Membedah Urutan Turunnya Surat An-Nasr dan Makna Kemenangan Hakiki

Ilustrasi Ka'bah sebagai simbol Fathu Makkah نَصْرٌ Ilustrasi Ka'bah di Makkah dengan kaligrafi kata 'Nasr' yang berarti pertolongan, melambangkan kemenangan yang diberikan Allah.

Al-Qur'an, sebagai kalamullah yang agung, diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Proses pewahyuan ini tidak mengikuti urutan surat sebagaimana yang kita kenal dalam mushaf Utsmani saat ini. Ada urutan berdasarkan waktu dan sebab turunnya, yang dikenal sebagai tartib nuzuli, dan ada urutan penulisan dalam mushaf, atau tartib mushafi. Salah satu surat yang memiliki signifikansi historis dan spiritual yang mendalam adalah Surat An-Nasr. Surat pendek ini, yang hanya terdiri dari tiga ayat, membawa kabar gembira tentang kemenangan besar dan pertolongan Allah. Namun, pertanyaan yang sering muncul di kalangan para penuntut ilmu adalah, surat An-Nasr diturunkan setelah surat apa?

Memahami konteks pewahyuan sebuah surat adalah kunci untuk membuka lapisan-lapisan maknanya. Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya bersifat kronologis, tetapi juga membuka wawasan tentang fase akhir dari misi kenabian Rasulullah SAW, serta pesan universal yang terkandung di dalamnya. Surat ini menjadi penanda sebuah era baru, puncak dari perjuangan panjang yang sarat dengan pengorbanan, kesabaran, dan keyakinan yang tak tergoyahkan.

Urutan Pewahyuan: Jawaban Berdasarkan Riwayat

Untuk menjawab pertanyaan "surat An-Nasr diturunkan setelah surat apa?", kita perlu merujuk kepada pendapat para ulama ahli tafsir dan hadis yang telah mengkaji secara mendalam tentang sejarah Al-Qur'an. Berdasarkan riwayat-riwayat yang paling kuat dan diterima oleh mayoritas ulama, Surat An-Nasr diturunkan setelah Surat At-Taubah. Pendapat ini didasarkan pada analisis konteks sejarah dan isi dari kedua surat tersebut.

Surat At-Taubah, yang juga dikenal sebagai Surat Bara'ah, merupakan salah satu surat Madaniyah yang turun pada fase akhir kehidupan Rasulullah SAW. Surat ini berisi deklarasi final dan pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin yang terus-menerus melanggar perjanjian. Di dalamnya, Allah SWT memberikan ultimatum kepada mereka dan membersihkan Jazirah Arab dari praktik kemusyrikan, khususnya di sekitar Ka'bah. Surat At-Taubah menjadi landasan teologis dan yuridis bagi supremasi Islam di seluruh wilayah Arab.

Setelah deklarasi tegas dalam Surat At-Taubah ini, maka datanglah Surat An-Nasr sebagai konfirmasi atas hasil dari ketegasan tersebut. Surat An-Nasr turun untuk memberitakan buah dari perjuangan itu, yaitu datangnya pertolongan Allah (Nasrullah) dan kemenangan yang nyata (Al-Fath), yang puncaknya adalah Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Dengan ditaklukkannya Makkah sebagai pusat spiritual dan sosial bangsa Arab, suku-suku lain yang sebelumnya ragu-ragu atau memusuhi Islam mulai melihat kebenaran dan kekuatan yang menyertainya. Akibatnya, mereka berbondong-bondong memeluk agama Allah, sebagaimana digambarkan dalam ayat kedua Surat An-Nasr.

Dengan demikian, urutan kronologisnya menjadi sangat jelas dan logis. Pertama, datang penegasan dan pemutusan hubungan melalui Surat At-Taubah. Kemudian, datang realisasi kemenangan dan hasilnya melalui Surat An-Nasr. Hubungan tematik antara keduanya sangat erat dan saling melengkapi, menggambarkan sebuah proses dari penegasan prinsip hingga pencapaian kemenangan total.

Asbabun Nuzul: Latar Belakang Turunnya Surat Kemenangan

Konteks utama di balik turunnya Surat An-Nasr adalah peristiwa Fathu Makkah. Namun, surat ini tidak turun tepat pada saat peristiwa itu terjadi, melainkan setelahnya, pada masa Haji Wada' (haji perpisahan) Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini menjadi momen reflektif atas seluruh perjalanan dakwah beliau.

Peristiwa Fathu Makkah sebagai Puncak Kemenangan

Fathu Makkah adalah titik balik dalam sejarah Islam. Peristiwa ini terjadi tanpa pertumpahan darah yang berarti, sebuah kemenangan yang dilandasi oleh rahmat dan pengampunan, bukan balas dendam. Setelah bertahun-tahun diusir dari kampung halaman mereka, Rasulullah SAW dan para sahabat kembali sebagai pemenang. Namun, kemenangan ini bukanlah tentang arogansi atau penaklukan duniawi. Ini adalah tentang kembalinya Ka'bah kepada fungsinya yang murni, yaitu sebagai rumah untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, bersih dari berhala-berhala yang selama ini mencemarinya.

Kemenangan ini adalah buah dari kesabaran yang luar biasa. Dimulai dari dakwah sembunyi-sembunyi, penindasan yang kejam di Makkah, hijrah ke Madinah, serangkaian peperangan defensif seperti Badar, Uhud, dan Khandaq, hingga Perjanjian Hudaibiyah yang secara strategis membuka jalan bagi kemenangan akhir ini. Semua itu adalah bagian dari proses panjang yang membentuk fondasi kemenangan yang diberitakan dalam Surat An-Nasr.

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"

Ayat ini secara spesifik merujuk pada pertolongan Allah yang memungkinkan terjadinya Fathu Makkah. Kata "Al-Fath" yang berarti "pembukaan" atau "kemenangan" secara definitif dipahami oleh para mufasir sebagai penaklukan kota Makkah. Ini adalah "pembukaan" gerbang hidayah bagi seluruh Jazirah Arab.

Isyarat Dekatnya Ajal Rasulullah SAW

Salah satu aspek paling mendalam dari asbabun nuzul Surat An-Nasr adalah makna tersirat yang terkandung di dalamnya. Ketika surat ini turun, banyak sahabat yang bergembira karena melihatnya sebagai kabar kemenangan. Namun, para sahabat senior dan yang memiliki pemahaman mendalam, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ibnu Abbas, justru menangis. Mereka memahami bahwa surat ini bukan sekadar berita kemenangan, melainkan juga sebuah isyarat bahwa tugas Rasulullah SAW di dunia telah selesai dan waktu kembalinya beliau kepada Allah sudah dekat.

Logikanya sederhana: jika misi utama telah tercapai, yaitu pertolongan Allah telah datang, kemenangan telah diraih, dan manusia telah berbondong-bondong masuk Islam, maka tugas sang utusan telah paripurna. Perintah di ayat terakhir, "maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya," dipahami sebagai persiapan untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Ini adalah perintah untuk menyempurnakan amal di akhir hayat dengan tasbih, tahmid, dan istighfar.

Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada para sahabat senior tentang makna surat ini. Banyak yang memberikan jawaban standar tentang perintah bersyukur atas kemenangan. Namun, ketika giliran Ibnu Abbas yang saat itu masih muda, beliau menjawab, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau." Umar pun membenarkan tafsiran tersebut. Pemahaman ini menunjukkan kedalaman ilmu para sahabat dalam menangkap isyarat-isyarat halus dari Al-Qur'an.

Tafsir Mendalam Ayat per Ayat Surat An-Nasr

Untuk memahami sepenuhnya kekayaan makna surat ini, mari kita bedah setiap ayatnya secara lebih rinci.

Ayat 1: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan)

إِذَا (Idzaa): Kata pembuka ini dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Penggunaannya memberikan keyakinan dan kepastian bahwa janji Allah ini bukanlah sebuah kemungkinan, melainkan sebuah keniscayaan. Ini memberikan kekuatan dan optimisme kepada kaum mukminin bahwa pertolongan itu pasti akan datang.

نَصْرُ اللَّهِ (Nashrullah): Frasa ini berarti "pertolongan Allah". Penyandaran kata "pertolongan" (nasr) kepada "Allah" (Allah) mengandung makna yang sangat kuat. Ini menegaskan bahwa kemenangan yang diraih bukanlah semata-mata karena kekuatan militer, strategi perang, atau jumlah pasukan. Kemenangan itu murni berasal dari intervensi ilahi. Ini adalah pelajaran fundamental dalam tauhid: segala kekuatan dan keberhasilan hakikatnya bersumber dari Allah SWT. Tanpa Nashrullah, segala upaya manusia akan sia-sia.

وَالْفَتْحُ (Wal-Fath): Kata ini secara harfiah berarti "pembukaan". Dalam konteks ini, ia memiliki makna ganda. Makna spesifiknya adalah Fathu Makkah, terbukanya kota Makkah bagi Islam. Namun, makna umumnya jauh lebih luas. Ia merujuk pada terbukanya hati manusia untuk menerima kebenaran, terbukanya pintu-pintu dakwah, dan terbukanya jalan bagi tersebarnya ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Jadi, kemenangan ini bukan hanya fisik (penaklukan kota), tetapi juga spiritual (penaklukan hati).

Ayat 2: وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah)

وَرَأَيْتَ النَّاسَ (Wa ra'aitan-naas): "Dan engkau melihat manusia". Kata ganti "engkau" (ra'ayta) ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah pengakuan dari Allah atas hasil jerih payah beliau. Allah seakan-akan berfirman, "Wahai Muhammad, saksikanlah dengan mata kepalamu sendiri buah dari kesabaran dan perjuanganmu." Ini adalah sebuah kehormatan besar bagi Rasulullah, di mana beliau diperlihatkan kesuksesan misinya selagi masih hidup.

يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ (Yadkhuluuna fii diinillah): "Masuk ke dalam agama Allah". Frasa ini menunjukkan sebuah perubahan fundamental. Manusia tidak lagi hanya menerima Islam sebagai sebuah kekuatan politik, tetapi mereka "masuk ke dalamnya", mengadopsinya sebagai jalan hidup yang utuh, sebagai sistem kepercayaan, moral, dan sosial.

أَفْوَاجًا (Afwaajaa): "Berbondong-bondong" atau "dalam kelompok-kelompok besar". Kata ini menggambarkan kontras yang tajam dengan masa-masa awal dakwah di Makkah. Dulu, orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, dan sering kali harus menghadapi siksaan. Sekarang, setelah Fathu Makkah, delegasi dari berbagai suku dan kabilah di seluruh Arab datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka secara kolektif. Era ketakutan telah berakhir, digantikan oleh era penerimaan massal. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai 'Am al-Wufud (Tahun Delegasi).

Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat)

Ayat terakhir ini adalah inti dari respons yang seharusnya diberikan oleh seorang hamba ketika menerima nikmat besar. Bukan pesta pora atau kesombongan, melainkan kembali kepada Allah dengan kerendahan hati.

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ (Fasabbih bihamdi Rabbika): "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu". Perintah ini memiliki dua komponen:

Kombinasi tasbih dan tahmid adalah resep spiritual untuk menjaga hati dari kecongkakan saat berada di puncak kesuksesan.

وَاسْتَغْفِرْهُ (Wastaghfirhu): "Dan mohonlah ampun kepada-Nya". Ini adalah bagian yang paling mengejutkan sekaligus paling mendalam. Mengapa di saat kemenangan terbesar, Rasulullah SAW—sosok yang ma'shum (terjaga dari dosa)—diperintahkan untuk beristighfar? Para ulama menjelaskan beberapa hikmah agung di baliknya:

  1. Sebagai bentuk kerendahan hati: Istighfar adalah pengakuan akan kelemahan dan kekurangan diri di hadapan keagungan Allah. Bahkan dalam amal ibadah dan perjuangan terbesar sekalipun, pasti ada kekurangan yang tidak kita sadari. Istighfar menyempurnakan amal tersebut.
  2. Sebagai pengajaran bagi umatnya: Jika Rasulullah SAW saja diperintahkan beristighfar di puncak kejayaannya, apalagi kita yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Ini adalah teladan abadi bahwa istighfar bukanlah untuk pendosa saja, tetapi juga untuk orang-orang saleh sebagai cara untuk meningkatkan derajat dan membersihkan hati.
  3. Sebagai isyarat penutup misi: Seperti yang dipahami oleh Ibnu Abbas, perintah istighfar ini adalah persiapan untuk "pulang". Seorang musafir yang akan kembali ke kampung halamannya akan bersiap-siap, membersihkan diri, dan menyelesaikan semua urusannya. Istighfar adalah pembersihan spiritual terakhir sebelum menghadap Allah SWT.

إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Innahu kaana tawwaabaa): "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat". Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Nama Allah "At-Tawwab" berasal dari kata yang berarti "kembali". Allah senantiasa "kembali" kepada hamba-Nya dengan rahmat dan ampunan, setiap kali hamba itu "kembali" kepada-Nya dengan tobat dan penyesalan. Ini adalah pintu harapan yang selalu terbuka, sebuah jaminan bahwa sebanyak apa pun kekurangan kita, ampunan Allah jauh lebih luas.

Hikmah dan Pelajaran Abadi dari Surat An-Nasr

Meskipun Surat An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesannya bersifat universal dan abadi. Ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik untuk kehidupan kita sehari-hari, baik secara individu maupun kolektif.

1. Kemenangan Sejati Milik Allah

Pelajaran paling fundamental adalah bahwa sumber segala pertolongan dan kemenangan hanyalah Allah. Dalam mengejar cita-cita, baik duniawi maupun ukhrawi, kita wajib berusaha maksimal. Namun, hati kita harus senantiasa bergantung kepada Allah. Kemenangan bukan ditentukan oleh seberapa canggih strategi kita atau seberapa besar sumber daya kita, melainkan oleh izin dan pertolongan (nasrullah) dari-Nya. Ini mengajarkan kita untuk tidak sombong saat berhasil dan tidak putus asa saat gagal.

2. Adab dalam Merayakan Kesuksesan

Surat An-Nasr memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin merespons nikmat kesuksesan. Respons yang diajarkan bukanlah euforia yang melalaikan, melainkan sujud syukur yang mendekatkan diri kepada-Nya. Adab kesuksesan dalam Islam adalah:

Ini berlaku untuk segala jenis kesuksesan, mulai dari lulus ujian, mendapatkan promosi jabatan, hingga memenangkan sebuah kompetisi.

3. Setiap Permulaan Memiliki Akhir

Isyarat tentang dekatnya ajal Rasulullah SAW dalam surat ini mengajarkan kita tentang siklus kehidupan. Setiap tugas, setiap amanah, setiap fase kehidupan memiliki titik akhir. Ketika sebuah tujuan besar tercapai, itu adalah pertanda bahwa kita harus bersiap untuk fase berikutnya, yang puncaknya adalah pertemuan dengan Allah. Ini memotivasi kita untuk selalu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dan mempersiapkan bekal untuk akhirat, karena kita tidak pernah tahu kapan misi kita di dunia ini akan "paripurna".

4. Optimisme dan Janji Allah

Bagi umat Islam di setiap zaman yang mungkin menghadapi tantangan, penindasan, atau kesulitan, Surat An-Nasr adalah sumber optimisme yang tak pernah padam. Surat ini adalah janji dari Allah bahwa selama kita berada di jalan-Nya, pertolongan-Nya pasti akan datang. Mungkin prosesnya panjang dan melelahkan, tetapi hasil akhirnya adalah kemenangan bagi orang-orang yang beriman dan sabar. Sebagaimana Rasulullah dan para sahabat mengalami kemenangan setelah 21 tahun berjuang, demikian pula janji itu berlaku bagi umatnya hingga akhir zaman.

Kesimpulan: Penegasan Kemenangan dan Kerendahan Hati

Jadi, untuk kembali ke pertanyaan awal, surat An-Nasr diturunkan setelah surat At-Taubah menurut pendapat terkuat para ulama. Urutan ini memiliki alur narasi yang sangat kuat: setelah Allah mendeklarasikan pemutusan total dengan kemusyrikan melalui At-Taubah, Allah kemudian mengabarkan realisasi dari kemenangan total Islam di Jazirah Arab melalui An-Nasr.

Lebih dari sekadar informasi kronologis, Surat An-Nasr adalah sebuah manifesto tentang hakikat kemenangan dalam Islam. Kemenangan bukanlah tentang dominasi, tetapi tentang tersebarnya hidayah. Respons terhadap kemenangan bukanlah arogansi, tetapi tasbih, tahmid, dan istighfar. Dan puncak dari setiap kemenangan di dunia adalah persiapan untuk kembali menghadap Sang Pemberi Kemenangan, Allah SWT, dengan hati yang tunduk dan jiwa yang bersih. Surat ini, meskipun pendek, merangkum seluruh esensi dari perjalanan dakwah, perjuangan, kesuksesan, dan kepulangan seorang hamba yang paling agung, Nabi Muhammad SAW.

🏠 Homepage