Sumber Kekecewaan Ali bin Abi Thalib dalam Lintasan Sejarah Islam

Jalan Perjuangan

Ilustrasi simbolis perjalanan hidup penuh tantangan.

Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, adalah salah satu tokoh sentral dan paling dihormati dalam Islam. Dikenal karena keberaniannya, ilmunya yang mendalam, dan kesetiaannya yang tak tergoyahkan kepada Islam, perjalanan hidupnya bukanlah tanpa kerikil tajam. Di balik keteguhan dan kebijaksanaannya, tersimpan lapisan sumber kekecewaan Ali bin Abi Thalib yang signifikan, terutama terkait dengan kepemimpinan umat setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Pergeseran Prioritas Kekhalifahan

Kekecewaan yang paling mendasar bagi Ali muncul segera setelah wafatnya Nabi. Dalam pandangan Ali dan banyak pengikutnya, ia telah dipersiapkan dan ditunjuk secara ilahi untuk melanjutkan kepemimpinan spiritual dan politik (Khilafah). Peristiwa di Saqifah Bani Saidah, di mana para sahabat memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq, merupakan titik balik emosional dan politis yang besar. Meskipun Ali akhirnya membaiat Abu Bakar, ia merasa bahwa haknya—dan apa yang dianggapnya sebagai mandat kenabian—telah diabaikan. Kekecewaan ini bukanlah penolakan terhadap otoritas Abu Bakar secara pribadi, melainkan keprihatinan mendalam atas proses suksesi yang menyimpang dari jalur yang seharusnya.

Konflik Internal dan Ketidakpercayaan

Selama masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan, Ali memilih untuk mendukung, namun ia sering kali berada dalam posisi yang menantang. Salah satu sumber kekecewaan Ali bin Abi Thalib adalah ketidakmampuannya untuk mencegah apa yang ia lihat sebagai penyimpangan dalam tata kelola pemerintahan atau penempatan posisi strategis kepada kerabat tertentu (seperti yang terjadi pada masa Utsman). Meskipun ia menahan diri dari konfrontasi terbuka untuk menjaga persatuan umat, ketidaksetujuannya sering kali menjadi beban batiniah.

Kekecewaan tersebut memuncak ketika ia akhirnya menjadi khalifah keempat. Ia mewarisi sebuah imperium yang dilanda perpecahan internal yang akut. Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman meninggalkan luka mendalam di tubuh negara Islam, dan Ali terpaksa menerima tampuk kepemimpinan dalam situasi yang sangat bergolak. Ia mengharapkan umat akan bersatu di bawah kepemimpinannya, tetapi yang ia hadapi adalah tuntutan balas dendam dan tuduhan yang mengarah kepadanya.

Tragedi Pertempuran Saudara

Sumber kekecewaan terbesar Ali terwujud dalam serangkaian konflik berdarah yang dikenal sebagai Fitnah Kubra, khususnya Pertempuran Jamal dan kemudian Pertempuran Shiffin. Bagi Ali, memerangi sesama Muslim adalah bencana spiritual dan politik. Ia tidak pernah menginginkan pertumpahan darah di antara umat yang seharusnya dipersatukan oleh Tauhid. Melihat sahabat-sahabat besar terbagi dan saling mengangkat pedang adalah penderitaan terbesar yang dialaminya.

Di Shiffin, perselisihan dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan berujung pada arbitrase (tahkim), sebuah keputusan yang dilihat oleh banyak pengikutnya sebagai kelemahan dan pengkhianatan terhadap prinsipnya. Kelompok Khawarij, yang semula adalah pendukung setianya, memisahkan diri karena keberatan terhadap tahkim ini. Melihat barisan pendukungnya sendiri tercerai-berai dan bahkan berbalik melawan, menambah kedalaman sumber kekecewaan Ali bin Abi Thalib.

Kekecewaan Terhadap Perubahan Karakter Umat

Selain isu politik dan suksesi, Ali juga menunjukkan kekecewaan yang mendalam terhadap perubahan moral dan spiritual umat Islam seiring dengan meluasnya kekuasaan. Ia sering mengeluh dalam khutbah-khutbahnya (yang tercatat dalam Nahj al-Balaghah) mengenai hilangnya semangat zuhud (kesederhanaan) dan ketamakan duniawi yang mulai merasuk ke dalam barisan Muslim. Ia merasa bahwa nilai-nilai kesederhanaan yang diajarkan Nabi perlahan terkikis oleh kemewahan dan perebutan kekuasaan duniawi.

Pada akhirnya, Ali bin Abi Thalib menjalani hidup sebagai pemimpin yang sangat dihormati namun juga sangat terbebani. Kekecewaan utamanya berasal dari kontradiksi antara idealisme Islam yang murni yang ia pegang teguh dan realitas politik yang keras dan sering kali penuh kompromi yang ia hadapi. Ia adalah simbol perjuangan mempertahankan kemurnian ajaran di tengah badai politik yang tak terhindarkan.

🏠 Homepage