Filsafat Islam merupakan tradisi intelektual yang kaya, berakar pada wahyu ilahi (Al-Qur'an dan Sunnah) namun berinteraksi secara dinamis dengan pemikiran Yunani kuno. Inti dari setiap perenungan filosofis terletak pada tiga cabang utama: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga pilar ini membentuk kerangka kerja yang digunakan para filsuf Muslim—mulai dari Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, hingga Ibnu Rusyd—untuk memahami realitas, batas pengetahuan, dan tujuan hidup yang bernilai.
Ontologi dalam filsafat Islam adalah studi tentang hakikat keberadaan (being). Pertanyaan fundamentalnya adalah: "Apa yang ada?" dan "Apa sifat dasar dari realitas?". Dalam pandangan Islam, ontologi secara tegas berpusat pada konsep Tauhid—keesaan Tuhan. Realitas terbagi menjadi dua kategori utama: Realitas Absolut (Al-Haqq/Allah), yang eksis secara mandiri, kekal, dan merupakan sumber segala sesuatu; dan realitas relatif (makhluk), yang eksis karena diciptakan dan bergantung pada Keberadaan Absolut tersebut.
Para filsuf seperti Ibnu Sina mengembangkan hierarki eksistensi, membagi alam menjadi Wajib al-Wujud (Yang Wajib Ada) dan Mumkin al-Wujud (Yang Mungkin Ada). Struktur ontologis ini memastikan bahwa meskipun dunia empiris itu nyata, hakikat tertinggi dari realitas tetap bersifat transenden dan terpusat pada Sang Pencipta. Perdebatan mengenai keabadian jiwa dan alam juga merupakan bagian integral dari kajian ontologis ini.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas hakikat pengetahuan: bagaimana kita tahu apa yang kita tahu? Dalam konteks Islam, epistemologi sangat pluralistik. Filsuf Muslim mengakui beberapa sumber validitas pengetahuan yang saling melengkapi.
Pertama adalah indera (pengalaman empiris), yang diakui sebagai pintu gerbang awal. Kedua adalah akal (rasio), yang sangat dihargai, terutama oleh kaum rasionalis seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, yang melihat akal sebagai alat untuk memahami prinsip-prinsip universal. Ketiga, dan yang paling unik, adalah wahyu (naql). Pengetahuan yang bersumber dari wahyu dianggap tertinggi dan paling pasti karena berasal langsung dari sumber kebenaran.
Tujuan epistemologisnya adalah mencapai pengetahuan yang pasti (yaqin) tentang Tuhan dan alam semesta. Integrasi antara rasio dan wahyu (seperti yang dicari oleh Ibnu Rusyd dalam upayanya merekonsiliasi filsafat dan syariat) menjadi ciri khas epistemologi Islam.
Aksiologi berfokus pada nilai-nilai, etika, dan tujuan akhir dari kehidupan manusia. Jika ontologi bertanya "Apa itu ada?" dan epistemologi bertanya "Bagaimana kita tahu?", maka aksiologi bertanya, "Apa yang baik dan mengapa kita harus mengejarnya?".
Dalam filsafat Islam, nilai tertinggi (summum bonum) terikat erat dengan konsep kebaikan ilahi dan pencapaian kebahagiaan sejati (al-sa'adah). Kebahagiaan tertinggi bukanlah kenikmatan duniawi sesaat, melainkan kebahagiaan abadi yang dicapai melalui pengenalan (ma'rifah) terhadap Tuhan dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya.
Nilai-nilai etika, seperti keadilan (al-'adl), kebajikan, dan moralitas, dievaluasi berdasarkan kesesuaiannya dengan tatanan kosmik yang ditetapkan oleh Allah. Aksiologi ini berfungsi sebagai panduan praktis yang mengarahkan tindakan manusia (amal) sehingga perjalanan hidup mereka selaras dengan realitas ontologis dan mencapai validitas epistemologis.
Secara keseluruhan, ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam filsafat Islam tidak berdiri sendiri; mereka membentuk sebuah kesatuan organik. Realitas (ontologi) membentuk dasar dari apa yang bisa kita ketahui (epistemologi), dan pengetahuan yang benar tentang realitas tersebut menuntun kita pada tindakan yang bernilai dan bertujuan (aksiologi).