Ilustrasi Keadilan dalam Pembagian Warisan
Ajaran Islam mengenai pembagian warisan atau faraid merupakan salah satu aspek penting dalam syariat Islam yang mengatur distribusi kekayaan setelah seseorang meninggal dunia. Tujuannya adalah untuk memastikan keadilan dan mencegah perselisihan antar ahli waris. Meskipun prinsip dasarnya sama, terdapat beberapa perbedaan pandangan dan interpretasi di antara empat mazhab fikih utama: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Perbedaan ini biasanya muncul pada detail-detail tertentu, bukan pada prinsip dasar pembagiannya.
Secara umum, pembagian warisan dalam Islam didasarkan pada dua konsep utama: ashabah (kerabat laki-laki yang memiliki hubungan nasab dengan pewaris yang berhak menerima sisa harta setelah ahli waris yang memiliki bagian pasti) dan dzawil furudl (ahli waris yang memiliki bagian pasti yang telah ditentukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah).
Mazhab Hanafi dikenal dengan pendekatannya yang terkadang cenderung kepada pendekatan 'ashabah bi al-nasab (kerabat laki-laki yang berhak mewarisi karena nasabnya). Dalam beberapa kasus, mereka memberikan prioritas yang lebih besar kepada kerabat laki-laki dalam mewarisi jika ada ambiguitas atau jika pembagiannya dirasa lebih adil menurut kaidah mereka. Salah satu perbedaan mencolok adalah pandangan mereka terhadap 'aul (penambahan pembilang pada bagian yang telah ditentukan ketika jumlahnya melebihi keseluruhan harta) dan radd (pengembalian sisa harta kepada ahli waris yang memiliki bagian pasti jika tidak ada 'ashabah). Mazhab Hanafi cenderung menolak konsep 'aul dan radd dalam beberapa kondisi tertentu yang berbeda dari mazhab lain.
Misalnya, dalam kasus warisan seorang suami yang meninggal, meninggalkan istri, ibu, dan dua anak perempuan, mazhab Hanafi mungkin memiliki cara perhitungan yang sedikit berbeda terkait siapa yang berhak menerima sisa harta jika ada.
Mazhab Maliki, yang berpusat di Madinah, memiliki pendekatan yang menekankan pada keadilan dan kemaslahatan umum. Mereka sering kali lebih fleksibel dalam menerapkan prinsip 'aul dan radd dibandingkan mazhab Hanafi. Mazhab ini juga sangat memperhatikan tradisi dan praktik yang berlaku di Madinah saat era sahabat dan tabi'in. Dalam beberapa situasi, ahli waris yang secara teori memiliki bagian lebih kecil bisa mendapatkan bagian lebih besar jika itu dianggap lebih sesuai dengan prinsip keadilan dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar.
Salah satu contoh khas adalah dalam kasus warisan seorang nenek. Mazhab Maliki memiliki pandangan yang lebih luas mengenai siapa saja yang bisa menjadi nenek waris dan bagaimana bagiannya ditentukan, terkadang dengan mempertimbangkan kedekatan nasab yang lebih jauh jika diperlukan.
Mazhab Syafi'i, yang didirikan oleh Imam Syafi'i, memiliki pendekatan yang sangat sistematis dan terstruktur dalam ilmu faraid. Mereka sangat mengutamakan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah secara tekstual dan rasional. Mazhab Syafi'i secara umum menerima konsep 'aul dan radd dengan penerapan yang jelas dan konsisten pada berbagai kasus. Mereka terkenal dengan metode perhitungan yang disebut 'ilmul faro'id yang telah dibukukan secara rapi.
Mazhab Syafi'i memiliki pandangan yang lebih ketat dalam menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan bagaimana pembagiannya, terutama terkait hubungan antara kerabat dari pihak ayah dan ibu. Mereka memprioritaskan 'ashabah dari pihak ayah dibandingkan dari pihak ibu jika ada.
Mazhab Hanbali, yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, adalah mazhab yang paling konservatif dalam interpretasi hukum Islam, termasuk dalam pembagian warisan. Mereka sangat berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah, serta ijma' (kesepakatan ulama). Mazhab ini umumnya sangat mirip dengan mazhab Syafi'i dalam banyak hal, termasuk penerimaan konsep 'aul dan radd.
Namun, dalam beberapa kasus yang sangat jarang atau spesifik, mazhab Hanbali mungkin memiliki pandangan yang sedikit berbeda yang didasarkan pada riwayat-riwayat hadits tertentu yang mereka pegang kuat. Mereka cenderung untuk berhati-hati dan menghindari interpretasi yang terlalu jauh dari teks-teks dasar.
Penting untuk dicatat bahwa perbedaan-perbedaan ini sering kali bersifat teknis dan tidak mengubah esensi keadilan dalam pembagian warisan menurut Islam. Dalam praktiknya, seorang muslim yang menghadapi persoalan warisan disarankan untuk berkonsultasi dengan ulama atau ahli hukum Islam yang memiliki pemahaman mendalam tentang berbagai mazhab. Hal ini demi memastikan bahwa pembagian warisan dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dapat mendatangkan keberkahan bagi seluruh ahli waris. Pemahaman yang baik tentang faraid akan membantu menjaga keharmonisan keluarga dan mencegah potensi sengketa di masa depan.