Pertanyaan fundamental yang sering muncul di benak para pembelajar Al-Qur'an, baik pemula maupun yang ingin memperdalam, adalah mengenai letak sebuah surat. Salah satu pertanyaan yang populer adalah, surat An-Nasr terdapat pada juz yang ke berapa? Jawaban singkat dan langsung untuk pertanyaan ini adalah: Surat An-Nasr terdapat pada Juz ke-30, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Juz 'Amma.
Namun, mengetahui nomor juz hanyalah langkah awal, sebuah gerbang pembuka untuk menyelami samudra hikmah yang terkandung di dalamnya. Surat An-Nasr, meskipun hanya terdiri dari tiga ayat yang singkat, memiliki kedalaman makna, konteks historis yang monumental, dan pelajaran abadi yang relevan sepanjang masa. Artikel ini akan mengupas tuntas tidak hanya lokasi surat ini, tetapi juga segala aspek yang melingkupinya, menjadikannya sebuah pembahasan komprehensif yang melampaui sekadar jawaban satu kalimat.
Penempatan di Juz 30: Konteks dan Karakteristik
Juz 30, atau Juz 'Amma, adalah bagian terakhir dari Al-Qur'an. Ia dimulai dari Surat An-Naba' (78) dan diakhiri dengan Surat An-Nas (114). Juz ini memiliki karakteristik yang khas. Mayoritas surat di dalamnya adalah surat-surat Makkiyah, yaitu surat yang diturunkan sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Ciri utama surat Makkiyah adalah ayatnya yang pendek-pendek, bahasanya puitis dan menggetarkan, serta fokus temanya pada penanaman akidah dasar: keesaan Allah, kenabian, dan kepastian hari kiamat.
Di sinilah letak keunikan Surat An-Nasr. Surat ini, menurut pendapat mayoritas ulama, tergolong sebagai surat Madaniyah, yaitu surat yang turun setelah peristiwa hijrah. Lebih spesifik lagi, ia adalah salah satu surat terakhir yang diwahyukan kepada Rasulullah ﷺ. Penempatannya di antara surat-surat pendek di Juz 30 bukanlah tanpa hikmah. Urutan surat dalam Al-Qur'an bersifat tauqifi, artinya ditetapkan berdasarkan petunjuk langsung dari Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad ﷺ, bukan berdasarkan urutan kronologis turunnya wahyu.
Kehadiran Surat An-Nasr di Juz 'Amma seolah menjadi puncak atau konklusi dari perjuangan dakwah yang digambarkan dalam banyak surat Makkiyah. Jika surat-surat Makkiyah berbicara tentang awal perjuangan, tantangan, dan penolakan kaum kafir, maka Surat An-Nasr datang sebagai proklamasi kemenangan dan keberhasilan misi tersebut. Ia menjadi penegas bahwa janji pertolongan Allah yang sering disebut-sebut dalam ayat-ayat sebelumnya telah terbukti secara nyata. Posisinya di akhir mushaf juga secara simbolis menandakan akhir dari sebuah era perjuangan dan penyempurnaan risalah Islam.
Asbabun Nuzul: Latar Belakang Turunnya Wahyu yang Monumental
Untuk memahami jiwa dari Surat An-Nasr, kita harus menyelami konteks sejarah turunnya, atau yang dikenal sebagai Asbabun Nuzul. Surat ini berkaitan erat dengan salah satu peristiwa paling menentukan dalam sejarah Islam: Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah).
Setelah bertahun-tahun berdakwah di Makkah dengan penuh kesabaran menghadapi intimidasi, penganiayaan, dan boikot, Rasulullah ﷺ dan para sahabat akhirnya hijrah ke Madinah. Dari sanalah fondasi negara Islam dibangun. Perjuangan tidak berhenti; serangkaian peperangan terjadi antara kaum muslimin di Madinah dan kaum kafir Quraisy Makkah. Puncaknya adalah Perjanjian Hudaibiyah, sebuah gencatan senjata yang pada awalnya tampak merugikan kaum muslimin, namun ternyata menjadi pembuka jalan bagi kemenangan besar.
Beberapa waktu setelah perjanjian tersebut, suku sekutu Quraisy melanggar isi perjanjian dengan menyerang suku sekutu kaum muslimin. Pelanggaran fatal ini memberikan legitimasi bagi Rasulullah ﷺ untuk membatalkan perjanjian dan bergerak menuju Makkah. Beliau mempersiapkan pasukan besar yang terdiri dari sekitar 10.000 sahabat. Namun, tujuan utama bukanlah pertumpahan darah, melainkan penaklukan yang damai.
Dengan pertolongan Allah, kaum muslimin memasuki kota Makkah nyaris tanpa perlawanan. Itu adalah momen yang luar biasa. Rasulullah ﷺ, yang dahulu diusir dari kota kelahirannya, kini kembali sebagai seorang pemenang. Namun, beliau tidak menunjukkan kesombongan sedikit pun. Beliau masuk dengan kepala tertunduk penuh tawadhu', sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Beliau membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala yang selama ini menjadi pusat kemusyrikan, dan mengumandangkan kalimat tauhid.
Saat para penduduk Makkah yang dahulu memusuhi beliau berkumpul dengan penuh ketakutan, menanti hukuman, Rasulullah ﷺ justru bertanya, "Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?" Mereka menjawab, "Kebaikan. Engkau adalah saudara yang mulia, putra dari saudara yang mulia." Maka, Rasulullah ﷺ mengucapkan kalimat bersejarahnya yang menunjukkan puncak kemuliaan akhlak, "Pergilah kalian semua, kalian bebas."
Setelah peristiwa Fathu Makkah yang gemilang inilah, Surat An-Nasr diturunkan. Kemenangan ini bukan sekadar kemenangan militer, tetapi kemenangan ideologi, kemenangan kebenaran atas kebatilan. Ia membuka mata banyak kabilah Arab tentang kebenaran Islam. Mereka yang tadinya ragu dan menunggu siapa yang akan menang antara Quraisy dan Muhammad ﷺ, kini melihat dengan jelas bahwa pertolongan Allah ada di pihak kaum muslimin. Inilah konteks di mana kita harus membaca dan merenungkan setiap kata dalam Surat An-Nasr.
Tafsir Mendalam Ayat per Ayat: Mengungkap Lapisan Makna
Meskipun ringkas, setiap ayat, bahkan setiap kata dalam Surat An-Nasr, mengandung makna yang sangat padat. Mari kita bedah satu per satu.
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Ayat 1: "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"
إِذَا (Idzaa): Kata pembuka ini dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Berbeda dengan kata 'in' yang berarti 'jika' dan mengandung unsur ketidakpastian. Penggunaan 'idzaa' di sini adalah sebuah penegasan dari Allah bahwa pertolongan dan kemenangan itu adalah sebuah keniscayaan, sebuah janji yang pasti akan ditepati. Ini memberikan optimisme dan kekuatan kepada orang-orang beriman.
جَاءَ (Jaa-a): Artinya 'telah datang'. Ini menunjukkan bahwa pertolongan itu bukan sesuatu yang dicari-cari atau direkayasa manusia, melainkan sesuatu yang 'datang' dari Allah sebagai karunia-Nya. Kedatangannya terjadi pada waktu yang telah ditetapkan-Nya, setelah melalui proses perjuangan, kesabaran, dan pengorbanan.
نَصْرُ اللَّهِ (Nashrullah): 'Pertolongan Allah'. Kata 'nashr' bukan sekadar bantuan biasa. Ia adalah pertolongan yang mengantarkan kepada kemenangan telak atas musuh. Penyandaran kata 'nashr' kepada 'Allah' (Nashrullah) menegaskan bahwa sumber pertolongan ini murni dari Allah. Manusia hanya berikhtiar, namun hasil akhir dan pertolongan hakiki datangnya dari Yang Maha Kuasa. Ini adalah pelajaran penting untuk tidak pernah menyandarkan kemenangan pada kekuatan jumlah, persenjataan, atau strategi semata, melainkan pada pertolongan ilahi.
وَالْفَتْحُ (Wal-fath): 'dan kemenangan'. Kata 'al-fath' secara harfiah berarti 'pembukaan'. Para ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud secara spesifik di sini adalah Fathu Makkah, 'pembukaan' kota Makkah. Disebut 'pembukaan' karena peristiwa ini bukan sekadar menaklukkan sebuah kota, tetapi 'membuka' hati manusia untuk menerima Islam, 'membuka' jalan bagi dakwah ke seluruh Jazirah Arab, dan 'membuka' era baru di mana Islam menjadi kekuatan yang dominan.
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
Ayat 2: "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
وَرَأَيْتَ (Wa ra-aita): 'dan engkau melihat'. Kata ganti 'engkau' (anta, yang tersirat) ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah pengakuan dan penghargaan dari Allah atas hasil jerih payah beliau. Allah seakan berfirman, "Lihatlah, wahai Muhammad, buah dari kesabaran dan perjuanganmu selama ini." Penglihatan ini bukan sekadar penglihatan mata, tetapi juga kesaksian atas terwujudnya janji Allah.
النَّاسَ (An-Naas): 'manusia'. Penggunaan kata 'an-naas' yang bersifat umum menunjukkan universalitas pesan Islam. Bukan hanya orang Quraisy atau bangsa Arab saja, tetapi 'manusia' secara keseluruhan. Ini adalah isyarat bahwa setelah Fathu Makkah, Islam akan menyebar ke berbagai bangsa dan suku.
يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ (Yadkhuluuna fii diinillah): 'mereka masuk ke dalam agama Allah'. Frasa ini sangat indah. Dikatakan 'masuk ke dalam', bukan 'd dimasukkan'. Ini menunjukkan bahwa mereka memeluk Islam atas kesadaran dan kemauan sendiri, tanpa paksaan. Setelah rintangan utama, yaitu kekuasaan Quraisy di Makkah, runtuh, manusia bisa melihat keindahan dan kebenaran Islam dengan lebih jernih, lalu mereka pun 'masuk' dengan sukarela. Penyebutan 'agama Allah' (diinillah) kembali menegaskan bahwa agama ini bukanlah ciptaan Muhammad ﷺ, melainkan milik Allah semata.
أَفْوَاجًا (Afwaajaa): 'berbondong-bondong' atau 'dalam kelompok-kelompok besar'. Inilah puncak dari kemenangan. Sebelum Fathu Makkah, orang yang masuk Islam kebanyakan secara individu, satu per satu, dan seringkali sembunyi-sembunyi. Namun setelah kemenangan besar itu, kepercayaan diri masyarakat tumbuh. Seluruh kabilah, suku, dan delegasi dari berbagai penjuru Jazirah Arab datang kepada Rasulullah ﷺ untuk menyatakan keislaman mereka secara kolektif. Fenomena ini tercatat dalam sejarah sebagai 'Amul Wufud' atau 'Tahun Delegasi'. Kata 'afwaajaa' melukiskan pemandangan menakjubkan ini dengan sangat efektif.
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Ayat 3: "maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Ini adalah ayat penutup yang berisi respons yang seharusnya dilakukan saat menerima nikmat kemenangan terbesar. Bukan pesta pora, bukan arogansi, bukan pula euforia yang melalaikan. Allah mengajarkan adab tertinggi dalam menyikapi kesuksesan.
فَسَبِّحْ (Fasabbih): 'maka bertasbihlah'. Perintah pertama adalah tasbih. Tasbih (mengucapkan 'Subhanallah') berarti menyucikan Allah dari segala kekurangan dan sifat yang tidak layak bagi-Nya. Dalam konteks kemenangan, bertasbih berarti mengakui bahwa kemenangan ini terjadi bukan karena kehebatan kita, melainkan karena kesempurnaan kuasa Allah. Ini adalah cara untuk menundukkan hati dan mencegah timbulnya rasa sombong.
بِحَمْدِ رَبِّكَ (Bihamdi rabbika): 'dengan memuji Tuhanmu'. Tasbih diperintahkan untuk dilakukan bersamaan dengan tahmid (mengucapkan 'Alhamdulillah'). Jika tasbih adalah menafikan kekurangan, maka tahmid adalah menetapkan segala pujian dan kesempurnaan hanya bagi Allah. Gabungan keduanya (tasbih dan tahmid) adalah bentuk zikir yang sempurna, yaitu menyucikan Allah dari segala aib sambil memuji-Nya atas segala nikmat-Nya. "Subhanallahi wa bihamdih."
وَاسْتَغْفِرْهُ (Wastaghfirh): 'dan mohonlah ampun kepada-Nya'. Ini adalah perintah yang paling mendalam dan mengejutkan. Di puncak kemenangan, mengapa justru diperintahkan untuk beristighfar (memohon ampun)? Para ulama memberikan beberapa penjelasan:
- Sebagai bentuk kerendahan hati (tawadhu'). Untuk memastikan tidak ada sedikit pun rasa ujub (bangga diri) atau takabur yang menyelinap ke dalam hati atas pencapaian besar ini. Istighfar adalah pengakuan bahwa diri ini penuh dengan kekurangan.
- Untuk menutupi kekurangan. Memohon ampun atas segala kekurangan dan kesalahan yang mungkin terjadi selama proses perjuangan panjang menuju kemenangan. Tidak ada perjuangan manusia yang sempurna.
- Sebagai isyarat dekatnya ajal. Ini adalah penafsiran yang paling kuat, yang dipahami oleh para sahabat senior seperti Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab. Ketika sebuah misi besar telah tuntas (ditandai dengan kemenangan dan masuknya manusia berbondong-bondong ke dalam Islam), maka itu adalah pertanda bahwa tugas sang pembawa risalah di dunia akan segera berakhir. Istighfar menjadi persiapan untuk bertemu dengan Allah SWT. Oleh karena itu, ketika surat ini turun, banyak sahabat yang justru menangis karena mereka memahami bahwa ini adalah isyarat perpisahan dengan Rasulullah ﷺ.
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Innahu kaana tawwaabaa): 'Sungguh, Dia Maha Penerima tobat'. Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Setelah perintah untuk beristighfar, Allah langsung memberikan jaminan bahwa Dia adalah At-Tawwab, Dzat yang senantiasa dan selalu menerima tobat hamba-Nya, tidak peduli seberapa besar atau seberapa sering kesalahan itu dilakukan, selama tobat itu dilakukan dengan tulus. Ini adalah pintu harapan yang selalu terbuka.
Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surat An-Nasr
Surat An-Nasr, yang berada di Juz 30, bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah sumber pelajaran dan hikmah yang tak lekang oleh waktu bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan.
- Kepastian Pertolongan Allah: Surat ini mengajarkan optimisme bahwa pertolongan Allah bagi hamba-Nya yang beriman dan berjuang di jalan-Nya adalah sebuah kepastian. Namun, pertolongan itu datang pada waktu yang tepat menurut ilmu Allah, bukan semata-mata menurut keinginan manusia. Kuncinya adalah kesabaran, kegigihan, dan keyakinan.
- Adab dalam Kemenangan dan Kesuksesan: Pelajaran terbesar dari surat ini adalah etika menyikapi keberhasilan. Saat berada di puncak kejayaan, baik dalam karier, bisnis, ilmu, maupun kehidupan pribadi, respons seorang mukmin bukanlah kesombongan, melainkan peningkatan zikir (tasbih dan tahmid) serta introspeksi diri (istighfar). Semakin tinggi nikmat yang diterima, semakin harus menunduk di hadapan Sang Pemberi Nikmat.
- Setiap Akhir adalah Awal yang Baru: Turunnya surat ini menandakan berakhirnya sebuah misi besar, yaitu penegakan Islam di Jazirah Arab. Namun, akhir dari satu fase adalah sinyal untuk mempersiapkan fase berikutnya, yaitu kehidupan akhirat. Ini mengajarkan kita untuk selalu sadar bahwa setiap pencapaian di dunia ini pada hakikatnya adalah bekal untuk perjalanan menuju keabadian.
- Pentingnya Kerendahan Hati: Rasulullah ﷺ adalah teladan sempurna dalam hal ini. Di hari Fathu Makkah, beliau tidak melakukan parade kemenangan yang angkuh. Beliau justru menunjukkan puncak kerendahan hati. Surat ini mengabadikan prinsip tersebut: kemenangan sejati adalah ketika seseorang mampu menaklukkan ego dan nafsunya sendiri.
- Universalitas Dakwah Islam: Frasa "manusia berbondong-bondong masuk agama Allah" adalah visi besar Islam. Dakwah tidak boleh berhenti pada satu suku atau bangsa. Kemenangan di satu wilayah harus menjadi batu loncatan untuk menyebarkan rahmat Islam ke seluruh penjuru dunia.
Kesimpulan
Jadi, untuk kembali ke pertanyaan awal: surat An-Nasr terdapat pada juz yang ke-30. Ia adalah surat ke-110 dalam urutan mushaf Al-Qur'an. Namun, pemahaman kita tidak boleh berhenti di situ. Mengetahui lokasinya di Juz 'Amma adalah titik tolak untuk memahami perannya sebagai penutup dan puncak dari perjuangan dakwah yang banyak dikisahkan dalam surat-surat sebelumnya di juz yang sama.
Surat An-Nasr adalah surat proklamasi kemenangan dari Allah, sebuah deklarasi bahwa janji-Nya adalah benar. Ia juga merupakan pedoman abadi tentang bagaimana seorang hamba harus bersikap ketika menerima nikmat kesuksesan: dengan kembali kepada-Nya melalui tasbih, tahmid, dan istighfar. Lebih dari itu, surat ini adalah sebuah pengingat lembut namun kuat bahwa setiap tugas di dunia ini memiliki akhir, dan persiapan terbaik untuk menghadapi akhir tersebut adalah dengan senantiasa menyucikan, memuji, dan memohon ampunan kepada Tuhan Yang Maha Penerima Tobat. Sebuah surat yang singkat, namun cakupan maknanya seluas samudra.