Mengungkap Misteri: Di Kota Manakah Surah Al-Falaq Diturunkan?
Surah Al-Falaq, surah ke-113 dalam mushaf Al-Qur'an, adalah salah satu surah yang paling sering dibaca oleh umat Islam di seluruh dunia. Bersama dengan Surah An-Nas, ia dikenal sebagai Al-Mu'awwidzatain, dua surah perlindungan yang agung. Kalimat-kalimatnya yang singkat namun sarat makna menjadi benteng bagi seorang mukmin dari berbagai macam kejahatan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Namun, di balik keagungan dan popularitasnya, tersimpan sebuah diskusi menarik di kalangan para ulama tafsir: di kota manakah sebenarnya surah ini diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ? Apakah di Mekkah, pada periode awal dakwah yang penuh tantangan, atau di Madinah, pada periode pembangunan masyarakat Islam yang lebih stabil namun tidak luput dari ancaman?
Pertanyaan ini bukan sekadar keingintahuan geografis atau historis. Mengetahui periode turunnya sebuah surah (Makkiyah atau Madaniyah) membantu kita memahami konteks sosial, politik, dan spiritual saat wahyu tersebut diturunkan. Hal ini memberikan kedalaman pemahaman terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh Allah SWT. Mari kita selami lebih dalam perdebatan ilmiah ini untuk menemukan jawaban yang paling kuat berdasarkan dalil dan argumen para ulama.
Dua Pandangan Utama: Makkiyah atau Madaniyah?
Dalam ilmu Ulumul Qur'an, klasifikasi surah menjadi Makkiyah dan Madaniyah adalah salah satu cabang ilmu yang penting. Secara umum, surah Makkiyah adalah surah yang turun sebelum peristiwa Hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah, meskipun turunnya tidak di kota Mekkah sekalipun. Sebaliknya, surah Madaniyah adalah surah yang turun setelah Hijrah, sekalipun turunnya terjadi di kota Mekkah saat Fathu Makkah. Dalam kasus Surah Al-Falaq, terdapat dua pendapat utama yang masing-masing didukung oleh argumen yang kuat.
Pendapat Pertama: Surah Al-Falaq adalah Surah Makkiyah
Sebagian ulama, seperti Al-Hasan Al-Bashri, 'Atha, 'Ikrimah, dan Jabir bin Zaid, berpendapat bahwa Surah Al-Falaq dan An-Nas adalah surah Makkiyah. Argumen mereka didasarkan pada beberapa hal. Pertama, dari segi gaya bahasa dan tema. Surah-surah Makkiyah cenderung pendek, puitis, dan fokus pada tema-tema pokok akidah, seperti keesaan Allah, hari kebangkitan, dan perlindungan dari kekuatan gaib yang menjadi kepercayaan masyarakat Arab Jahiliyah saat itu. Surah Al-Falaq, dengan ayat-ayatnya yang ringkas dan fokus pada permohonan perlindungan kepada Allah dari berbagai kejahatan, sangat cocok dengan karakteristik surah Makkiyah.
Selain itu, perintah "Qul" (Katakanlah) yang mengawali surah ini juga sering ditemukan pada surah-surah Makkiyah. Perintah ini seakan-akan memberikan panduan dan kekuatan kepada Nabi ﷺ dan para pengikutnya yang saat itu minoritas dan sering mendapat tekanan fisik serta psikologis dari kaum Quraisy. Mengajarkan mereka untuk memohon perlindungan langsung kepada Rabbul Falaq (Tuhan yang menguasai subuh) adalah sebuah peneguhan iman yang sangat relevan dengan kondisi di Mekkah.
Pandangan ini menyiratkan bahwa sejak awal masa kenabian, Allah SWT telah membekali Rasulullah ﷺ dan umatnya dengan senjata spiritual paling ampuh untuk menghadapi segala bentuk ancaman. Di tengah kegelapan syirik dan kezaliman di Mekkah, surah ini hadir laksana fajar yang menyingsing, memberikan harapan dan ketenangan bahwa perlindungan sejati hanya datang dari Allah.
Pendapat Kedua: Surah Al-Falaq adalah Surah Madaniyah
Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk Ibnu Katsir, Imam As-Suyuthi, dan banyak ahli tafsir modern. Argumen utama yang mendukung pandangan ini sangat kuat dan bersandar pada riwayat Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) yang sangat spesifik dan masyhur. Riwayat ini, yang tercatat dalam berbagai kitab hadis dan tafsir, menceritakan sebuah peristiwa yang menimpa Rasulullah ﷺ di Madinah.
Kisah tersebut menyebutkan bahwa seorang Yahudi dari Bani Zuraiq bernama Labid bin al-A'sam, yang bersekutu dengan kaum munafik, melakukan sihir terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Ia menggunakan beberapa helai rambut Nabi yang rontok saat bersisir, lalu membuat sebelas ikatan atau buhul pada seutas tali. Setiap ikatan ditiup dan dimantrai, kemudian disembunyikan di dalam sumur tua bernama Dzarwan.
Akibat sihir ini, Rasulullah ﷺ merasakan sakit dan mengalami kondisi yang tidak biasa. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beliau merasa seolah-olah telah melakukan sesuatu padahal tidak, dan merasa lesu serta tidak bersemangat. Kondisi ini berlangsung selama beberapa waktu hingga suatu malam, dalam tidurnya, beliau didatangi dua malaikat (Jibril dan Mikail). Salah satunya bertanya, "Apa yang terjadi pada orang ini?" Yang lain menjawab, "Dia terkena sihir (Thubb)." Malaikat itu menjelaskan siapa yang menyihirnya, media apa yang digunakan, dan di mana sihir itu disembunyikan.
Setelah bangun, Rasulullah ﷺ mengutus beberapa sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib, untuk pergi ke sumur tersebut. Mereka menemukan bungkusan sihir itu, dan ketika dibawa ke hadapan Nabi, turunlah Surah Al-Falaq dan An-Nas, yang total berjumlah sebelas ayat (5 ayat Al-Falaq dan 6 ayat An-Nas). Setiap kali satu ayat dibacakan, satu ikatan pada tali itu terlepas, hingga pada ayat terakhir, semua ikatan terlepas dan Rasulullah ﷺ merasa sehat kembali seolah-olah baru terbebas dari belenggu.
Kisah yang sangat detail dan spesifik ini menjadi dalil utama yang menempatkan turunnya Surah Al-Falaq pada periode Madinah. Peristiwa ini menunjukkan betapa besar ancaman yang dihadapi oleh Nabi ﷺ bahkan setelah beliau memiliki kekuasaan dan komunitas yang kuat di Madinah. Ancaman tidak lagi hanya bersifat fisik dari musuh yang tampak, tetapi juga dari tipu daya tersembunyi seperti sihir dan kedengkian.
Menimbang Kedua Pendapat: Mana yang Lebih Kuat?
Meskipun kedua pendapat memiliki argumennya masing-masing, pendapat yang menyatakan Surah Al-Falaq adalah Madaniyah dianggap lebih rajih (kuat) oleh mayoritas ulama. Alasannya adalah adanya riwayat Asbabun Nuzul yang spesifik dan shahih. Dalam kaidah ilmu tafsir, riwayat sebab turun yang jelas dan otentik seringkali menjadi penentu utama dalam klasifikasi periode surah, bahkan jika gaya bahasanya mirip dengan surah dari periode lain.
Peristiwa sihir Labid bin al-A'sam adalah kejadian yang tercatat dengan baik dalam sejarah Islam dan terjadi pada periode Madinah. Turunnya Al-Mu'awwidzatain sebagai jawaban langsung dan penyembuh dari peristiwa tersebut menjadi konteks yang sangat kuat. Ini tidak menafikan bahwa esensi perlindungan dalam surah ini juga relevan untuk periode Mekkah, namun momen spesifik penurunannya terikat erat dengan kisah di Madinah.
Dengan demikian, kesimpulan yang paling dominan adalah Surah Al-Falaq diturunkan di kota Madinah. Penurunannya menjadi pelajaran abadi bagi umat Islam bahwa perlindungan Allah SWT mutlak diperlukan di setiap fase kehidupan, baik di saat lemah maupun di saat kuat, dari musuh yang terlihat maupun musuh yang tidak terlihat.
Tafsir Mendalam Ayat per Ayat Surah Al-Falaq
Terlepas dari perdebatan lokasi turunnya, keagungan Surah Al-Falaq terletak pada kedalaman makna di setiap ayatnya. Mari kita bedah satu per satu untuk memahami cakupan perlindungan yang dimohonkan di dalamnya.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
Ayat 1: "Katakanlah, 'Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar).'"
Ayat pertama ini adalah sebuah deklarasi dan perintah. Kata "Qul" (Katakanlah) adalah instruksi langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan melalui beliau kepada seluruh umatnya. Ini menunjukkan bahwa permohonan perlindungan bukanlah sekadar bisikan hati, tetapi sebuah ucapan yang harus dilisankan dengan penuh kesadaran dan keyakinan.
"A'udzu" (Aku berlindung) berasal dari kata 'adza-ya'udzu, yang berarti mencari suaka, perlindungan, dan penjagaan dari sesuatu yang ditakuti. Ini adalah pengakuan total atas kelemahan diri dan pengakuan atas kekuatan mutlak Sang Pelindung.
"Bi Rabbil-falaq" (Kepada Tuhan yang menguasai subuh). Mengapa Allah menggunakan sifat-Nya sebagai "Rabbul Falaq"? Kata "Al-Falaq" secara harfiah berarti "terbelah" atau "terpisah". Makna yang paling populer adalah fajar atau waktu subuh, yaitu ketika kegelapan malam terbelah oleh cahaya pagi. Ini adalah simbol yang sangat kuat. Sebagaimana Allah berkuasa membelah kegelapan malam yang pekat dengan cahaya fajar yang menenangkan, maka Dia juga Maha Kuasa untuk membelah segala kegelapan masalah, ketakutan, dan kejahatan yang menyelimuti hamba-Nya dengan cahaya pertolongan dan perlindungan-Nya. Meminta perlindungan kepada "Tuhan Penguasa Fajar" adalah sebuah optimisme bahwa setelah kesulitan pasti akan datang kemudahan, dan setelah kegelapan akan terbit terang.
مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
Ayat 2: "dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan,"
Ayat ini memperluas cakupan perlindungan. Setelah menyebut Sang Pelindung, kini disebutkan dari apa kita berlindung. "Min syarri ma khalaq" adalah sebuah permohonan perlindungan yang sangat komprehensif. "Syarri" berarti kejahatan atau keburukan, dan "ma khalaq" berarti apa saja yang Dia ciptakan. Ini mencakup segala potensi keburukan yang bisa datang dari seluruh makhluk ciptaan Allah.
Perlindungan ini meliputi:
- Kejahatan dari manusia: seperti perampokan, penganiayaan, fitnah, dan segala bentuk kezaliman.
- Kejahatan dari jin dan setan: seperti godaan, was-was, dan gangguan gaib lainnya.
- Kejahatan dari hewan: seperti binatang buas, serangga berbisa, atau hewan pembawa penyakit.
- Kejahatan dari benda mati: seperti bencana alam, api yang membakar, atau air yang menenggelamkan.
- Kejahatan dari dalam diri sendiri: yaitu dari hawa nafsu yang mengajak kepada keburukan dan dosa.
Ayat ini mengajarkan kita untuk mengakui bahwa kejahatan adalah bagian dari ujian di dunia ini yang bisa muncul dari mana saja, dan satu-satunya tempat berlindung yang aman adalah Allah SWT.
وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ
Ayat 3: "dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,"
Setelah menyebut kejahatan secara umum, Allah merincikan beberapa bentuk kejahatan yang spesifik dan seringkali menimbulkan ketakutan. "Ghasiqin idza waqab" merujuk pada kejahatan malam ketika kegelapannya telah pekat dan sempurna. Malam seringkali menjadi waktu yang menakutkan karena beberapa alasan. Kegelapan menyembunyikan banyak hal, memberikan kesempatan bagi para pelaku kejahatan untuk beraksi. Hewan-hewan buas dan berbisa banyak yang aktif di malam hari. Selain itu, malam juga identik dengan waktu di mana kekuatan-kekuatan gaib dan sihir lebih aktif bekerja.
Secara psikologis, kesendirian di malam hari bisa menimbulkan rasa cemas dan takut. Oleh karena itu, memohon perlindungan secara khusus dari kejahatan malam menunjukkan betapa Al-Qur'an memahami fitrah dan ketakutan manusia, serta memberikan solusi spiritual untuk mengatasinya.
وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
Ayat 4: "dan dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya),"
Inilah ayat yang paling spesifik merujuk pada Asbabun Nuzul surah ini. "An-naffatsati fil-'uqad" secara harfiah berarti para peniup (dalam bentuk feminin jamak) pada buhul-buhul atau ikatan-ikatan. Ini adalah gambaran praktik sihir yang umum dilakukan pada masa itu, di mana penyihir membuat simpul-simpul pada tali sambil meniupkan mantra dan niat jahat mereka pada setiap simpulnya. Penggunaan bentuk feminin ("para peniup wanita") bisa jadi karena praktik sihir pada zaman itu lebih banyak dilakukan oleh wanita, atau bisa juga merujuk pada jiwa-jiwa atau entitas jahat secara umum.
Ayat ini adalah penegasan dari Allah bahwa sihir itu nyata dan memiliki efek buruk. Namun, yang lebih penting, ayat ini juga menegaskan bahwa kekuatan sihir sebesar apapun tidak akan berdaya di hadapan perlindungan Allah SWT. Dengan membaca ayat ini, seorang mukmin sedang membangun benteng gaib yang tidak bisa ditembus oleh segala bentuk sihir, santet, atau guna-guna.
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
Ayat 5: "dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki."
Ayat terakhir ini menutup surah dengan permohonan perlindungan dari salah satu penyakit hati yang paling merusak: hasad atau dengki. "Hasidin idza hasad" berarti "orang yang dengki ketika ia mendengki". Hasad adalah perasaan tidak suka terhadap nikmat yang diterima orang lain dan berharap nikmat tersebut hilang darinya. Kedengkian bukan hanya perasaan, ia bisa termanifestasi menjadi tindakan nyata yang merugikan, seperti fitnah, ghibah (menggunjing), sabotase, bahkan kejahatan fisik.
Dengki juga merupakan sumber dari 'ain, atau pandangan mata jahat, yaitu pengaruh buruk yang timbul dari pandangan penuh kekaguman yang disertai rasa iri atau dengki, yang bisa menyebabkan orang yang dipandang jatuh sakit atau tertimpa musibah. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa 'ain itu nyata adanya. Ayat ini mengajarkan kita untuk berlindung kepada Allah dari tatapan mata dan niat buruk orang-orang yang menyimpan kedengkian di dalam hati mereka.
Keutamaan dan Praktik Al-Mu'awwidzatain dalam Kehidupan
Surah Al-Falaq dan An-Nas memiliki posisi yang sangat istimewa dalam tradisi Islam. Keduanya tidak terpisahkan dan seringkali diamalkan bersama-sama. Rasulullah ﷺ sangat menekankan pembacaan kedua surah ini dalam berbagai kesempatan, menunjukkan betapa pentingnya perlindungan yang terkandung di dalamnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Rasulullah ﷺ apabila hendak tidur, beliau akan meniupkan pada kedua telapak tangannya sambil membaca "Qul huwallahu ahad" (Surah Al-Ikhlas) dan Al-Mu'awwidzatain, kemudian mengusapkannya ke seluruh tubuh yang bisa dijangkau, dimulai dari kepala, wajah, dan bagian depan tubuhnya. Beliau melakukannya sebanyak tiga kali.
Selain itu, kedua surah ini juga merupakan bagian dari dzikir pagi dan petang yang dianjurkan. Membacanya di pagi hari akan memberikan perlindungan hingga petang, dan membacanya di petang hari akan memberikan perlindungan hingga pagi. Keduanya juga disunnahkan untuk dibaca setelah selesai shalat fardhu. Ini menunjukkan bahwa permohonan perlindungan adalah sesuatu yang harus terus menerus kita lakukan, setiap saat.
Al-Mu'awwidzatain juga merupakan ruqyah (metode penyembuhan dengan doa) yang paling utama. Ketika Rasulullah ﷺ sakit akibat sihir, Jibril meruqyah beliau dengan kedua surah ini. Ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa ketika kita atau keluarga kita merasakan sakit fisik, gangguan psikologis, atau hal-hal aneh yang tidak bisa dijelaskan, maka benteng pertahanan dan obat pertama yang harus kita ambil adalah kembali kepada kalamullah, khususnya Surah Al-Falaq dan An-Nas.
Kesimpulan Akhir
Meskipun terdapat perbedaan pendapat, dalil terkuat menunjukkan bahwa Surah Al-Falaq diturunkan di Madinah, sebagai respon langsung terhadap peristiwa sihir yang menimpa Rasulullah ﷺ. Penurunannya di Madinah, di saat komunitas Muslim sudah kuat, menjadi pengingat bahwa ancaman kejahatan, terutama yang bersifat tersembunyi seperti sihir dan dengki, akan selalu ada dan bisa menimpa siapa saja.
Lebih dari sekadar informasi historis, Surah Al-Falaq adalah anugerah tak ternilai dari Allah SWT. Ia adalah resep ilahi untuk ketenangan jiwa, benteng kokoh dari segala marabahaya, dan penawar ampuh dari berbagai penyakit lahir dan batin. Dengan memahami maknanya dan mengamalkannya secara rutin, seorang mukmin sedang membungkus dirinya dengan selimut perlindungan dari Tuhan Semesta Alam, Tuhan yang berkuasa membelah kegelapan dengan cahaya fajar, dan yang pasti akan membelah segala kesulitan kita dengan pertolongan-Nya.