Mengupas Tuntas Surat An Nasr

النصر Kaligrafi An-Nasr Kaligrafi Arab untuk kata "An-Nasr" yang berarti pertolongan atau kemenangan.

Kaligrafi "An-Nasr" (Pertolongan)

Pendahuluan: Sebuah Kabar Gembira dan Sebuah Isyarat

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, adalah samudra ilmu yang tak bertepi. Setiap surat, bahkan yang terpendek sekalipun, mengandung lapisan-lapisan makna yang mendalam. Salah satu surat yang singkat namun sarat dengan pesan agung adalah Surat An-Nasr. Surat ini menempati urutan ke-110 dalam mushaf Al-Qur'an dan terdiri dari tiga ayat yang ringkas. Namanya, "An-Nasr," secara harfiah berarti "Pertolongan" atau "Kemenangan". Surat An-Nasr tergolong sebagai surat Madaniyyah, yang berarti diturunkan setelah periode hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Para ulama tafsir sepakat bahwa surat ini merupakan salah satu surat terakhir yang diwahyukan, menjadikannya sebuah penutup yang epik bagi perjuangan dakwah Rasulullah SAW selama lebih dari dua dekade.

Surat An-Nasr tidak hanya sekadar mengabarkan sebuah kemenangan fisik, tetapi juga sebuah kemenangan spiritual dan ideologis. Ia merangkum esensi dari perjuangan, kesabaran, dan hasil akhir yang dijanjikan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Di dalamnya terkandung kabar gembira yang luar biasa, yaitu datangnya pertolongan Allah dan kemenangan yang nyata, yang ditandai dengan berbondong-bondongnya manusia memeluk agama Islam. Namun, di balik kabar gembira tersebut, tersimpan pula sebuah isyarat yang halus namun mendalam, sebuah pertanda bahwa tugas agung sang Nabi telah mendekati puncaknya. Kajian mengenai surat an nasr an nasr ini akan membawa kita menyelami keagungan pesan-pesannya, mulai dari konteks historis penurunannya, tafsir mendalam setiap katanya, hingga pelajaran abadi yang bisa dipetik oleh setiap Muslim di segala zaman.

Teks Lengkap Surat An-Nasr: Arab, Latin, dan Terjemahan

Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam analisis dan tafsir, marilah kita merenungkan terlebih dahulu bacaan lengkap dari Surat An-Nasr. Membaca, memahami, dan menghayati setiap ayatnya adalah langkah pertama untuk membuka pintu hikmah yang terkandung di dalamnya.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1)

Idzaa jaa-a nashrullahi wal fat-h.

1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2)

Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillahi afwaajaa.

2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)

Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirh, innahuu kaana tawwaabaa.

3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.

Asbabun Nuzul: Konteks Sejarah Turunnya Wahyu

Memahami Asbabun Nuzul atau sebab-sebab turunnya sebuah ayat atau surat adalah kunci penting dalam menafsirkan Al-Qur'an. Konteks historis memberikan bingkai yang memperjelas makna dan tujuan dari wahyu tersebut. Untuk surat an nasr an nasr, mayoritas ulama berpendapat bahwa surat ini diturunkan di Mina pada saat Haji Wada' (Haji Perpisahan) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini terjadi tidak lama sebelum beliau wafat, menjadikannya salah satu wahyu terakhir yang diterima oleh Rasulullah.

Konteks utama yang melatarbelakangi turunnya surat ini adalah peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekah). Setelah bertahun-tahun mengalami penindasan, pengusiran, dan peperangan, kaum Muslimin akhirnya berhasil kembali ke Mekah, kota kelahiran Nabi dan pusat spiritual Jazirah Arab. Kemenangan ini bukanlah kemenangan biasa. Ia terjadi hampir tanpa pertumpahan darah. Ini adalah manifestasi nyata dari pertolongan ilahi yang telah dijanjikan. Sebelum Fathu Makkah, banyak suku Arab yang masih ragu-ragu dan mengambil sikap menunggu. Mereka berpikir, "Jika Muhammad bisa mengalahkan kaumnya sendiri (Quraisy), maka ia benar-benar seorang nabi."

Ketika Fathu Makkah terjadi dan Ka'bah disucikan kembali dari berhala-berhala, keraguan suku-suku Arab pun sirna. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka menyaksikan kekuatan yang tidak didasarkan pada arogansi, melainkan pada ketundukan kepada Allah. Akibatnya, setelah peristiwa besar tersebut, terjadilah fenomena yang digambarkan dalam ayat kedua surat ini: para delegasi dari berbagai kabilah dan suku di seluruh Jazirah Arab mulai berdatangan ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka secara berkelompok. Periode ini dikenal dalam sejarah sebagai 'Am al-Wufud' atau Tahun Delegasi. Inilah yang dimaksud dengan manusia masuk ke dalam agama Allah secara "afwaajaa" (berbondong-bondong), bukan lagi satu per satu seperti pada masa awal dakwah. Turunnya Surat An-Nasr adalah untuk mengkonfirmasi peristiwa agung ini dan memberikan arahan kepada Nabi serta umatnya tentang bagaimana menyikapi nikmat kemenangan yang luar biasa tersebut.

Tafsir Mendalam Per Ayat Surat An-Nasr

Setiap kata dalam Al-Qur'an dipilih dengan sangat teliti dan memiliki kedalaman makna. Mari kita selami makna yang terkandung dalam setiap ayat Surat An-Nasr.

Ayat 1: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"

Ayat pertama ini merupakan pembuka yang megah, mengumumkan dua anugerah besar dari Allah SWT. Mari kita bedah kata per katanya.

إِذَا (Idzaa) - Apabila: Kata "Idzaa" dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan sebuah kondisi di masa depan yang pasti akan terjadi. Ini berbeda dengan kata "in" yang juga berarti "jika" tetapi menyiratkan kemungkinan. Penggunaan "Idzaa" di sini memberikan penekanan bahwa janji datangnya pertolongan dan kemenangan Allah adalah sebuah keniscayaan, bukan sekadar harapan atau kemungkinan. Ini adalah kepastian ilahi yang ditujukan untuk menenangkan hati Nabi dan para sahabat setelah melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan.

جَاءَ (Jaa'a) - Telah Datang: Kata ini mengindikasikan kedatangan sesuatu yang konkret dan nyata. Pertolongan dan kemenangan itu bukan lagi konsep abstrak, melainkan sebuah realitas yang bisa disaksikan. Ia datang pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah, bukan berdasarkan keinginan atau perhitungan manusia. Ini mengajarkan bahwa dalam setiap perjuangan, ada waktu ilahi yang sempurna untuk datangnya sebuah hasil.

نَصْرُ اللَّهِ (Nashrullah) - Pertolongan Allah: Inilah inti dari ayat ini. Kata "Nasr" berarti pertolongan, bantuan, atau dukungan yang membawa kepada kemenangan. Namun, ketika disandarkan kepada Allah (Nashrullah), maknanya menjadi jauh lebih agung. Ini bukan pertolongan biasa. Ini adalah pertolongan ilahi yang menentukan, yang mampu membalikkan keadaan, mengubah yang lemah menjadi kuat, dan yang sedikit menjadi banyak. Penyebutan "Allah" secara eksplisit menegaskan sumber pertolongan tersebut. Kemenangan yang diraih kaum Muslimin bukanlah karena kekuatan militer, strategi perang, atau jumlah pasukan mereka semata. Kemenangan itu murni berasal dari kehendak dan kuasa Allah. Ini adalah pelajaran fundamental tentang tauhid, yaitu menyandarkan segala sebab dan akibat hanya kepada Allah. Dalam konteks historis, "Nashrullah" ini termanifestasi dalam banyak peristiwa, mulai dari Perang Badar, Perjanjian Hudaibiyah, hingga puncaknya pada Fathu Makkah.

وَالْفَتْحُ (Wal-Fath) - Dan Kemenangan: Kata "Al-Fath" secara harfiah berarti "pembukaan". Meskipun banyak mufasir menafsirkannya secara spesifik sebagai Fathu Makkah (Pembukaan atau Penaklukan Kota Mekah), maknanya lebih luas dari itu. "Al-Fath" adalah hasil dari "Nashrullah". Ketika pertolongan Allah datang, maka terbukalah segala sesuatu yang sebelumnya tertutup. Terbukanya kota Mekah bagi kaum Muslimin, terbukanya hati manusia untuk menerima hidayah, terbukanya jalan dakwah ke seluruh penjuru dunia, dan terbukanya pintu-pintu keberkahan. Fathu Makkah menjadi simbol "Al-Fath" yang paling utama karena Mekah adalah jantung spiritual Jazirah Arab. Dengan terbukanya Mekah, seolah-olah seluruh gerbang menuju kemenangan Islam yang lebih besar telah dibuka lebar-lebar. Kemenangan ini unik karena dicapai dengan sangat sedikit perlawanan, sebuah "pembukaan" yang damai, yang menunjukkan rahmat dan keagungan Islam.

Ayat 2: وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"

Ayat kedua ini menggambarkan buah atau hasil langsung dari pertolongan dan kemenangan yang disebutkan di ayat pertama. Ini adalah sebuah pemandangan yang menakjubkan, yang menjadi bukti nyata atas kebenaran risalah Islam.

وَرَأَيْتَ (Wa ra'aita) - Dan engkau melihat: Kata ganti "engkau" (anta) di sini secara langsung ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Allah seolah-olah berfirman, "Wahai Muhammad, setelah segala jerih payahmu, saksikanlah dengan matamu sendiri buah dari kesabaranmu." Ini adalah sebuah penghormatan dan penghargaan tertinggi dari Allah kepada Rasul-Nya. Meskipun demikian, seruan ini juga berlaku bagi seluruh umat Islam yang menyaksikan fenomena ini, sebagai pengingat akan janji Allah yang benar. Penggunaan kata kerja "ra'aita" (melihat) menunjukkan bahwa ini bukanlah sebuah ramalan ghaib, melainkan sebuah peristiwa faktual yang dapat diobservasi secara visual.

النَّاسَ (An-Naas) - Manusia: Al-Qur'an menggunakan kata "An-Naas" yang bersifat umum, tidak terbatas pada suku Quraisy atau penduduk Mekah saja. Ini mengisyaratkan universalitas ajaran Islam. Yang masuk ke dalam Islam bukan hanya satu kelompok, melainkan manusia dari berbagai latar belakang, suku, dan kabilah di seluruh Jazirah Arab. Ini adalah penegasan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil 'alamin).

يَدْخُلُونَ (Yadkhuluuna) - Mereka masuk: Penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present/future tense) ini menunjukkan sebuah proses yang berkelanjutan. Orang-orang tidak hanya masuk Islam pada satu waktu saja, tetapi proses ini terus berlangsung dan akan terus berlanjut. Ini memberikan optimisme bahwa gelombang penerimaan terhadap Islam akan terus mengalir. Mereka masuk dengan kesadaran dan kemauan sendiri, bukan karena paksaan. Kata "masuk" juga menyiratkan perpindahan dari satu kondisi (kegelapan jahiliyah) ke kondisi lain (cahaya Islam).

فِي دِينِ اللَّهِ (Fii diinillah) - Ke dalam agama Allah: Penegasan sekali lagi bahwa agama yang mereka masuki adalah "agama Allah". Ini bukan agama ciptaan Muhammad, bukan pula ideologi sebuah kaum. Ini adalah sistem kehidupan yang bersumber langsung dari Sang Pencipta. Penyandaran kata "diin" (agama) kepada "Allah" memberikannya status yang agung dan suci. Ini juga untuk membedakannya dari kepercayaan-kepercayaan dan tradisi-tradisi buatan manusia yang sebelumnya mereka anut.

أَفْوَاجًا (Afwaajaa) - Berbondong-bondong: Ini adalah kata kunci dalam ayat ini. "Afwaajaa" berarti dalam kelompok-kelompok besar, rombongan demi rombongan. Ini adalah sebuah kontras yang tajam dengan kondisi di awal dakwah di Mekah. Dahulu, orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, dan seringkali harus menghadapi siksaan dan isolasi. Kini, situasinya telah berbalik total. Islam telah menjadi kekuatan yang disegani, dan orang-orang tidak lagi takut untuk menyatakan keimanannya. Mereka datang dalam delegasi-delegasi yang mewakili seluruh suku mereka. Pemandangan ini adalah puncak dari kemenangan dakwah dan bukti paling nyata dari "Nashrullah" dan "Al-Fath".

Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."

Setelah menggambarkan nikmat kemenangan yang luar biasa, ayat ketiga ini memberikan arahan tentang bagaimana seharusnya seorang hamba merespons anugerah tersebut. Respon yang diajarkan bukanlah pesta pora, arogansi, atau euforia yang melalaikan. Sebaliknya, respon yang dikehendaki adalah kembali kepada Allah dengan penuh kerendahan hati.

فَسَبِّحْ (Fasabbih) - Maka bertasbihlah: Perintah pertama adalah melakukan tasbih. Kata "tasbih" berasal dari kata "sabaha" yang berarti menjauh. Secara istilah, tasbih (mengucapkan Subhanallah) berarti menyucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, sifat-sifat yang tidak layak, dan dari segala sekutu. Mengapa tasbih diperintahkan pada saat kemenangan? Ini adalah untuk mendidik jiwa agar tidak terjerumus dalam kesombongan. Dengan bertasbih, seorang hamba mengakui bahwa kemenangan ini terjadi bukan karena kehebatannya, tetapi karena Allah Maha Sempurna dan Maha Kuasa, bersih dari segala ketidakmampuan. Hamba tersebut seolah berkata, "Maha Suci Engkau ya Allah, kemenangan ini adalah bukti kesempurnaan-Mu, bukan bukti kehebatan diriku." Ini adalah benteng pertama melawan sifat 'ujub (bangga diri).

بِحَمْدِ رَبِّكَ (Bihamdi Rabbika) - Dengan memuji Tuhanmu: Perintah tasbih ini digandengkan langsung dengan tahmid (pujian). "Hamd" (pujian) adalah pengakuan atas segala kebaikan, kemurahan, dan nikmat yang datang dari Allah. Jika tasbih adalah penafian sifat negatif (tanzih), maka tahmid adalah penetapan sifat positif (itsbat). Gabungan keduanya (Subhanallahi wa bihamdih) merupakan bentuk zikir yang sempurna. Setelah menyucikan Allah dari segala kekurangan, kita langsung memuji-Nya atas segala kesempurnaan dan anugerah-Nya. Ini adalah ekspresi rasa syukur yang paling mendalam. Kita bersyukur atas nikmat kemenangan, nikmat hidayah, dan nikmat pertolongan yang telah diberikan. Penyebutan "Rabbika" (Tuhanmu) juga mengandung kelembutan, mengingatkan Nabi Muhammad SAW akan Tuhan yang senantiasa memelihara dan membimbingnya sejak awal.

وَاسْتَغْفِرْهُ (Wastaghfirhu) - Dan mohonlah ampun kepada-Nya: Ini adalah perintah yang paling mengejutkan dan mengandung hikmah yang sangat dalam. Di puncak kesuksesan, di momen kemenangan terbesar, mengapa justru diperintahkan untuk beristighfar (memohon ampun)? Para ulama memberikan beberapa penjelasan. Pertama, sebagai bentuk kerendahan hati yang paripurna. Manusia, bahkan seorang nabi sekalipun, tidak akan pernah bisa mensyukuri nikmat Allah dengan cara yang sepadan. Istighfar adalah pengakuan atas segala kekurangan kita dalam menunaikan hak-hak Allah, termasuk hak dalam bersyukur. Kedua, untuk memohon ampunan atas segala hal yang mungkin kurang sempurna selama proses perjuangan. Mungkin ada keputusan yang kurang tepat, atau ada hak-hak yang terabaikan dalam kesibukan berjuang. Istighfar membersihkan semua itu. Ketiga, sebagai pengingat bahwa tujuan akhir bukanlah kemenangan duniawi, melainkan ampunan dan keridhaan Allah. Kemenangan hanyalah sarana, bukan tujuan.

إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Innahuu kaana tawwaabaa) - Sungguh, Dia Maha Penerima tobat: Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Setelah memerintahkan untuk beristighfar, Allah langsung meyakinkan kita dengan sifat-Nya "At-Tawwab". Nama Allah ini berasal dari kata "taaba" yang berarti kembali. "At-Tawwab" memiliki makna ganda: Dia yang mengilhamkan hamba-Nya untuk bertobat (kembali kepada-Nya) dan Dia yang senantiasa menerima tobat hamba-Nya yang kembali. Penggunaan bentuk "kaana tawwaabaa" menunjukkan bahwa sifat ini telah melekat pada Dzat Allah sejak dahulu dan akan terus ada selamanya. Ini adalah sebuah pintu harapan yang terbuka lebar. Sebesar apapun kekurangan kita, selama kita mau kembali dan memohon ampun, Allah dengan sifat "At-Tawwab"-Nya pasti akan menerima kita. Kalimat penutup ini menjadi motivasi terkuat untuk melaksanakan perintah tasbih, tahmid, dan istighfar.

Surat An-Nasr sebagai Isyarat Wafatnya Rasulullah SAW

Di balik makna lahiriahnya sebagai kabar kemenangan, banyak sahabat senior, terutama Ibnu Abbas RA, memahami surat an nasr an nasr ini sebagai isyarat halus bahwa tugas kenabian Rasulullah SAW telah paripurna dan ajal beliau sudah dekat. Pemahaman ini didasarkan pada logika bahwa jika tujuan utama dari risalah, yaitu kemenangan Islam dan diterimanya dakwah oleh manusia secara massal, telah tercapai, maka tugas sang utusan pun telah selesai.

Sebuah riwayat masyhur menceritakan bagaimana Khalifah Umar bin Khattab RA pernah menguji para sahabat senior dari kalangan veteran Perang Badar dengan menanyakan makna surat ini. Banyak dari mereka yang memberikan jawaban standar, yaitu sebagai perintah untuk memuji Allah dan memohon ampun ketika kemenangan datang. Namun, Umar belum puas. Beliau kemudian bertanya kepada Abdullah bin Abbas, yang saat itu masih sangat muda. Dengan kecerdasannya yang luar biasa, Ibnu Abbas menjawab, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda dekatnya ajalmu, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun, sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat." Umar pun membenarkan tafsiran tersebut dan berkata, "Aku tidak mengetahui makna lain dari surat ini selain dari apa yang engkau katakan."

Tafsiran ini diperkuat oleh riwayat dari Ummul Mukminin, Aisyah RA. Beliau menuturkan bahwa setelah turunnya surat ini, Rasulullah SAW memperbanyak bacaan zikir dalam rukuk dan sujudnya. Beliau sering membaca, "Subhanakallahumma rabbana wa bihamdika, allahummaghfirli" (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku). Ini adalah bentuk pengamalan langsung dari perintah dalam surat ini. Peningkatan ibadah dan istighfar ini seolah-olah menjadi persiapan beliau untuk bertemu dengan Sang Khaliq, membersihkan diri di akhir hayatnya sebagai tanda kesempurnaan seorang hamba. Dengan demikian, surat ini membawa dua pesan sekaligus: kabar gembira atas kemenangan Islam bagi umat, dan isyarat perpisahan dari sang Nabi tercinta.

Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surat An-Nasr

Meskipun turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesan-pesan dalam Surat An-Nasr bersifat universal dan abadi. Setiap Muslim dapat memetik pelajaran berharga untuk diaplikasikan dalam kehidupannya.

Korelasi Surat An-Nasr dengan Surat Lainnya

Posisi surat-surat dalam Al-Qur'an bukanlah tanpa hikmah. Ada korelasi (munasabah) makna yang indah antara satu surat dengan surat sebelum dan sesudahnya.

Hubungan dengan Surat Al-Kafirun (Sebelumnya): Surat Al-Kafirun, surat ke-109, adalah sebuah deklarasi ketegasan dan pemisahan yang jelas (bara'ah) antara tauhid dan syirik. Kaum Muslimin diperintahkan untuk mengatakan dengan tegas, "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku." Ketegasan dalam prinsip dan akidah ini adalah fondasi perjuangan. Surat An-Nasr kemudian datang sebagai buah dari ketegasan tersebut. Ia menunjukkan bahwa setelah kaum Muslimin teguh memegang prinsip tauhid dan tidak mau berkompromi dengan kemusyrikan, Allah memberikan pertolongan dan kemenangan. Hubungannya adalah sebab-akibat: keteguhan prinsip di Al-Kafirun menjadi sebab datangnya kemenangan di An-Nasr.

Hubungan dengan Surat Al-Lahab (Sesudahnya): Surat Al-Lahab, surat ke-111, berbicara tentang kebinasaan salah satu musuh Islam yang paling gigih, yaitu Abu Lahab dan istrinya. Surat ini menunjukkan contoh konkret dari akhir yang tragis bagi mereka yang menentang kebenaran. Jika Surat An-Nasr berbicara tentang kemenangan kolektif bagi kubu keimanan, maka Surat Al-Lahab berbicara tentang kehancuran individual bagi kubu kekafiran. Keduanya saling melengkapi. An-Nasr menunjukkan janji baik (wa'd) bagi para pengikut kebenaran, sementara Al-Lahab menunjukkan ancaman buruk (wa'id) bagi para penentangnya. Ini memberikan gambaran yang seimbang tentang konsekuensi dari setiap pilihan hidup.

Penutup: Esensi Perjuangan dan Kepulangan

Surat An-Nasr, dengan tiga ayatnya yang padat makna, merangkum seluruh perjalanan dakwah Islam di masa kenabian. Ia adalah surat tentang janji yang terpenuhi, tentang kemenangan yang bukan milik manusia melainkan milik Allah, dan tentang sikap seorang hamba sejati di puncak kejayaan. Ia mengajarkan bahwa setiap kemenangan harus disambut dengan tasbih, setiap nikmat harus diiringi dengan tahmid, dan setiap pencapaian harus disempurnakan dengan istighfar. Pada akhirnya, kupasan mengenai surat an nasr an nasr ini membawa kita pada sebuah kesadaran mendalam: tujuan akhir dari segala perjuangan di dunia ini adalah untuk kembali kepada Allah dalam keadaan diri yang suci dan diridhai, sebagaimana yang diisyaratkan oleh perintah untuk senantiasa bertasbih, memuji, dan memohon ampunan kepada-Nya, Dzat yang Maha Penerima tobat.

🏠 Homepage