Memahami Pilar Ontologi Hukum Islam

Hukum Ilahi

Representasi simbolis dasar pemikiran hukum Islam.

Definisi dan Ruang Lingkup Ontologi

Dalam filsafat, ontologi adalah cabang yang mempelajari hakikat keberadaan atau realitas. Ketika konsep ini diterapkan pada ranah hukum, yaitu ontologi hukum Islam, ia berfungsi sebagai landasan metafisik yang mempertanyakan hakikat terdalam dari hukum itu sendiri dalam perspektif syariat. Pertanyaan fundamentalnya adalah: "Apa hakikat keberadaan norma hukum dalam Islam?"

Ontologi hukum Islam berupaya menentukan sumber otentik, validitas, dan sifat dasar dari aturan-aturan yang berasal dari wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah) serta bagaimana aturan tersebut berhubungan dengan realitas empiris kehidupan manusia. Hal ini berbeda dengan epistemologi (bagaimana hukum diketahui) atau aksiologi (nilai kegunaan hukum). Ontologi fokus pada 'being' atau eksistensi hukum itu sendiri.

Sumber Primer Keberadaan Hukum

Keberadaan hukum Islam secara ontologis terikat erat pada konsep Tauhid (Keesaan Tuhan). Hukum bukan hasil kreasi manusia semata, melainkan manifestasi dari kehendak dan kebijaksanaan Allah SWT. Sumber utama yang menjadi entitas eksistensial bagi hukum Islam adalah:

  1. Al-Qur'an: Sebagai kalamullah (firman Tuhan) yang merupakan sumber realitas tertinggi. Hukum yang eksplisit dalam Al-Qur'an memiliki status ontologis paling pasti.
  2. As-Sunnah: Penjelasan dan praktik dari Rasulullah SAW, yang memperkuat dan merinci realitas hukum yang termaktub dalam Al-Qur'an.

Kedua sumber ini membentuk fondasi di mana seluruh bangunan hukum Islam ditegakkan. Tanpa pengakuan atas validitas ontologis keduanya, bangunan fikih dan syariah akan kehilangan legitimasi esensialnya.

Peran Akal dan Ijtihad dalam Konstruksi Ontologis

Meskipun sumber primer adalah wahyu, diskursus ontologi hukum Islam juga melibatkan peran akal (rasio) manusia melalui proses ijtihad. Bagaimana akal berinteraksi dengan realitas hukum? Akal tidak menciptakan hukum dari ketiadaan, tetapi bertugas menemukan, memahami, dan menerapkan hukum Tuhan yang bersifat universal ke dalam konteks partikular manusia. Dalam pandangan ini, hukum Islam adalah entitas ganda: ada yang bersifat tsawabit (tetap/abadi, dari wahyu) dan ada yang bersifat mutaghayyir (berubah sesuai kondisi, hasil ijtihad).

Realitas hukum yang diciptakan melalui ijtihad (misalnya, dalam konteks maslahah mursalah atau qiyas) adalah realitas derivatif. Keberadaannya bergantung pada keberadaan hukum asal (nash). Oleh karena itu, ontologi hukum Islam sangat menekankan keteraturan dan hierarki, di mana kehendak Ilahi selalu menjadi dasar keberadaan hukum yang sah.

Tujuan Eksistensial Hukum Islam (Maqashid al-Shari'ah)

Ontologi tidak hanya berhenti pada 'apa' hukum itu, tetapi juga 'mengapa' hukum itu ada. Tujuan akhir eksistensi hukum Islam, sebagaimana dirumuskan dalam Maqashid al-Shari'ah (Tujuan-tujuan Syariah), adalah menjaga lima esensi dasar kehidupan manusia: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ini memberikan dimensi teleologis pada ontologi hukum Islam.

Jika suatu aturan hukum (apakah dari nash atau hasil ijtihad) terbukti tidak mendukung atau bahkan merusak salah satu dari lima kebutuhan primer ini, maka validitas ontologis penerapan aturan tersebut dalam konteks kekinian akan dipertanyakan. Jadi, eksistensi hukum yang benar adalah hukum yang mempromosikan kemaslahatan (kebaikan) universal berdasarkan kerangka syariah.

Kesimpulan Relevansi Kontemporer

Mempelajari ontologi hukum Islam sangat krusial di era modern. Ini membantu membedakan antara norma hukum yang fundamental dan tak berubah (prinsip-prinsip Tauhid dan keadilan) dengan metode penerapannya yang fleksibel (fikih kontemporer). Pemahaman ontologis yang kokoh mencegah sinkretisme ekstremis yang kaku terhadap teks tanpa melihat tujuan universalnya, sekaligus mencegah liberalisasi berlebihan yang mengabaikan sumber otoritatif yang memberikan keberadaan bagi hukum tersebut.

🏠 Homepage