Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu kesayangan Rasulullah ﷺ, dikenal sebagai salah satu sahabat yang paling mendalam pemahamannya terhadap ilmu kalam dan hakikat-hakikat agama. Salah satu topik yang sering ia bahas dengan penuh kebijaksanaan adalah mengenai konsep takdir atau qada dan qadar. Pemahaman Ali RA tentang hal ini selalu menekankan keseimbangan antara ketetapan mutlak Allah SWT dan tanggung jawab (ikhtiar) manusia.
Bagi Ali bin Abi Thalib, takdir bukanlah sekadar pembenaran untuk berdiam diri atau melepaskan tanggung jawab. Sebaliknya, ia melihat takdir sebagai kerangka universal di mana setiap peristiwa telah diatur oleh ilmu dan kehendak Allah yang maha luas. Namun, dalam bingkai kerangka tersebut, manusia diberi ruang gerak untuk berusaha, memilih, dan beramal.
Perkataan ini menunjukkan pemahaman dualitas yang sangat penting dalam teologi Islam. Tingkatan takdir yang tidak dapat diganggu gugat biasanya berkaitan dengan hal-hal yang mutlak menjadi kehendak Allah, seperti kematian, penciptaan, dan ketentuan akhir bagi setiap makhluk. Sementara itu, takdir yang bergantung pada usaha manusia (ikhtiar) adalah area di mana amal perbuatan, doa, dan pilihan moral kita memainkan peran aktif.
Ali RA sering kali menggunakan metafora untuk menjelaskan posisi manusia di hadapan takdir. Ia mengajarkan bahwa seorang mukmin harus bertindak seolah-olah semua hasil ada di tangan Allah, namun pada saat yang sama, ia harus bekerja keras seolah-olah tidak ada takdir yang menentukannya. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa iman kepada takdir yang benar justru mendorong kesabaran saat musibah datang dan mendorong kerja keras saat meraih kesuksesan.
Dalam sebuah riwayat lain, ketika Ali ditanya mengenai paksaan (jabar) dan kehendak bebas (ikhtiyar), beliau menegaskan bahwa manusia tidak dipaksa secara mutlak, namun juga tidak sepenuhnya merdeka tanpa batasan ilahi. Beliau menggambarkan bahwa keadaan manusia mirip dengan burung yang terkurung dalam sangkar yang sangat besar. Burung itu bebas terbang ke mana pun di dalam sangkar, namun ia tidak akan pernah bisa keluar dari batasan jeruji sangkarnya. Jeruji tersebut adalah batasan ketetapan Allah.
Inti dari ajaran Ali bin Abi Thalib tentang takdir adalah penyerahan diri total (tawakkal) setelah mengerahkan segala kemampuan. Ia mengajarkan bahwa keraguan terhadap takdir adalah bentuk kurangnya iman. Jika seseorang yakin bahwa kesulitan yang menimpanya adalah bagian dari rencana Allah yang lebih besar (meskipun tidak ia pahami saat itu), maka ia akan menghadapinya dengan ketenangan. Sebaliknya, jika ia berhasil, ia menyadari bahwa keberhasilan itu adalah karunia dari Allah, bukan semata-mata hasil kekuatan dirinya sendiri.
Pemikiran Ali RA mengenai takdir sangat berpengaruh dalam perkembangan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah, menekankan bahwa tauhid yang benar harus mencakup penegasan atas kekuasaan Allah yang mutlak seraya menghargai peran aktif manusia sebagai khalifah yang diberi akal dan kehendak terbatas untuk berbuat baik dan beramal saleh di muka bumi.