada kebaikan. Menjaga amalan-amalan fitrah ini berarti menjaga kebersihan dan kesucian diri sesuai dengan tuntunan para nabi terdahulu.

Salah satu hadits paling fundamental mengenai hal ini diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ ـ أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ ـ الْخِتَانُ، وَالاِسْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ

“Fitrah itu ada lima perkara: khitan, mencukur bulu kemaluan (al-istihdad), mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memendekkan kumis.” (HR. Bukhari no. 5889 dan Muslim no. 257)

Dalam hadits ini, digunakan istilah "al-istihdad" yang secara bahasa berasal dari kata hadid (besi), merujuk pada penggunaan alat tajam seperti pisau cukur untuk menghilangkan bulu di sekitar kemaluan. Ini adalah dalil yang sangat jelas dan tidak multitafsir mengenai anjuran praktik ini.

Dalam riwayat lain yang lebih panjang dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ

“Ada sepuluh perkara yang termasuk fitrah: memendekkan kumis, memelihara jenggot, bersiwak, memasukkan air ke dalam hidung (ketika berwudhu), memotong kuku, membersihkan ruas-ruas jari (barajim), mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan (halqul ‘anah), dan beristinja (membersihkan diri dengan air).” (HR. Muslim no. 261)

Pada hadits kedua ini, digunakan frasa "halqul ‘anah" yang secara harfiah berarti "mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan". Kedua hadits ini saling menguatkan dan menjadi pilar utama dalam penetapan hukum amalan ini.

Pandangan Para Ulama Mazhab

Berdasarkan hadits-hadits di atas, para ulama dari empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) sepakat bahwa mencukur bulu kemaluan adalah amalan yang disyariatkan. Namun, terdapat sedikit perbedaan dalam menentukan tingkatan hukumnya, apakah sunnah atau wajib.

Imam An-Nawawi, seorang ulama besar dari mazhab Syafi'i, dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim menyatakan bahwa yang benar adalah hukumnya sunnah. Beliau menjelaskan bahwa jika seseorang meninggalkannya, maka perbuatannya adalah makruh, bukan haram.

Meskipun ada sedikit perbedaan pendapat, kesimpulannya adalah bahwa mencukur bulu kemaluan merupakan amalan yang sangat ditekankan dalam Islam, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Melaksanakannya adalah bentuk ketaatan dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi sebelumnya.

Tata Cara dan Metode yang Diperbolehkan

Syariat Islam bersifat fleksibel dan tidak memberatkan. Terkait metode menghilangkan bulu kemaluan, Islam tidak menetapkan satu cara yang baku. Tujuan utamanya adalah kebersihan, yaitu hilangnya bulu dari area tersebut. Oleh karena itu, berbagai metode diperbolehkan selama tidak membahayakan diri sendiri.

Metode yang Sesuai Sunnah

Para ulama menjelaskan beberapa metode yang bisa digunakan, dengan beberapa di antaranya dianggap lebih utama (afdhal) berdasarkan penyebutan dalam hadits.

  1. Mencukur (Al-Halq / Al-Istihdad): Ini adalah metode yang paling utama dan secara eksplisit disebutkan dalam hadits ("halqul ‘anah" dan "al-istihdad"). Mencukur menggunakan pisau cukur atau alat sejenisnya dianggap sebagai cara yang paling sesuai dengan sunnah untuk area kemaluan. Metode ini cepat, efektif, dan mudah dilakukan sendiri.
  2. Mencabut (An-Natf): Hadits menyebutkan metode mencabut secara spesifik untuk bulu ketiak ("natful ibth"). Sebagian ulama berpendapat bahwa mencabut bulu kemaluan juga diperbolehkan, namun tidak dianjurkan karena area tersebut lebih sensitif dan prosesnya bisa sangat menyakitkan. Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa yang sunnah untuk bulu kemaluan adalah dicukur, sedangkan untuk bulu ketiak adalah dicabut. Namun, jika seseorang memilih metode lain untuk keduanya, hal itu tetap diperbolehkan.
  3. Menggunting (Al-Qash): Menggunting adalah alternatif yang baik bagi mereka yang tidak nyaman dengan mencukur habis atau memiliki kulit yang sangat sensitif. Menggunting hingga sangat pendek sudah dianggap cukup untuk mencapai tujuan kebersihan dan menghilangkan potensi kotoran menempel. Metode ini juga mengurangi risiko iritasi atau luka.
  4. Menggunakan Krim atau Bubuk Perontok (An-Nurah): Penggunaan bahan kimia seperti krim depilatori atau bubuk perontok juga diperbolehkan dalam Islam. Metode ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Diriwayatkan bahwa sebagian sahabat dan salafus shalih menggunakan nurah (sejenis kapur perontok bulu). Selama bahan yang digunakan halal dan tidak membahayakan kulit (tidak menimbulkan iritasi parah atau alergi), maka metode ini sah untuk digunakan.
  5. Waxing atau Sugaring: Metode modern seperti waxing (menggunakan lilin) atau sugaring (menggunakan pasta gula) pada dasarnya sama dengan prinsip mencabut, namun dalam skala yang lebih luas. Hukumnya diperbolehkan dengan beberapa catatan penting. Pertama, harus dilakukan sendiri di tempat yang tertutup untuk menjaga aurat. Kedua, harus berhati-hati agar tidak menyebabkan cedera atau iritasi parah pada kulit yang sensitif.

Kesimpulannya, tujuan utama adalah kebersihan. Metode yang paling afdhal adalah mencukur, namun metode lain seperti menggunting atau menggunakan krim perontok juga sepenuhnya diperbolehkan. Pilihlah metode yang paling nyaman, aman, dan efektif bagi diri sendiri.

Batasan Area yang Dibersihkan

Istilah ‘anah dalam bahasa Arab merujuk pada rambut kasar yang tumbuh di sekitar organ intim, yaitu di atas kemaluan (laki-laki dan perempuan) pada area yang disebut "gunung venus". Para ulama memperluas definisi ini untuk mencakup semua rambut yang tumbuh di sekitar organ intim depan, termasuk di sekitar testis bagi laki-laki dan di sekitar bibir vagina bagi perempuan. Bahkan, sebagian ulama menganjurkan untuk membersihkan juga rambut yang tumbuh di sekitar lubang dubur untuk memaksimalkan kebersihan saat beristinja.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa area yang dimaksud adalah rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan dan dubur. Membersihkan area ini secara menyeluruh akan membantu menjaga kesucian dari sisa-sisa najis setelah buang air.

Adab dan Privasi

Amalan ini adalah urusan yang sangat pribadi. Adab terpenting dalam melaksanakannya adalah menjaga aurat. Seseorang harus melakukannya di tempat yang tertutup dan tersembunyi, di mana tidak ada orang lain yang dapat melihatnya. Meminta bantuan orang lain untuk mencukur bulu kemaluan hukumnya haram, karena itu berarti menampakkan aurat besar (aurat mughallazhah) kepada orang yang tidak berhak melihatnya. Pengecualian hanya berlaku antara suami dan istri, di mana tidak ada batasan aurat di antara mereka. Namun demikian, melakukannya sendiri adalah yang paling utama untuk menjaga rasa malu.

Batas Waktu Pelaksanaan

Salah satu aspek penting yang diatur oleh syariat terkait amalan fitrah ini adalah adanya batasan waktu. Islam tidak hanya menganjurkan, tetapi juga memberikan pedoman agar kebersihan ini terjaga secara berkala. Hal ini didasarkan pada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang berkata:

وُقِّتَ لَنَا فِى قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الأَظْفَارِ وَنَتْفِ الإِبْطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لاَ نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Telah ditetapkan waktu bagi kami dalam memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, yaitu kami tidak membiarkannya lebih dari empat puluh malam.” (HR. Muslim no. 258)

Hadits ini memberikan batasan waktu maksimal yang sangat jelas, yaitu 40 hari (atau 40 malam). Apa makna dari batasan ini?

Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya memperhatikan batasan waktu ini. Jadikanlah amalan ini sebagai rutinitas kebersihan, misalnya setiap satu atau dua minggu sekali, agar tidak pernah melewati batas maksimal 40 hari yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hikmah dan Manfaat Mencukur Bulu Kemaluan

Setiap anjuran dalam syariat Islam pasti mengandung hikmah dan manfaat yang besar bagi manusia, baik yang dapat langsung dirasakan di dunia maupun sebagai bekal di akhirat. Hal ini juga berlaku pada anjuran mencukur bulu kemaluan. Manfaatnya dapat ditinjau dari berbagai sisi, mulai dari ketaatan, kebersihan, kesehatan, hingga keharmonisan rumah tangga.

1. Manfaat dari Sisi Ketaatan dan Ibadah (Syariat)

2. Manfaat dari Sisi Kesehatan

Ilmu pengetahuan modern telah membuktikan berbagai manfaat kesehatan dari menjaga kebersihan area kemaluan, yang sejalan dengan apa yang telah diajarkan Islam sejak ribuan tahun yang lalu.

3. Manfaat dari Sisi Sosial dan Estetika

Pertanyaan-Pertanyaan Umum (FAQ)

Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering muncul terkait topik ini beserta jawabannya berdasarkan pandangan para ulama.

Apakah hukumnya sama untuk pria dan wanita?

Ya, hukumnya sama. Anjuran untuk menjaga sunan al-fitrah, termasuk mencukur bulu kemaluan, berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Hadits-hadits yang menjadi dasarnya bersifat umum dan tidak membedakan jenis kelamin. Kebutuhan akan kebersihan dan kesucian adalah hal yang fundamental bagi setiap Muslim, tanpa memandang gendernya.

Bagaimana jika seseorang tidak pernah mencukurnya seumur hidup?

Jika seseorang meninggalkan amalan ini hingga melewati batas 40 hari, perbuatannya dianggap makruh (dibenci). Jika ia tidak pernah melakukannya sama sekali seumur hidupnya, berarti ia telah meninggalkan sebuah sunnah yang sangat dianjurkan secara terus-menerus. Meskipun mayoritas ulama tidak menganggapnya sebagai dosa besar yang menyebabkan seseorang masuk neraka, perbuatan tersebut jelas menyelisihi petunjuk Nabi dan fitrah yang suci. Hal ini juga berisiko mendatangkan mudharat dari sisi kesehatan dan kebersihan.

Apakah ada doa khusus yang dibaca sebelum atau sesudah mencukur?

Tidak ada dalil shahih yang menyebutkan adanya doa atau zikir khusus yang harus dibaca sebelum atau sesudah mencukur bulu kemaluan. Namun, sebagaimana semua perbuatan baik, dianjurkan untuk memulainya dengan membaca Basmalah ("Bismillah"). Niatkan dalam hati bahwa amalan ini dilakukan untuk mengikuti sunnah Nabi, menjaga kebersihan, dan mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan niat yang benar, maka aktivitas yang bersifat kebiasaan ini akan bernilai ibadah.

Bolehkah mencukur bulu di sekitar dubur?

Ya, hal ini dianjurkan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sebagian ulama, seperti Imam Al-Ghazali, memasukkan rambut yang tumbuh di sekitar dubur ke dalam cakupan area yang disunnahkan untuk dibersihkan. Hikmahnya sangat jelas, yaitu untuk mempermudah dan menyempurnakan proses istinja (bersuci setelah buang air besar). Dengan membersihkan area tersebut, sisa-sisa najis tidak akan menempel pada rambut, sehingga kebersihan dan kesucian lebih terjaga.

Apakah mencukur bulu kemaluan mempengaruhi kesuburan?

Dari sisi medis, tidak ada bukti ilmiah yang kuat yang menyatakan bahwa mencukur bulu kemaluan secara langsung dapat meningkatkan atau menurunkan kesuburan. Fungsi utama bulu kemaluan secara biologis adalah untuk melindungi dari gesekan dan infeksi. Namun, dalam konteks kebersihan modern, manfaat menjaga area tersebut tetap bersih sering kali lebih besar daripada membiarkannya tidak terawat. Dari perspektif Islam, amalan ini dianjurkan karena hikmah kebersihan dan ketaatannya, bukan karena hubungannya dengan kesuburan.

Kesimpulan

Mencukur bulu kemaluan, atau yang dikenal dalam Islam sebagai al-istihdad atau halqul ‘anah, adalah salah satu dari sunan al-fitrah yang sangat dianjurkan bagi setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Amalan ini berlandaskan pada hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan disepakati kesunnahannya oleh para ulama mazhab. Tujuannya adalah untuk menjaga kebersihan, kesucian, dan kesehatan, serta sebagai bentuk ketaatan dalam mengikuti tuntunan para nabi.

Hukumnya adalah sunnah mu'akkadah (sangat dianjurkan), dan makruh jika dibiarkan lebih dari 40 hari. Berbagai metode dapat digunakan untuk membersihkannya, seperti mencukur, menggunting, atau menggunakan krim perontok, dengan tujuan utama tercapainya kebersihan. Amalan ini harus dilakukan dengan menjaga adab, terutama privasi dan tidak menampakkan aurat kepada orang lain.

Hikmah di baliknya sangatlah besar, mencakup aspek spiritual (menjalankan sunnah dan menyempurnakan ibadah), aspek kesehatan (mencegah infeksi dan bau), serta aspek sosial (menjaga keharmonisan rumah tangga). Dengan memahami landasan, tata cara, dan hikmahnya, semoga kita dapat mengamalkan sunnah yang mulia ini dengan istiqamah sebagai bagian dari upaya kita untuk menjadi Muslim yang paripurna, yang bersih lahir dan batin.

🏠 Homepage