Surah An-Nasr: Pertolongan, Kemenangan, dan Puncak Pengabdian

Di antara lembaran-lembaran suci Al-Quran, terdapat sebuah surah yang ringkas namun sarat dengan makna yang mendalam, sebuah surah yang menjadi penanda sebuah era baru dalam sejarah Islam. Surah ini dikenal dengan nama An-Nasr, yang berarti "Pertolongan". Bagi mereka yang bertanya, surah an nasr surah yang ke berapa dalam susunan mushaf Al-Quran, jawabannya adalah surah yang ke-110. Meskipun menempati urutan akhir, surah ini membawa kabar gembira yang luar biasa sekaligus isyarat perpisahan yang mengharukan.

Surah An-Nasr, yang tergolong sebagai surah Madaniyyah, diturunkan setelah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Mayoritas ulama berpendapat bahwa surah ini merupakan salah satu surah terakhir yang diwahyukan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai surah utuh terakhir yang turun kepada Rasulullah. Isinya yang padat merangkum esensi dari perjuangan dakwah selama lebih dari dua dekade: janji pertolongan Allah, realisasi kemenangan besar, dan respons yang seharusnya ditunjukkan oleh seorang hamba di puncak kejayaan.

Kaligrafi An-Nasr النصر Pertolongan dan Kemenangan

Artikel ini akan mengupas tuntas Surah An-Nasr, mulai dari teks dan terjemahannya, menyelami konteks historis turunnya (asbabun nuzul) yang terkait erat dengan peristiwa Fathu Makkah, hingga membedah tafsir mendalam dari setiap ayatnya. Kita juga akan menelusuri hikmah dan pelajaran agung yang terkandung di dalamnya, serta bagaimana surah ini menjadi pertanda akan berakhirnya tugas kenabian Muhammad SAW. Ini adalah perjalanan untuk memahami bahwa kemenangan sejati bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari puncak ketundukan dan rasa syukur kepada Sang Pemberi Kemenangan.

Teks Surah An-Nasr, Transliterasi, dan Terjemahan

Surah An-Nasr terdiri dari tiga ayat yang singkat. Namun, setiap kata di dalamnya memiliki bobot makna yang sangat besar. Berikut adalah bacaan lengkap surah ini.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1)

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2)

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)


Bismillahirrahmanirrahim

1. Idzaa jaa-a nashrullahi wal fat-h

2. Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillahi afwaajaa

3. Fa sabbih bihamdi rabbika wastaghfir-h, innahuu kaana tawwaabaa


Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,

2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,

3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.

Asbabun Nuzul: Konteks Sejarah Turunnya Wahyu

Untuk memahami kedalaman Surah An-Nasr, kita harus kembali ke salah satu momen paling monumental dalam sejarah Islam: Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah). Sebagian besar mufasir (ahli tafsir) sepakat bahwa surah ini turun berkaitan erat dengan peristiwa tersebut, baik sesaat sebelumnya sebagai kabar gembira, atau sesaat setelahnya sebagai konfirmasi dan arahan.

Latar Belakang Perjanjian Hudaibiyah

Kisah ini berawal dari Perjanjian Hudaibiyah, sebuah gencatan senjata yang disepakati antara kaum Muslimin Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah SAW dengan kaum Quraisy Mekkah. Perjanjian ini, meskipun pada awalnya tampak merugikan kaum Muslimin, sesungguhnya adalah sebuah "kemenangan yang nyata" (fathan mubina) sebagaimana disebut dalam Surah Al-Fath. Salah satu poin penting dalam perjanjian tersebut adalah kebebasan bagi suku-suku Arab untuk bersekutu dengan pihak mana pun yang mereka inginkan, baik dengan kaum Muslimin maupun Quraisy.

Suku Khuza'ah memilih untuk bersekutu dengan Rasulullah SAW, sementara suku Bani Bakr memilih berpihak pada kaum Quraisy. Selama beberapa waktu, perdamaian terjaga. Namun, dendam lama antara Bani Bakr dan Khuza'ah kembali tersulut. Dengan dukungan persenjataan dan personel dari beberapa tokoh Quraisy secara diam-diam, Bani Bakr menyerang suku Khuza'ah di malam hari, membunuh sejumlah orang dari mereka bahkan hingga ke area Tanah Haram yang suci.

Pelanggaran Perjanjian dan Persiapan Menuju Mekkah

Pelanggaran terang-terangan ini telah merusak Perjanjian Hudaibiyah. Perwakilan dari suku Khuza'ah segera berangkat ke Madinah untuk melaporkan pengkhianatan tersebut kepada Rasulullah SAW. Nabi Muhammad, sebagai pemimpin yang memegang teguh perjanjian, merasa sangat prihatin dan marah atas kezaliman yang terjadi. Beliau melihat ini sebagai momen di mana keadilan harus ditegakkan.

Rasulullah SAW kemudian mempersiapkan pasukan terbesar yang pernah dikumpulkan oleh kaum Muslimin saat itu, sekitar 10.000 orang. Persiapan dilakukan dengan sangat rahasia untuk memberikan efek kejut dan menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu. Tujuan utamanya bukanlah perang dan pembalasan, melainkan membebaskan Ka'bah dari berhala dan mengembalikan Mekkah sebagai pusat tauhid.

Momen Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah

Ketika pasukan Muslimin tiba di dekat Mekkah dan menyalakan api unggun yang tak terhitung jumlahnya di malam hari, kaum Quraisy terkejut dan menyadari bahwa perlawanan adalah hal yang sia-sia. Para pemimpin mereka, termasuk Abu Sufyan yang saat itu masih menjadi penentang utama, keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Melalui serangkaian peristiwa yang diatur oleh Allah, Abu Sufyan bertemu dengan paman Nabi, Al-Abbas, dan akhirnya dibawa ke hadapan Rasulullah SAW. Di sanalah, melihat keagungan dan kekuatan Islam, serta kelembutan Rasulullah, Abu Sufyan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Keesokan harinya, pasukan Muslimin memasuki Mekkah dari berbagai penjuru. Rasulullah SAW memberikan instruksi yang sangat jelas: jangan memerangi siapa pun kecuali mereka yang memulai perlawanan. Beliau juga mengumumkan jaminan keamanan bagi siapa saja yang berada di rumah Abu Sufyan, yang berada di dalam rumahnya sendiri dan mengunci pintu, atau yang berlindung di Masjidil Haram. Ini adalah strategi brilian untuk menenangkan penduduk dan mencegah kekacauan.

Rasulullah SAW memasuki kota dengan penuh ketawadukan, menundukkan kepalanya di atas untanya sebagai tanda syukur kepada Allah. Tidak ada arak-arakan kemenangan yang sombong. Beliau langsung menuju Ka'bah, membersihkannya dari 360 berhala yang selama ini disembah oleh kaum Quraisy. Sambil menghancurkan setiap berhala, beliau membacakan firman Allah:

"Dan katakanlah, 'Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.' Sungguh, yang batil itu pasti lenyap." (QS. Al-Isra': 81)

Pidato Kemaafan dan Dampaknya

Setelah membersihkan Ka'bah, Rasulullah SAW berdiri di hadapan penduduk Mekkah—orang-orang yang selama bertahun-tahun telah menganiaya beliau dan para pengikutnya, mengusir mereka dari kampung halaman, dan memerangi mereka. Mereka berkumpul dengan rasa cemas, menantikan keputusan nasib mereka. Rasulullah bertanya, "Wahai orang-orang Quraisy, menurut kalian apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?"

Mereka menjawab, "Yang baik. Engkau adalah saudara yang mulia, putra dari saudara yang mulia."

Maka, Rasulullah SAW memberikan jawaban yang terukir abadi dalam sejarah kemanusiaan, "Pergilah kalian semua, kalian bebas."

Tidak ada dendam, tidak ada pembalasan. Hanya ada ampunan dan rahmat yang agung. Kemenangan ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi kemenangan moral dan spiritual. Momen inilah yang menjadi konteks utama turunnya Surah An-Nasr. Kemenangan yang dijanjikan (`الْفَتْحُ`) telah tiba, dan pertolongan Allah (`نَصْرُ اللَّهِ`) terbukti dengan sangat nyata. Setelah peristiwa ini, orang-orang dari berbagai kabilah di seluruh Jazirah Arab melihat kebenaran Islam dan kemuliaan akhlak nabinya. Mereka pun datang berbondong-bondong untuk menyatakan keislaman mereka (`يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا`).

Tafsir Mendalam Ayat demi Ayat Surah An-Nasr

Setiap kata dalam surah ini dipilih oleh Allah dengan cermat dan mengandung lapisan makna yang sangat kaya. Mari kita bedah satu per satu.

Ayat 1: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"

Makna kata إِذَا (Idzaa)

Kata `Idzaa` dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Ini berbeda dengan kata `in` yang berarti "jika", yang mengandung kemungkinan terjadi atau tidak. Penggunaan `Idzaa` di awal surah ini memberikan penegasan bahwa pertolongan dan kemenangan dari Allah adalah sebuah keniscayaan, sebuah janji yang pasti akan ditepati. Ini memberikan optimisme dan kekuatan kepada kaum Muslimin di setiap zaman bahwa selama mereka berada di jalan yang benar, pertolongan Allah pasti akan tiba.

Makna نَصْرُ اللَّهِ (Nashrullah)

Kata `Nashr` berarti pertolongan, bantuan, atau dukungan yang membawa kemenangan. Namun, di sini kata tersebut disandarkan langsung kepada Allah (`Nashrullah`), yang berarti "pertolongan Allah". Ini adalah penekanan krusial. Kemenangan yang diraih bukanlah hasil dari kekuatan militer, strategi manusia, atau jumlah pasukan semata. Ia adalah murni anugerah dan intervensi ilahi. Ini mengajarkan pelajaran fundamental dalam akidah Islam: segala kekuatan dan keberhasilan berasal dari Allah. Manusia hanya berusaha, tetapi hasil akhir ada di tangan-Nya. Pertolongan ini bisa berwujud banyak hal: ditanamkannya rasa takut di hati musuh, datangnya bantuan yang tak terduga (seperti malaikat dalam Perang Badar), atau dibukakannya jalan keluar dari situasi yang paling sulit.

Makna وَالْفَتْحُ (Wal-Fath)

Kata `Al-Fath` secara harfiah berarti "pembukaan". Meskipun sering diterjemahkan sebagai "kemenangan", maknanya lebih luas dari sekadar kemenangan militer. `Fath` adalah terbukanya sesuatu yang sebelumnya tertutup. Dalam konteks ini, `Al-Fath` secara spesifik merujuk pada Fathu Makkah, yaitu terbukanya kota Mekkah bagi Islam. Kota yang tadinya menjadi benteng kesyirikan dan permusuhan kini terbuka untuk menjadi pusat tauhid. Namun, `Fath` juga berarti terbukanya hati manusia untuk menerima kebenaran, terbukanya pikiran dari kejahiliahan, dan terbukanya pintu-pintu dakwah ke seluruh penjuru dunia. Kemenangan di Mekkah bukan sekadar penguasaan teritorial, melainkan sebuah "pembukaan besar" yang memungkinkan cahaya Islam menyebar tanpa halangan berarti.

Ayat 2: وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"

Makna وَرَأَيْتَ (Wa ra'ayta)

Frasa ini berarti "dan engkau melihat". Khitab (sasaran pembicaraan) di sini ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah pengakuan atas perjuangan beliau, bahwa beliau akan menyaksikan dengan mata kepala sendiri buah dari kesabaran dan dakwahnya selama puluhan tahun. Namun, pesan ini juga berlaku umum bagi umatnya, bahwa dampak dari kemenangan sejati adalah sesuatu yang dapat disaksikan dan dirasakan secara nyata. Visi ini menjadi kenyataan pasca-Fathu Makkah.

Makna النَّاسَ (An-Naas) dan فِي دِينِ اللَّهِ (Fii diinillah)

Kata `An-Naas` berarti "manusia" secara umum. Ini menunjukkan universalitas pesan Islam. Bukan hanya orang Arab atau suku Quraisy, tetapi manusia dari berbagai kabilah dan latar belakang. Mereka masuk ke dalam `Diinillah` (agama Allah). Penyebutan "agama Allah" dan bukan sekadar "Islam" menekankan bahwa ini adalah satu-satunya sistem kehidupan yang diridhai oleh Sang Pencipta, sebuah jalan kembali kepada fitrah yang murni.

Makna أَفْوَاجًا (Afwaajaa)

Inilah kata kunci dari ayat kedua. `Afwaajaa` berarti "dalam kelompok-kelompok besar", "berduyun-duyun", atau "berbondong-bondong". Sebelum Fathu Makkah, orang-orang masuk Islam secara perorangan atau dalam kelompok-kelompok kecil, seringkali dengan sembunyi-sembunyi dan penuh risiko. Namun, setelah Mekkah sebagai pusat spiritual dan politik Arab takluk di bawah panji Islam, penghalang psikologis dan fisik terbesar telah runtuh. Kabilah-kabilah dari Yaman, Oman, Bahrain, dan berbagai penjuru Jazirah Arab mengirimkan delegasi mereka ke Madinah untuk menyatakan baiat (sumpah setia) kepada Rasulullah dan memeluk Islam. Tahun setelah Fathu Makkah bahkan dikenal sebagai "Tahun Delegasi" (`'Aam al-Wufud`) karena begitu banyaknya rombongan yang datang. Fenomena ini persis seperti yang digambarkan oleh kata `afwaajaa`.

Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."

Ayat terakhir ini adalah inti dari respons seorang mukmin terhadap nikmat terbesar. Ketika puncak kesuksesan telah diraih, ketika tujuan utama dakwah telah tercapai, apa yang seharusnya dilakukan? Bukan berpesta pora, bukan berbangga diri, bukan pula membalas dendam. Allah memberikan tiga arahan spesifik.

Arahan Pertama: فَسَبِّحْ (Fasabbih) - Bertasbihlah

Perintah pertama adalah `tasbih`. Tasbih berasal dari kata `sabaha` yang berarti menjauh. Secara istilah, tasbih berarti menyucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, atau sifat yang tidak layak bagi-Nya. Ketika meraih kemenangan, ada potensi besar bagi manusia untuk merasa sombong dan menganggap keberhasilan itu adalah karena kehebatan dirinya. Perintah untuk bertasbih adalah pengingat instan untuk menyingkirkan perasaan itu. Kemenangan ini terjadi bukan karena kekuatanmu, tetapi karena Allah Maha Suci dari kelemahan dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Ini adalah latihan kerendahan hati yang paling fundamental.

Arahan Kedua: بِحَمْدِ رَبِّكَ (Bihamdi Rabbika) - Dengan Memuji Tuhanmu

Tasbih diperintahkan untuk dilakukan bersamaan dengan `tahmid` (memuji). Jika tasbih adalah menafikan segala kekurangan dari Allah, maka tahmid adalah menetapkan segala pujian dan kesempurnaan bagi-Nya. `Bihamdi Rabbika` berarti "dengan memuji Tuhanmu". Kita menyucikan Allah (Subhanallah) sekaligus memuji-Nya atas segala nikmat dan karunia-Nya (Alhamdulillah). Gabungan keduanya (Subhanallahi wa bihamdihi) menjadi zikir yang sempurna sebagai ekspresi rasa syukur. Kita bersyukur atas nikmat pertolongan dan kemenangan yang telah Dia berikan. Ini adalah pengakuan bahwa semua kebaikan, semua kesuksesan, dan semua pujian hanya layak ditujukan kepada Allah, Sang Pemelihara (`Rabb`).

Arahan Ketiga: وَاسْتَغْفِرْهُ (Wastaghfirhu) - Mohonlah Ampun kepada-Nya

Inilah bagian yang paling mengejutkan dan mendalam. Di puncak kemenangan, setelah misi hampir tuntas, mengapa perintahnya adalah `istighfar` (memohon ampun)? Ini menunjukkan betapa luhurnya ajaran Islam.

Penutup Ayat: إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Innahu Kaana Tawwaabaa)

Surah ini ditutup dengan penegasan sifat Allah sebagai `At-Tawwab`, Yang Maha Penerima Tobat. Kata `Tawwab` adalah bentuk `mubalaghah` (superlatif) yang berarti Allah tidak hanya menerima tobat, tetapi senantiasa dan terus-menerus menerima tobat dari hamba-hamba-Nya, sebanyak apa pun kesalahan mereka, selama mereka kembali dengan tulus. Ini adalah sebuah pintu harapan yang terbuka lebar. Setelah diperintahkan untuk beristighfar, Allah langsung memberikan jaminan bahwa Dia pasti akan menerima permohonan ampun tersebut. Ini adalah pesan rahmat dan kasih sayang yang tak terbatas.

Isyarat Wafatnya Rasulullah SAW

Salah satu aspek paling menyentuh dari Surah An-Nasr adalah perannya sebagai `na'yu` (pengumuman tersirat) akan wafatnya Nabi Muhammad SAW. Meskipun tidak ada kata-kata eksplisit tentang kematian, tanda-tanda berakhirnya sebuah misi besar sangatlah jelas.

Diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih, Umar bin Khattab pernah mengundang Abdullah bin Abbas, yang saat itu masih sangat muda, untuk bergabung dalam majelis para sahabat senior dari kalangan veteran Perang Badar. Sebagian dari mereka merasa kurang nyaman dan bertanya, "Mengapa engkau mengundang anak ini bersama kami, padahal kami memiliki anak-anak seusianya?"

Umar menjawab, "Sesungguhnya ia adalah orang yang kalian tahu kedudukannya (dalam hal ilmu)." Kemudian pada suatu hari, Umar kembali mengundang Ibnu Abbas dan bertanya kepada para sahabat, "Apa pendapat kalian tentang firman Allah (Surah An-Nasr)?"

Sebagian dari mereka menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampun kepada-Nya apabila kita diberi pertolongan dan kemenangan." Sebagian yang lain diam tidak berkomentar.

Lalu Umar bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah demikian pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?"

Ibnu Abbas menjawab, "Tidak."

Umar bertanya lagi, "Lalu bagaimana pendapatmu?"

Ibnu Abbas menjelaskan, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang mana itu adalah tanda ajalmu (wahai Muhammad) telah dekat. 'Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.'"

Mendengar jawaban itu, Umar bin Khattab berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui dari surah ini kecuali apa yang engkau katakan."

Kisah ini menunjukkan kedalaman pemahaman Ibnu Abbas, sang "penerjemah Al-Quran". Logikanya sederhana: jika tugas utama seorang utusan adalah menyampaikan risalah hingga diterima secara luas (ditandai dengan kemenangan dan manusia masuk Islam berbondong-bondong), maka selesainya tugas tersebut berarti misinya di dunia telah berakhir. Hal ini juga dikuatkan oleh riwayat dari Aisyah RA, yang mengatakan bahwa setelah turunnya surah ini, Rasulullah SAW sering sekali membaca dalam ruku' dan sujudnya: "Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika, Allahummaghfirli" (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku), sebagai pengamalan dari perintah dalam surah ini.

Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surah An-Nasr

Meskipun konteks historisnya sangat spesifik, pelajaran dari Surah An-Nasr bersifat universal dan abadi bagi setiap Muslim di setiap waktu dan tempat.

1. Kemenangan Mutlak Milik Allah

Pelajaran pertama dan utama adalah atribusi kesuksesan. Setiap kemenangan, baik dalam skala besar seperti pembebasan sebuah kota, maupun dalam skala kecil seperti keberhasilan dalam pekerjaan atau studi, harus selalu dikembalikan kepada Allah. Konsep `Nashrullah` (pertolongan Allah) menanamkan keyakinan bahwa tanpa izin dan bantuan-Nya, tidak ada daya dan upaya yang akan berhasil. Ini membebaskan jiwa dari kesombongan dan keangkuhan.

2. Etika Menyikapi Kesuksesan

Surah ini memberikan formula tiga langkah yang sempurna untuk merespons nikmat keberhasilan:

Formula ini adalah resep anti-arogansi yang sangat manjur dan menjadi panduan bagi para pemimpin, pejuang, dan siapa saja yang meraih pencapaian dalam hidup.

3. Kemenangan Terbesar adalah Kemenangan Hati

Fathu Makkah bukanlah kemenangan balas dendam. Justru, ia adalah puncak dari kemenangan moral di mana rahmat dan ampunan mengalahkan kebencian. Rasulullah SAW mencontohkan bahwa tujuan akhir bukanlah menaklukkan musuh, melainkan memenangkan hati mereka dengan akhlak mulia. Ini mengajarkan bahwa dakwah yang paling efektif adalah dakwah bil hal (dengan perbuatan dan teladan).

4. Setiap Puncak adalah Pertanda Akhir

Kisah hidup manusia, organisasi, atau bahkan sebuah peradaban seringkali mengikuti siklus yang sama. Ada fase perjuangan, fase pertumbuhan, fase puncak, dan fase penurunan. Surah An-Nasr mengajarkan kita untuk waspada ketika berada di puncak. Puncak kejayaan adalah momen yang paling dekat dengan akhir sebuah fase. Oleh karena itu, persiapan terbaik untuk menghadapi akhir bukanlah dengan berleha-leha, melainkan dengan meningkatkan ibadah, refleksi diri, dan memohon ampunan, mempersiapkan diri untuk kembali kepada Allah.

5. Optimisme dan Janji Allah

Surah ini adalah sumber optimisme yang tak pernah kering. Ia menjanjikan bahwa selama ada perjuangan di jalan Allah, pertolongan-Nya pasti akan datang. Mungkin tidak selalu dalam bentuk dan waktu yang kita inginkan, tetapi janji-Nya adalah benar. Kemenangan mungkin tertunda, tetapi tidak akan pernah diingkari.

Hubungan dengan Surah Sebelum dan Sesudahnya

Penempatan surah-surah dalam Al-Quran bukanlah tanpa hikmah. Ada hubungan makna yang erat antara surah yang berdekatan.

Hubungan dengan Surah Al-Kafirun (Sebelumnya)

Surah Al-Kafirun (surah ke-109) adalah surah tentang deklarasi pemisahan total (bara'ah) dalam hal akidah dan peribadahan. Kaum Muslimin dengan tegas menyatakan, "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku." Ini adalah sikap prinsip di masa-masa awal yang penuh tekanan di Mekkah. Surah An-Nasr datang sebagai jawaban dan buah dari keteguhan prinsip tersebut. Setelah berlepas diri dari kesyirikan, Allah memberikan kemenangan di mana "agama Allah" (`diinillah`) menjadi yang unggul dan diterima oleh manusia secara massal. Ini menunjukkan bahwa keteguhan di atas tauhid pada akhirnya akan membuahkan hasil yang gemilang.

Hubungan dengan Surah Al-Lahab (Sesudahnya)

Surah Al-Lahab (surah ke-111) berbicara tentang kebinasaan dan kegagalan total dari salah satu musuh Islam yang paling gigih, yaitu Abu Lahab dan istrinya. Surah tersebut menggambarkan nasib akhir yang tragis bagi mereka yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Jika Surah An-Nasr adalah gambaran kemenangan gemilang bagi Rasulullah SAW dan pengikutnya, maka Surah Al-Lahab adalah gambaran kekalahan telak bagi musuh-musuhnya. Penempatan ini seolah-olah memberikan kontras yang sangat tajam: inilah hasil akhir bagi para penolong agama Allah, dan inilah hasil akhir bagi para penentangnya.

Kesimpulan

Surah An-Nasr, surah ke-110 dalam Al-Quran, adalah sebuah samudra makna dalam tiga ayat yang singkat. Ia bukan sekadar catatan sejarah tentang kemenangan Fathu Makkah, melainkan sebuah manifesto abadi tentang hakikat pertolongan, adab kemenangan, dan puncak pengabdian seorang hamba. Ia mengajarkan kita bahwa setiap kesuksesan adalah ujian kerendahan hati. Respon kita terhadap nikmat menentukan kualitas spiritual kita.

Di balik kabar gembira kemenangan, tersimpan isyarat perpisahan yang lembut, mengingatkan kita bahwa setiap tugas memiliki akhir, dan setiap kehidupan akan kembali kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu, di setiap fase kehidupan, terutama di puncak pencapaian, jalan terbaik adalah dengan terus menyucikan-Nya, memuji-Nya, dan memohon ampunan-Nya. Karena sesungguhnya, Dia adalah At-Tawwab, Maha Penerima tobat, yang senantiasa membuka pintu rahmat-Nya bagi hamba yang kembali.

🏠 Homepage