Simbol Kebijaksanaan dan Cinta dalam Ucapan Ali bin Abi Thalib
Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA, sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, dikenal tidak hanya sebagai panglima perang yang gagah berani, tetapi juga sebagai lautan ilmu dan hikmah. Kata-katanya yang tercatat dalam Nahj al-Balaghah dan berbagai riwayat lain seringkali menyentuh dimensi spiritual terdalam, termasuk mengenai konsep cinta.
Bagi Ali bin Abi Thalib, cinta bukanlah sekadar gejolak emosi sesaat. Ia adalah sebuah pondasi spiritual yang menghubungkan hamba kepada Sang Pencipta, dan kemudian memancar ke sesama makhluk. Cinta sejati, menurut pandangannya, selalu berorientasi kepada kebenaran (al-Haqq).
Ali membedakan secara tegas antara cinta yang mengikat jiwa pada kefanaan dunia (hubb al-dunya) dan cinta yang membebaskan jiwa menuju keabadian. Cinta dunia seringkali membutakan dan menjadi sumber segala kesalahan. Ia menekankan bahwa keterikatan berlebihan pada harta, jabatan, dan kesenangan fana adalah bentuk cinta yang keliru.
"Dunia ini adalah tempat persinggahan, bukan tempat tinggal abadi. Barangsiapa mencintai dunia, ia akan dicintai oleh dunia, dan akhirnya ia akan ditinggalkan oleh dunia ketika ia paling membutuhkannya."
Cinta kepada dunia membawa pada kesombongan dan kelalaian dari tujuan hakiki penciptaan manusia. Berbeda dengan itu, cinta yang sejati harus diarahkan kepada Allah SWT. Cinta inilah yang memberikan ketenangan dan menghilangkan ketakutan.
Salah satu manifestasi paling kuat dari cinta Ali adalah hasratnya yang tak pernah padam terhadap ilmu pengetahuan dan kebenaran. Beliau seringkali mengungkapkan bahwa mencari ilmu adalah bentuk ibadah tertinggi, yang didorong oleh kecintaan mendalam terhadap hikmah yang bersumber dari Allah.
Beliau menggambarkan keindahan ilmu dengan cara yang sangat puitis, seolah-olah ilmu adalah kekasih yang harus dikejar dengan segenap jiwa. Ketika membahas tentang penemuan hakikat, Ali menekankan bahwa mata hati harus terbuka melalui proses penyucian diri, yang juga merupakan bagian dari upaya mencintai kebenaran.
"Cinta kepada ilmu itu lebih mulia daripada cinta kepada harta benda, karena ilmu menjagamu, sedangkan harta benda harus kamu jaga."
Dalam konteks ini, cinta Ali terhadap ilmu adalah bentuk cinta filosofis dan spiritual—sebuah kerinduan abadi untuk memahami tatanan kosmos dan kehendak Ilahi.
Cinta Sayyidina Ali tidak hanya bersifat vertikal (kepada Tuhan) tetapi juga horizontal (kepada sesama manusia). Baginya, keadilan adalah puncak dari manifestasi cinta sosial. Seorang pemimpin yang mencintai rakyatnya harus menempatkan keadilan di atas segalanya, bahkan di atas kepentingan pribadinya.
Ali mewanti-wanti agar kebencian tidak boleh menguasai hati, bahkan terhadap musuh sekalipun, karena kebencian adalah penyakit yang merusak jiwa yang seharusnya dipenuhi cinta kasih universal.
"Jika engkau membenci sesuatu, jadilah moderatlah dalam kebencianmu, dan jika engkau mencintai sesuatu, jadilah moderatlah dalam cintamu. Cukup bagimu untuk membenci musuhmu dengan kadar yang wajar, dan cintai kawanmu dengan kadar yang wajar."
Pernyataan ini menunjukkan bahwa cinta dan benci harus dikelola dengan hikmah dan keseimbangan. Cinta yang berlebihan tanpa dasar kebenaran bisa menjadi bentuk penyembahan terhadap nafsu, sementara kebencian yang total akan menghilangkan potensi untuk berbuat adil.
Pada tingkatan sufistik, perkataan Ali tentang cinta seringkali merujuk pada kerinduan mendalam kepada Sang Kekasih Agung (Allah). Inilah puncak dari semua cinta—melepaskan segala ikatan duniawi demi penyatuan (atau kedekatan) dengan sumber segala kebaikan.
Cinta dalam pandangan ini menuntut pengorbanan total. Jiwa harus siap menanggalkan ego dan keinginan diri demi keridhaan-Nya. Ketika seseorang mencintai Allah dengan sejati, semua perbuatan dan pemikirannya akan selaras dengan kehendak-Nya. Ini adalah cinta yang mematikan kecintaan pada diri sendiri (fana) demi kekal dalam cinta Ilahi (baqa).
Oleh karena itu, warisan perkataan Sayyidina Ali tentang cinta mengajarkan kita bahwa cinta yang mulia adalah sebuah disiplin spiritual: disiplin untuk mengarahkan hati dari yang sementara menuju yang abadi, dari keramaian dunia menuju ketenangan batin yang hanya bisa ditemukan dalam ketaatan dan pengenalan sejati kepada Tuhan.