Pernikahan antara Sayyidah Fatimah az-Zahra, putri kesayangan Rasulullah ﷺ, dengan Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu beliau, adalah salah satu peristiwa paling monumental dan penuh berkah dalam sejarah Islam. Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan cerminan kesederhanaan, ketulusan, dan keteladanan spiritual yang mendalam.
Fatimah az-Zahra dikenal sebagai 'Sayyidatun Nisa' (Pemimpin Para Wanita) di zamannya. Beliau mewarisi akhlak mulia dari ayahnya, Rasulullah ﷺ, dengan sifat yang penyabar, zuhud (sederhana), dan sangat tawadhu (rendah hati). Sementara itu, Ali bin Abi Thalib adalah sosok pemuda pemberani, cerdas, dan sangat dekat dengan Nabi Muhammad ﷺ, yang sejak kecil dididik langsung di bawah naungan beliau.
Sebuah Pinangan yang Disaksikan Langit
Proses pinangan pernikahan ini sangatlah istimewa. Berbeda dengan pernikahan bangsawan pada umumnya, mahar (maskawin) pernikahan Fatimah dan Ali sangat sederhana. Ketika Ali memutuskan untuk meminang Fatimah, beliau tidak memiliki harta yang melimpah. Namun, niat tulusnya dan kedudukannya sebagai kerabat dekat Nabi menjadi penentu utama.
Rasulullah ﷺ sangat menyayangi Ali dan Fatimah. Ketika Ali mengajukan permohonan, Nabi ﷺ memberikan restu penuh. Mahar yang ditetapkan dikenal sebagai mahar yang paling berkah dalam sejarah Islam, yaitu bukan berupa harta yang besar, melainkan perlengkapan rumah tangga sederhana dan sejumlah perak yang digunakan untuk kemaslahatan umat atau sebagai modal awal kehidupan baru mereka.
Kesederhanaan mahar ini menjadi pelajaran penting bahwa pernikahan yang paling mulia didasarkan pada ketakwaan dan keserasian spiritual, bukan pada kemewahan materi. Kisah ini menunjukkan bahwa Allah memberkahi kesederhanaan yang dilandasi keikhlasan.
Pesta Pernikahan Penuh Berkah
Setelah akad nikah dilangsungkan, pesta pernikahan mereka juga berlangsung dalam suasana kesederhanaan yang penuh kegembiraan. Tidak ada pesta mewah yang menghamburkan harta. Rasulullah ﷺ sendiri yang mengatur segala sesuatu, memastikan bahwa hari bahagia putri dan menantunya itu menjadi momentum refleksi ketakwaan.
Diriwayatkan bahwa setelah pernikahan, Ali dan Fatimah memulai kehidupan rumah tangga mereka dengan segala keterbatasan. Rumah mereka seringkali sunyi dari kemewahan duniawi, namun dipenuhi dengan zikir, shalat malam, dan saling melayani. Keduanya adalah pasangan ideal yang saling mendukung dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Salah satu hal yang sering diceritakan adalah ketika malam pertama pernikahan mereka. Setelah prosesi sederhana, Ali dilaporkan masih ragu untuk mendekati istrinya karena rasa hormat yang mendalam kepada Fatimah dan perintah Rasulullah ﷺ untuk bersabar. Ketika Rasulullah ﷺ bertanya, Ali menjawab bahwa ia ingin malam pertama mereka didahului dengan shalat sunnah dua rakaat bersama, memohon berkah dari Allah SWT untuk kehidupan pernikahan mereka. Rasulullah ﷺ sangat terharu dan mendoakan mereka.
Teladan Kehidupan Rumah Tangga
Pernikahan Fatimah dan Ali menjadi miniatur ideal sebuah rumah tangga Muslim. Mereka menghadapi kemiskinan materi bersama-sama dengan sabar. Mereka saling mengutamakan kebutuhan pasangan di atas kebutuhan diri sendiri. Bahkan, dalam beberapa riwayat, ketika salah satu dari mereka memiliki sedikit makanan, ia akan mengutamakan pasangannya untuk makan terlebih dahulu.
Contoh nyata dari keteladanan mereka adalah kisah ketika mereka memiliki sesuatu yang bisa disedekahkan. Meskipun mereka sangat membutuhkan, ketika ada orang miskin datang meminta, mereka rela memberikan makanan terakhir yang mereka miliki, sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur'an tentang sifat orang-orang yang beriman. Kesetiaan, kasih sayang, dan kesamaan visi dalam beribadah adalah fondasi kuat yang mengikat mereka.
Kisah pernikahan Fatimah dan Ali mengajarkan kepada umat Islam bahwa pernikahan adalah ibadah yang memerlukan pengorbanan, kesabaran, dan orientasi akhirat. Warisan mereka tidak hanya berupa keturunan yang mulia (cucu-cucu Nabi), tetapi juga teladan dalam menjalani kehidupan duniawi dengan prinsip-prinsip spiritual tertinggi.