Dalam perjalanan hidup, manusia sering kali berhadapan dengan persimpangan antara rencana dan kenyataan. Ada asa yang dirajut, ada ikhtiar yang dijalankan, namun hasil akhir seringkali menjadi misteri yang tersimpan di balik tabir waktu. Di tengah ketidakpastian inilah, sebuah konsep fundamental dalam akidah Islam hadir sebagai pelita, penenang jiwa, dan kompas moral: iman kepada Qadar Allah. Frasa ini, yang sering terucap di lisan kaum Muslimin, memiliki kedalaman makna yang melampaui sekadar penerimaan pasif atas nasib. Ia adalah sebuah worldview, cara pandang yang utuh dalam memahami eksistensi, peran manusia, dan kedaulatan Tuhan yang mutlak.
Memahami Qadar Allah bukanlah sebuah ajakan untuk bermalas-malasan atau menyerah pada keadaan. Sebaliknya, pemahaman yang benar justru menjadi sumber kekuatan, optimisme, dan ketenangan yang luar biasa. Ia membebaskan jiwa dari belenggu kekhawatiran berlebih akan masa depan dan penyesalan mendalam atas masa lalu. Konsep ini mengajarkan bahwa setiap kejadian, baik yang tampak menyenangkan maupun yang terasa menyakitkan, berjalan di atas rel ketetapan Ilahi yang penuh dengan hikmah, keadilan, dan kasih sayang, meskipun terkadang akal manusia yang terbatas tidak mampu menyelaminya secara langsung.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam tentang hakikat Qadar Allah, menyingkap pilar-pilar fundamental yang menopangnya, menjernihkan kesalahpahaman umum mengenai hubungan antara takdir dan usaha manusia, serta merenungkan buah-buah manis dan hikmah yang dapat dipetik dari keimanan yang lurus terhadap salah satu rukun iman yang paling esensial ini. Dengan memahaminya, kita diajak untuk menavigasi kehidupan dengan hati yang tunduk, pikiran yang jernih, dan semangat yang tak pernah padam.
Definisi dan Makna Mendasar Qadar Allah
Untuk memahami konsep Qadar Allah secara komprehensif, penting bagi kita untuk membedah maknanya dari dua sisi: secara bahasa (etimologi) dan secara istilah (terminologi syar'i). Seringkali, istilah Qadar digunakan bersamaan dengan saudaranya, yaitu Qadha'. Keduanya saling berkaitan erat, laksana dua sisi dari mata uang yang sama, namun memiliki penekanan makna yang sedikit berbeda.
Secara bahasa, kata Al-Qadar (القدر) berasal dari akar kata Arab yang memiliki beberapa makna, di antaranya adalah "ukuran," "kadar," "ketentuan," atau "penetapan suatu batasan." Ini merujuk pada gagasan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini diciptakan dengan ukuran, kadar, dan spesifikasi yang presisi. Tidak ada yang terjadi secara acak atau kebetulan. Langit, bumi, peredaran bintang, hingga detak jantung seorang manusia, semuanya berjalan sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan.
Sementara itu, kata Al-Qadha' (القضاء) secara bahasa berarti "keputusan," "hukum," "ketetapan," atau "pelaksanaan." Ini merujuk pada eksekusi atau realisasi dari sesuatu yang sebelumnya telah diukur dan ditentukan. Jika Qadar adalah cetak biru (blueprint), maka Qadha' adalah proses konstruksi dan hasil akhir dari bangunan tersebut.
Secara istilah, para ulama mendefinisikan iman kepada Qadar Allah sebagai keyakinan yang teguh bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, telah menuliskan semua ketetapan itu di Lauh Mahfuzh, berkehendak atas terjadinya segala peristiwa, dan merupakan satu-satunya Pencipta atas segala yang ada, termasuk perbuatan makhluk-Nya. Definisi ini mencakup empat tingkatan atau pilar utama yang akan kita bahas lebih lanjut.
Iman kepada Qadar Allah adalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi, berada dalam pengetahuan, catatan, kehendak, dan ciptaan Allah Yang Maha Kuasa.
Perbedaan antara Qadha' dan Qadar sering menjadi bahan diskusi di kalangan ulama. Sebagian berpendapat bahwa Qadar adalah ketetapan azali (sejak zaman dahulu sebelum penciptaan) yang bersifat umum, sementara Qadha' adalah realisasi spesifik dari ketetapan tersebut di alam nyata. Contohnya, Allah menetapkan (Qadar) bahwa setiap makhluk hidup akan mati. Ketika seseorang meninggal pada waktu dan tempat tertentu, itulah yang disebut Qadha'. Namun, dalam penggunaan sehari-hari dan banyak teks syar'i, kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian untuk merujuk pada konsep takdir secara keseluruhan. Ketika salah satunya disebut, ia sudah mencakup makna yang lain. Yang terpenting adalah memahami esensinya: kedaulatan Allah yang absolut atas seluruh ciptaan-Nya.
Rukun-Rukun Iman kepada Qadar
Keimanan kepada Qadar Allah tidak akan sempurna kecuali dengan meyakini empat pilar atau tingkatan utamanya. Keempat rukun ini saling berkaitan dan membentuk sebuah bangunan keyakinan yang kokoh. Mengingkari salah satunya sama saja dengan meruntuhkan seluruh bangunan iman kepada takdir. Keempat rukun tersebut adalah:
1. Al-'Ilm (Pengetahuan Allah Yang Maha Meliputi)
Pilar pertama adalah keyakinan bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, tanpa terkecuali. Pengetahuan-Nya bersifat azali, abadi, dan absolut. Allah mengetahui apa yang telah terjadi di masa lalu, apa yang sedang terjadi saat ini, dan apa yang akan terjadi di masa depan. Lebih dari itu, ilmu Allah juga mencakup hal-hal yang tidak terjadi, Dia mengetahui bagaimana jadinya jika hal itu terjadi. Tidak ada satu pun daun yang gugur, setetes hujan yang jatuh, atau bisikan hati yang tersembunyi, melainkan semuanya berada dalam liputan ilmu-Nya yang sempurna.
Pengetahuan Allah tidak didahului oleh kebodohan dan tidak akan disusul oleh kelupaan. Ia tidak seperti pengetahuan makhluk yang terbatas, parsial, dan diperoleh melalui proses belajar. Ilmu Allah adalah sifat-Nya yang melekat pada Dzat-Nya. Keyakinan pada pilar ini menanamkan ketenangan bahwa tidak ada satu pun peristiwa dalam hidup kita yang luput dari pengawasan-Nya atau terjadi di luar pengetahuan-Nya. Semuanya berada dalam sebuah rancangan besar yang Maha Mengetahui.
2. Al-Kitabah (Pencatatan di Lauh Mahfuzh)
Pilar kedua adalah keyakinan bahwa Allah telah menuliskan takdir segala sesuatu di dalam sebuah kitab yang agung, yaitu Al-Lauh Al-Mahfuzh (Papan yang Terpelihara). Pencatatan ini terjadi jauh sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Berdasarkan hadits yang shahih, hal pertama yang Allah ciptakan adalah Al-Qalam (pena), lalu Allah memerintahkannya, "Tulislah!" Pena itu bertanya, "Wahai Rabb-ku, apa yang harus aku tulis?" Allah berfirman, "Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat."
Maka, sejak saat itu, pena tersebut telah menuliskan seluruh skenario alam semesta, dari penciptaan galaksi hingga nasib setiap individu, rezeki, ajal, amal perbuatan, kebahagiaan, dan kesengsaraannya. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam ini melainkan telah sesuai dengan apa yang tercatat di dalam kitab tersebut. Catatan ini bersifat pasti, detail, dan tidak akan pernah berubah. Pilar ini menegaskan betapa presisi dan teraturnya ciptaan Allah. Tidak ada yang terjadi secara acak atau tanpa perencanaan Ilahi.
3. Al-Masyi'ah (Kehendak Allah Yang Mutlak)
Pilar ketiga adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah atas kehendak (Masyi'ah) Allah. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Tidak ada satu gerakan atau diam pun di langit dan di bumi melainkan terjadi dengan izin dan kehendak-Nya. Kehendak Allah bersifat mutlak dan tidak dapat dihalangi oleh kekuatan apa pun.
Di sinilah para ulama membuat sebuah pembagian penting untuk membantu kita memahami isu-isu kompleks seperti adanya kejahatan atau kekafiran. Kehendak Allah terbagi dua:
- Al-Masyi'ah Al-Kauniyyah Al-Qadariyyah (Kehendak Universal): Ini adalah kehendak Allah yang mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik yang Dia cintai maupun yang Dia benci. Terjadinya iman dan kekafiran, ketaatan dan kemaksiatan, kesehatan dan penyakit, semuanya berada di bawah kehendak universal ini. Kehendak ini pasti terlaksana dan terkait dengan Rububiyyah (Ketuhanan) Allah sebagai Pengatur alam semesta. Allah mengizinkan terjadinya hal-hal yang Dia benci untuk sebuah hikmah yang lebih besar yang hanya Dia ketahui secara sempurna.
- Al-Masyi'ah Asy-Syar'iyyah Ad-Diniyyah (Kehendak Syariat): Ini adalah kehendak Allah yang berisi apa-apa yang Dia cintai dan ridhai. Kehendak ini termanifestasi dalam perintah dan larangan-Nya (syariat). Allah menghendaki seluruh hamba-Nya untuk beriman, taat, dan berbuat baik. Namun, kehendak syariat ini tidak selalu terjadi, karena manusia diberi pilihan. Orang yang taat berarti ia telah menyelaraskan pilihan bebasnya dengan kehendak syariat Allah, sekaligus terjadi karena kehendak universal Allah.
Memahami perbedaan ini sangat krusial. Kita tidak bisa beralasan melakukan maksiat dengan dalih "ini sudah kehendak Allah," karena meskipun benar itu terjadi atas kehendak universal-Nya, itu bukanlah sesuatu yang Dia cintai dan perintahkan (kehendak syariat-Nya).
4. Al-Khalq (Penciptaan Segala Sesuatu)
Pilar keempat dan terakhir adalah keyakinan bahwa Allah adalah Sang Pencipta (Al-Khaliq) atas segala sesuatu. Tidak ada pencipta selain Dia. Ini mencakup penciptaan Dzat, sifat, dan juga perbuatan makhluk. Allah menciptakan manusia, dan Dia pula yang menciptakan kemampuan, kehendak, dan perbuatan manusia itu sendiri. Sebagaimana firman-Nya, "Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat."
Pilar ini seringkali menjadi titik paling sulit untuk dipahami akal manusia, karena ia bersinggungan langsung dengan konsep pilihan bebas dan tanggung jawab. Jika Allah yang menciptakan perbuatan kita, mengapa kita dimintai pertanggungjawaban? Jawabannya terletak pada bagian selanjutnya, yaitu bagaimana Islam mengharmonisasikan antara takdir yang mutlak dengan ikhtiar manusia.
Ikhtiar Manusia dan Takdir: Sebuah Harmoni, Bukan Kontradiksi
Salah satu kesalahpahaman terbesar mengenai Qadar Allah adalah anggapan bahwa konsep ini meniscayakan fatalisme (paham jabariyah), yaitu keyakinan bahwa manusia laksana wayang yang tidak memiliki pilihan dan hanya digerakkan oleh dalang. Anggapan ini keliru dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang seimbang. Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak (iradah) dan kemampuan untuk memilih (ikhtiar) yang nyata, dan atas dasar pilihan itulah ia akan dihisab.
Harmonisasi antara kedaulatan Tuhan dan tanggung jawab manusia dapat dipahami melalui beberapa poin kunci:
Usaha (Ikhtiar) Adalah Bagian dari Takdir
Seringkali kita memposisikan usaha sebagai sesuatu yang berlawanan dengan takdir. Padahal, usaha yang kita lakukan itu sendiri adalah bagian dari takdir yang telah Allah tetapkan. Allah telah menetapkan sebab dan akibat. Untuk mendapatkan hasil (akibat), kita diperintahkan untuk menempuh jalan (sebab) yang telah ditetapkan. Hasil panen yang baik adalah takdir, dan usaha petani menanam benih, menyiram, dan memupuk juga merupakan bagian dari takdir yang membawanya kepada hasil tersebut.
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ruqyah yang kami gunakan untuk mengobati, obat yang kami gunakan untuk berobat, dan perlindungan yang kami gunakan untuk berlindung, apakah semua itu dapat menolak takdir Allah?" Beliau menjawab dengan tegas, "Itu semua adalah bagian dari takdir Allah." Hadits ini dengan jelas menerangkan bahwa ikhtiar kita untuk berobat, bekerja, atau belajar bukanlah upaya untuk melawan takdir, melainkan justru merupakan cara kita menjalankan takdir Allah.
Manusia Memiliki Kehendak dan Pilihan yang Sebenarnya
Setiap manusia secara fitrah dapat merasakan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk memilih. Anda bisa memilih untuk membaca artikel ini atau menutupnya. Anda bisa memilih untuk mengangkat tangan kanan atau kiri. Kehendak dan pilihan ini nyata, bukan ilusi. Namun, kehendak kita sebagai makhluk berada di bawah dan tidak akan keluar dari lingkup kehendak Allah sebagai Sang Pencipta. Pilihan yang kita buat, meskipun terasa bebas, pada hakikatnya telah diketahui, dituliskan, dan dikehendaki oleh Allah untuk kita pilih, tanpa ada paksaan yang menafikan kemampuan memilih kita.
Analogi sederhana: Seorang guru yang sangat mengenal muridnya tahu persis jawaban apa yang akan dipilih murid tersebut dalam ujian pilihan ganda. Pengetahuan guru tidak memaksa si murid untuk memilih jawaban itu. Murid itu memilihnya dengan kehendaknya sendiri. Tentu saja, ilmu Allah tidak bisa disamakan dengan ilmu makhluk, namun ini sekadar pendekatan untuk memahami bahwa pengetahuan azali Allah tidak menafikan pilihan hamba.
Tanggung Jawab Didasarkan pada Apa yang Dilakukan, Bukan Apa yang Ditakdirkan
Kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita pilih dan kerjakan, bukan atas dasar mengapa Allah menakdirkan kita melakukan hal tersebut. Allah telah memberikan kita akal untuk membedakan baik dan buruk, menurunkan para rasul dan kitab suci sebagai petunjuk, serta memberikan kemampuan untuk memilih jalan. Tugas kita adalah mengikuti petunjuk tersebut dengan segenap kemampuan. Kita tidak dibebani untuk mengetahui takdir ghaib kita. Kita hanya diperintahkan untuk beramal.
Ketika seseorang melakukan perbuatan dosa, ia melakukannya atas pilihan sadarnya sendiri. Ia merasakan kenikmatan dari maksiat tersebut dan memilihnya daripada ketaatan. Oleh karena itu, ia pantas mendapatkan hukuman. Sebaliknya, orang yang beriman dan beramal saleh, ia memilihnya dengan kesadaran dan merasakan ketenangan dalam ketaatan. Maka, ia pun pantas mendapatkan pahala. Keadilan Allah sempurna, Dia tidak akan menghukum seseorang atas sesuatu yang dipaksakan kepadanya.
Doa adalah Senjata Orang Beriman
Jika segalanya sudah ditakdirkan, lalu apa gunanya berdoa? Ini adalah pertanyaan yang sering muncul. Jawabannya, doa itu sendiri adalah bagian dari takdir. Allah mungkin telah menakdirkan seseorang akan mendapatkan sesuatu melalui perantaraan doanya. Doa adalah salah satu bentuk ibadah dan sebab terkuat untuk meraih kebaikan dan menolak keburukan. Rasulullah bersabda, "Tidak ada yang dapat menolak qadha' (ketetapan) kecuali doa."
Ini bukan berarti doa mengubah apa yang ada di Lauh Mahfuzh, melainkan ketetapan itu sendiri bisa jadi berbentuk bersyarat. Misalnya, "Si Fulan akan sakit, kecuali jika ia berdoa, maka ia akan sembuh." Maka, ketika ia berdoa, ia sedang menjalankan takdir yang membawanya kepada kesembuhan. Doa adalah wujud pengakuan akan kelemahan diri dan keyakinan akan kemahakuasaan Allah, sebuah esensi dari penghambaan.
Buah Manis Iman kepada Qadar Allah
Keimanan yang benar dan mendalam terhadap Qadar Allah akan membuahkan hasil-hasil positif yang luar biasa dalam kehidupan seorang Muslim, baik secara spiritual, psikologis, maupun dalam interaksi sosialnya. Ini bukan sekadar konsep teologis yang abstrak, melainkan sebuah keyakinan yang transformatif.
1. Ketenangan Jiwa dan Terbebas dari Kecemasan
Orang yang yakin bahwa segala sesuatu berjalan sesuai ketetapan Allah akan memiliki hati yang tenang. Ia tidak akan dilanda kecemasan berlebihan terhadap masa depan yang belum terjadi, karena ia tahu rezeki, jodoh, dan ajalnya sudah diatur oleh Yang Maha Bijaksana. Ia juga tidak akan tenggelam dalam penyesalan dan kesedihan yang mendalam atas apa yang telah luput darinya di masa lalu, karena ia paham bahwa apa yang menimpanya tidak mungkin meleset, dan apa yang luput darinya tidak mungkin menimpanya. Ini adalah resep paling mujarab untuk kesehatan mental dan kebahagiaan sejati.
2. Sumber Keberanian dan Keteguhan Hati
Iman kepada takdir menumbuhkan keberanian yang luar biasa. Seorang mukmin tahu bahwa tidak ada satu makhluk pun yang dapat memberinya manfaat atau mudarat kecuali dengan izin Allah. Ia tahu bahwa ajalnya telah ditetapkan dan tidak akan maju atau mundur sedetik pun. Keyakinan ini membuatnya berani dalam menyuarakan kebenaran, teguh dalam menghadapi tantangan, dan tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Ia akan fokus melakukan apa yang benar tanpa gentar terhadap ancaman dari makhluk.
3. Mencegah Sifat Sombong dan Angkuh
Ketika meraih kesuksesan, kekayaan, atau jabatan, orang yang beriman kepada Qadar Allah akan menyadari bahwa semua itu adalah karunia dan ketetapan dari Allah, bukan semata-mata karena kehebatan, kecerdasan, atau kerja kerasnya. Kesadarannya ini akan membuatnya senantiasa bersyukur dan rendah hati (tawadhu'). Ia tidak akan membanggakan dirinya di hadapan orang lain, karena ia tahu bahwa Allah-lah yang memberinya kemampuan dan kesempatan untuk berhasil. Sifat ini akan menjauhkannya dari jurang kesombongan yang membinasakan.
4. Menumbuhkan Sifat Sabar dan Ridha saat Tertimpa Musibah
Sebaliknya, ketika ditimpa musibah, kegagalan, atau kehilangan, imannya kepada takdir akan menjadi perisai yang melindunginya dari keputusasaan dan keluh kesah. Ia akan memandang musibah tersebut sebagai ujian dari Allah yang telah tertulis untuknya. Ia yakin bahwa di balik setiap ujian pasti ada hikmah dan kebaikan. Sikap ini akan melahirkan kesabaran yang indah (shabrun jamil) dan keridhaan terhadap ketetapan Rabb-nya, yang pada gilirannya akan mengangkat derajatnya dan menghapuskan dosa-dosanya.
5. Mendorong Semangat Bekerja dan Berusaha
Berbeda dengan anggapan keliru, iman kepada Qadar justru menjadi bahan bakar untuk terus berusaha dan berikhtiar. Karena ia tahu bahwa Allah telah menetapkan sebab-akibat, ia akan bersemangat menempuh sebab-sebab yang halal untuk mencapai tujuannya. Ia bekerja bukan karena ia yang menentukan hasil, tetapi karena bekerja adalah perintah Allah dan merupakan bagian dari takdir itu sendiri. Ia akan bertawakal, yaitu menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allah setelah melakukan usaha yang maksimal. Kombinasi antara ikhtiar yang gigih dan tawakal yang kuat adalah formula kesuksesan dunia dan akhirat.
6. Memurnikan Tauhid dan Ketergantungan Hanya kepada Allah
Puncak dari buah keimanan kepada takdir adalah pemurnian tauhid. Hatinya akan terbebas dari ketergantungan kepada makhluk. Ia tidak akan menggantungkan harapannya pada manusia, jimat, atau benda-benda keramat. Segala harap, cemas, dan tawakalnya hanya tertuju kepada Allah semata, Sang Penguasa dan Pengatur alam semesta. Inilah esensi dari kebebasan sejati, yaitu bebas dari penghambaan kepada selain Allah.
Menyingkap Hikmah di Balik Takdir yang Terasa Pahit
Akal manusia seringkali bertanya-tanya, jika Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, mengapa ada musibah, penyakit, kemiskinan, dan berbagai penderitaan di dunia? Mengapa Qadar Allah terkadang terasa begitu pahit dan menyakitkan? Pertanyaan ini wajar, namun jawabannya terletak pada keyakinan bahwa Allah adalah Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana). Setiap ketetapan-Nya, bahkan yang tampak buruk di mata kita, pasti mengandung hikmah yang agung.
Di antara hikmah di balik takdir yang pahit adalah:
- Sebagai Ujian Keimanan: Musibah adalah cara Allah untuk menguji dan membedakan antara hamba-Nya yang benar-benar beriman dengan yang imannya rapuh. Melalui ujian, kualitas iman seseorang akan terbukti dan derajatnya akan diangkat di sisi Allah.
- Sebagai Penggugur Dosa: Tidak ada satu pun duri yang menusuk seorang mukmin melainkan akan menjadi penggugur bagi dosa-dosanya. Rasa sakit, kesedihan, dan kesulitan yang dihadapi dengan sabar akan membersihkan catatan amalnya, sehingga ia dapat bertemu Allah dalam keadaan suci.
- Untuk Mengingatkan Manusia akan Kelemahannya: Seringkali saat berada dalam kenikmatan, manusia menjadi lalai dan sombong. Musibah datang untuk menyadarkannya akan hakikat dirinya yang lemah dan butuh kepada pertolongan Rabb-nya. Musibah mendorongnya untuk kembali, berdoa, dan merendahkan diri di hadapan Allah.
- Mencegah dari Musibah yang Lebih Besar: Terkadang, sebuah kesulitan kecil yang kita alami sesungguhnya adalah cara Allah melindungi kita dari malapetaka yang jauh lebih besar yang tidak kita ketahui. Kisah Nabi Musa dan Khidir dalam Al-Qur'an memberikan pelajaran berharga tentang hal ini.
- Untuk Menampakkan Nama dan Sifat Allah yang Indah: Tanpa adanya penyakit, bagaimana nama Allah Asy-Syafi (Yang Maha Menyembuhkan) akan termanifestasi? Tanpa adanya dosa, bagaimana sifat Allah Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) akan tampak? Adanya kekurangan dan kesulitan pada makhluk justru menampakkan kesempurnaan dan kekuasaan Sang Khaliq.
Memandang takdir dengan kacamata hikmah akan mengubah perspektif kita. Musibah bukan lagi akhir dari segalanya, melainkan sebuah babak dalam perjalanan menuju Allah yang sarat dengan pelajaran, pengampunan, dan pahala bagi mereka yang bersabar dan berprasangka baik kepada-Nya.
Sebagai kesimpulan, Qadar Allah adalah pilar akidah yang agung, sebuah samudra ilmu yang luas dan dalam. Memahaminya dengan benar adalah kunci untuk meraih ketenangan hakiki dalam mengarungi lautan kehidupan yang penuh gelombang. Ia bukanlah doktrin yang mengajak pada kepasrahan buta, melainkan sebuah panduan hidup yang komprehensif yang menyeimbangkan antara keyakinan pada kedaulatan Tuhan yang mutlak dengan kesadaran akan tanggung jawab manusia untuk berikhtiar. Dengan iman kepada Qadar, seorang mukmin akan berjalan di muka bumi dengan langkah yang mantap: kakinya menapak pada bumi ikhtiar, sementara hatinya bergantung di langit tawakal. Ia akan menjadi pribadi yang tegar saat diuji, bersyukur saat diberi nikmat, dan senantiasa optimis menatap masa depan, karena ia yakin bahwa pena takdir telah menuliskan yang terbaik untuknya, di bawah pengawasan Rabb Yang Maha Pengasih lagi Maha Mengetahui.