Simbolisisasi kondisi peperangan pada masa transisi kekhalifahan.
Masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib merupakan periode penting namun penuh gejolak dalam sejarah Islam. Tidak seperti dua khalifah sebelumnya yang memerintah dengan relatif damai di Madinah, masa kepemimpinan Ali ditandai oleh serangkaian konflik internal yang dikenal sebagai Fitnah Kubra (Fitnah Besar). Periode ini melibatkan peperangan saudara di antara umat Islam sendiri, sebuah fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam skala sebesar itu.
Ketika Ali diangkat menjadi khalifah keempat setelah pembunuhan Utsman bin Affan, ia menghadapi tantangan besar terhadap legitimasinya. Banyak tokoh terkemuka menuntut agar pembunuh Utsman segera diadili sebelum mereka bersumpah setia secara penuh. Ketegangan ini diperburuk oleh posisi Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam (Suriah), yang menolak mengakui kekhalifahan Ali sebelum keadilan ditegakkan atas kematian kerabatnya, Utsman. Permintaan Muawiyah ini menjadi titik awal bagi serangkaian peperangan yang akan mendefinisikan empat tahun masa jabatan Ali.
Konflik militer pertama yang dihadapi Ali adalah Perang Jamal, yang terjadi di Basra. Konflik ini melibatkan Ali melawan sekelompok sahabat senior, termasuk Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan yang paling signifikan, Aisyah binti Abu Bakar. Mereka berpendapat bahwa Ali tidak cukup tegas dalam menindak pelaku kekacauan yang menyebabkan pembunuhan Utsman. Meskipun Ali berusaha keras untuk mencegah pertumpahan darah, negosiasi gagal dan pertempuran tak terhindarkan. Nama "Jamal" (Unta) merujuk pada keberadaan Aisyah yang berada di atas unta selama pertempuran. Perang ini berakhir dengan kemenangan pihak Ali, meskipun dengan biaya sosial yang tinggi dan hilangnya nyawa beberapa sahabat terkemuka.
Setelah Perang Jamal, Ali mengalihkan perhatiannya ke Muawiyah di Syam. Pertemuan kedua belah pihak terjadi di Shiffin (sebuah wilayah di tepi Sungai Efrat). Perang di Shiffin berlangsung sengit selama berhari-hari. Ketika kekalahan Muawiyah tampak jelas, para pendukungnya—dipimpin oleh Amr bin Ash—menggunakan taktik politik cerdik dengan mengangkat mushaf (Al-Qur'an) di ujung tombak, menyerukan agar penyelesaian konflik diserahkan kepada Kitabullah.
Ali awalnya menolak taktik ini karena ia menganggapnya sebagai manuver politik untuk menghindari kekalahan militer, namun tekanan dari pasukannya sendiri memaksa ia menerima usulan arbitrasi (tahkim). Keputusan untuk menerima tahkim ini kemudian menjadi sumber perpecahan internal yang lebih besar, karena sekelompok pasukannya merasa Ali telah mengkhianati prinsipnya dan tidak seharusnya tunduk pada keputusan manusia selain Allah. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai Khawarij.
Ketidakpuasan terhadap keputusan tahkim menyebabkan perpecahan masif. Sekitar dua belas ribu tentara Ali meninggalkan barisannya sambil menyatakan, "Tidak ada hukum selain milik Allah." Kelompok ini, yang kemudian disebut Khawarij ("mereka yang keluar"), menjadi ancaman internal ketiga bagi kekhalifahan Ali.
Ali kemudian harus menghadapi mereka dalam Pertempuran Nahrawan. Meskipun secara militer Khawarij dapat dihancurkan dalam pertempuran ini, ideologi mereka menyebar luas, menargetkan Ali dan pengikutnya secara sporadis di berbagai wilayah.
Masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, meskipun singkat, penuh dengan ujian politik dan militer yang berat. Perang-perang tersebut bukan hanya tentang perebutan kekuasaan, tetapi juga tentang interpretasi keadilan, kepemimpinan, dan penegakan hukum Islam pasca-Wafatnya Nabi Muhammad SAW. Setiap konflik—Jamal, Shiffin, dan Nahrawan—menggarisbawahi betapa sulitnya menjaga persatuan umat ketika terjadi perbedaan pandangan mendalam mengenai masalah-masalah fundamental negara. Konflik-konflik ini akhirnya melemahkan posisi Ali dan berpuncak pada wafatnya beliau akibat pembunuhan oleh seorang Khawarij, mengakhiri era Khulafaur Rasyidin.