Kelahiran Sang Cahaya Penerang Semesta

Ilustrasi fajar baru yang menyingsing di padang pasir.

Dunia dalam Penantian Panjang

Alkisah, pada suatu masa, Jazirah Arab diselimuti oleh kabut tebal kejahiliyahan. Makkah, kota suci yang di dalamnya berdiri Ka'bah peninggalan Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, telah kehilangan kemurnian spiritualnya. Berhala-berhala bisu dari batu dan kayu berjejer angkuh di sekitar rumah suci itu, disembah oleh suku-suku yang bertikai. Tatanan sosial kala itu dibangun di atas fondasi kesukuan yang kaku. Kebanggaan atas garis keturunan, peperangan antar kabilah yang bisa berkobar puluhan tahun hanya karena masalah sepele, serta penindasan terhadap yang lemah menjadi pemandangan sehari-hari. Wanita tak lebih dari sekadar properti, dan bayi perempuan yang baru lahir tak jarang dikubur hidup-hidup karena dianggap aib.

Namun, di tengah pekatnya kegelapan itu, masih tersisa percik-percik cahaya. Sisa-sisa ajaran lurus dari Nabi Ibrahim, yang dikenal sebagai hanif, masih dipegang teguh oleh segelintir jiwa yang merindukan kebenaran hakiki. Mereka menolak menyembah berhala dan mendambakan datangnya seorang pembaharu, seorang utusan yang akan mengembalikan manusia ke jalan Tuhan Yang Maha Esa. Di belahan dunia lain, imperium besar seperti Persia dan Romawi tenggelam dalam kemewahan materialistis dan kerusakan moral, sementara ajaran para nabi terdahulu telah banyak diubah dan diselewengkan. Langit seolah menahan rahmatnya, dan bumi merintih dalam penantian panjang akan datangnya seorang penyelamat. Inilah panggung dunia yang telah disiapkan untuk sebuah peristiwa paling agung dalam sejarah manusia: peristiwa saat Nabi Muhammad dilahirkan.

Garis Keturunan yang Terpelihara Kemuliaannya

Takdir ilahi telah memilih sebuah garis keturunan yang paling murni dan terhormat untuk menyambut kedatangan sang nabi penutup. Nasab beliau tersambung langsung kepada Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim, sang Bapak para Nabi. Setiap leluhur dalam silsilahnya adalah tokoh-tokoh terpandang, para pemimpin yang disegani karena kebijaksanaan, kedermawanan, dan akhlaknya yang luhur. Mereka adalah penjaga Ka'bah dan pelayan para peziarah.

Dari Qushay bin Kilab yang berhasil menyatukan kembali suku Quraisy dan memegang kunci-kunci kehormatan Makkah, hingga Hasyim bin Abdi Manaf yang terkenal dengan kedermawanannya dalam menjamu para tamu dan memulai tradisi perjalanan dagang musim dingin dan musim panas. Nama "Hasyim" sendiri berarti "pemecah roti," sebuah julukan yang melekat karena kebiasaannya memecah roti untuk dibuat bubur dan dibagikan kepada kaumnya saat terjadi kelaparan. Kemuliaan ini diwarisi oleh putranya, Abdul Muthalib, kakek sang Nabi. Abdul Muthalib adalah sosok pemimpin Quraisy yang karismatik dan dihormati. Di bawah kepemimpinannyalah sumur Zamzam yang telah lama hilang ditemukan kembali, membawa keberkahan air yang melimpah bagi penduduk Makkah dan para peziarah.

Dari sekian banyak putra Abdul Muthalib, yang paling ia sayangi adalah Abdullah. Abdullah dikenal karena ketampanan wajahnya dan kemurnian hatinya. Cahaya kenabian yang terpancar dari dahinya membuat banyak wanita bangsawan Quraisy ingin menikah dengannya. Namun, takdir telah menentukan jodohnya. Abdul Muthalib memilihkan untuknya seorang wanita dari kabilah Bani Zuhrah yang terkenal akan kemuliaan nasab dan kesucian pribadinya. Wanita itu bernama Aminah binti Wahb, seorang permata di antara para wanita Quraisy pada masanya. Pernikahan antara Abdullah dan Aminah adalah pertemuan dua garis keturunan yang sama-sama luhur, sebuah persatuan yang dipersiapkan oleh langit untuk melahirkan insan termulia.

Peristiwa Agung di Tahun Gajah

Sebelum fajar kenabian menyingsing, sebuah peristiwa luar biasa terjadi yang menggetarkan seluruh Jazirah Arab. Peristiwa ini menjadi penanda waktu yang begitu penting sehingga tahun kejadiannya disebut sebagai "Tahun Gajah." Peristiwa ini adalah bukti nyata perlindungan ilahi terhadap kota Makkah dan Ka'bah, seolah-olah menjadi pengantar bagi kelahiran agung yang akan segera tiba.

Kisah ini bermula dari Abrahah Al-Asyram, gubernur Yaman di bawah kekuasaan Kerajaan Aksum (Ethiopia). Terbakar oleh rasa iri melihat Ka'bah di Makkah menjadi pusat ziarah dan perdagangan bangsa Arab, Abrahah membangun sebuah gereja yang sangat megah di Shan'a, ibu kota Yaman. Ia menamainya Al-Qullais, dengan harapan dapat mengalihkan perhatian bangsa Arab dari Ka'bah ke gerejanya. Namun, usahanya sia-sia. Hati bangsa Arab telah terpaut pada Rumah Suci peninggalan leluhur mereka.

Kemarahan Abrahah memuncak ketika ia mendengar kabar bahwa gerejanya telah dinodai oleh seseorang dari suku Arab. Dengan hati yang dipenuhi dendam dan kesombongan, ia bersumpah akan menghancurkan Ka'bah hingga rata dengan tanah. Ia pun menyiapkan pasukan yang sangat besar dan kuat, yang barisan depannya dipimpin oleh seekor gajah raksasa bernama Mahmud, sesuatu yang belum pernah dilihat oleh bangsa Arab sebelumnya.

Berita tentang pergerakan pasukan Abrahah menyebar dengan cepat, menimbulkan ketakutan di kalangan suku-suku Arab. Beberapa kabilah mencoba menghadang, namun kekuatan mereka tak sebanding dan mereka dengan mudah dikalahkan. Pasukan Abrahah terus merangsek maju hingga tiba di Al-Mughammas, sebuah wilayah di pinggiran Makkah. Di sana, mereka merampas harta penduduk, termasuk dua ratus ekor unta milik Abdul Muthalib, pemimpin Quraisy dan kakek sang Nabi.

"Adapun unta-unta itu, mereka adalah milikku. Sedangkan Rumah (Ka'bah) ini, ia memiliki Tuan yang akan melindunginya."

Abdul Muthalib, dengan wibawa dan ketenangan seorang pemimpin sejati, datang menemui Abrahah. Abrahah terkesan dengan penampilan Abdul Muthalib yang agung, namun ia terkejut ketika Abdul Muthalib hanya meminta kembali unta-untanya dan tidak memohon agar Ka'bah tidak dihancurkan. Ketika ditanya alasannya, Abdul Muthalib menjawab dengan kalimat penuh keyakinan yang tercatat dalam sejarah, "Adapun unta-unta itu, mereka adalah milikku. Sedangkan Rumah (Ka'bah) ini, ia memiliki Tuan yang akan melindunginya."

Jawaban itu membuat Abrahah semakin sombong. Ia mengembalikan unta-unta itu dan bersiap untuk melaksanakan niat jahatnya. Abdul Muthalib kembali ke Makkah dan memerintahkan penduduk untuk mengungsi ke puncak-puncak gunung di sekitar kota, seraya ia sendiri berdoa dengan khusyuk di sisi Ka'bah, menyerahkan perlindungan Rumah Suci itu kepada Pemiliknya Yang Sejati.

Keesokan harinya, ketika Abrahah dan pasukannya bergerak menuju Ka'bah, keajaiban pun terjadi. Gajah Mahmud yang perkasa tiba-tiba berhenti dan berlutut, menolak untuk berjalan selangkah pun ke arah Ka'bah. Meskipun dipukuli dan dipaksa, ia tetap diam. Namun, jika diarahkan ke arah lain, ia segera bangkit dan berjalan. Di tengah kebingungan itu, dari arah laut, muncul kawanan burung yang tak terhitung jumlahnya, bergerombol seperti awan hitam. Setiap burung membawa tiga batu kecil, satu di paruhnya dan dua di cakarnya. Mereka terbang di atas pasukan Abrahah dan mulai menjatuhkan batu-batu dari sijjil (tanah liat yang dibakar) itu.

Setiap batu yang jatuh, meskipun kecil, memiliki daya hancur yang dahsyat. Ia menembus baju zirah dan tubuh para prajurit, membuat daging mereka membusuk dan luruh. Pasukan yang tadinya angkuh kini dilanda kepanikan dan kehancuran total. Mereka kocar-kacir, banyak yang tewas di tempat, dan Abrahah sendiri terluka parah. Ia dibawa lari kembali ke Yaman, namun tubuhnya terus membusuk hingga ia tewas dalam keadaan yang mengenaskan. Pasukan besar itu hancur lebur, laksana "daun-daun yang dimakan ulat." Peristiwa ini menjadi bukti nyata kekuasaan Tuhan dan meninggikan status kaum Quraisy dan kota Makkah. Dalam suasana penuh keajaiban inilah, hanya berselang beberapa puluh hari kemudian, Nabi Muhammad dilahirkan.

Lahirnya Sang Pembawa Rahmat

Masa Kehamilan yang Penuh Berkah

Setelah pernikahan yang penuh berkah, Abdullah tidak lama tinggal bersama Aminah. Sebagai seorang pedagang, ia harus melakukan perjalanan niaga ke negeri Syam (Suriah). Namun, dalam perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan wafat di Yatsrib (kelak menjadi Madinah), meninggalkan Aminah yang sedang mengandung seorang anak yang kelak akan mengubah wajah dunia. Aminah menanggung kesedihan yang mendalam, namun ia merasakan ketenangan dan tanda-tanda luar biasa selama masa kehamilannya.

Berbeda dengan kehamilan pada umumnya, Aminah tidak merasakan beban atau kesulitan yang berarti. Ia sering bermimpi didatangi oleh seseorang yang memberitahukan bahwa janin yang dikandungnya adalah pemimpin umat manusia. Dalam salah satu mimpinya, ia diperintahkan untuk menamai anaknya "Muhammad" (yang terpuji). Tanda kebesaran yang paling menakjubkan adalah ketika ia melihat seberkas cahaya memancar dari dalam dirinya. Cahaya itu begitu terang hingga ia bisa melihat istana-istana di Busra, di negeri Syam, dari tempatnya di Makkah. Ini adalah isyarat bahwa risalah yang akan dibawa oleh putranya kelak akan menyebar luas hingga ke penjuru dunia.

Detik-detik Kelahiran yang Agung

Tibalah saat yang dinanti-nantikan oleh segenap alam semesta. Pada hari Senin di bulan Rabi'ul Awwal, di Tahun Gajah, di sebuah rumah sederhana di Makkah, Aminah merasakan tanda-tanda persalinan. Proses kelahiran itu berlangsung dengan sangat mudah dan penuh keajaiban. Asy-Syifa binti Auf, ibunda dari Abdurrahman bin Auf, yang turut membantu persalinan, menyaksikan peristiwa-peristiwa luar biasa. Ruangan itu tiba-tiba dipenuhi oleh cahaya yang benderang, mengalahkan terangnya lampu.

Ketika sang bayi mulia itu terlahir ke dunia, ia tidak menangis seperti bayi pada umumnya. Ia lahir dalam keadaan sujud, dengan kedua tangan menopang ke tanah dan kepala terangkat ke langit, seolah-olah sedang berdoa dan mengagungkan Penciptanya. Ia telah dikhitan, dan tali pusarnya telah terpotong rapi. Tubuhnya bersih tanpa noda darah atau kotoran. Wajahnya memancarkan cahaya yang menenangkan siapa pun yang memandangnya. Seluruh semesta bersukacita. Bintang-bintang di langit seolah berkelip lebih terang, dan angin berhembus membawa aroma wangi yang semerbak.

Berita gembira ini segera disampaikan kepada sang kakek, Abdul Muthalib. Dengan hati yang meluap karena sukacita, ia segera datang dan memeluk cucu yatimnya itu. Ia membawanya ke Ka'bah, menggendongnya dengan penuh kasih sayang sambil melakukan tawaf. Di hadapan para pembesar Quraisy, ia memberikan nama "Muhammad," sebuah nama yang tidak lazim di kalangan bangsa Arab saat itu. Ketika ditanya mengapa ia memilih nama itu, Abdul Muthalib menjawab, "Agar ia menjadi orang yang terpuji di langit oleh Tuhan dan di bumi oleh seluruh makhluk-Nya."

Tanda-tanda Kebesaran di Seluruh Dunia

Kelahiran sang Nabi tidak hanya dirasakan di Makkah. Getaran spiritualnya terasa hingga ke pusat-pusat peradaban dunia kala itu, menjadi pertanda runtuhnya kekuasaan lama dan dimulainya sebuah era baru.

Semua tanda-tanda ini, baik yang terjadi di Makkah maupun di belahan dunia lain, menegaskan satu hal: bahwa bayi yang baru saja lahir itu bukanlah manusia biasa. Ia adalah pembawa pesan ilahi, rahmat bagi seluruh alam, yang kedatangannya telah dinubuatkan oleh para nabi terdahulu dan dinantikan oleh seluruh ciptaan.

Masa Persusuan di Bani Sa'ad

Sudah menjadi tradisi di kalangan bangsawan Makkah untuk menyusukan bayi-bayi mereka kepada wanita-wanita dari kabilah pedalaman (badui). Tujuannya adalah agar anak-anak mereka tumbuh di lingkungan udara yang bersih, jauh dari penyakit perkotaan, serta agar mereka fasih dalam berbahasa Arab murni yang belum tercampur dengan dialek pendatang.

Ketika rombongan wanita dari kabilah Bani Sa'ad bin Bakar datang ke Makkah untuk mencari bayi susuan, tidak ada satupun di antara mereka yang mau mengambil Muhammad kecil. Alasannya sederhana: ia seorang anak yatim. Mereka berpikir, "Apa yang bisa diharapkan dari seorang ibu dan kakeknya?" Mereka semua mencari bayi dari keluarga kaya yang ayahnya masih hidup, dengan harapan akan mendapat imbalan yang besar.

Salah seorang wanita dalam rombongan itu adalah Halimah As-Sa'diyah. Ia adalah yang paling miskin di antara mereka. Keledai tunggangannya begitu lemah dan lambat sehingga ia tertinggal jauh dari rombongan. Unta perahnya pun kering, tidak mengeluarkan susu setetes pun, membuat bayinya sendiri terus menangis karena kelaparan di sepanjang perjalanan. Setelah semua temannya mendapatkan bayi susuan dan ia satu-satunya yang belum, Halimah merasa enggan untuk kembali dengan tangan hampa.

Ia berkata kepada suaminya, "Demi Tuhan, aku tidak suka menjadi satu-satunya yang pulang tanpa bayi. Aku akan pergi mengambil anak yatim itu." Suaminya setuju, seraya berharap semoga Tuhan memberikan keberkahan melalui anak itu. Dan benar saja, keberkahan itu datang dengan segera dan melimpah ruah.

"Sejak kami mengambilnya, kami senantiasa merasakan limpahan kebaikan dari Tuhan."

Saat Halimah meletakkan Muhammad kecil di pangkuannya, keajaiban pertama terjadi. Air susunya yang tadinya kering, tiba-tiba terisi penuh. Ia menyusui Muhammad hingga kenyang, lalu menyusui putranya sendiri hingga kenyang pula, dan keduanya pun tertidur pulas. Suaminya kemudian pergi ke unta mereka yang kurus kering, dan ia mendapati kantung susunya penuh. Mereka memerahnya dan minum sepuasnya, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Malam itu menjadi malam terindah bagi mereka.

Keberkahan tidak berhenti di situ. Dalam perjalanan pulang, keledai Halimah yang tadinya paling lambat, kini berlari kencang mendahului semua keledai lain dalam rombongan, membuat teman-temannya keheranan. Sesampainya di perkampungan Bani Sa'ad, yang saat itu sedang dilanda kekeringan, tanah milik Halimah menjadi subur dan hijau, sementara tanah milik orang lain tetap gersang. Kambing-kambingnya pulang pada sore hari dengan perut kenyang dan kantung susu yang penuh, sementara ternak orang lain pulang dalam keadaan lapar dan kurus.

Muhammad kecil tumbuh dengan perkembangan yang luar biasa, penuh berkah dan kesehatan. Kehadirannya membawa kebaikan yang tak terhingga bagi keluarga Halimah. Ia tinggal di lingkungan Bani Sa'ad yang murni, mempelajari kefasihan bahasa, dan membangun fondasi fisik serta mental yang kuat, jauh dari hiruk pikuk dan moralitas Makkah yang mulai rusak. Di sanalah ia dipersiapkan untuk mengemban tugas besar yang telah menantinya.

Kisah kelahiran ini bukanlah sekadar catatan biografis. Ia adalah sebuah epik tentang harapan, tentang cahaya yang menembus kegelapan, dan tentang rahmat Tuhan yang tercurah kepada semesta alam. Setiap detailnya, dari kemurnian nasab hingga keajaiban yang menyertainya, adalah penegasan bahwa peristiwa saat Nabi Muhammad dilahirkan merupakan titik balik peradaban, fajar baru bagi kemanusiaan yang menandai dimulainya babak terakhir dari petunjuk ilahi untuk seluruh umat manusia.

🏠 Homepage