Qiyamuhu Binafsihi: Memahami Kemandirian Mutlak Allah SWT

Ilustrasi Abstrak Sifat Qiyamuhu Binafsihi Sebuah simbol geometris yang merepresentasikan kemandirian mutlak. Sebuah inti pusat yang kokoh memancarkan energi yang mengalir kembali ke dirinya sendiri, menandakan bahwa ia tidak memerlukan sumber eksternal. Ilustrasi Abstrak Sifat Qiyamuhu Binafsihi - Kemandirian Mutlak Allah.

Dalam samudra perenungan tentang hakikat ketuhanan, salah satu pilar utama yang menopang pemahaman kita tentang keagungan Allah SWT adalah sifat Qiyamuhu Binafsihi. Sifat ini, yang termasuk dalam dua puluh sifat wajib bagi Allah, merupakan sebuah konsep fundamental yang membedakan secara mutlak antara Sang Pencipta (Al-Khaliq) dengan ciptaan-Nya (makhluk). Memahami sifat ini bukan sekadar latihan intelektual dalam bidang akidah, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang mendalam untuk memurnikan tauhid, menumbuhkan rasa tawakal, dan membebaskan jiwa dari belenggu ketergantungan kepada selain Allah.

Manusia, sebagai makhluk, terlahir dalam kondisi yang serba bergantung. Kita bergantung pada udara untuk bernapas, pada makanan dan minuman untuk bertahan hidup, pada orang tua untuk tumbuh kembang, dan pada masyarakat untuk berfungsi secara sosial. Ketergantungan ini adalah fitrah dan keniscayaan bagi setiap entitas yang diciptakan. Tidak ada satu pun di alam semesta ini, dari partikel terkecil hingga galaksi terbesar, yang bisa berdiri sendiri tanpa ada sebab atau penopang keberadaannya. Lantas, bagaimana dengan Dzat yang menciptakan semua ini? Di sinilah letak keunikan dan kemahatinggian sifat Qiyamuhu Binafsihi.

Membedah Makna Qiyamuhu Binafsihi

Untuk memahami konsep ini secara utuh, kita perlu membedahnya dari dua sisi: etimologi (bahasa) dan terminologi (istilah dalam ilmu akidah).

Analisis Etimologis

Istilah Qiyamuhu Binafsihi (قِيَامُهُ بِنَفْسِهِ) berasal dari tiga kata dalam bahasa Arab:

Jika digabungkan, secara harfiah Qiyamuhu Binafsihi berarti "Berdiri-Nya dengan Dzat-Nya Sendiri". Makna literal ini sudah memberikan gambaran awal yang kuat tentang sebuah eksistensi yang tidak bersandar, tidak ditopang, dan tidak bergantung pada apa pun di luar Dzat-Nya.

Analisis Terminologis

Dalam terminologi ilmu kalam dan akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, makna Qiyamuhu Binafsihi diperluas menjadi dua konsekuensi logis yang tidak terpisahkan, yang menegaskan kemandirian absolut Allah SWT:

1. Allah SWT Tidak Membutuhkan Pencipta (Al-Muhdits) atau Sebab bagi Keberadaan-Nya.

Ini adalah aspek pertama dan yang paling fundamental. Keberadaan Allah bersifat Wajibul Wujud (Wajib Adanya). Artinya, eksistensi-Nya adalah sebuah keniscayaan mutlak yang tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak akan diakhiri oleh kebinasaan. Dia adalah Al-Awwal (Yang Maha Awal) tanpa permulaan dan Al-Akhir (Yang Maha Akhir) tanpa kesudahan. Berbeda secara total dengan makhluk yang bersifat Mumkinul Wujud (Mungkin Adanya), yang keberadaannya didahului oleh ketiadaan dan bergantung pada kehendak Sang Pencipta untuk mewujudkannya. Jika Allah membutuhkan pencipta lain, maka pencipta tersebut akan membutuhkan pencipta lainnya, dan begitu seterusnya, yang akan membawa kita pada sebuah kemustahilan logis yang disebut tasalsul (rantai sebab-akibat tanpa akhir). Akal sehat menolak hal ini dan menetapkan harus ada satu Sebab Utama yang tidak disebabkan oleh apa pun. Itulah Allah, Dzat yang Qiyamuhu Binafsihi.

2. Allah SWT Tidak Membutuhkan Tempat (Makan) atau Ruang (Jihah) untuk Berada, dan Tidak Membutuhkan Apapun dari Ciptaan-Nya.

Aspek kedua ini menegaskan bahwa kemandirian Allah tidak hanya dari segi asal-usul keberadaan, tetapi juga dalam keberlangsungan eksistensi-Nya. Dia tidak memerlukan ruang untuk menempati, karena ruang itu sendiri adalah ciptaan-Nya. Menisbatkan tempat bagi Allah adalah sebuah bentuk penyerupaan (tasybih) terhadap makhluk, karena hanya makhluk yang terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Allah ada sebelum tempat dan waktu diciptakan, dan Dia tetap seperti sedia kala setelah menciptakannya, tanpa berubah. Dia Maha Suci dari segala bentuk inkarnasi, penjelmaan, atau berada di dalam ciptaan-Nya. Begitu pula, Allah tidak membutuhkan ibadah, doa, ketaatan, atau apapun dari makhluk-Nya. Semua perintah dan larangan-Nya adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan makhluk itu sendiri, bukan karena Allah mendapatkan keuntungan atau menolak kerugian dari perbuatan mereka. Kekayaan-Nya bersifat mutlak dan tidak bertambah dengan ketaatan, serta tidak berkurang dengan kemaksiatan.

Dalil-Dalil yang Menguatkan Sifat Qiyamuhu Binafsihi

Keyakinan terhadap sifat ini tidaklah berdiri di atas asumsi kosong, melainkan ditopang oleh pilar-pilar argumentasi yang kokoh, baik melalui dalil akal (rasional) maupun dalil naqli (tekstual dari Al-Qur'an dan As-Sunnah).

Dalil Aqli (Argumentasi Rasional)

Akal manusia yang sehat, ketika digunakan untuk merenungi alam semesta, akan sampai pada kesimpulan tentang adanya Dzat Yang Maha Mandiri. Salah satu argumen klasik yang paling kuat adalah Argumen dari Kontingensi (Dalil Al-Imkan).

Logikanya berjalan sebagai berikut:

  1. Segala sesuatu yang kita amati di alam semesta ini (manusia, planet, bintang, atom) adalah entitas yang kontingen. Artinya, keberadaannya tidak mutlak; ia bisa ada dan bisa juga tidak ada. Keberadaannya bergantung pada faktor-faktor lain di luar dirinya. Sebuah pohon bergantung pada tanah, air, dan matahari. Manusia bergantung pada orang tua, oksigen, dan makanan.
  2. Rantai ketergantungan ini tidak mungkin berjalan mundur tanpa akhir (regressus ad infinitum). Jika A bergantung pada B, B bergantung pada C, C pada D, dan seterusnya tanpa henti, maka tidak akan pernah ada sesuatu pun yang benar-benar ada. Ini ibarat serangkaian gerbong kereta yang semuanya membutuhkan lokomotif untuk menariknya; jika tidak ada lokomotif di paling depan, seluruh rangkaian tidak akan pernah bergerak.
  3. Oleh karena itu, harus ada satu titik awal, satu "Penggerak yang Tidak Digerakkan" atau "Sebab yang Tidak Disebabkan". Harus ada satu Dzat yang keberadaan-Nya tidak kontingen, melainkan niscaya (necessary being). Keberadaan-Nya berasal dari Dzat-Nya sendiri, tidak bergantung pada apapun.
  4. Dzat yang memiliki keberadaan niscaya inilah yang kita sebut Allah. Sifat keberadaan-Nya yang niscaya dan tidak bergantung inilah esensi dari Qiyamuhu Binafsihi.

Logika ini menunjukkan bahwa kemandirian mutlak adalah prasyarat logis bagi eksistensi Sang Pencipta. Jika Tuhan masih membutuhkan sesuatu, maka Dia bukanlah Tuhan yang sebenarnya, melainkan hanyalah bagian lain dari rantai ciptaan yang kontingen.

Dalil Naqli (Argumentasi Tekstual)

Al-Qur'an sebagai firman Allah secara eksplisit dan implisit menegaskan sifat kemandirian-Nya yang absolut di banyak ayat. Ayat-ayat ini menjadi penegas dan penerang bagi apa yang telah ditunjukkan oleh akal sehat.

Salah satu dalil yang paling gamblang adalah firman-Nya dalam Surah Fatir:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

"Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan (fakir) kepada Allah; dan Allah, Dialah Yang Mahakaya (Al-Ghani), Maha Terpuji (Al-Hamid)."

QS. Fatir: 15

Ayat ini secara tegas memposisikan manusia (dan seluruh makhluk) sebagai al-fuqara' (jamak dari fakir), yaitu mereka yang secara esensial memiliki kebutuhan dan ketergantungan total kepada Allah. Sebaliknya, Allah diposisikan sebagai Al-Ghani, Yang Mahakaya. Kekayaan Allah di sini bukanlah kekayaan materi, melainkan kekayaan Dzat yang berarti ketidakbutuhan absolut terhadap apapun dan siapapun. Dia adalah sumber dari segala sesuatu, namun Dia sendiri tidak bersumber dari manapun.

Dalil agung lainnya terdapat dalam Ayat Kursi, yang disebut sebagai ayat teragung dalam Al-Qur'an:

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ

"Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup (Al-Hayy), Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya) (Al-Qayyum)."

QS. Al-Baqarah: 255

Nama Allah, Al-Qayyum, memiliki akar kata yang sama dengan Qiyam. Al-Qayyum memiliki dua makna yang saling melengkapi dan berhubungan erat dengan Qiyamuhu Binafsihi. Pertama, Dzat yang berdiri sendiri, tidak membutuhkan siapapun. Kedua, Dzat yang membuat segala sesuatu selain-Nya menjadi berdiri dan eksis. Dia yang menopang, mengurus, dan memelihara seluruh alam semesta tanpa merasa lelah atau sulit. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya Dzat-Nya yang mandiri, tetapi seluruh eksistensi alam semesta ini bergantung sepenuhnya pada-Nya setiap saat.

Surah Al-Ikhlas, yang merupakan intisari tauhid, juga merupakan penegasan sifat ini secara menyeluruh:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ‎﴿١﴾‏ اللَّهُ الصَّمَدُ ‎﴿٢﴾‏ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ‎﴿٣﴾‏ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ‎﴿٤﴾‏

"Katakanlah (Muhammad), 'Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu (Ash-Shamad). (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.'"

QS. Al-Ikhlas: 1-4

Kata Ash-Shamad dalam ayat kedua sering diterjemahkan sebagai "tempat bergantung". Makna yang lebih dalam adalah Dzat yang sempurna dalam segala sifat-Nya, kepada-Nya seluruh makhluk bergantung, sementara Dia tidak bergantung kepada siapapun. Ayat ketiga, "tidak beranak dan tidak pula diperanakkan," secara langsung menafikan segala bentuk ketergantungan genealogis. Dia tidak berasal dari sesuatu (diperanakkan) dan tidak membutuhkan penerus (beranak). Ini adalah penegasan mutlak akan kemandirian-Nya dari siklus eksistensi makhluk.

Ayat lain yang menguatkan adalah:

وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

"Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam."

QS. Al-'Ankabut: 6

Ayat ini kembali menegaskan bahwa segala amal perbuatan makhluk, bahkan yang paling mulia seperti jihad, tidak memberikan keuntungan apapun kepada Allah. Manfaatnya kembali kepada pelaku itu sendiri. Allah adalah Al-Ghani 'an al-'alamin, Yang Mahakaya dari seluruh alam, menegaskan kemandirian-Nya yang total dari segala ciptaan-Nya.

Implikasi Iman kepada Sifat Qiyamuhu Binafsihi

Mengimani sifat Qiyamuhu Binafsihi bukan sekadar pengetahuan kognitif, melainkan sebuah keyakinan yang seharusnya meresap ke dalam hati dan terefleksi dalam setiap aspek kehidupan seorang mukmin. Implikasi dari iman ini sangatlah luas dan mendalam, mengubah cara pandang kita terhadap Tuhan, diri sendiri, dan dunia.

1. Pemurnian Tauhid dan Penolakan Syirik

Inilah buah termanis dari pemahaman Qiyamuhu Binafsihi. Ketika kita meyakini bahwa hanya Allah yang berdiri sendiri dan segala sesuatu selain-Nya bergantung total pada-Nya, maka secara otomatis gugurlah potensi untuk menyekutukan-Nya. Syirik, pada hakikatnya, adalah memberikan atribut ketuhanan kepada selain Allah. Ini bisa berupa keyakinan bahwa ada makhluk (nabi, wali, jin, benda keramat) yang memiliki kekuatan independen untuk memberi manfaat atau menolak mudarat. Pemahaman yang benar akan kemandirian Allah akan memotong akar keyakinan syirik ini. Kita akan sadar bahwa tidak ada satu pun entitas di alam semesta yang memiliki daya dari dirinya sendiri; semua hanyalah saluran dari kekuasaan Allah yang mutlak. Doa, permintaan, dan pengharapan hanya akan tertuju kepada-Nya, Dzat Yang Maha Mandiri dan Pemilik segala-galanya.

2. Menumbuhkan Rasa Butuh (Iftiqar) yang Mendalam kepada Allah

Paradoksnya, menyadari kemandirian-Nya yang absolut justru melahirkan kesadaran akan kefakiran dan ketergantungan kita yang absolut. Semakin kita memahami betapa Allah tidak membutuhkan kita, semakin kita sadar betapa kita membutuhkan-Nya dalam setiap tarikan napas, setiap detak jantung, dan setiap kerlip pikiran. Perasaan ini akan melahirkan sikap rendah hati (tawadhu'), kepasrahan (taslim), dan ketergantungan total (tawakkul). Kita tidak lagi sombong dengan pencapaian kita, karena kita tahu itu semua terwujud hanya karena izin dan kekuatan dari-Nya. Kita juga tidak akan putus asa dalam kesulitan, karena kita tahu kita bersandar pada Dzat Yang Mahakaya dan Maha Kuasa, yang tidak pernah lemah atau berkurang kekayaan-Nya.

3. Membebaskan Jiwa dari Ketergantungan kepada Makhluk

Di dunia modern, banyak manusia yang diperbudak oleh ketergantungan kepada makhluk. Bergantung pada atasan untuk karir, bergantung pada pujian orang lain untuk validasi diri, bergantung pada harta untuk rasa aman, dan bergantung pada pasangan untuk kebahagiaan. Iman kepada Qiyamuhu Binafsihi menawarkan pembebasan sejati. Ketika hati telah bersandar pada Yang Maha Mandiri, ia tidak akan lagi mudah goyah oleh perubahan sikap makhluk. Kehilangan jabatan, harta, atau bahkan cinta manusia tidak akan menghancurkannya, karena sandaran utamanya adalah Dzat yang abadi dan tidak pernah berubah. Ini bukan berarti kita menafikan hubungan sosial atau usaha duniawi, tetapi meletakkan semua itu pada porsi yang sebenarnya: sebagai sarana (asbab), bukan sebagai tujuan atau sandaran hakiki.

4. Sumber Keberanian dan Ketenangan Sejati

Rasa takut seringkali muncul dari ketergantungan kita. Takut kehilangan apa yang kita miliki, takut tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Dengan menyandarkan hidup pada Allah yang Qiyamuhu Binafsihi, sumber ketakutan ini terkikis. Kita menjadi berani untuk menyuarakan kebenaran karena tidak takut pada ancaman makhluk. Kita menjadi tenang menghadapi masa depan karena kita yakin bahwa rezeki dan takdir kita ada di tangan Dzat Yang tidak pernah membutuhkan imbalan. Ketenangan (sakinah) sejati bukanlah berasal dari stabilnya kondisi eksternal, melainkan dari stabilnya sandaran hati kepada Allah, Sang Penopang Langit dan Bumi.

5. Melahirkan Ikhlas dalam Beramal

Jika Allah tidak membutuhkan apapun dari kita, lantas untuk apa kita beribadah? Pertanyaan ini dijawab dengan konsep ikhlas. Kita beribadah bukan karena Allah butuh disembah, tetapi karena kita sebagai hamba yang fakir butuh untuk menyembah-Nya. Ibadah adalah wujud syukur, pengakuan akan kehambaan, dan sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya demi kebahagiaan kita sendiri di dunia dan akhirat. Pemahaman ini memurnikan niat. Kita beramal bukan untuk mencari pujian manusia atau mengharap imbalan duniawi, karena semua itu adalah makhluk yang sama-sama bergantung. Kita beramal murni karena Allah, Dzat satu-satunya yang layak menjadi tujuan dari segala perbuatan.

Antitesis Qiyamuhu Binafsihi: Sifat Mustahil bagi Allah

Untuk mempertajam pemahaman, sangat penting untuk mengetahui kebalikan dari sifat ini, yaitu sifat yang mustahil bagi Allah. Kebalikan dari Qiyamuhu Binafsihi adalah Al-Iftiqar ila Gairihi (الافتقار إلى غيره), yang berarti "membutuhkan sesuatu selain Dzat-Nya". Sifat ini mustahil bagi Allah karena beberapa alasan logis:

Oleh karena itu, secara akal dan dalil, sifat membutuhkan sesuatu selain diri-Nya adalah sebuah kemustahilan absolut bagi Dzat Allah SWT.

Penutup: Manifestasi Keagungan dalam Kemandirian

Sifat Qiyamuhu Binafsihi bukanlah sekadar satu dari dua puluh sifat. Ia adalah gerbang utama untuk memahami keagungan, kemuliaan, dan kesempurnaan Allah SWT. Ia adalah garis demarkasi yang tegas antara Al-Khaliq dan makhluk. Di satu sisi, ada Dzat Yang Esa, Mandiri secara Absolut, Sumber dari segala eksistensi, Yang tidak tersentuh oleh kebutuhan, ruang, dan waktu. Di sisi lain, ada alam semesta dengan segala isinya, termasuk kita, yang serba fakir, terbatas, dan bergantung secara total kepada-Nya.

Merenungi Qiyamuhu Binafsihi adalah sebuah ajakan untuk melepaskan segala ilusi kemandirian diri dan mengakui posisi kita yang sebenarnya di hadapan-Nya. Dalam pengakuan akan ketergantungan total inilah terletak kemerdekaan jiwa yang sejati. Dalam penyandaran mutlak kepada Yang Maha Mandiri inilah ditemukan puncak ketenangan dan kekuatan. Semoga kita senantiasa dibimbing oleh-Nya untuk memahami sifat-sifat-Nya dengan benar, dan menjadikan pemahaman itu sebagai cahaya yang menerangi jalan hidup kita menuju keridhaan-Nya.

🏠 Homepage