Al-Qur'an adalah samudra tak bertepi yang setiap ayatnya mengandung lapisan-lapisan makna, hikmah, dan petunjuk. Salah satu surah yang ringkas namun sarat dengan makna historis dan spiritual adalah Surah An-Nasr. Surah ini, yang terdiri dari tiga ayat, merupakan salah satu surah terakhir yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, membawa kabar gembira sekaligus isyarat perpisahan. Fokus utama kita dalam artikel ini adalah untuk menyelami kedalaman ayat keduanya, sebuah ayat yang melukiskan pemandangan paling monumental dalam sejarah dakwah Islam.
Surah An-Nasr secara keseluruhan berbunyi:
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (1), dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah (2), maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat (3)."Ayat kedua, secara khusus, adalah puncak dari kabar gembira tersebut. Ayat ini bukan sekadar laporan, melainkan sebuah visualisasi agung dari buah kesabaran, perjuangan, dan doa selama lebih dari dua dekade. Mari kita bedah ayat ini kata demi kata untuk memahami keagungannya.
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا"Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah."
Analisis Lafaz per Lafaz: Membedah Kedalaman Makna
Setiap kata dalam Al-Qur'an dipilih dengan presisi ilahiah. Memahami makna dari setiap komponen ayat ini akan membuka cakrawala pemahaman yang lebih luas.
1. وَرَأَيْتَ (Wa ra'ayta) - Dan Engkau Melihat
Kata pertama, "Wa ra'ayta", secara harfiah berarti "dan engkau melihat." Kata ganti "engkau" (ta) di sini secara langsung ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah sebuah penglihatan yang dijanjikan, sebuah pemandangan yang akan disaksikan langsung oleh beliau. Penggunaan kata "ra'ayta" (melihat) di sini memiliki makna yang sangat kuat. Ini bukan sekadar "mendengar kabar" atau "mengetahui", melainkan menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Selama bertahun-tahun di Makkah, yang beliau lihat adalah penolakan, cemoohan, penganiayaan, dan penyiksaan terhadap para pengikutnya. Yang beliau saksikan adalah hijrahnya para sahabat ke Habasyah, pemboikotan total terhadap Bani Hasyim, hingga hijrah beliau sendiri ke Madinah. Pemandangan yang dominan adalah perjuangan dan penderitaan. Maka, janji untuk "melihat" sebuah pemandangan yang sebaliknya—kemenangan dan penerimaan massal—adalah sebuah peneguhan yang luar biasa dari Allah SWT. Ini adalah imbalan visual, sebuah kepuasan batin yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang paling sabar dan tabah.
Penglihatan ini juga bisa dimaknai lebih dalam, bukan hanya penglihatan fisik (ru'yah al-bashar), tetapi juga penglihatan hati (ru'yah al-bashirah). Beliau tidak hanya melihat orang-orang datang, tetapi beliau menyaksikan terbukanya hati-hati manusia, runtuhnya berhala-berhala kesombongan dalam jiwa mereka, dan terbitnya cahaya iman di wajah-wajah yang sebelumnya memusuhi. Ini adalah kesaksian atas kebenaran janji Allah yang telah beliau sampaikan selama ini.
2. النَّاسَ (An-Nāsa) - Manusia
Kata kedua adalah "An-Nāsa", yang berarti "manusia". Penggunaan kata ini, yang bersifat umum dan plural, sangatlah signifikan. Al-Qur'an tidak menyebut "orang-orang Arab" atau "suku Quraisy" saja, melainkan "manusia". Ini mengisyaratkan universalitas dari kemenangan Islam. Meskipun konteks historis awalnya adalah suku-suku di Jazirah Arab, pemilihan kata "An-Nāsa" memberikan dimensi yang melampaui ruang dan waktu. Ini adalah sinyal bahwa agama Allah ini bukan hanya untuk satu kaum, tetapi untuk seluruh umat manusia.
Pada masa itu, "An-Nāsa" yang dimaksud adalah berbagai kabilah dan suku yang sebelumnya ragu-ragu atau bahkan memusuhi Islam. Mereka menunggu hasil dari pertarungan kekuatan antara kaum Muslimin di Madinah dan kaum musyrikin Quraisy di Makkah. Bagi mereka, Makkah dan Ka'bah adalah pusat spiritual. Siapa pun yang menguasai Makkah dianggap sebagai pihak yang direstui oleh Tuhan. Ketika Fathu Makkah terjadi dan Nabi Muhammad ﷺ menaklukkan kota itu tanpa pertumpahan darah yang berarti, serta membersihkan Ka'bah dari berhala, itu menjadi bukti yang tak terbantahkan bagi suku-suku lain. Mereka berpikir, "Jika Muhammad mampu mengalahkan penjaga Ka'bah, maka dia benar-benar utusan Tuhan." Maka, "manusia" dari berbagai penjuru Jazirah Arab mulai berdatangan.
3. يَدْخُلُونَ (Yadkhulūna) - Mereka Masuk
Kata kerja "Yadkhulūna" berarti "mereka masuk". Bentuk kata kerja ini (fi'il mudhari') dalam bahasa Arab menunjukkan suatu perbuatan yang sedang atau akan terus berlangsung. Ini bukan bentuk lampau (fi'il madhi) yang menandakan peristiwa sesaat yang telah usai. Penggunaan bentuk ini menyiratkan bahwa proses manusia masuk ke dalam Islam adalah sebuah gelombang yang berkelanjutan. Ini dimulai setelah Fathu Makkah dan akan terus berlanjut.
Maknanya, kemenangan itu bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah era baru di mana pintu hidayah terbuka lebar. Orang-orang tidak hanya "telah masuk", tetapi "terus-menerus masuk". Ini adalah sebuah proses dinamis yang menggambarkan vitalitas dan daya tarik ajaran Islam setelah rintangan utamanya, yaitu kekuasaan politik Quraisy, berhasil disingkirkan. Ini juga menjadi kabar gembira bagi umat Islam di setiap zaman, bahwa pintu untuk masuk ke dalam agama Allah akan senantiasa terbuka dan orang-orang akan terus berdatangan kepadanya.
4. فِي دِينِ اللَّهِ (Fī Dīni-llāh) - Ke Dalam Agama Allah
Frasa "Fī Dīni-llāh" secara tegas menyatakan tujuan dari pergerakan massa tersebut: "ke dalam agama Allah." Penekanan pada "agama Allah" adalah hal yang krusial. Mereka tidak masuk ke dalam kekuasaan Muhammad, atau menjadi pengikut suku Bani Hasyim, atau bergabung dengan negara Madinah semata. Mereka masuk ke dalam sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan jalan ketundukan yang berasal dari Allah.
Ini membedakan penaklukan Islam dengan penaklukan lainnya dalam sejarah. Tujuannya bukanlah untuk menundukkan manusia kepada manusia lain, melainkan untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada selain Allah dan menuntun mereka kepada penyembahan hanya kepada Allah. Identitasnya jelas: ini adalah agama milik Allah, bukan ciptaan manusia. Hal ini menanamkan kesadaran tauhid yang murni, bahwa segala kemenangan dan pertolongan datangnya dari Allah, dan tujuan akhirnya adalah untuk menegakkan agama-Nya di muka bumi.
5. أَفْوَاجًا (Afwājā) - Berbondong-bondong
Kata terakhir dan mungkin yang paling kuat secara visual dalam ayat ini adalah "Afwājā". Kata ini adalah bentuk jamak dari "fauj", yang berarti sekelompok besar, rombongan, atau delegasi. "Afwājā" berarti kelompok demi kelompok, rombongan demi rombongan, atau berbondong-bondong. Kata ini melukiskan sebuah pemandangan yang spektakuler dan dramatis.
Bayangkan kontrasnya. Di awal dakwah di Makkah, orang masuk Islam satu per satu, sering kali secara sembunyi-sembunyi karena takut akan siksaan. Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir, Sumayyah, mereka adalah individu-individu pemberani yang harus menanggung derita luar biasa. Prosesnya sangat lambat dan penuh risiko. Selama 13 tahun di Makkah, jumlah pengikut Islam masih relatif sedikit.
Namun, setelah Fathu Makkah, situasinya berbalik 180 derajat. Bukan lagi individu yang datang, melainkan "afwājā". Seluruh suku, seluruh kabilah, datang dalam rombongan besar untuk menyatakan keislaman mereka di hadapan Rasulullah ﷺ. Sejarah mencatat periode setelah Fathu Makkah dikenal sebagai 'Ām al-Wufūd atau "Tahun Delegasi-delegasi". Delegasi dari suku Thaqif di Thaif, suku Tamim, suku-suku dari Yaman, dan berbagai penjuru Arabia datang ke Madinah. Mereka datang bukan karena paksaan pedang, melainkan karena melihat kebenaran yang nyata dan kekuatan moral yang tak terkalahkan dari Islam dan pemimpinnya. Kata "afwājā" adalah klimaks dari seluruh perjuangan dakwah, sebuah bukti nyata bahwa kesabaran dan keteguhan di jalan Allah akan membuahkan hasil yang melampaui ekspektasi manusia.
Konteks Historis: Fathu Makkah sebagai Titik Balik
Untuk sepenuhnya menghargai makna ayat ini, kita harus memahami peristiwa yang melatarbelakanginya, yaitu Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadan tahun ke-8 Hijriah dan merupakan momen paling menentukan dalam sejarah Islam.
Makkah bukan sekadar kota biasa. Ia adalah pusat spiritual, ekonomi, dan sosial Jazirah Arab. Di sanalah berdiri Ka'bah yang mulia. Suku Quraisy, sebagai penjaga Ka'bah, memiliki wibawa dan pengaruh yang sangat besar di mata suku-suku lainnya. Selama bertahun-tahun, permusuhan Quraisy menjadi penghalang terbesar bagi penyebaran Islam. Mereka secara aktif memerangi kaum Muslimin, mengusir mereka dari kampung halaman, dan memprovokasi berbagai peperangan seperti Badar, Uhud, dan Khandaq.
Perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-6 Hijriah menjadi langkah strategis yang brilian dari Rasulullah ﷺ. Meskipun beberapa pasalnya tampak merugikan kaum Muslimin, perjanjian ini secara de facto mengakui eksistensi negara Madinah dan menciptakan periode gencatan senjata. Periode damai ini memungkinkan dakwah Islam menyebar lebih luas tanpa intimidasi militer. Orang-orang bisa melihat ajaran Islam dan akhlak kaum Muslimin secara lebih objektif.
Namun, Quraisy melanggar perjanjian tersebut. Ini memberikan legitimasi bagi Rasulullah ﷺ untuk bergerak menuju Makkah. Beliau mempersiapkan pasukan terbesar yang pernah ada saat itu, sekitar 10.000 prajurit. Namun, tujuan utamanya bukanlah pertumpahan darah, melainkan penaklukan damai.
Ketika pasukan Muslim tiba di Makkah, para pemimpin Quraisy, termasuk Abu Sufyan yang paling getol memusuhi Islam, menyadari bahwa perlawanan sia-sia. Mereka takjub melihat kekuatan dan disiplin pasukan Muslim. Rasulullah ﷺ memasuki Makkah dengan penuh ketawadukan, kepala beliau tertunduk di atas untanya, sebagai tanda syukur kepada Allah. Beliau memberikan pengampunan massal kepada penduduk Makkah yang selama bertahun-tahun telah menyakiti beliau dan para pengikutnya. Beliau mengucapkan kalimat bersejarahnya, "Pergilah kalian semua, kalian bebas."
Momen inilah yang dimaksud dalam ayat pertama sebagai "pertolongan Allah dan kemenangan (al-fath)". Kemenangan ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi kemenangan moral dan spiritual. Akhlak mulia yang ditunjukkan Rasulullah ﷺ saat berada di puncak kekuasaan meruntuhkan sisa-sisa kesombongan di hati penduduk Makkah.
Setelah Makkah ditaklukkan dan Ka'bah disucikan dari 360 berhala di sekelilingnya, pesan yang diterima oleh seluruh Jazirah Arab menjadi sangat jelas. Penghalang utama telah sirna. Pusat spiritual telah kembali kepada ajaran tauhid. Inilah pemicu dari fenomena "afwājā". Kemenangan di Makkah membuka gerbang hidayah secara massal, dan pemandangan dalam Surah An-Nasr ayat 2 pun terwujud di dunia nyata.
Isyarat Tersembunyi: Tanda Selesainya Misi Kenabian
Di balik kabar gembira yang tersurat, ayat ini juga mengandung sebuah isyarat yang lebih dalam dan mengharukan. Isyarat ini dipahami secara brilian oleh para sahabat utama, terutama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abdullah bin Abbas.
Diriwayatkan bahwa ketika Surah An-Nasr turun, Rasulullah ﷺ membacakannya kepada para sahabat. Banyak di antara mereka yang bergembira, melihatnya sebagai janji kemenangan. Namun, Abu Bakar justru menangis. Ketika ditanya mengapa, beliau menjawab, "Ini adalah isyarat dekatnya ajal Rasulullah ﷺ."
Logikanya sederhana namun sangat mendalam. Misi utama seorang nabi adalah menyampaikan risalah dan menegakkan agama Allah. Ayat ini menggambarkan bahwa misi tersebut telah mencapai puncaknya. Kemenangan telah diraih, dan manusia telah menerima ajaran tersebut secara massal. Jika sebuah tugas telah paripurna, maka logisnya, sang utusan yang membawa tugas tersebut akan segera dipanggil kembali oleh Yang Mengutus.
Kecerdasan serupa juga ditunjukkan oleh Ibnu Abbas, yang saat itu masih sangat muda. Khalifah Umar bin Khattab pernah mengundangnya dalam majelis para sahabat senior dari Perang Badar. Sebagian dari mereka bertanya-tanya mengapa seorang pemuda diikutsertakan. Untuk menunjukkan keilmuan Ibnu Abbas, Umar bertanya kepada mereka semua tentang makna Surah An-Nasr. Sebagian menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampunan-Nya ketika kita diberi pertolongan dan kemenangan." Sebagian lagi diam.
Lalu Umar bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apa pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?" Ia menjawab, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah ﷺ yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda dekatnya ajalmu, maka 'bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya'." Umar pun berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui makna lain dari surah ini selain dari apa yang engkau katakan."
Pemahaman ini menjadikan ayat kedua Surah An-Nasr memiliki dua sisi. Di satu sisi, ia adalah puncak kegembiraan atas keberhasilan dakwah. Di sisi lain, ia adalah awal dari kesedihan karena akan segera berpisah dengan Sang Nabi tercinta. Ini mengajarkan kita bahwa dalam setiap puncak pencapaian, selalu ada kesadaran akan kefanaan dan kembalinya segala urusan kepada Allah.
Pelajaran dan Relevansi di Era Modern
Meskipun ayat ini turun dalam konteks spesifik, pesan dan hikmahnya bersifat abadi dan relevan bagi umat Islam di setiap zaman.
1. Optimisme dan Janji Kemenangan
Ayat ini adalah sumber optimisme yang tak pernah kering. Ia mengingatkan kita bahwa setelah masa-masa sulit, kesabaran, dan perjuangan, pertolongan Allah pasti akan datang. Kondisi umat Islam mungkin mengalami pasang surut, tetapi janji bahwa manusia akan terus berdatangan kepada "agama Allah" adalah sebuah keniscayaan. Ini mendorong kita untuk tidak pernah putus asa dalam berdakwah dan menyebarkan kebaikan, karena hasil akhirnya ada di tangan Allah.
2. Buah dari Kesabaran dan Akhlak Mulia
Fenomena "afwājā" bukanlah hasil dari satu malam. Ia adalah akumulasi dari 23 tahun kesabaran, ketabahan, pengorbanan, dan yang terpenting, akhlak mulia. Kemenangan Islam tidak diraih semata-mata dengan kekuatan militer, tetapi dengan kekuatan karakter dan moral. Pengampunan massal di Makkah adalah contoh paling gamblang. Dakwah yang paling efektif adalah dakwah bil hal (dengan perbuatan dan teladan). Ketika manusia melihat keindahan, keadilan, dan kasih sayang dalam Islam, hati mereka akan terbuka.
3. Hubungan Antara Kemenangan dan Kerendahan Hati
Surah ini tidak berhenti di ayat kedua. Justru, setelah menggambarkan kemenangan besar, ayat ketiga langsung memerintahkan, "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya." Ini adalah pelajaran paling penting. Puncak kesuksesan bukanlah waktu untuk berbangga diri atau sombong, melainkan waktu yang paling tepat untuk kembali kepada Allah. Kemenangan adalah murni pertolongan dari-Nya, bukan karena kehebatan kita. Oleh karena itu, respon yang tepat adalah memahasucikan-Nya (tasbih), memuji-Nya (tahmid), dan memohon ampunan-Nya (istighfar) atas segala kekurangan kita dalam berjuang. Ini adalah formula untuk menjaga agar kemenangan tidak menjadi sumber keangkuhan.
4. Universalitas Pesan Islam
Penggunaan kata "An-Nāsa" (manusia) terus menjadi pengingat bahwa Islam adalah rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam). Misi kita bukanlah untuk memaksakan, melainkan untuk menyampaikan dan menunjukkan keindahannya. Ayat ini memberikan keyakinan bahwa fitrah manusia, di mana pun mereka berada, akan selalu condong kepada kebenaran jika disajikan dengan cara yang hikmah dan baik. Gelombang "afwājā" terus berlanjut hingga hari ini dalam berbagai bentuk, di mana orang-orang dari berbagai latar belakang budaya dan bangsa menemukan kedamaian dalam Islam.
Kesimpulan: Sebuah Pemandangan Abadi
Surah An-Nasr ayat ke-2 adalah sebuah lukisan ilahiah yang merangkum esensi dari perjuangan dan kemenangan dakwah. Ia adalah potret agung yang menggambarkan transformasi luar biasa: dari penolakan individu menjadi penerimaan kolektif, dari perjuangan sembunyi-sembunyi menjadi kemenangan yang disaksikan seluruh dunia, dari kesabaran dalam penderitaan menjadi kebahagiaan melihat buah dari jerih payah.
Ayat "Wa ra'ayta an-nāsa yadkhulūna fī dīni-llāhi afwājā" bukan hanya catatan sejarah. Ia adalah sebuah janji, sebuah motivasi, dan sebuah pengingat abadi. Ia mengingatkan kita bahwa pertolongan Allah itu nyata, bahwa kesabaran akan selalu berbuah manis, dan bahwa tujuan akhir dari setiap perjuangan adalah melihat manusia kembali kepada Tuhan mereka dalam rombongan-rombongan yang dipenuhi cahaya hidayah. Dan ketika momen itu tiba, respon terbaik kita bukanlah euforia, melainkan sujud syukur, tasbih, dan istighfar, mengakui bahwa segala daya dan kekuatan hanyalah milik Allah semata.