Simbol Ka'bah dan Api yang Dingin Gambar simbolis Ka'bah yang berdiri tegak di atas api yang telah menjadi dingin dan aman, merepresentasikan dua mukjizat besar Nabi Ibrahim.

Perjalanan Agung Sang Khalilullah: Kisah Nabi Ibrahim AS

Dalam bentangan sejarah kemanusiaan, terdapat pilar-pilar agung yang menjadi mercusuar petunjuk bagi generasi setelahnya. Mereka adalah para utusan pilihan, yang membawa risalah tauhid dengan keteguhan yang tak tergoyahkan. Di antara mereka, ada segelintir yang dianugerahi gelar Ulul Azmi, para pemilik keteguhan hati yang luar biasa. Kisah mereka bukan sekadar cerita pengantar tidur, melainkan sebuah kurikulum kehidupan tentang iman, pengorbanan, dan cinta tanpa syarat kepada Sang Pencipta. Salah satu figur sentral dalam kelompok istimewa ini adalah seorang nabi yang dijuluki Khalilullah, Kekasih Allah. Dialah Nabi Ibrahim AS, sang Bapak para Nabi.

Perjalanannya adalah epik pencarian kebenaran yang dimulai dari akal sehat, diuji dengan api dunia, disempurnakan dengan pengorbanan paling agung, dan diabadikan dalam fondasi rumah ibadah pertama bagi seluruh umat manusia. Kisahnya melintasi batas-batas geografis dan teologis, menjadi titik temu bagi miliaran jiwa di muka bumi. Memahami kisahnya adalah memahami esensi dari penyerahan diri (Islam) yang paling murni, sebuah perjalanan dari keraguan intelektual menuju keyakinan yang menghujam di dasar kalbu.

Bab 1: Fajar Kebenaran di Tengah Kegelapan Berhala

Ibrahim lahir di sebuah negeri yang tenggelam dalam politeisme. Peradaban Babilonia, di bawah kekuasaan Raja Namrud yang zalim dan mengaku sebagai tuhan, adalah panggung di mana akal sehat seolah mati suri. Masyarakatnya menyembah benda-benda mati yang mereka pahat sendiri. Ironisnya, ayah Ibrahim, yang bernama Azar, adalah seorang pemahat berhala terkemuka. Sejak belia, Ibrahim telah dianugerahi kecerdasan dan daya nalar yang tajam. Hatinya resah melihat kaumnya bersujud kepada patung-patung batu yang bisu, tuli, dan tak mampu memberi manfaat atau mudarat sedikit pun.

Setiap hari, ia menyaksikan ayahnya dengan tekun membentuk kayu dan batu menjadi sosok-sosok yang kemudian disembah. Pertanyaan-pertanyaan logis mulai bergejolak dalam benaknya. "Bagaimana mungkin sesuatu yang diciptakan oleh tangan manusia kemudian disembah sebagai pencipta manusia itu sendiri? Bagaimana mungkin patung yang tak bisa membela diri dari debu dan serangga dianggap memiliki kekuatan agung?" Kerisauan ini bukanlah pemberontakan seorang anak, melainkan bisikan fitrah yang merindukan Tuhannya yang sejati.

Pencariannya membawanya pada sebuah kontemplasi kosmik yang legendaris. Pada suatu malam yang gelap, matanya tertuju pada sebuah bintang yang berkelip terang. Pikirnya, "Inikah Tuhanku?" Namun, ketika bintang itu tenggelam seiring berjalannya malam, ia menyimpulkan dengan logikanya, "Aku tidak suka kepada sesuatu yang tenggelam dan menghilang." Tuhannya pastilah abadi dan senantiasa hadir.

Kemudian, ia melihat bulan terbit dengan cahayanya yang indah menerangi malam. "Inikah Tuhanku?" serunya dalam hati. Namun, ketika fajar menyingsing dan matahari menampakkan dirinya, bulan pun lenyap dari pandangan. Kembali ia berkata, "Sungguh, jika Tuhanku tidak memberiku petunjuk, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat."

Puncaknya adalah ketika matahari terbit dengan sinarnya yang megah dan perkasa. "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar!" Namun, sore pun tiba, dan matahari raksasa itu pun perlahan terbenam di ufuk barat, menyerahkan dunia pada kegelapan. Di sinilah Ibrahim mencapai puncak pencerahan intelektualnya. Ia sadar bahwa semua benda langit ini, betapapun besar dan terangnya, adalah makhluk yang diatur, bukan sang Pengatur. Mereka tunduk pada sebuah sistem, sebuah hukum yang tak bisa mereka langgar. Maka, dengan keyakinan penuh, ia menghadapkan wajahnya kepada Sang Pencipta sejati.

"Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan-Nya."

Ini adalah momen deklarasi tauhid yang lahir dari observasi, logika, dan perenungan mendalam. Ibrahim tidak menerima wahyu dalam bentuk kitab pada saat itu, tetapi hidayah telah merasuk ke dalam jiwanya melalui akal sehat yang ia gunakan secara maksimal. Ia telah menemukan Tuhan yang Maha Esa, yang tak terlihat namun terasa kehadiran-Nya melalui segala ciptaan-Nya.

Bab 2: Dakwah Lembut di Lingkaran Terdekat

Setelah menemukan kebenaran, Ibrahim tidak menyimpannya untuk diri sendiri. Fitrah seorang nabi mendorongnya untuk berbagi cahaya petunjuk. Dan objek dakwah pertamanya adalah orang yang paling dekat dengannya: ayahnya, Azar. Dengan penuh hormat dan kasih sayang, Ibrahim mendekati sang ayah. Ia tidak menggunakan kata-kata kasar atau menghakimi. Sebaliknya, ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menggugah nalar.

"Wahai ayahku," sapanya dengan lembut, "mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah engkau menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah."

Dialog ini menunjukkan adab yang luar biasa. Ibrahim memanggil ayahnya dengan panggilan kasih sayang, "Ya abati" (wahai ayahku), berulang kali. Ia memposisikan dirinya bukan sebagai orang yang lebih superior, melainkan sebagai seseorang yang telah menerima secercah ilmu dan ingin membaginya. Ia memperingatkan tentang bahaya mengikuti langkah setan dengan argumen yang logis dan menyentuh.

Namun, hati yang telah lama membatu sulit untuk dilunakkan. Azar, yang reputasi dan mata pencahariannya bergantung pada industri berhala, menolak mentah-mentah. Kemarahannya memuncak. "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya aku akan merajammu, dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama!" Ancamannya begitu keras, mengusir putranya sendiri.

Meskipun dihadapkan pada penolakan yang menyakitkan, Ibrahim tidak membalas dengan kemarahan. Ia tetap menunjukkan baktinya sebagai seorang anak. "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu," jawabnya dengan tenang, "aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku." Ini adalah puncak kesabaran dan keluhuran budi, sebuah pelajaran abadi tentang bagaimana berdakwah kepada keluarga.

Tak berhenti di situ, Ibrahim memperluas dakwahnya kepada kaumnya. Ia berdebat dengan mereka di ruang-ruang publik, menantang logika mereka yang rapuh. Ia bertanya, "Apakah berhala-berhala itu mendengarmu ketika kamu berdoa? Atau dapatkah mereka memberimu manfaat atau mendatangkan mudarat?" Mereka hanya bisa menjawab, "Tidak, tetapi kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian." Jawaban ini menunjukkan betapa dakwah Ibrahim tidak hanya melawan patung batu, tetapi juga tradisi membuta yang telah mengakar selama berabad-abad.

Bab 3: Aksi Penuh Makna dan Debat Sang Penguasa

Ketika argumen lisan tidak lagi mempan, Ibrahim merencanakan sebuah "demonstrasi" teologis yang akan mengguncang fondasi keyakinan kaumnya. Ia menunggu saat yang tepat, yaitu ketika seluruh penduduk kota pergi ke luar untuk merayakan sebuah festival tahunan. Kota menjadi sepi, dan kuil tempat berhala-berhala disimpan pun kosong melompong.

Dengan membawa sebuah kapak, Ibrahim memasuki kuil itu. Satu per satu, ia menghancurkan patung-patung kecil hingga berkeping-keping. Ia melampiaskan kekesalannya pada benda-benda mati yang telah menyesatkan kaumnya. Namun, ia menyisakan satu berhala, yang paling besar di antara semuanya. Setelah selesai, ia menggantungkan kapak yang digunakannya di leher berhala terbesar itu, seolah-olah sang berhala raksasalah yang telah melakukan perusakan tersebut.

Ketika penduduk kota kembali, mereka terkejut bukan kepalang melihat kondisi kuil mereka. "Siapakah yang telah melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sungguh dia termasuk orang-orang yang zalim!" teriak mereka. Beberapa orang yang pernah mendengar kritik Ibrahim segera menunjuknya. "Kami mendengar seorang pemuda bernama Ibrahim mencela mereka."

Ibrahim pun diseret untuk diadili di hadapan publik. Ini adalah panggung yang ia tunggu-tunggu. Ketika ditanya apakah ia yang melakukannya, Ibrahim memberikan jawaban yang cerdas dan penuh ironi. "Sebenarnya, patung yang besar itulah yang melakukannya," katanya sambil menunjuk berhala yang masih utuh dengan kapak di lehernya. "Maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara!"

Seketika, orang banyak terdiam. Mereka dipaksa untuk berhadapan dengan absurditas kepercayaan mereka. Mereka tahu betul bahwa patung itu tidak bisa berbicara, apalagi menghancurkan patung lainnya. Dalam hati, mereka mengakui kebenaran logika Ibrahim. Namun, kesombongan dan gengsi menghalangi mereka untuk mengakuinya secara terbuka. Jawaban mereka justru menunjukkan kekalahan telak mereka, "Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara."

Kabar tentang pemuda pemberani ini sampai ke telinga Raja Namrud. Penguasa tiran itu merasa otoritasnya terancam. Ia memanggil Ibrahim untuk berdebat langsung dengannya. Namrud dengan angkuh berkata, "Akulah yang menghidupkan dan mematikan." Untuk membuktikannya, ia mengambil dua orang tahanan. Satu ia bunuh, dan yang satu lagi ia biarkan hidup. Ini adalah demonstrasi kekuasaan yang dangkal dan bodoh.

Ibrahim tidak terjebak dalam perdebatan kusir itu. Ia langsung mengangkat argumen ke level yang tidak bisa disentuh oleh kekuasaan Namrud. Dengan tenang dan percaya diri, Ibrahim berkata:

"Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat."

Seketika, Namrud terdiam seribu bahasa. Wajahnya pucat pasi. Ia, yang mengklaim sebagai tuhan, tidak berdaya di hadapan hukum alam yang paling mendasar sekalipun. Argumen Ibrahim begitu telak dan tak terbantahkan. Ia telah kalah telak dalam perdebatan itu, bukan dengan senjata, melainkan dengan kekuatan logika dan kebenaran tauhid. Kekalahan ini membakar amarah dan egonya hingga ke puncaknya.

Bab 4: Ujian Api, Kesejukan Iman

Karena kalah dalam argumen, Namrud beralih pada kekerasan. Hukuman yang ia siapkan untuk Ibrahim bukanlah hukuman biasa. Ia ingin menjadikan Ibrahim sebagai contoh agar tidak ada lagi yang berani menentangnya. Perintah pun dikeluarkan: "Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhanmu, jika kamu benar-benar hendak bertindak!"

Seluruh rakyat dikerahkan untuk mengumpulkan kayu bakar. Mereka melakukannya dengan semangat, seolah-olah itu adalah sebuah ibadah. Kayu ditumpuk hingga menggunung, lalu dinyalakan. Api yang dihasilkan begitu dahsyat, kobaran apinya menjulang tinggi ke angkasa, dan panasnya terasa dari jarak yang sangat jauh. Burung-burung yang terbang di atasnya pun bisa jatuh terpanggang. Api itu begitu besar sehingga mereka tidak bisa mendekat untuk melemparkan Ibrahim ke dalamnya. Mereka pun membangun sebuah manjanik, sejenis ketapel raksasa, untuk melontarkannya dari kejauhan.

Di saat-saat paling genting dalam hidupnya, ketika ia akan dilemparkan ke dalam api yang paling mengerikan, wajah Ibrahim menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Tidak ada rasa takut, tidak ada kepanikan. Para malaikat di langit menahan napas, khawatir akan nasib sang Kekasih Allah. Diriwayatkan bahwa Malaikat Jibril datang menawarinya bantuan, "Wahai Ibrahim, apakah engkau memerlukan sesuatu dariku?"

Jawaban Ibrahim adalah cerminan puncak tawakal dan keyakinan. "Adapun kepadamu, aku tidak butuh. Namun kepada Allah, ya." Lalu ia memanjatkan doa singkat yang sarat makna, doa yang menjadi zikir bagi orang-orang beriman di saat sulit:

"Hasbunallah wa ni'mal wakil." (Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.)

Dengan doa itu, ia memasrahkan seluruh nasibnya kepada Sang Pencipta. Dan ketika tubuhnya melayang di udara menuju jantung api, pertolongan dari langit pun datang. Allah, Penguasa api dan segala sesuatu, mengeluarkan perintah-Nya yang Agung:

"Yaa naaru kuunii bardan wa salaaman 'alaa Ibraahiim." (Wahai api, jadilah engkau dingin dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim.)

Seketika itu juga, sifat api yang membakar lenyap atas perintah Tuhannya. Api itu hanya membakar tali yang mengikat Ibrahim. Ia mendarat di tengah-tengah kobaran api yang telah berubah menjadi taman yang sejuk dan damai. Selama beberapa hari, kaumnya mengira ia telah hangus menjadi abu. Namun, ketika api mulai padam, mereka terperangah melihat Ibrahim berjalan keluar tanpa luka sedikit pun, dengan wajah yang tetap tenang dan damai.

Mukjizat ini adalah bukti nyata kekuasaan Allah dan kebenaran risalah Ibrahim. Namun, bagi hati yang telah tertutup, bukti sejelas apa pun tidak akan mampu menembusnya. Sebagian kecil orang beriman, tetapi mayoritas, termasuk Namrud, justru semakin keras kepala dalam kesesatan mereka. Bagi Ibrahim, ujian ini telah membuktikan bahwa ia benar-benar seorang Khalilullah, yang cintanya kepada Allah melebihi rasa takutnya pada apa pun di dunia.

Bab 5: Hijrah Suci Membuka Lembaran Baru

Setelah mukjizat api, Ibrahim menyadari bahwa dakwah di negerinya tidak lagi efektif. Penolakan yang keras dan ancaman yang terus-menerus membuatnya memutuskan untuk berhijrah. Meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara, dan semua yang ia kenal bukanlah hal yang mudah. Namun, hijrah ini adalah perintah dari Allah, sebuah perjalanan suci untuk mencari tempat di mana ia bisa beribadah dengan bebas dan menyebarkan risalah tauhid.

Bersama istrinya yang setia, Sarah, dan keponakannya, Luth, Ibrahim memulai perjalanannya. Mereka melintasi padang pasir dan negeri-negeri asing, dengan bekal iman dan tawakal kepada Allah. Perjalanan mereka membawa mereka ke berbagai wilayah, seperti Harran, Palestina (tanah Kanaan), hingga Mesir. Setiap tempat yang disinggahi menjadi ladang dakwah baru bagi Ibrahim.

Di Mesir, mereka menghadapi ujian lain. Kecantikan Sarah yang luar biasa menarik perhatian penguasa Mesir yang zalim. Raja itu memiliki kebiasaan merampas istri orang lain. Ketika para prajuritnya melaporkan tentang Sarah, Ibrahim pun dipanggil. Mengetahui niat buruk sang raja, Ibrahim, dalam sebuah tindakan yang dilandasi kebijaksanaan untuk melindungi kehormatan istrinya, berkata bahwa Sarah adalah "saudarinya" (dalam ikatan iman, karena saat itu tidak ada orang beriman lain di negeri itu selain mereka berdua). Ini memberinya ruang untuk bertindak.

Ketika Sarah dibawa ke hadapan raja, dan raja itu mencoba untuk menyentuhnya, Sarah berdoa dengan khusyuk kepada Allah. Seketika, tangan raja menjadi kaku dan lumpuh. Raja itu ketakutan dan memohon agar Sarah berdoa untuk kesembuhannya, berjanji tidak akan mengganggunya lagi. Sarah pun berdoa, dan tangan raja kembali normal. Namun, raja itu kembali mencoba berbuat jahat, dan tangannya lumpuh lagi. Hal ini terjadi berulang kali hingga sang raja menyadari bahwa Sarah dilindungi oleh kekuatan gaib yang dahsyat. Merasa takjub dan takut, ia membebaskan Sarah dan bahkan memberinya seorang pelayan wanita bernama Hajar sebagai hadiah dan tanda permintaan maaf.

Peristiwa ini menunjukkan betapa Allah senantiasa melindungi hamba-hamba-Nya yang saleh. Ibrahim dan Sarah pun melanjutkan perjalanan mereka, kembali ke Palestina, dengan membawa Hajar bersama mereka. Ujian ini justru mendatangkan anugerah yang kelak akan menjadi bagian penting dari sejarah besar keturunan Ibrahim.

Bab 6: Penantian Panjang dan Lahirnya Mata Air Abadi

Tahun-tahun berlalu, dan usia Ibrahim serta Sarah semakin senja. Mereka telah lama mendambakan seorang anak, namun takdir seolah berkata lain. Sarah divonis mandul, sebuah ujian kesabaran yang sangat berat bagi seorang wanita. Meski demikian, mereka tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah. Sarah, dengan keluhuran hatinya, melihat Hajar sebagai harapan. Ia menyarankan agar Ibrahim menikahi Hajar, dengan harapan Allah akan menganugerahkan keturunan melalui Hajar.

Ibrahim menerima saran mulia istrinya. Dari pernikahan inilah, lahir seorang putra yang telah lama dinanti-nantikan, yang diberi nama Ismail. Kehadiran Ismail membawa kebahagiaan yang tak terkira bagi keluarga itu. Namun, kebahagiaan itu segera diikuti oleh sebuah perintah ilahi yang sangat berat.

Allah memerintahkan Ibrahim untuk membawa Hajar dan putranya yang masih bayi, Ismail, ke sebuah lembah yang tandus dan gersang di tengah gurun pasir. Lembah itu bernama Bakkah (kelak dikenal sebagai Mekkah), sebuah tempat yang tidak memiliki tanaman, tidak ada air, dan tidak berpenghuni. Perintah ini terasa sangat aneh dan berat secara manusiawi. Meninggalkan istri dan anak yang masih menyusu di tengah padang pasir yang mematikan adalah sesuatu yang di luar nalar.

Namun, Ibrahim adalah seorang Khalilullah. Ia tahu bahwa setiap perintah Allah pasti mengandung hikmah yang agung. Tanpa banyak bertanya, ia melaksanakan perintah itu. Setelah tiba di lokasi yang ditunjuk, di dekat lokasi Ka'bah di masa depan, Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail dengan bekal sedikit kurma dan sekantong air. Saat Ibrahim berbalik untuk pergi, Hajar mengejarnya dan bertanya, "Wahai Ibrahim, ke mana engkau akan pergi? Apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang pun dan tidak ada sesuatu pun ini?"

Ibrahim tidak menjawab, hatinya berat. Hajar bertanya lagi dan lagi, namun Ibrahim tetap diam. Akhirnya, Hajar bertanya dengan pertanyaan kunci yang menunjukkan kecerdasannya, "Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?" Barulah Ibrahim menjawab, "Ya." Mendengar jawaban itu, hati Hajar menjadi tenang. Dengan keyakinan penuh, ia berkata, "Jika demikian, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan kami."

Setelah berjalan cukup jauh hingga tak terlihat lagi oleh Hajar dan Ismail, Ibrahim berhenti dan memanjatkan doa yang paling indah dan tulus, yang diabadikan dalam Al-Qur'an:

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."

Tak lama, bekal air pun habis. Ismail mulai menangis kehausan, tangisannya semakin lemah. Hajar panik. Ia tidak bisa hanya duduk diam melihat putranya menderita. Naluri keibuannya mendorongnya untuk berlari mencari air. Ia berlari ke bukit terdekat, Shafa, berharap melihat sumber air atau kafilah yang lewat. Tak melihat apa pun, ia turun dan berlari ke bukit Marwah. Ia melakukannya berulang kali, bolak-balik antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Gerakan inilah yang kini diabadikan sebagai salah satu rukun haji, yaitu Sa'i.

Dalam keputusasaan dan kelelahannya yang puncak, setelah putaran ketujuh, ia mendengar suara. Ternyata itu adalah Malaikat Jibril. Sang malaikat kemudian menghentakkan sayapnya (atau tumitnya, dalam riwayat lain) ke tanah di dekat kaki Ismail. Dengan izin Allah, memancarlah air dari tanah yang kering kerontang itu. Hajar segera menampung air itu sambil berkata "Zam! Zam!" (berkumpul! berkumpul!), karena khawatir air itu akan hilang meresap ke dalam pasir. Mata air itulah yang kemudian dikenal sebagai sumur Zamzam, mata air yang tidak pernah kering hingga hari ini, memberikan kehidupan bagi kota Mekkah dan jutaan peziarah setiap tahunnya.

Bab 7: Puncak Pengorbanan, Ujian Cinta Teragung

Waktu berlalu, Ibrahim sesekali datang mengunjungi Hajar dan Ismail. Ismail tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, cerdas, dan patuh. Ia adalah buah hati yang didapatkan Ibrahim di usia senja, pelipur lara dan kebanggaan ayahnya. Di saat cinta Ibrahim kepada putranya berada di puncaknya, datanglah ujian keimanan yang paling berat dalam seluruh hidupnya.

Melalui mimpi yang datang berulang kali, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Mimpi seorang nabi adalah salah satu bentuk wahyu. Awalnya Ibrahim merenung, apakah ini benar-benar perintah Allah atau hanya godaan setan? Namun, ketika mimpi yang sama datang di malam-malam berikutnya, ia yakin bahwa ini adalah perintah suci yang harus dilaksanakan.

Bisa dibayangkan betapa beratnya perintah ini. Menyembelih anak kandung sendiri, anak yang telah ditunggu selama puluhan tahun, anak yang saleh dan dicintainya. Ini adalah ujian yang menguji batas tertinggi cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Apakah cintanya kepada anak akan mengalahkan cintanya kepada Allah?

Dengan hati yang tabah, Ibrahim mendatangi Ismail. Ia tidak langsung memaksakan kehendaknya. Sebaliknya, ia berdialog dengan putranya, sebuah dialog yang menunjukkan kebesaran jiwa keduanya. "Wahai anakku," kata Ibrahim dengan suara bergetar, "sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!"

Jawaban Ismail sungguh di luar dugaan. Anak yang masih belia itu menunjukkan tingkat keimanan dan kepasrahan yang setara dengan ayahnya. Tanpa ragu, tanpa takut, ia menjawab:

"Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."

Jawaban ini memberikan kekuatan luar biasa bagi Ibrahim. Ayah dan anak itu telah bersepakat untuk tunduk pada perintah Tuhan mereka. Di tengah perjalanan menuju tempat penyembelihan, Iblis datang menggoda mereka bertiga: Ibrahim, Hajar, dan Ismail. Iblis mencoba membisikkan keraguan, "Bagaimana mungkin seorang ayah tega membunuh anaknya sendiri? Tuhan macam apa yang memerintahkan hal sekeji itu?" Namun, ketiganya menepis godaan itu dengan melempari Iblis dengan batu, sebuah ritual yang kini diabadikan dalam ibadah haji sebagai melempar jumrah.

Tibalah saatnya. Ibrahim membaringkan Ismail, menajamkan pisaunya, dan bersiap melaksanakan perintah itu. Diriwayatkan bahwa Ismail meminta wajahnya ditelungkupkan agar ayahnya tidak melihat wajahnya dan menjadi ragu. Ketika pisau itu telah berada di leher Ismail dan Ibrahim menggerakkannya dengan sekuat tenaga, sebuah keajaiban terjadi. Dengan izin Allah, pisau yang tajam itu tidak mampu menggores kulit Ismail sedikit pun.

Pada saat itulah, terdengar seruan dari langit: "Wahai Ibrahim! Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata."

Allah telah melihat bukti cinta dan kepasrahan mereka yang total. Ujian itu telah selesai. Tujuan dari perintah itu bukanlah darah Ismail, melainkan ketundukan hati Ibrahim. Sebagai gantinya, Allah mengirimkan seekor domba besar dari surga untuk disembelih. Peristiwa agung inilah yang menjadi dasar dari ibadah kurban yang dilaksanakan oleh umat Islam di seluruh dunia pada Hari Raya Idul Adha, sebagai pengingat akan pengorbanan dan ketaatan tanpa batas.

Bab 8: Membangun Fondasi Rumah Tauhid

Setelah melewati ujian-ujian terberat, Ibrahim menerima satu lagi tugas mulia. Allah memerintahkannya, bersama putranya Ismail yang kini telah dewasa, untuk meninggikan fondasi Baitullah atau Ka'bah. Ka'bah adalah rumah ibadah pertama yang dibangun di muka bumi untuk menyembah Allah Yang Maha Esa. Fondasinya telah ada sejak zaman dahulu, namun bangunannya telah hilang terkikis waktu.

Ayah dan anak itu pun bekerja sama bahu-membahu. Ismail mengumpulkan dan membawa batu, sementara Ibrahim, sang arsitek ilahi, menyusunnya menjadi dinding. Mereka membangun dengan penuh cinta dan doa. Ketika bangunan semakin tinggi dan sulit dijangkau, Ibrahim berdiri di atas sebuah batu yang dengan ajaib bisa naik dan turun sesuai kebutuhannya. Batu itulah yang kini dikenal sebagai Maqam Ibrahim, yang jejak telapak kakinya masih bisa dilihat hingga sekarang.

Selama proses pembangunan yang melelahkan itu, lisan mereka tidak pernah berhenti berzikir dan berdoa. Salah satu doa mereka yang paling terkenal, yang terus diucapkan oleh jutaan jemaah haji, adalah:

"Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."

Setelah Ka'bah selesai dibangun, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyeru seluruh umat manusia agar datang berziarah (berhaji) ke rumah suci tersebut. Ibrahim bertanya, "Ya Rabbi, bagaimana suaraku bisa sampai kepada mereka semua?" Allah berfirman, "Kewajibanmu hanya menyeru, dan kewajiban Kamilah yang menyampaikannya." Ibrahim pun naik ke atas bukit dan menyerukan panggilan haji, dan dengan kuasa Allah, panggilan itu terdengar oleh setiap jiwa yang telah ditakdirkan untuk berhaji, bahkan yang masih berada di dalam rahim ibu mereka, hingga akhir zaman.

Warisan Abadi Sang Bapak Monoteisme

Kisah hidup Nabi Ibrahim AS adalah sebuah mozaik sempurna dari perjalanan seorang hamba dalam mencari, menemukan, membela, dan mencintai Tuhannya. Ia adalah teladan dalam segala aspek: sebagai seorang pencari kebenaran yang menggunakan logikanya, sebagai seorang anak yang berbakti, sebagai seorang pendakwah yang gigih, sebagai seorang suami dan ayah yang penyayang, dan di atas segalanya, sebagai seorang hamba yang tunduk patuh secara total kepada Tuhannya.

Gelar Ulul Azmi yang disandangnya bukanlah tanpa alasan. Keteguhan hatinya dalam menghadapi penolakan kaumnya, kesabarannya saat dilempar ke dalam api, keikhlasannya saat meninggalkan keluarga di gurun tandus, dan puncaknya adalah kepasrahannya saat diperintahkan menyembelih putranya, semua itu adalah bukti dari keteguhan yang melampaui batas kemampuan manusia biasa.

Warisan Ibrahim tidak hanya berupa bangunan Ka'bah atau ritual haji dan kurban. Warisan terbesarnya adalah ajaran Tauhid yang murni, keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menjadi fondasi bagi tiga agama besar dunia. Dari keturunannya, melalui Ismail, lahirlah nabi terakhir, Muhammad SAW. Dan melalui putranya yang lain, Ishaq, lahirlah para nabi Bani Israil seperti Ya'qub, Yusuf, Musa, dan Isa.

Karena itulah ia dijuluki Abul Anbiya, Bapak para Nabi. Kehidupannya adalah sebuah universitas iman, tempat kita belajar tentang arti sejati dari penyerahan diri. Kisahnya akan terus bergema sepanjang masa, menginspirasi setiap jiwa yang merindukan Tuhannya, membuktikan bahwa cinta tertinggi hanya layak dipersembahkan kepada Sang Pencipta langit dan bumi.

🏠 Homepage