Tafsir Mendalam Surat An-Nasr Ayat 2 dan Pesan Kemenangan Hakiki
Al-Qur'an, kalamullah yang agung, diturunkan sebagai petunjuk abadi bagi seluruh umat manusia. Setiap surat dan ayat di dalamnya mengandung lautan hikmah yang tak pernah kering untuk digali. Di antara surat-surat yang memiliki bobot sejarah dan spiritual yang sangat mendalam adalah Surat An-Nasr. Surat ini, meskipun sangat singkat—hanya terdiri dari tiga ayat—merangkum esensi dari sebuah perjuangan panjang, buah dari kesabaran, dan petunjuk sikap dalam menghadapi puncak kejayaan. Fokus utama pembahasan kita kali ini adalah ayat kedua, yang berbunyi "وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا". Ayat ini bukan sekadar kalimat berita, melainkan sebuah visualisasi agung dari janji Allah yang menjadi nyata, sebuah penanda zaman yang mengubah arah sejarah Jazirah Arab dan dunia.
Untuk memahami keagungan ayat ini, kita tidak bisa memisahkan dari konteks keseluruhan suratnya. Surat An-Nasr adalah surat ke-110 dalam mushaf Al-Qur'an dan tergolong sebagai surat Madaniyah. Para ulama tafsir mayoritas berpendapat bahwa surat ini merupakan salah satu surat terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, bahkan ada yang menyebutnya sebagai surat lengkap yang terakhir turun. Posisinya di akhir periode kenabian memberinya makna yang sangat istimewa, seolah menjadi epilog dari risalah dakwah yang telah diemban selama lebih dari dua dekade. Surat ini berbicara tentang pertolongan (Nasr) dan kemenangan (Fath) dari Allah, serta konsekuensi logis dan spiritual dari kedua anugerah besar tersebut.
Teks Lengkap Surat An-Nasr dan Terjemahannya
Sebelum kita menyelam lebih jauh ke dalam makna ayat kedua, marilah kita membaca dan merenungkan keseluruhan Surat An-Nasr untuk mendapatkan gambaran yang utuh.
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ (١) وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا (٢) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا (٣)
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
Fokus Utama: Bunyi dan Makna Surat An-Nasr Ayat 2
Ayat kedua, "وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا" (Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā), adalah jantung dari surat ini. Ayat ini melukiskan sebuah fenomena sosial dan spiritual yang luar biasa, yang menjadi buah dari pertolongan (Nasr) dan kemenangan (Fath) yang disebutkan di ayat pertama. Mari kita bedah kalimat ini kata demi kata untuk memahami kedalaman maknanya.
Analisis Frasa dalam Ayat Kedua
"Wa ra'aita" (وَرَأَيْتَ) - "Dan engkau melihat"
Kata ganti "engkau" (ta) di sini secara langsung ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah sebuah penglihatan yang bersifat personal sekaligus profetik. Allah SWT memberitahukan kepada Rasul-Nya bahwa beliau sendiri akan menyaksikan peristiwa agung ini dengan mata kepalanya. Ini bukanlah janji untuk generasi mendatang, melainkan sebuah kepastian yang akan terwujud dalam masa hidup beliau. Kata "ra'aita" berasal dari kata kerja "ra'a" yang berarti melihat. Penggunaan bentuk lampau (fi'il madhi) di sini memberikan penekanan akan kepastian terjadinya peristiwa tersebut, seolah-olah sudah terjadi. Dalam gaya bahasa Al-Qur'an, hal ini sering digunakan untuk janji-janji ilahi yang pasti akan terwujud.
"an-nāsa" (ٱلنَّاسَ) - "Manusia"
Pemilihan kata "an-nas" yang berarti "manusia" sangatlah signifikan. Al-Qur'an tidak menggunakan kata yang lebih spesifik seperti "orang-orang Arab" atau "penduduk Makkah". Penggunaan kata umum "manusia" memberikan isyarat universalitas. Kemenangan yang diraih bukan hanya berdampak pada satu kelompok, tetapi membuka gerbang hidayah bagi umat manusia secara luas. Ini merujuk pada berbagai suku dan kabilah dari seluruh penjuru Jazirah Arab yang sebelumnya memusuhi atau bersikap menunggu, kini datang untuk memeluk Islam.
"yadkhulūna fī dīnillāhi" (يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ) - "Mereka masuk ke dalam agama Allah"
Frasa ini menggambarkan proses konversi massa. Kata "yadkhuluna" (mereka masuk) memberikan gambaran sebuah gerakan aktif dan sukarela. Mereka tidak dipaksa, melainkan "masuk" dengan kesadaran penuh. Ungkapan "fi dinillah" (ke dalam agama Allah) juga indah. Agama diibaratkan sebagai sebuah ruang, sebuah benteng, atau sebuah rumah yang memberikan kedamaian dan keamanan bagi siapa saja yang memasukinya. Mereka meninggalkan jahiliyah di luar dan masuk ke dalam naungan tauhid.
"afwājā" (أَفْوَاجًا) - "Berbondong-bondong"
Inilah kata kunci yang melukiskan skala dari fenomena ini. "Afwaja" adalah bentuk jamak dari "fauj," yang berarti rombongan, delegasi, atau kelompok besar. Kata ini secara dramatis membandingkan kondisi dakwah pasca-kemenangan dengan kondisi di awal Islam. Dahulu, orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, atau dalam lingkup keluarga kecil. Mereka menghadapi ancaman, siksaan, dan pengucilan. Namun, setelah datangnya pertolongan Allah, situasinya berbalik total. Manusia kini datang dalam rombongan-rombongan besar. Seluruh suku, kabilah, beserta pemimpin-pemimpinnya, datang menyatakan keislaman mereka secara terbuka tanpa rasa takut. Ini adalah perubahan paradigma yang luar biasa, dari dakwah individual menjadi penerimaan komunal.
Konteks Sejarah: Asbabun Nuzul Surat An-Nasr
Memahami sebab-sebab turunnya (Asbabun Nuzul) sebuah surat adalah kunci untuk membuka lapis-lapis maknanya. Mayoritas ulama, termasuk Imam Ahmad dan lainnya, meriwayatkan bahwa surat ini turun berkaitan erat dengan peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Namun, ada beberapa detail mengenai waktu persisnya. Sebagian berpendapat surat ini turun sebelum Fathu Makkah sebagai sebuah kabar gembira dan prediksi, sementara yang lain berpendapat ia turun setelah peristiwa agung tersebut sebagai sebuah konfirmasi dan refleksi. Pandangan yang paling kuat adalah ia turun setelah Fathu Makkah, pada saat periode kedatangan delegasi-delegasi (wufud) ke Madinah, yang kemudian dikenal sebagai 'Am al-Wufud (Tahun Delegasi).
Peristiwa Fathu Makkah: Kemenangan yang Dinantikan
Fathu Makkah yang terjadi pada bulan Ramadhan adalah puncak dari perjuangan dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa ini dipicu oleh pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan sekutunya, Bani Bakr, yang menyerang sekutu kaum muslimin, Bani Khuza'ah. Pelanggaran ini membatalkan gencatan senjata yang telah disepakati. Menanggapi hal ini, Rasulullah ﷺ mempersiapkan pasukan besar yang terdiri dari sepuluh ribu prajurit Muslim, bergerak dari Madinah menuju Makkah.
Namun, yang membuat Fathu Makkah begitu istimewa dan menjadi "Al-Fath" (kemenangan yang membuka) adalah sifatnya yang nyaris tanpa pertumpahan darah. Rasulullah ﷺ memasuki kota kelahirannya, kota di mana beliau dan para sahabatnya pernah dianiaya, diusir, dan dimusuhi, bukan dengan semangat balas dendam, melainkan dengan kepala tertunduk penuh kerendahan hati. Beliau memberikan jaminan keamanan bagi siapa saja yang berlindung di rumahnya, di rumah Abu Sufyan (pemimpin Quraisy saat itu), atau di dalam Masjidil Haram.
Kemenangan ini bukanlah kemenangan militer semata, melainkan kemenangan moral dan spiritual. Sikap pemaaf Rasulullah ﷺ yang luar biasa terhadap musuh-musuh bebuyutannya meruntuhkan kesombongan kaum Quraisy dan membuka hati mereka untuk menerima kebenaran Islam. Beliau membersihkan Ka'bah dari 360 berhala yang selama berabad-abad menjadi pusat kesyirikan di Arab, mengembalikan fungsinya sebagai rumah tauhid yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
Fenomena 'Am al-Wufud (Tahun Delegasi)
Setelah Makkah, sebagai pusat spiritual dan politik Jazirah Arab, berada di bawah naungan Islam, suku-suku Arab lainnya yang sebelumnya bersikap menunggu dan melihat ("wait and see") kini tidak lagi ragu. Mereka berpikir, "Jika Muhammad telah berhasil menaklukkan kaumnya sendiri (Quraisy) dan menguasai Tanah Haram, maka ia benar-benar seorang Nabi yang dilindungi Tuhan." Maka, terjadilah apa yang digambarkan dalam ayat kedua: "afwaja".
Delegasi-delegasi dari berbagai penjuru, seperti dari kabilah Tsaqif di Thaif, Bani Tamim, Bani Hanifah, Kindah, dan suku-suku dari Yaman, berdatangan ke Madinah untuk menyatakan bai'at (sumpah setia) dan memeluk Islam. Sejarah mencatat periode ini sebagai 'Am al-Wufud. Mereka datang dalam rombongan besar, belajar tentang Islam langsung dari Rasulullah ﷺ, lalu kembali ke kaumnya untuk mengajarkan agama yang baru mereka anut. Inilah realisasi nyata dari kalimat "manusia berbondong-bondong masuk agama Allah". Peristiwa ini secara sempurna mengkonfirmasi kebenaran wahyu yang terkandung dalam Surat An-Nasr.
Tafsir Mendalam Ayat per Ayat Surat An-Nasr
Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif, mari kita telaah tafsir dari setiap ayat dalam surat ini, dengan mengacu pada pandangan para ulama mufassirin terkemuka seperti Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Sayyid Qutb, dan M. Quraish Shihab.
Tafsir Ayat 1: "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan"
Ayat pertama, "إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ" (Idzaa jaa-a nashrullahi wal fath), menjadi syarat atau penanda bagi peristiwa yang dijelaskan di ayat-ayat berikutnya.
- Nahrullah (نَصْرُ ٱللَّهِ) - Pertolongan Allah: Kata "Nasr" berarti pertolongan, bantuan, atau dukungan yang membawa kepada kemenangan. Penyandaran kata ini kepada "Allah" (Nashrullah) menegaskan bahwa sumber pertolongan itu murni berasal dari Allah, bukan karena kekuatan jumlah pasukan, strategi perang, atau kehebatan manusia semata. Ini adalah pelajaran tauhid yang fundamental: kemenangan hakiki hanya datang dari sisi Allah. Pertolongan ini mencakup banyak hal: ditanamkannya rasa takut di hati musuh, diturunkannya malaikat untuk mengokohkan barisan kaum muslimin, dan diciptakannya sebab-akibat yang menguntungkan pihak kaum beriman.
- Al-Fath (وَٱلْفَتْحُ) - Dan Kemenangan: Kata "Al-Fath" secara harfiah berarti "pembukaan". Meskipun secara spesifik merujuk pada Fathu Makkah, maknanya jauh lebih luas. Ia adalah "pembukaan" dari berbagai belenggu. Fathu Makkah adalah pembukaan kota Makkah dari cengkeraman jahiliyah, pembukaan Ka'bah dari kesyirikan, pembukaan hati manusia dari kebekuan kufur, dan pembukaan jalan bagi dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia tanpa ada lagi hambatan besar di pusat Jazirah Arab. Disebutkannya "Al-Fath" setelah "Nashrullah" menunjukkan urutan sebab-akibat: pertolongan Allah-lah yang menghasilkan kemenangan gemilang tersebut.
Tafsir Ayat 2: "Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah"
Ayat ini, seperti yang telah dibahas, adalah hasil langsung dari "Nashrullah wal Fath". Ketika hambatan utama, yaitu kekuasaan Quraisy di Makkah, telah sirna, dan keagungan moral Islam terpancar melalui sikap pemaaf Rasulullah ﷺ, manusia dapat melihat kebenaran dengan lebih jernih.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "manusia" di sini adalah berbagai kabilah Arab, baik dari pelosok maupun perkotaan. Setelah penaklukan Makkah, mereka menyadari bahwa Rasulullah ﷺ dilindungi oleh Allah, karena kaum Quraisy yang dikenal kuat dan penjaga Ka'bah pun tidak mampu melawannya. Hal ini mengingatkan mereka pada peristiwa pasukan gajah Abrahah yang dihancurkan saat hendak menyerang Ka'bah. Mereka menyimpulkan bahwa kekuasaan Muhammad ﷺ bukanlah kekuasaan biasa, melainkan didukung oleh kekuatan ilahi.
Sayyid Qutb dalam tafsir "Fi Zhilalil Qur'an" menyoroti aspek psikologis dari kata "afwaja". Ia menggambarkan bagaimana Islam, setelah periode penindasan yang panjang, kini menjadi kekuatan yang menarik orang-orang ke dalamnya. Bukan lagi sebagai agama individu yang terasing, tetapi sebagai sebuah sistem kehidupan komunal yang diterima secara massal. Ini adalah bukti visual dari janji Allah yang tertuang dalam ayat-ayat lain, bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang atas kebatilan.
Tafsir Ayat 3: "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya"
Ayat ketiga, "فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا" (Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirh, innahuu kaana tawwaabaa), memberikan arahan tentang respons yang benar saat berada di puncak kejayaan. Ini adalah bagian yang paling sarat dengan makna spiritual dan menjadi penutup yang sempurna.
-
Fasabbih bihamdi Rabbika (فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ) - Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu: Kata "Fa" (maka) menunjukkan hubungan sebab-akibat. Justru karena kemenangan besar telah diraih, respons yang diperintahkan bukanlah pesta pora atau euforia kesombongan, melainkan kembali kepada Allah. Perintah ini mengandung dua unsur:
- Tasbih (سبح): Mensucikan Allah dari segala kekurangan. Dalam konteks ini, berarti menyadari bahwa kemenangan ini bukanlah karena kehebatan diri sendiri. Kemenangan ini bersih dari campur tangan kekuatan manusia semata. Ini adalah bentuk kerendahan hati yang tertinggi.
- Tahmid (حمد): Memuji Allah atas segala nikmat dan kesempurnaan-Nya. Kemenangan ini adalah nikmat agung yang patut disyukuri dengan pujian. Menggabungkan tasbih dan tahmid (Subhanallahi wa bihamdihi) berarti mensucikan Allah dari segala kekurangan seraya memuji-Nya atas segala kesempurnaan dan anugerah-Nya.
-
Wastaghfirhu (وَٱسْتَغْفِرْهُ) - Dan mohonlah ampun kepada-Nya: Perintah untuk beristighfar di saat kemenangan adalah hal yang sangat mendalam. Mengapa memohon ampun di puncak sukses? Para ulama memberikan beberapa penjelasan:
- Sebagai bentuk pengakuan atas segala kekurangan dan kelalaian yang mungkin terjadi selama proses perjuangan panjang menuju kemenangan.
- Untuk menjaga hati dari perasaan ujub (bangga diri) dan sombong yang seringkali menyertai kemenangan. Istighfar adalah penawarnya.
- Sebagai tanda bahwa tugas telah mendekati akhir. Ini adalah pandangan yang sangat kuat, terutama dari Ibnu Abbas RA.
- Innahu kaana tawwaabaa (إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا) - Sungguh, Dia Maha Penerima tobat: Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Nama Allah "At-Tawwab" (Maha Penerima Tobat) menjamin bahwa setiap tasbih, tahmid, dan istighfar yang tulus pasti akan diterima. Ini adalah pintu harapan yang selalu terbuka.
Surat An-Nasr sebagai Isyarat Wafatnya Rasulullah ﷺ
Salah satu penafsiran yang paling masyhur dan menyentuh dari surat ini adalah bahwa ia merupakan isyarat dekatnya ajal Rasulullah ﷺ. Ketika surat ini turun, banyak sahabat yang bergembira karena melihatnya sebagai berita kemenangan. Namun, beberapa sahabat senior dengan pemahaman mendalam, seperti Ibnu Abbas RA dan Umar bin Khattab RA, justru memahaminya sebagai tanda bahwa tugas kerasulan Nabi Muhammad ﷺ telah paripurna.
Logikanya adalah: jika kemenangan terbesar telah diraih (Fathu Makkah) dan buahnya telah dipetik (manusia masuk Islam berbondong-bondong), maka misi utama telah selesai. Allah seolah-olah berfirman, "Wahai Muhammad, tugasmu telah selesai dengan sempurna. Maka, bersiaplah untuk kembali kepada Tuhanmu dengan memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar." Diriwayatkan bahwa setelah turunnya surat ini, Rasulullah ﷺ semakin memperbanyak bacaan "Subhanallahi wa bihamdihi, astaghfirullah wa atubu ilaih" dalam shalat, ruku, dan sujudnya. Aisyah RA bertanya tentang hal ini, dan beliau menjawab bahwa itu adalah perintah yang beliau terima sebagai tanda dari Tuhannya.
Hikmah dan Pelajaran Abadi dari Surat An-Nasr
Meskipun Surat An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi, menjadi pedoman bagi setiap Muslim di setiap zaman.
1. Kemenangan Sejati adalah Milik Allah
Pelajaran pertama dan utama adalah tentang hakikat kemenangan. Surat ini mengajarkan bahwa pertolongan dan kemenangan bukanlah hasil dari kecerdasan, kekuatan, atau jumlah, melainkan murni anugerah dari Allah. Ini menanamkan sikap tawakal dan kebergantungan total hanya kepada-Nya, serta menjauhkan diri dari kesombongan.
2. Etika Kemenangan dalam Islam
Surat ini menetapkan sebuah etika atau adab yang luhur dalam menyikapi kesuksesan. Saat berada di puncak, seorang mukmin tidak larut dalam euforia duniawi, melainkan segera kembali kepada Allah. Resep ilahi untuk menyikapi kemenangan adalah: Tasbih (menyucikan Allah), Tahmid (memuji Allah), dan Istighfar (memohon ampun). Formula ini menjaga hati agar tetap rendah hati, bersyukur, dan selalu mawas diri.
3. Tujuan Kemenangan adalah Dakwah
Fathu Makkah bukanlah tujuan akhir. Ia adalah sarana untuk tujuan yang lebih besar: membuka jalan bagi manusia untuk mengenal dan masuk ke dalam agama Allah ("yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā"). Ini mengajarkan bahwa kekuasaan atau kemenangan dalam Islam bukanlah untuk menindas atau memuaskan hawa nafsu, melainkan untuk menegakkan keadilan dan menyebarkan rahmat.
4. Setiap Misi Ada Akhirnya
Surat ini menjadi pengingat bahwa setiap tugas dan amanah di dunia ini memiliki batas waktu. Sebagaimana tugas kerasulan Nabi Muhammad ﷺ yang berakhir dengan sempurna, setiap kita juga memiliki tugas hidup masing-masing. Ketika tanda-tanda keberhasilan atau penyelesaian sebuah tugas besar tampak, itu adalah saatnya untuk lebih giat mempersiapkan diri untuk "pulang" atau bertemu dengan Sang Pemberi tugas, Allah SWT.
5. Pentingnya Istighfar dalam Setiap Keadaan
Perintah untuk beristighfar di saat sukses mengajarkan kita bahwa manusia tidak pernah luput dari kekurangan. Bahkan dalam amal terbaik sekalipun, mungkin masih terselip niat yang kurang ikhlas atau cara yang kurang sempurna. Istighfar membersihkan semua itu dan menyempurnakan amal kita di hadapan Allah. Ia adalah cermin dari kesadaran seorang hamba akan keagungan Tuhannya dan kekerdilan dirinya sendiri.
Penutup
Surat An-Nasr, melalui ayat keduanya yang berbunyi "وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا", bukan hanya sebuah catatan sejarah tentang kemenangan umat Islam di masa lalu. Ia adalah sebuah manifesto tentang bagaimana Allah menepati janji-Nya, sebuah manual tentang bagaimana seorang hamba harus bersikap di puncak kejayaan, dan sebuah pengingat lembut bahwa tujuan akhir dari perjalanan hidup ini adalah kembali kepada-Nya.
Setiap kali kita membaca surat ini, kita diingatkan bahwa setelah setiap kesulitan (perjuangan di Makkah) akan datang kemudahan (Fathu Makkah). Kita diajarkan bahwa kesuksesan terbesar adalah ketika kita bisa menjadi wasilah bagi orang lain untuk mengenal kebenaran. Dan yang terpenting, kita dinasihati bahwa di puncak pencapaian tertinggi sekalipun, respons terbaik adalah menundukkan kepala dalam sujud syukur, mensucikan nama-Nya, memuji keagungan-Nya, dan memohon ampunan atas segala keterbatasan kita. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.