Di antara surah-surah dalam Al-Qur'an, Surat An-Nasr memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Dikenal sebagai salah satu surah terakhir yang diturunkan secara lengkap kepada Nabi Muhammad ﷺ, ia membawa kabar gembira tentang kemenangan besar sekaligus isyarat mendalam tentang berakhirnya sebuah tugas suci. Surah yang singkat ini, hanya terdiri dari tiga ayat, namun kandungannya begitu padat dan sarat makna. Ia bukan sekadar laporan kemenangan, melainkan sebuah pedoman etika dan spiritualitas bagi seorang mukmin dalam menyikapi kesuksesan. Puncak dari pedoman ini terangkum dalam ayat terakhirnya, sebuah kalimat penutup yang menjadi mahkota bagi seluruh risalah kenabian.
Ayat pertama dan kedua mengabarkan tentang pertolongan Allah dan kemenangan yang akan datang, ditandai dengan Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah), serta berbondong-bondongnya manusia memeluk agama Islam. Ini adalah puncak dari perjuangan dakwah selama lebih dari dua dekade. Namun, alih-alih memerintahkan perayaan euforia, Allah justru menutup surah ini dengan sebuah arahan yang menuntun jiwa kembali kepada-Nya. Ayat terakhir inilah yang akan menjadi fokus utama penelusuran kita.
"Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Perintah ini, yang ditujukan langsung kepada Rasulullah ﷺ, pada hakikatnya adalah pelajaran abadi bagi seluruh umatnya. Ia mengajarkan bagaimana seharusnya seorang hamba bersikap ketika berada di puncak pencapaian. Bukan kesombongan, bukan pula berpuas diri, melainkan sebuah kombinasi agung antara penyucian, pujian, dan permohonan ampun. Mari kita selami lebih dalam setiap frasa dari ayat mulia ini untuk mengungkap lapisan-lapisan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Ilustrasi simbolis Pertolongan (Nasr) dan Kemenangan (Fath)
Konteks Historis: Di Balik Turunnya Ayat Penutup
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus kembali ke momen-momen krusial dalam sejarah Islam. Para ulama tafsir, seperti Imam At-Tabari dan Ibnu Katsir, sepakat bahwa Surat An-Nasr turun setelah Perjanjian Hudaibiyah dan sebelum Fathu Makkah, atau sebagian berpendapat turun pada saat Haji Wada' (haji perpisahan). Apapun waktu persisnya, surah ini membawa sebuah nubuat yang jelas: kemenangan besar sudah di ambang pintu. Fathu Makkah, yang terjadi tanpa pertumpahan darah yang berarti, adalah realisasi dari janji tersebut. Makkah, yang dahulu menjadi pusat penindasan terhadap umat Islam, kini tunduk di bawah panji tauhid. Berhala-berhala di sekitar Ka'bah dihancurkan, dan ampunan massal diberikan kepada penduduknya.
Setelah kemenangan gemilang ini, kabilah-kabilah Arab dari seluruh penjuru jazirah mulai mengirimkan delegasi untuk menyatakan keislaman mereka. Fenomena inilah yang digambarkan oleh Al-Qur'an sebagai "manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong." Tugas Rasulullah ﷺ sebagai penyampai risalah secara kolektif telah mencapai puncaknya. Misi utama telah selesai. Namun, justru di titik inilah para sahabat yang memiliki pemahaman mendalam merasakan sesuatu yang lain.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ketika Surat An-Nasr turun, Umar bin Khattab bertanya kepada para sahabat senior tentang maknanya. Sebagian besar dari mereka menafsirkannya sebagai perintah untuk memuji Allah dan meminta ampunan-Nya ketika kemenangan datang. Namun, ketika Umar bertanya kepada Ibnu Abbas yang saat itu masih muda, ia menjawab, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah ﷺ yang Allah beritahukan kepada beliau. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda dekatnya ajalmu, maka 'bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya'." Umar pun berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui dari surah ini kecuali apa yang engkau ketahui."
Pemahaman Ibnu Abbas ini menjadi kunci. Ayat terakhir bukan hanya respons terhadap kemenangan, tetapi juga persiapan untuk bertemu dengan Sang Pemberi Kemenangan. Jika sebuah tugas telah paripurna, maka tidak ada lagi yang tersisa bagi sang utusan selain kembali kepada Yang Mengutus. Dengan demikian, perintah untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar adalah bentuk penutup yang paling sempurna bagi sebuah misi agung. Ia membersihkan segala kemungkinan kekurangan, mensyukuri segala kesempurnaan nikmat, dan mempersiapkan jiwa untuk menghadap Rabb-nya dalam keadaan suci.
Analisis Mendalam Setiap Frasa Ayat Terakhir
Ayat ketiga Surat An-Nasr terdiri dari tiga perintah utama dan satu penegasan yang menguatkan. Setiap katanya dipilih dengan sangat cermat dan memiliki makna teologis yang sangat kaya.
1. `فَسَبِّحْ` (Fasabbih) - Maka Bertasbihlah
Kata `sabbih` berasal dari akar kata `sin-ba-ha` (س-ب-ح), yang secara harfiah berarti "berenang" atau "bergerak dengan cepat di air atau udara". Dari makna dasar ini, muncul makna kiasan untuk "mensucikan". Ketika kita bertasbih, kita seolah-olah "berenang" menjauhkan Allah dari segala sifat kekurangan, kelemahan, atau keserupaan dengan makhluk-Nya. Tasbih adalah deklarasi aktif tentang transendensi Tuhan. Mengucapkan "Subhanallah" berarti "Maha Suci Allah," sebuah penegasan bahwa Allah bebas dari segala atribut negatif yang mungkin terlintas dalam benak manusia.
Pertanyaannya, mengapa perintah pertama setelah kemenangan besar adalah bertasbih? Hikmahnya sangat mendalam. Kemenangan seringkali memicu rasa bangga dan arogansi dalam diri manusia. Seseorang mungkin mulai berpikir bahwa keberhasilan itu adalah buah dari kehebatan strateginya, kekuatan pasukannya, atau kecerdasan rencananya. Perintah untuk bertasbih seketika memotong potensi penyakit hati ini. Dengan mensucikan Allah, kita secara implisit mengakui bahwa kemenangan ini murni datang dari-Nya, bukan dari kekuatan kita. Kita mensucikan Allah dari anggapan bahwa Dia membutuhkan bantuan kita untuk menang. Kemenangan adalah milik-Nya, dan kita hanyalah instrumen. Ini adalah pelajaran pertama dan utama dalam manajemen kesuksesan: kembalikan semua pujian dan kehebatan kepada sumbernya yang hakiki.
2. `بِحَمْدِ رَبِّكَ` (Bihamdi Rabbika) - Dengan Memuji Tuhanmu
Perintah tasbih tidak berdiri sendiri, ia digandengkan dengan `hamd` atau pujian. Jika tasbih adalah proses negasi (meniadakan sifat-sifat buruk dari Allah), maka tahmid adalah proses afirmasi (menetapkan segala sifat kesempurnaan bagi Allah). `Hamd` lebih dari sekadar pujian biasa (`madh`). Ia adalah pujian yang lahir dari rasa cinta, pengagungan, dan syukur atas segala nikmat yang diterima maupun yang tidak diterima. Ungkapan "Alhamdulillah" berarti segala puji hanya milik Allah.
Gabungan "tasbih" dan "tahmid" (`Subhanallahi wa bihamdih`) adalah zikir yang sangat dicintai Allah. Ia mencakup dua pilar utama dalam mengenal Allah: mensucikan-Nya dari segala kekurangan dan memuji-Nya atas segala kesempurnaan. Dalam konteks ayat ini, setelah kita mengakui bahwa kemenangan bukan karena kekuatan kita (tasbih), kita kemudian menegaskan bahwa kemenangan itu terjadi karena kesempurnaan sifat-sifat Allah: Kekuatan-Nya (`Al-Qawiy`), Kebijaksanaan-Nya (`Al-Hakim`), dan Pertolongan-Nya (`An-Nasir`).
Penggunaan kata `Rabbika` (Tuhanmu) juga sangat personal. Kata `Rabb` tidak hanya berarti Tuhan, tetapi juga berarti Pemelihara, Pendidik, Pengatur, dan Pemberi Nikmat. Ini mengingatkan Nabi Muhammad ﷺ dan kita semua bahwa Allah yang memerintahkan ini adalah Tuhan yang sama yang telah memelihara kita sejak awal, mendidik kita melalui wahyu, dan mengatur segala urusan kita hingga mencapai titik kemenangan ini. Ada nuansa keintiman dan kasih sayang dalam panggilan "Rabbika", yang membuat perintah ini terasa bukan sebagai beban, melainkan sebagai sebuah respons cinta dari hamba kepada Sang Pencipta.
3. `وَاسْتَغْفِرْهُ` (Wastaghfirhu) - Dan Mohonlah Ampun kepada-Nya
Ini adalah bagian yang paling sering menimbulkan pertanyaan. Mengapa Rasulullah ﷺ, seorang yang `ma'shum` (terpelihara dari dosa), diperintahkan untuk memohon ampun (istighfar)? Terlebih lagi, perintah ini datang setelah beliau berhasil menunaikan tugasnya dengan sempurna. Di sinilah letak keagungan ajaran Islam tentang kerendahan hati.
Para ulama memberikan beberapa penjelasan yang saling melengkapi:
- Sebagai Teladan bagi Umatnya: Jika Nabi yang tanpa dosa saja diperintahkan untuk beristighfar, apalagi kita yang setiap hari bergelimang dengan kesalahan dan kelalaian. Perintah ini menetapkan sebuah sunnah, sebuah contoh, bahwa istighfar bukanlah milik para pendosa saja, melainkan zikir bagi setiap hamba yang sadar akan keagungan Allah dan kekurangan dirinya.
- Penyempurna Amal: Tidak ada satu pun amal manusia yang bisa sempurna 100% jika dibandingkan dengan hak Allah yang seharusnya diterima. Dalam proses perjuangan dakwah yang panjang, mungkin ada hal-hal kecil yang luput, ada kelalaian yang tidak disengaja, atau ada hak-hak yang belum tertunaikan secara absolut. Istighfar datang untuk menambal segala kekurangan ini, menyempurnakan amal tersebut di hadapan Allah. Sama seperti kita menutup shalat dengan istighfar, sebuah misi besar pun ditutup dengan istighfar.
- Bentuk Syukur Tertinggi: Memohon ampun setelah menerima nikmat besar adalah bentuk pengakuan bahwa kita tidak layak menerima nikmat tersebut dan merasa kurang dalam mensyukurinya. Ini adalah puncak adab seorang hamba. Ia tidak merasa berhak atas kemenangan, malah merasa perlu memohon ampun atas ketidakmampuannya bersyukur secara sempurna.
- Peningkatan Derajat: Bagi seorang Nabi, istighfar berfungsi untuk mengangkat derajatnya ke tingkat yang lebih tinggi lagi di sisi Allah. Setiap istighfar adalah sebuah anak tangga baru menuju kedekatan yang lebih paripurna dengan Allah SWT.
Perintah istighfar di akhir sebuah tugas mengajarkan kita sebuah prinsip penting: jangan pernah merasa puas dengan amal kita. Kesuksesan duniawi bukanlah garis finis. Garis finis yang sesungguhnya adalah keridhaan Allah, dan jalan menuju ke sana selalu dihiasi dengan tasbih, tahmid, dan istighfar.
4. `إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًۢا` (Innahu Kaana Tawwaabaa) - Sungguh, Dia Maha Penerima Tobat
Ayat ini tidak berhenti pada perintah, tetapi ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan jiwa. Setelah memerintahkan untuk memohon ampun, Allah langsung memperkenalkan diri-Nya dengan salah satu nama terindah-Nya: `At-Tawwab`. Kata ini berasal dari akar kata `tauba`, yang berarti "kembali". `At-Tawwab` adalah bentuk `mubalaghah` (intensif), yang berarti bukan hanya "Penerima Tobat", melainkan "Maha Sangat Terus-menerus Menerima Tobat".
Penggunaan kata `kaana` (كان), yang sering diterjemahkan sebagai "adalah" atau "dahulu", dalam konteks sifat Allah menunjukkan keberlangsungan dan keabadian. Artinya, sifat Allah sebagai `At-Tawwab` bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah ada sejak azali dan akan terus ada selamanya. Ini memberikan harapan yang tak terbatas. Pintu tobat-Nya tidak pernah tertutup bagi hamba yang ingin kembali.
Kalimat penutup ini adalah jawaban langsung atas perintah sebelumnya. Seolah-olah Allah berfirman, "Mohonlah ampun kepada-Ku, dan jangan ragu, karena Aku pada hakikat-Ku adalah Dzat yang selalu rindu untuk menerima kembalinya hamba-Ku." Ini adalah puncak dari rahmat dan kasih sayang Allah. Ia tidak hanya memerintahkan, tetapi juga menjamin bahwa permintaan ampun itu akan disambut dengan tangan terbuka. Ini memberikan ketenangan luar biasa, terutama bagi seseorang yang berada di penghujung usianya, bahwa perjalanannya akan berakhir dalam dekapan ampunan dan rahmat Tuhannya.
Hikmah dan Pelajaran Universal untuk Kehidupan
Meskipun turun dalam konteks spesifik, ayat terakhir Surat An-Nasr mengandung prinsip-prinsip universal yang relevan bagi setiap muslim di setiap zaman. Ia adalah panduan hidup dalam menyikapi nikmat, kesuksesan, dan penyelesaian tugas.
1. Adab dalam Merayakan Keberhasilan
Dunia modern seringkali mengajarkan kita untuk merayakan kesuksesan dengan pesta pora, pamer, dan menonjolkan pencapaian diri. Islam, melalui ayat ini, menawarkan cara yang jauh lebih elegan dan bermakna. Respons terbaik terhadap keberhasilan adalah respons spiritual:
- Tasbih: Mensucikan Allah dari anggapan bahwa kesuksesan ini milik kita. Ini menumbuhkan kerendahan hati dan mematikan bibit arogansi.
- Tahmid: Memuji Allah dengan tulus, mengembalikan segala pujian kepada-Nya. Ini menumbuhkan rasa syukur yang mendalam.
- Istighfar: Memohon ampun atas segala kekurangan dalam proses pencapaian dan dalam mensyukuri hasilnya. Ini menumbuhkan introspeksi dan keinginan untuk selalu menjadi lebih baik.
Tiga serangkai ini adalah formula ilahiah untuk menjaga agar nikmat tidak berubah menjadi `istidraj` (ujian yang melenakan) dan agar kesuksesan membawa berkah, bukan petaka.
2. Prinsip "Menutup dengan Kebaikan"
Ayat ini mengajarkan kita untuk selalu mengakhiri setiap aktivitas penting dengan zikir dan permohonan ampun. Sebagaimana shalat diakhiri dengan zikir dan istighfar, dan majelis yang baik ditutup dengan `kafaratul majelis` (yang juga berisi tasbih, tahmid, dan istighfar), maka setiap proyek besar, setiap pencapaian karier, atau bahkan setiap hari yang kita lalui, selayaknya ditutup dengan cara yang sama. Ini memastikan bahwa apa yang kita lakukan tercatat sebagai kebaikan yang sempurna di sisi Allah.
3. Keseimbangan Antara Harapan (`Raja'`) dan Cemas (`Khauf`)
Perintah untuk beristighfar menanamkan rasa `khauf` (cemas) yang sehat, yaitu kekhawatiran bahwa amal kita mungkin tidak sempurna atau tidak diterima. Namun, penegasan bahwa Allah adalah `At-Tawwab` langsung menyeimbangkannya dengan `raja'` (harapan) yang kuat akan ampunan dan rahmat-Nya. Seorang mukmin sejati hidup di antara dua kutub ini: tidak pernah merasa aman dari kekurangan diri, namun juga tidak pernah putus asa dari rahmat Tuhannya. Keseimbangan ini menjaganya dari sifat sombong di satu sisi, dan keputusasaan di sisi lain.
4. Mempersiapkan Diri untuk "Garis Finis" Kehidupan
Sebagaimana surah ini menjadi isyarat berakhirnya misi kenabian, ia juga menjadi pengingat bagi kita tentang fana-nya kehidupan. Setiap dari kita memiliki misi dan jatah waktu di dunia ini. Ketika tanda-tanda bahwa tugas kita akan segera berakhir mulai tampak—baik melalui usia senja, penyakit, atau tercapainya tujuan hidup—maka amalan terbaik yang bisa kita perbanyak adalah tasbih, tahmid, dan istighfar. Ini adalah bekal terbaik untuk perjalanan pulang menuju Allah SWT. Rasulullah ﷺ sendiri, setelah turunnya surah ini, diketahui memperbanyak bacaan "Subhanallahi wa bihamdihi, astaghfirullah wa atubu ilaih" dalam rukuk dan sujudnya.
Aisyah radhiyallahu 'anha meriwayatkan, "Rasulullah ﷺ sering sekali mengucapkan dalam rukuk dan sujudnya: 'Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika, Allahummaghfirli' (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku), sebagai pengamalan dari (perintah) Al-Qur'an (dalam Surat An-Nasr)."
Kesimpulan: Peta Jalan Menuju Husnul Khatimah
Surat An-Nasr ayat terakhir, `Fasabbih bihamdi Rabbika wastaghfirhu, innahu kaana tawwaabaa`, lebih dari sekadar kalimat penutup. Ia adalah sebuah ringkasan padat dari seluruh etika kehambaan. Ia adalah kompas yang mengarahkan jiwa pada saat tersesat dalam euforia kemenangan, dan ia adalah pelukan hangat yang menenangkan hati di penghujung perjalanan.
Ayat ini mengajarkan bahwa puncak dari segala pencapaian bukanlah pengakuan manusia, melainkan pengakuan akan keagungan Tuhan. Puncak dari segala kekuatan bukanlah dominasi, melainkan sujud kerendahan hati. Dan puncak dari sebuah kehidupan yang sukses bukanlah warisan duniawi, melainkan sebuah kepulangan yang diiringi dengan jiwa yang telah disucikan melalui tasbih, dihiasi dengan rasa syukur melalui tahmid, dan dibersihkan dari noda melalui istighfar, dengan keyakinan penuh bahwa ia akan disambut oleh Tuhan Yang Maha Penerima Tobat. Inilah esensi dari kemenangan sejati, sebuah kemenangan yang tidak berakhir saat nyawa berpisah dari raga, tetapi justru dimulai pada saat itu.