Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu Nabi Muhammad SAW sekaligus menantu beliau, dikenal sebagai salah satu sumber hikmah dan kebijaksanaan terbesar dalam sejarah Islam. Perkataannya, yang sering kali tercatat dalam berbagai literatur, menunjukkan kedalaman pemahaman spiritual, keadilan sosial, dan pandangan filosofis yang tajam. Kata-kata Sayyidina Ali berkata sering kali menjadi rujukan utama bagi mereka yang mencari panduan moral dan etika dalam menjalani kehidupan.
Salah satu tema utama dalam ucapan beliau adalah pentingnya ilmu pengetahuan dan bagaimana ilmu tersebut harus diimbangi dengan amal. Beliau pernah mengatakan bahwa ilmu adalah harta yang tidak akan habis meski dibagikan, bahkan justru bertambah dengan berbagi. Sebaliknya, harta duniawi akan berkurang jika disebar. Hal ini menekankan nilai abadi dari pengetahuan dibandingkan dengan kesenangan fana.
Dalam urusan kepemimpinan dan sosial, Sayyidina Ali sangat menekankan tegaknya keadilan. Beliau melihat keadilan bukan sekadar sebagai kewajiban hukum, tetapi sebagai pilar utama tegaknya peradaban. Sebuah perkataan yang sering dikutip adalah bahwa keadilan adalah fondasi dari pemerintahan yang baik. Tanpa keadilan, kekuasaan akan runtuh, sehebat apa pun kekuatan yang dimilikinya.
Selain keadilan, amanah juga menjadi sorotan utama. Beliau mengingatkan umat manusia tentang bahaya mengkhianati kepercayaan yang diberikan. Bagi Ali, integritas pribadi adalah mata uang sosial yang paling berharga. Mengkhianati amanah, sekecil apapun, adalah bentuk kerusakan moral yang serius. Perspektif ini sangat relevan dalam konteks modern di mana kepercayaan publik sering diuji.
Banyak dari ajaran beliau berpusat pada pengendalian hawa nafsu dan ego. Beliau mengajarkan bahwa musuh terbesar seorang manusia bukanlah orang lain, melainkan dirinya sendiri—yaitu kecenderungan negatif yang ada dalam jiwa. Untuk mengatasi musuh internal ini, diperlukan kesabaran tingkat tinggi dan pengorbanan diri.
Perkataan ini menyoroti kedalaman psikologis dari ajaran beliau. Kesabaran bukan hanya tentang menanggung kesulitan (sabar atas yang tidak disukai), tetapi juga menahan diri dari godaan kenikmatan duniawi yang dapat menjauhkan seseorang dari tujuan spiritualnya (sabar menahan diri dari yang disukai). Ini menunjukkan bahwa perjuangan spiritual adalah perjuangan seumur hidup melawan dua sisi godaan.
Sayyidina Ali sering mendorong umat untuk senantiasa merenungkan hakikat kehidupan yang singkat ini. Beliau mengingatkan bahwa dunia hanyalah tempat persinggahan sementara, dan persiapan untuk kehidupan akhirat adalah tujuan utama. Oleh karena itu, setiap tindakan di dunia harus diperhitungkan seolah-olah itu adalah tindakan terakhir.
Beliau mengajarkan bahwa kekayaan sejati bukanlah jumlah harta yang dimiliki, melainkan kedekatan dengan Tuhan dan manfaat yang diberikan kepada sesama. Ketika seseorang mulai menyadari bahwa setiap nafas yang ditarik adalah kesempatan baru untuk berbuat baik, maka ia telah memahami inti dari ajaran Sayyidina Ali berkata. Ilmu yang tidak diamalkan adalah seperti pohon tanpa buah; indah dipandang namun tak memberikan manfaat nyata.
Oleh karena itu, warisan kata-kata beliau terus bergema, memberikan cahaya bagi mereka yang mencari petunjuk tentang bagaimana hidup adil, bijaksana, berilmu, dan selalu siap menghadapi hari penghitungan. Kearifan beliau adalah kompas moral yang relevan lintas generasi dan budaya.