Membedah Makna Mutakalliman
Dalam khazanah intelektual Islam, terdapat banyak istilah yang merujuk pada para cendekiawan dengan spesialisasi tertentu. Salah satu istilah yang sering muncul dalam diskusi teologi, filsafat, dan pemikiran Islam adalah Mutakalliman. Namun, apa sebenarnya mutakalliman artinya? Siapakah mereka dan apa peran penting yang mereka mainkan dalam sejarah peradaban Islam?
Secara sederhana, Mutakalliman (bentuk jamak dari Mutakallim) adalah para ahli Ilmu Kalam. Untuk memahami istilah ini secara mendalam, kita harus terlebih dahulu mengurai dua komponen utamanya: kata "Mutakallim" itu sendiri dan disiplin ilmu yang mereka geluti, yaitu "Ilmu Kalam". Artikel ini akan membawa Anda menyelami makna, sejarah, metodologi, dan relevansi para Mutakalliman dalam lanskap pemikiran Islam yang luas dan dinamis.
Akar Kata dan Definisi: Dari Kalam Menjadi Mutakalliman
Istilah "Mutakallim" berasal dari akar kata dalam bahasa Arab, yaitu Ka-la-ma (كَلَمَ), yang memiliki arti dasar "berbicara", "berkata", atau "berdialog". Bentuk ism fa'il (pelaku) dari takallama (تَكَلَّمَ - berbicara secara mendalam atau berdiskusi) adalah Mutakallim, yang secara harfiah berarti "orang yang berbicara" atau "seorang orator/pembicara".
Namun, dalam konteks keilmuan Islam, maknanya menjadi jauh lebih spesifik dan teknis. Mutakalliman bukanlah sekadar pembicara biasa. Mereka adalah para teolog, filsuf, dan pemikir yang menggunakan argumen rasional dan dialektika untuk membela dan menjelaskan akidah (keyakinan) Islam. Disiplin ilmu yang mereka gunakan dikenal sebagai Ilmu Kalam.
Apa itu Ilmu Kalam?
Ilmu Kalam sering diterjemahkan sebagai "teologi dialektis" atau "teologi spekulatif" Islam. Dinamakan "kalam" (ucapan/pembicaraan) karena beberapa alasan yang saling berkaitan:
- Fokus pada "Kalamullah": Salah satu perdebatan paling awal dan fundamental dalam sejarahnya adalah tentang sifat Kalamullah (Firman Allah), yaitu Al-Qur'an. Apakah Al-Qur'an itu makhluk (diciptakan) ataukah qadim (azali)? Perdebatan sengit ini menjadi ciri khas disiplin ini.
- Metode Dialektika: Para praktisinya sangat mengandalkan metode perdebatan dan dialog (kalam) untuk mempertahankan argumen mereka dan menyanggah pandangan lawan.
- Kekuatan Kata-kata: Ilmu ini memberikan kekuatan argumentatif yang begitu kuat (melalui kata-kata dan logika) sehingga seolah-olah menjadi "pembicaraan" yang paling esensial dalam mempertahankan pokok-pokok keimanan.
Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang membahas penetapan akidah-akidah keagamaan dengan menyajikan dalil-dalil dan menolak berbagai syubhat (kerancuan).
Dengan demikian, seorang Mutakallim adalah seorang pakar dalam Ilmu Kalam. Ia adalah seorang teolog rasionalis yang tidak hanya menerima dalil-dalil wahyu (naql) secara dogmatis, tetapi juga berusaha membangun fondasi rasional ('aql) yang kokoh untuk keyakinan tersebut. Misi utama mereka adalah mempertahankan benteng akidah Islam dari serangan internal (sekte-sekte yang menyimpang) maupun eksternal (filsafat Yunani, Gnostisisme, dan ajaran agama lain).
Kelahiran Mutakalliman: Respon Intelektual Terhadap Tantangan Zaman
Kemunculan Mutakalliman dan Ilmu Kalam bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah produk dari kondisi sosio-politik dan intelektual yang kompleks pada masa-masa awal Islam. Beberapa faktor utama yang memicu lahirnya gerakan ini antara lain:
1. Persoalan Politik Pasca Wafatnya Nabi
Isu suksesi kepemimpinan (khilafah) setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW memicu perpecahan politik yang kemudian merembet ke ranah teologis. Pertanyaan tentang status seorang Muslim yang melakukan dosa besar (murtakib al-kabirah) menjadi titik sentral. Apakah ia masih mukmin, sudah menjadi kafir, atau berada di posisi lain? Dari sinilah lahir berbagai kelompok awal seperti Khawarij (menganggap pelaku dosa besar adalah kafir), Murji'ah (menangguhkan penilaian ke akhirat), dan kemudian Mu'tazilah (mengajukan konsep "posisi di antara dua posisi" atau al-manzilah bayna al-manzilatayn). Debat-debat teologis-politis ini menuntut adanya argumentasi yang sistematis.
2. Penerjemahan Karya-Karya Filsafat Asing
Pada masa Dinasti Abbasiyah, terutama di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma'mun, gerakan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filsafat Yunani (seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus), logika, serta pemikiran Persia dan India, mencapai puncaknya. Masuknya ide-ide rasionalisme, metafisika, dan logika formal ini memberikan tantangan baru bagi pemikir Muslim. Konsep seperti atomisme, substansi, aksiden, dan sebab-akibat mulai masuk ke dalam wacana intelektual. Para Mutakalliman merasa perlu untuk menguasai "senjata" lawan (logika dan filsafat) untuk membela akidah Islam dari perspektif yang dapat dipahami oleh kaum rasionalis.
3. Pertanyaan-pertanyaan Teologis yang Rumit
Seiring meluasnya wilayah Islam, umat dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan teologis yang semakin kompleks dan tidak ditemukan jawabannya secara eksplisit dalam nash Al-Qur'an dan Hadis. Pertanyaan-pertanyaan ini meliputi:
- Sifat-sifat Tuhan (Sifatullah): Bagaimana memahami ayat-ayat yang seolah menggambarkan Tuhan memiliki atribut fisik (seperti tangan, wajah, bersemayam di Arsy) tanpa jatuh ke dalam antropomorfisme (tasybih)?
- Kehendak Bebas dan Takdir (Ikhtiyar wal Jabr): Sejauh mana manusia memiliki kebebasan untuk berbuat? Apakah semua perbuatan sudah ditentukan oleh Tuhan?
- Sifat Al-Qur'an: Apakah Kalam Allah itu kekal (qadim) atau baru (hadits/makhluk)?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, diperlukan sebuah kerangka berpikir yang sistematis dan argumentatif, yang melampaui pemahaman literal semata. Inilah ladang garapan utama para Mutakalliman.
Aliran-Aliran Utama dalam Ilmu Kalam
Sejarah Ilmu Kalam ditandai dengan munculnya berbagai aliran pemikiran (mazhab) yang memiliki corak dan metodologi yang berbeda. Masing-masing aliran ini melahirkan para Mutakalliman terkemuka yang karyanya terus dikaji hingga hari ini. Berikut adalah beberapa aliran utama.
1. Mu'tazilah: Para Pelopor Rasionalisme Islam
Dianggap sebagai sekolah Ilmu Kalam pertama yang sistematis, Mu'tazilah muncul pada abad ke-2 Hijriyah. Nama mereka berasal dari kata i'tazala (memisahkan diri), merujuk pada peristiwa ketika pendirinya, Washil bin Atha', memisahkan diri dari majelis gurunya, Hasan al-Basri, karena perbedaan pendapat mengenai status pelaku dosa besar.
Mu'tazilah dikenal sebagai kaum rasionalis yang memberikan kedudukan sangat tinggi kepada akal ('aql). Bagi mereka, akal mampu mengetahui baik dan buruk secara independen, bahkan sebelum datangnya wahyu. Wahyu berfungsi untuk mengkonfirmasi dan merinci apa yang telah dapat dijangkau oleh akal. Mereka membangun teologi mereka di atas lima prinsip dasar yang terkenal, yaitu Al-Ushul al-Khamsah:
- At-Tauhid (Keesaan Tuhan): Mereka menafikan sifat-sifat Tuhan yang dianggap terpisah dari esensi-Nya untuk menjaga kemurnian tauhid. Menurut mereka, mengatakan Tuhan Maha Mengetahui dengan "sifat pengetahuan" yang qadim selain Dzat-Nya akan berimplikasi pada adanya banyak entitas yang qadim (ta'addud al-qudama'), yang bertentangan dengan tauhid.
- Al-'Adl (Keadilan Tuhan): Tuhan Maha Adil, sehingga Dia tidak mungkin melakukan keburukan atau memaksa manusia berbuat jahat lalu menyiksanya. Konsekuensinya, manusia memiliki kebebasan penuh atas perbuatannya (free will).
- Al-Wa'd wa al-Wa'id (Janji dan Ancaman): Tuhan pasti akan menepati janji-Nya untuk memberi pahala kepada yang taat dan ancaman-Nya untuk menyiksa yang berbuat dosa. Tidak ada intervensi atau syafaat yang bisa mengubah ketetapan ini.
- Al-Manzilah Bayna al-Manzilatayn (Posisi di Antara Dua Posisi): Pelaku dosa besar bukanlah seorang mukmin (karena imannya tidak sempurna) dan bukan pula seorang kafir (karena ia masih mengucapkan syahadat). Ia berada dalam status fasiq.
- Al-Amr bi al-Ma'ruf wa an-Nahy 'an al-Munkar (Menyeru kepada Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran): Ini adalah kewajiban sosial dan politik bagi setiap Muslim, bahkan jika harus melawan penguasa yang zalim.
Mutakalliman Mu'tazilah terkenal dengan argumen mereka bahwa Al-Qur'an adalah makhluk (diciptakan), karena jika ia qadim, maka akan ada dua entitas yang qadim, yaitu Dzat Allah dan Kalam-Nya. Pandangan ini sempat menjadi doktrin resmi negara pada masa Khalifah Al-Ma'mun, yang memicu peristiwa inkuisisi terkenal yang disebut Mihnah. Tokoh-tokoh besar mereka antara lain Washil bin Atha', Abu al-Hudhayl al-Allaf, An-Nazzam, dan Al-Jahiz.
2. Asy'ariyah: Jalan Tengah Sunni
Sebagai reaksi terhadap rasionalisme ekstrem Mu'tazilah dan literalisme kaku sebagian kelompok Ahli Hadis (yang menolak sama sekali penggunaan akal dalam isu akidah), muncullah aliran Asy'ariyah. Aliran ini didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari, seorang Mutakallim yang pada awalnya adalah murid terkemuka dari mazhab Mu'tazilah. Setelah melalui krisis spiritual dan intelektual, ia secara terbuka meninggalkan Mu'tazilah dan merumuskan sebuah teologi yang dianggap sebagai jalan tengah (sintesis).
Metodologi Asy'ariyah adalah menerima dalil naql (Al-Qur'an dan Sunnah) sebagai sumber primer, namun menggunakan perangkat logika dan dialektika (kalam) untuk menjelaskan, membela, dan memperkuat dalil-dalil tersebut. Mereka berusaha menyeimbangkan antara wahyu dan akal. Beberapa doktrin penting Asy'ariyah yang membedakannya dari Mu'tazilah adalah:
- Sifat-sifat Tuhan: Al-Asy'ari menetapkan adanya sifat-sifat Tuhan (seperti Ilmu, Kuasa, Kehendak) yang melekat pada Dzat-Nya, tidak identik dengan Dzat tapi juga tidak terpisah darinya. Mereka menolak pandangan Mu'tazilah yang menafikan sifat, tetapi juga menolak antropomorfisme kaum literalis. Untuk ayat-ayat mutasyabihat (samar), mereka cenderung menggunakan metode ta'wil (interpretasi alegoris) atau tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah).
- Perbuatan Manusia (Teori Kasb): Ini adalah doktrin jalan tengah yang paling terkenal. Menurut Asy'ariyah, semua perbuatan, baik dan buruk, diciptakan oleh Allah. Namun, manusia memiliki "andil" dalam perbuatan tersebut melalui apa yang disebut kasb atau ikhtisab (akuisisi/upaya). Manusia tidak menciptakan perbuatannya, tetapi ia "mengupayakannya" sehingga perbuatan itu bisa dinisbatkan kepadanya dan ia bertanggung jawab atasnya. Ini adalah upaya untuk menghindari determinisme mutlak (jabr) dan kehendak bebas mutlak Mu'tazilah.
- Al-Qur'an adalah Kalamullah yang Qadim: Asy'ariyah meyakini bahwa Al-Qur'an sebagai Kalam Allah adalah qadim (azali). Mereka membedakan antara Kalam Nafsi (makna internal yang ada pada Dzat Allah, yang bersifat qadim) dan Kalam Lafzhi (lafaz dan tulisan yang kita baca, yang bersifat baru/makhluk).
- Melihat Allah di Akhirat: Berdasarkan dalil naql, mereka menetapkan bahwa orang-orang beriman akan dapat melihat Allah di akhirat, sebuah konsep yang ditolak oleh Mu'tazilah karena dianggap mustahil secara rasional.
Aliran Asy'ariyah kemudian berkembang pesat dan melahirkan para Mutakalliman raksasa seperti Al-Baqillani, Al-Juwaini, dan puncaknya adalah Imam Al-Ghazali, yang berhasil mengintegrasikan Ilmu Kalam, filsafat, dan tasawuf, menjadikan teologi Asy'ariyah sebagai mazhab akidah mayoritas umat Islam Sunni hingga saat ini.
3. Maturidiyah: Kembaran Asy'ariyah dari Timur
Hampir sezaman dengan Al-Asy'ari di Irak, di Samarkand (Asia Tengah) muncul seorang Mutakallim agung lainnya, yaitu Abu Mansur al-Maturidi. Ia juga merumuskan sebuah teologi Sunni yang bertujuan menjadi jalan tengah. Pemikiran Maturidiyah memiliki banyak kesamaan dengan Asy'ariyah, sehingga keduanya sering dianggap sebagai pilar teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Namun, ada beberapa perbedaan signifikan, terutama dalam penekanan pada peran akal.
Secara umum, Maturidiyah memberikan peran yang sedikit lebih besar kepada akal dibandingkan Asy'ariyah, meskipun tidak seekstrem Mu'tazilah. Beberapa perbedaan kunci antara lain:
- Pengetahuan tentang Tuhan: Al-Maturidi berpendapat bahwa akal manusia, bahkan tanpa adanya wahyu, dapat mengetahui keberadaan Tuhan. Wahyu diperlukan untuk mengetahui syariat dan cara beribadah yang benar.
- Baik dan Buruk: Maturidiyah meyakini bahwa baik dan buruk memiliki nilai intrinsik pada perbuatan itu sendiri yang dapat diketahui oleh akal. Akal dapat mengetahui bahwa keadilan itu baik dan kezaliman itu buruk. Asy'ariyah, di sisi lain, lebih cenderung berpendapat bahwa sesuatu menjadi baik atau buruk semata-mata karena perintah atau larangan dari syariat.
- Sifat Takwin (Mencipta): Maturidiyah menambahkan satu sifat lagi pada daftar sifat Allah, yaitu Takwin (daya cipta), yang mereka anggap sebagai sifat yang qadim. Dari sifat inilah muncul perbuatan-perbuatan Allah seperti menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan.
Aliran Maturidiyah dominan di kalangan Muslim pengikut mazhab fikih Hanafi, terutama di wilayah Asia Tengah, Turki, dan Asia Selatan.
Metodologi dan Perangkat Berpikir Para Mutakalliman
Untuk membangun argumen yang kokoh, para Mutakalliman tidak hanya mengandalkan kutipan dalil, tetapi juga mengembangkan perangkat metodologis yang canggih. Inilah yang membedakan mereka dari para ahli hadis tradisionalis.
Penggunaan Logika (Mantiq)
Para Mutakalliman, terutama setelah era Al-Ghazali, mengadopsi dan mengadaptasi logika Aristotelian (mantiq) sebagai alat analisis. Mereka menggunakan silogisme, definisi, dan kaidah-kaidah penalaran logis untuk menyusun bukti-bukti keberadaan Tuhan, kenabian, dan kebenaran hari akhir.
Contoh argumen kosmologis (dalil al-huduts) yang sering mereka gunakan:
1. Alam semesta ini bersifat baru (hadits), karena ia terdiri dari aksiden-aksiden (sifat yang berubah-ubah) yang tidak bisa lepas dari substansinya.
2. Setiap yang baru pasti membutuhkan pencipta (muhdits).
3. Kesimpulan: Alam semesta ini pasti memiliki pencipta yang tidak bersifat baru, yaitu Tuhan yang Qadim.
Dialektika (Jadal) dan Debat
Karya-karya para Mutakalliman seringkali ditulis dalam format dialektis. Mereka akan memulai dengan mengajukan tesis (pandangan mereka), lalu mengantisipasi argumen lawan (antitesis), kemudian membantah argumen lawan tersebut satu per satu dengan argumen tandingan, dan diakhiri dengan penegasan kembali tesis mereka. Metode tanya-jawab, pengandaian (in qila... qulna - jika dikatakan... kami katakan), dan klasifikasi argumen menjadi ciri khas tulisan mereka.
Hubungan Akal ('Aql) dan Wahyu (Naql)
Ini adalah isu sentral dalam metodologi Kalam. Meskipun terdapat perbedaan penekanan antar aliran, secara umum mereka sepakat bahwa tidak mungkin ada pertentangan hakiki antara akal yang sehat dan wahyu yang sahih. Jika terjadi pertentangan yang tampak, maka harus ada upaya untuk mendamaikannya.
- Mu'tazilah cenderung mendahulukan akal. Jika ada dalil naql yang bertentangan dengan kesimpulan akal, maka dalil naql tersebut harus di-ta'wil (diinterpretasikan secara metaforis).
- Asy'ariyah dan Maturidiyah menjadikan naql sebagai fondasi, tetapi menggunakan akal sebagai alat untuk memahami dan membelanya. Bagi mereka, akal berfungsi sebagai "saksi" yang membenarkan kebenaran yang dibawa oleh wahyu. Ta'wil bisa dilakukan, tetapi dengan syarat-syarat yang ketat dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar akidah lainnya.
Kritik dan Warisan Para Mutakalliman
Meskipun memiliki peran besar, para Mutakalliman dan Ilmu Kalam tidak lepas dari kritik. Kritik datang dari berbagai arah, baik dari kalangan ulama tradisionalis, filsuf, maupun sufi.
Kritik terhadap Ilmu Kalam
- Dari Kalangan Tradisionalis (Ahli Hadis): Tokoh-tokoh seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan di kemudian hari Ibnu Taimiyah mengkritik Ilmu Kalam karena dianggap sebagai bid'ah (inovasi tercela). Mereka berpendapat bahwa membahas isu-isu metafisika dengan menggunakan istilah dan metode yang tidak dikenal di zaman Nabi dan para sahabat (seperti jauhar, 'aradh, jism) adalah penyimpangan dari manhaj salaf. Bagi mereka, akidah harus diterima berdasarkan teks wahyu apa adanya tanpa perlu didialektikakan.
- Dari Kalangan Filsuf (Falasifah): Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, meskipun menggunakan akal, menganggap argumen para Mutakalliman kurang rigorus dan demonstratif. Menurut mereka, Mutakalliman memulai argumen dari kesimpulan yang sudah diimani (kebenaran wahyu) lalu mencari justifikasi rasionalnya, sedangkan filsafat sejati harus berangkat dari premis-premis rasional murni untuk mencapai kesimpulan, apapun itu.
- Dari Kalangan Sufi: Para sufi, seperti Ibnu Arabi, mengkritik pendekatan Kalam yang dianggap terlalu kering, rasionalistik, dan verbal. Bagi mereka, pengetahuan sejati tentang Tuhan (ma'rifatullah) tidak bisa dicapai melalui debat dan logika, melainkan melalui penyucian jiwa, pengalaman spiritual langsung (dzauq, kasyf). Imam Al-Ghazali sendiri, setelah menjadi mahaguru Ilmu Kalam, pada akhirnya menemukan ketenangan dan keyakinan puncak dalam jalan tasawuf.
Warisan Abadi Mutakalliman
Terlepas dari berbagai kritik, warisan para Mutakalliman bagi peradaban Islam sangatlah fundamental. Mereka berhasil:
- Membangun Teologi Sistematis: Mereka mengubah akidah Islam dari sekumpulan dogma menjadi sebuah sistem teologis yang koheren, logis, dan mampu mempertahankan diri secara intelektual.
- Menjaga Akidah dari Serangan Eksternal: Di tengah gempuran pemikiran asing, para Mutakalliman berdiri sebagai garda terdepan yang memberikan jawaban-jawaban rasional terhadap keraguan dan tantangan yang dilontarkan kepada Islam.
- Mendorong Tradisi Intelektual: Kehadiran mereka menyuburkan budaya dialog, debat, dan penulisan karya-karya monumental yang memperkaya khazanah keilmuan Islam hingga tingkat yang sangat tinggi.
- Melahirkan Konsep-konsep Penting: Konsep seperti kasb, perbedaan Kalam Nafsi dan Lafzhi, serta berbagai argumen rasional tentang eksistensi Tuhan terus menjadi bahan diskusi penting dalam pemikiran Islam.
Kesimpulan: Memahami Kembali "Mutakalliman Artinya"
Jadi, kembali ke pertanyaan awal: mutakalliman artinya apa? Jawabannya jauh lebih dalam daripada sekadar "para ahli teologi". Mutakalliman adalah para arsitek intelektual akidah Islam. Mereka adalah para penjaga benteng keimanan yang menggunakan senjata akal dan logika. Mereka adalah para dialektikus ulung yang berani terjun ke dalam medan pertempuran pemikiran yang paling rumit untuk membela keyakinan mereka.
Mereka adalah representasi dari sebuah tradisi di dalam Islam yang tidak takut pada akal, tidak lari dari pertanyaan, dan tidak gentar menghadapi tantangan zaman. Meskipun metode dan beberapa kesimpulan mereka mungkin diperdebatkan, semangat mereka untuk membangun jembatan antara iman dan akal, antara wahyu dan rasio, adalah warisan yang tak ternilai. Memahami siapa itu Mutakalliman berarti memahami salah satu pilar utama yang menopang bangunan intelektual peradaban Islam selama berabad-abad. Mereka adalah bukti bahwa iman dalam Islam tidaklah buta, melainkan sebuah keyakinan yang dapat direnungkan, dipertahankan, dan diartikulasikan dengan argumen yang paling kuat sekalipun.