Kota Pangkalpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, seringkali diasosiasikan dengan sejarah pertambangan timah yang masif. Namun, jauh sebelum era kolonialisme dan eksploitasi mineral modern, wilayah ini—termasuk pulau-pulau di sekitarnya—memiliki peran krusial dalam peta perdagangan Asia Tenggara kuno. Peran ini sangat erat kaitannya dengan kejayaan salah satu kerajaan maritim terbesar Nusantara: Sriwijaya.
Keterkaitan Sriwijaya dengan Bangka Belitung bukanlah sebuah hipotesis tanpa dasar. Berdasarkan catatan-catatan sejarah Tiongkok dan temuan arkeologis lokal, jalur pelayaran utama yang menghubungkan pusat kekuasaan Sriwijaya di Sumatra dengan Asia Timur pasti melintasi perairan sekitar Bangka. Pangkalpinang, dengan posisinya yang strategis di tepi Selat Bangka, berfungsi sebagai titik persinggahan, pelabuhan transit, atau bahkan pos pertahanan bagi armada Sriwijaya.
Meskipun struktur bangunan megah seperti yang ditemukan di Palembang jarang ditemukan di daratan Pangkalpinang (akibat sifat material yang mudah lapuk di lingkungan tropis dan perubahan garis pantai), bukti tidak langsung tetap kuat. Temuan-temuan keramik asing dari periode abad ke-7 hingga ke-13, yang merupakan masa puncak Sriwijaya, sering terungkap di pesisir Bangka. Keramik-keramik ini—baik dari Dinasti Tang maupun Song—menunjukkan bahwa kawasan ini adalah bagian integral dari jaringan perdagangan global yang dikendalikan oleh pusat Sriwijaya.
Dugaan kuat lain muncul dari nomenklatur dan legenda lokal. Nama tempat atau deskripsi rute pelayaran kuno seringkali merujuk pada istilah-istilah yang memiliki akar bahasa Melayu Kuno, bahasa yang menjadi lingua franca pada masa Sriwijaya. Para ahli epigrafi percaya bahwa kontrol atas Selat Sunda dan Selat Malaka—jalur vital yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan—mengharuskan Sriwijaya memiliki basis logistik yang kuat di sisi timur. Pangkalpinang (atau wilayah di sekitarnya) memenuhi syarat geografis tersebut.
Sriwijaya dikenal sebagai "Kerajaan Bahari" karena kekuatannya terletak pada penguasaan jalur laut dan komoditas laut. Meskipun Bangka tidak menghasilkan rempah-rempah utama seperti pala dan cengkeh (yang berasal dari Maluku), ia sangat penting sebagai pelabuhan pengumpul. Komoditas lokal seperti hasil hutan, logam mulia (termasuk timah yang mulai signifikan di kemudian hari), dan hasil perikanan akan dibawa ke pelabuhan transit di sekitar Pangkalpinang sebelum didistribusikan lebih lanjut ke pusat Sriwijaya.
Keberadaan pelabuhan yang aman adalah kunci stabilitas kerajaan. Pangkalpinang modern berdiri di atas fondasi sejarah maritim yang kaya. Hubungan ini bukan hanya soal politik, tetapi juga transmisi budaya. Agama Buddha Mahayana yang dianut oleh elite Sriwijaya kemungkinan besar juga menyebar melalui jaringan pelabuhan ini, mempengaruhi tradisi lokal sebelum akhirnya digantikan oleh Islam ratusan tahun kemudian.
Sayangnya, eksplorasi arkeologis mendalam terkait periode Sriwijaya di daratan Bangka masih memerlukan perhatian lebih serius. Sebagian besar penelitian terfokus pada situs-situs di Palembang atau Jambi. Namun, dengan perkembangan ilmu kelautan dan teknologi pemetaan bawah laut, ada harapan besar bahwa relik-relik kapal karam kuno yang membawa muatan dari atau menuju Sriwijaya dapat ditemukan di perairan Bangka.
Bagi Pangkalpinang hari ini, memahami koneksi historisnya dengan Sriwijaya adalah cara untuk mereklamasi identitas maritimnya. Ini adalah pengingat bahwa kota ini bukan sekadar kota timah, melainkan sebuah simpul penting yang pernah menjadi bagian dari jaringan perdagangan internasional tertua di Asia Tenggara. Warisan Sriwijaya di Pangkalpinang adalah warisan berupa penguasaan laut, diplomasi perdagangan, dan kemakmuran yang berbasis pada navigasi cerdas melintasi kepulauan. Menggali lebih dalam kisah Sriwijaya akan memperkaya narasi kota ini di mata dunia, menempatkannya kembali pada peta sejarah maritim Nusantara yang agung.
Pangkalpinang, dengan potensi alam dan sejarahnya yang terkubur, menunggu untuk menceritakan lebih banyak bab tentang bagaimana ia pernah menjadi titik vital bagi imperium Sriwijaya yang perkasa.