Simbol kebijaksanaan dan cinta yang mendalam.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, dikenal sebagai gerbang ilmu dan lautan kearifan. Di antara banyaknya ajaran beliau yang termasyhur, pandangan beliau mengenai cinta memegang posisi sentral. Cinta yang diajarkan oleh beliau melampaui romantisme duniawi sempit; ia adalah sebuah dimensi spiritual yang mengarahkan jiwa menuju penciptanya.
Cinta Hakiki Melampaui Nafsu
Bagi Sayyidina Ali, cinta sejati dimulai dari pengenalan diri yang mendalam. Beliau mengajarkan bahwa sebelum mencintai yang lain, seseorang harus terlebih dahulu mencintai Allah (Al-Haqq). Cinta kepada Allah adalah fondasi yang memurnikan segala bentuk cinta lainnya. Jika cinta didasarkan pada nafsu atau kepentingan sesaat, ia akan mudah padam dan meninggalkan kekecewaan. Sebaliknya, cinta yang berakar pada ketuhanan akan tumbuh subur karena sumbernya abadi.
Kutipan ini secara tidak langsung menjelaskan prioritas cinta. Cinta duniawi, termasuk obsesi terhadap dunia atau bahkan cinta berlebihan kepada sesama tanpa menempatkan Allah di puncak, dianggap sebagai penghalang utama untuk mencapai kedamaian batin sejati. Cinta sejati menuntut pembebasan hati dari keterikatan duniawi yang fana.
Cinta Sebagai Jalan Menuju Persaudaraan
Dalam konteks hubungan antarmanusia, Sayyidina Ali menempatkan nilai tinggi pada cinta yang diejawantahkan dalam bentuk persaudaraan (ukhuwah). Cinta bukan hanya perasaan, melainkan tindakan nyata. Beliau menekankan pentingnya kasih sayang, empati, dan pengorbanan dalam membangun komunitas yang solid. Cinta kepada sesama Muslim adalah cerminan dari cinta kepada Allah, karena umat adalah manifestasi dari rahmat-Nya di bumi.
Pernikahan, misalnya, dipandang bukan sekadar penyatuan fisik, tetapi penyatuan ruhani yang harus dibalut dengan rasa hormat dan pengertian. Cinta dalam rumah tangga harus menjadi medan latihan kesabaran dan pengampunan, yang merupakan kualitas-kualitas yang dicintai Allah SWT. Jika cinta hanya didasarkan pada kecantikan fisik atau harta, hubungan tersebut akan rapuh saat ujian datang.
Perihal Kesetiaan dan Kesabaran dalam Cinta
Kisah hidup Sayyidina Ali dan Fatimah az-Zahra sering dijadikan teladan ideal. Cinta mereka adalah perpaduan antara gairah spiritual dan kesetiaan yang tak tergoyahkan. Sayyidina Ali mengajarkan bahwa cinta yang mendalam menuntut kesabaran luar biasa. Dunia akan selalu menguji ikatan yang ada—baik ujian kesenangan maupun kesulitan. Hanya cinta yang tulus yang mampu bertahan.
Filosofi ini menunjukkan bahwa cinta sejati selalu bersifat membangun dan menyembuhkan. Ketika kita mencintai seseorang, tanggung jawab kita adalah membantu mereka mendekat pada kebenaran, bukan menjatuhkan mereka karena kesalahan. Ini memerlukan lensa pandang yang lembut, seperti seorang tabib yang merawat pasiennya dengan penuh perhatian.
Menyeimbangkan Cinta Dunia dan Akhirat
Salah satu tantangan terbesar dalam memahami cinta menurut kearifan Ali adalah menyeimbangkan kecintaan pada dunia (yang halal) dan kecintaan pada akhirat. Beliau mengingatkan bahwa dunia adalah ladang tempat kita menanam amal, bukan tempat menetap. Mencintai dunia terlalu dalam akan membuat kita buta terhadap tujuan akhir kita.
Oleh karena itu, setiap cinta yang dirasakan—baik kepada pasangan, keluarga, sahabat, maupun dunia itu sendiri—harus diukur dengan standar akhirat. Jika cinta tersebut mendorong kita menjadi pribadi yang lebih baik, lebih dekat kepada Allah, dan lebih bermanfaat bagi sesama, maka itu adalah cinta yang diberkahi. Sebaliknya, cinta yang menjauhkan dari kewajiban ilahiah harus dikendalikan dan diarahkan kembali ke sumber utamanya. Kearifan Sayyidina Ali mengajarkan bahwa cinta terbesar adalah cinta yang menghubungkan jiwa dengan Keabadian.