Perkataan Bijak Ali bin Abi Thalib Tentang Berharap pada Manusia

Ilustrasi Harapan dan Ketergantungan Ilmu Sumber Kekuatan Sejati

Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai salah satu figur intelektual paling mendalam dalam sejarah Islam. Kebijaksanaannya yang tertuang dalam banyak khotbah, surat, dan ucapannya telah menjadi sumber inspirasi bagi jutaan orang. Salah satu tema sentral dalam ajarannya adalah mengenai hakikat ketergantungan dan harapan manusia. Beliau secara konsisten menekankan bahwa sumber kekuatan sejati dan harapan tertinggi harus selalu diarahkan kepada Allah SWT, bukan kepada makhluk ciptaan-Nya.

Dalam konteks sosial yang seringkali penuh ketidakpastian, mengharapkan sesuatu yang abadi atau kesempurnaan dari manusia adalah resep menuju kekecewaan. Ali memahami betul sifat dasar manusia yang penuh kekurangan, mudah berubah, dan terbatas kemampuannya. Mengaitkan kebahagiaan atau solusi masalah hidup pada individu lain adalah tindakan yang rapuh.

"Janganlah engkau berharap (keselamatan atau pertolongan) dari manusia, karena sesungguhnya mereka adalah makhluk yang lemah, mudah lupa, dan memiliki kebutuhan atas dirinya sendiri."

Batasan Harapan pada Sesama Manusia

Perkataan Ali bin Abi Thalib ini bukan berarti mengajarkan sikap apatis atau anti-sosial. Sebaliknya, ini adalah pelajaran tentang realisme spiritual dan psikologis. Ketika seseorang menaruh harapan yang terlalu besar pada teman, pemimpin, atau bahkan kerabat, ada beberapa risiko yang selalu mengintai. Manusia bisa saja mengecewakan karena alasan yang tidak terduga: mereka bisa sakit, pergi, lupa akan janji, atau memiliki agenda tersembunyi yang tidak sejalan dengan harapan kita.

Harapan yang berlebihan pada manusia seringkali mengarah pada rasa kecewa yang mendalam ketika harapan itu tidak terpenuhi. Kekecewaan ini tidak hanya menyakitkan secara emosional tetapi juga mengalihkan fokus dari sumber daya yang sebenarnya kuat—yaitu, kekuatan batin yang didukung oleh keteguhan iman kepada Yang Maha Kuasa.

Mengapa Sumber Daya Harus Bersumber dari Ilahi

Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa hanya Allah SWT yang memiliki sifat Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Sempurna. Ketika seseorang menjadikan Allah sebagai sandaran utama, ia mendapatkan stabilitas emosional yang tidak tergoyahkan oleh pasang surut kehidupan duniawi. Jika manusia memberi, ia mungkin akan menagih; jika manusia menolong, ia mungkin akan berhenti. Namun, jika Allah yang menjadi tujuan harapan, janji pertolongan-Nya tidak pernah terputus selama seseorang berusaha dan berdoa dengan ikhlas.

"Sesungguhnya hati yang bergantung pada selain Allah, akan selalu dihantui oleh kekecewaan, dan jiwanya akan selalu merasa tertekan."

Implikasinya dalam kehidupan sehari-hari sangat besar. Dalam mencari pekerjaan, misalnya, seorang mukmin harus berusaha semaksimal mungkin (ikhtiar), tetapi hatinya harus bergantung kepada Allah (tawakkal). Jika ia ditolak, ia tidak akan jatuh dalam keputusasaan total karena ia tahu ada rencana yang lebih baik di sisi-Nya. Sebaliknya, jika harapan utama hanya tertumpu pada si pewawancara, penolakan sekecil apa pun bisa meruntuhkan semangat.

Keseimbangan dalam Interaksi Sosial

Memahami bahwa manusia terbatas tidak menghilangkan kewajiban untuk berbuat baik dan menjalin hubungan sosial yang harmonis. Kita harus tetap berinteraksi, bekerja sama, dan saling membantu. Namun, penting untuk membedakan antara "melakukan sebab" dan "menaruh harapan akhir". Kita boleh meminta tolong, tetapi kita tidak boleh menaruh 'nasib' kita sepenuhnya di tangan orang yang meminta pertolongan tersebut.

Ali mengajarkan bahwa harapan yang sehat adalah harapan yang diimbangi dengan kesadaran akan kelemahan manusia lain. Kita bergaul dengan mereka dengan kasih sayang dan keadilan, memberikan hak mereka, namun kita menjaga hati kita tetap teguh pada satu titik tujuan: keridhaan dan pertolongan dari Sang Pencipta. Pandangan ini memberikan kedamaian, karena kita tidak pernah benar-benar sendirian, meskipun seluruh dunia tampak berpaling. Ketergantungan tunggal kepada Allah membebaskan jiwa dari beban ekspektasi yang tidak realistis terhadap sesama.

Pada akhirnya, kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib mengingatkan kita untuk selalu menjaga perspektif. Manusia adalah sarana, bukan tujuan. Mereka adalah jembatan menuju kebaikan, tetapi bukan pelabuhan akhir dari segala harapan dan ketenangan hidup. Dengan menggeser fokus harapan dari yang fana kepada yang Baqa (kekal), kita menemukan fondasi yang kokoh untuk menghadapi segala tantangan kehidupan.

🏠 Homepage