Mengapa Surat An-Nasr Tergolong Surat Madaniyyah? Sebuah Kajian Mendalam

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bukanlah sekadar kumpulan teks, melainkan wahyu ilahi yang diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Proses pewahyuan ini sangat terikat dengan konteks sejarah, sosial, dan spiritual yang menyertai perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW. Untuk memahami kedalaman makna setiap surat, para ulama mengembangkan berbagai cabang ilmu, salah satunya adalah ilmu 'Makki dan Madani'. Ilmu ini mengklasifikasikan surat-surat Al-Qur'an berdasarkan periode turunnya, yaitu sebelum atau sesudah hijrahnya Nabi ke Madinah. Salah satu surat yang sering menjadi subjek pembahasan dalam klasifikasi ini adalah Surat An-Nasr. Meskipun pendek dan terdiri dari tiga ayat, surat ini memuat makna yang sangat dahsyat dan menjadi penanda sebuah era baru dalam sejarah Islam. Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah, surat An-Nasr tergolong surat Makkiyyah atau Madaniyyah? Jawaban tegasnya, berdasarkan konsensus mayoritas ulama, adalah Madaniyyah. Artikel ini akan mengupas secara tuntas dan komprehensif alasan-alasan di balik klasifikasi tersebut, menyelami makna setiap ayatnya, serta menggali hikmah abadi yang terkandung di dalamnya.

النصر Kaligrafi An-Nasr Kaligrafi Arab untuk kata An-Nasr yang berarti pertolongan.

Kaligrafi Arab bertuliskan An-Nasr yang berarti Pertolongan

Memahami Fondasi: Klasifikasi Surat Makkiyyah dan Madaniyyah

Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk menganalisis Surat An-Nasr secara spesifik, sangat penting untuk memiliki pemahaman yang kokoh tentang apa yang dimaksud dengan surat Makkiyyah dan Madaniyyah. Klasifikasi ini bukan sekadar label geografis, melainkan sebuah kerangka analisis yang membantu kita memahami evolusi dakwah Islam, prioritas syariat pada setiap fase, dan gaya komunikasi Al-Qur'an yang adaptif. Para ulama menggunakan beberapa kriteria untuk membedakan keduanya.

Kriteria Utama Klasifikasi

Terdapat tiga pendekatan utama yang digunakan oleh para ahli tafsir dan ulumul qur'an dalam menentukan status sebuah surat:

  1. Berdasarkan Waktu Turun (Periodik): Ini adalah pendapat yang paling masyhur, kuat, dan dipegang oleh mayoritas ulama. Menurut kriteria ini, patokan utamanya adalah peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah.
    • Makkiyyah: Setiap ayat atau surat yang turun sebelum Hijrah, meskipun lokasinya di luar kota Mekkah (seperti saat perjalanan ke Thaif atau selama Isra' Mi'raj).
    • Madaniyyah: Setiap ayat atau surat yang turun setelah Hijrah, meskipun lokasinya di Mekkah atau sekitarnya (seperti saat Fathu Makkah atau Haji Wada').
    Kriteria waktu ini dianggap paling akurat karena bersifat definitif dan mencakup semua ayat Al-Qur'an tanpa terkecuali.
  2. Berdasarkan Tempat Turun (Geografis): Pendekatan ini lebih sederhana namun memiliki beberapa kelemahan.
    • Makkiyyah: Wahyu yang turun di kota Mekkah dan sekitarnya (seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah).
    • Madaniyyah: Wahyu yang turun di kota Madinah dan sekitarnya (seperti Uhud, Quba', dan Tabuk).
    Kelemahannya adalah pendekatan ini tidak bisa mengklasifikasikan ayat-ayat yang turun di luar kedua wilayah tersebut, misalnya saat Nabi sedang dalam perjalanan jauh.
  3. Berdasarkan Objek Pembicaraan (Khitab): Kriteria ini melihat kepada siapa seruan dalam ayat tersebut ditujukan.
    • Makkiyyah: Cenderung menggunakan seruan umum seperti "يَا أَيُّهَا النَّاسُ" (Wahai sekalian manusia), karena مخاطب (lawan bicara) utamanya adalah kaum musyrikin Quraisy dan manusia secara umum yang belum beriman.
    • Madaniyyah: Sering menggunakan seruan spesifik "يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا" (Wahai orang-orang yang beriman), karena مخاطب utamanya adalah komunitas Muslim yang telah terbentuk dan memerlukan aturan serta bimbingan lebih lanjut.
    Meskipun sering menjadi ciri, kriteria ini tidak mutlak karena ada surat Madaniyyah yang menyeru seluruh manusia, dan sebaliknya.

Karakteristik Konten dan Gaya Bahasa

Selain tiga kriteria di atas, perbedaan antara periode Mekkah dan Madinah juga tercermin jelas dalam tema dan gaya bahasa yang dominan.

Ciri-ciri Surat Makkiyyah:

Ciri-ciri Surat Madaniyyah:

Dengan memahami kerangka kerja ini, kita kini memiliki bekal yang cukup untuk menganalisis secara mendalam mengapa surat An-Nasr tergolong surat Madaniyyah, bukan Makkiyyah.

Menyelami Samudra Makna Surat An-Nasr (Pertolongan)

Surat An-Nasr adalah surat ke-110 dalam mushaf Al-Qur'an. Namanya diambil dari kata "Nasr" yang terdapat pada ayat pertama, yang berarti "pertolongan". Surat ini juga dikenal dengan nama "Surat At-Taudi'" (Surat Perpisahan) karena kandungannya diinterpretasikan oleh banyak sahabat sebagai isyarat dekatnya wafat Rasulullah SAW.

Teks Lengkap: Bacaan Arab, Latin, dan Terjemahan

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ (1)
وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا (2)
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا (3)

Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i)

1. Idżā jā'a nashrullāhi wal-fatḥ(u)
2. Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā(n)
3. Fa sabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfirh(u), innahū kāna tawwābā(n)

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.

Tafsir Ayat per Ayat: Menggali Kedalaman Pesan Ilahi

Ayat 1: إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan)

Ayat pembuka ini langsung mengumumkan dua hal besar yang saling berkaitan: "Nashrullah" (pertolongan Allah) dan "Al-Fath" (kemenangan/penaklukan).

Gabungan kedua frasa ini mengisyaratkan bahwa kemenangan besar (Al-Fath) tidak akan pernah tercapai tanpa adanya pertolongan mutlak dari Allah (Nashrullah). Ini adalah penegasan prinsip aqidah bahwa segala daya dan upaya manusia hanyalah sebab, sedangkan penentu hasil akhir adalah Allah SWT.

Ayat 2: وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا (dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah)

Ayat ini menggambarkan dampak langsung dari datangnya "Nashrullah wal Fath". Sebelum Fathu Makkah, banyak suku-suku Arab yang bersikap menunggu dan melihat (wait and see). Mereka menganggap pertarungan antara Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy sebagai pertarungan antara dua kekuatan besar di Jazirah Arab. Mereka berprinsip, "Biarkan Muhammad dan kaumnya (Quraisy) berperang. Jika ia menang atas mereka, maka ia adalah seorang nabi yang benar."

Ketika Fathu Makkah terjadi, dan Nabi Muhammad SAW berhasil menaklukkan benteng utama paganisme Arab dengan cara yang sangat damai dan penuh pengampunan, keraguan suku-suku tersebut sirna. Mereka menyaksikan sendiri kebenaran ajaran Islam dan keagungan akhlak Nabinya. Akibatnya, terjadilah apa yang digambarkan oleh ayat ini: manusia masuk Islam secara "afwajan" (berbondong-bondong, dalam rombongan besar). Sejarah mencatat periode setelah Fathu Makkah sebagai "'Am al-Wufud" (Tahun Delegasi), di mana berbagai utusan dari seluruh penjuru Jazirah Arab datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka dan baiat kepada Rasulullah SAW. Fenomena ini adalah bukti nyata dan buah dari kemenangan yang disebutkan di ayat pertama.

Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا (maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat)

Ini adalah ayat yang paling mengejutkan dan penuh hikmah. Di puncak kejayaan, ketika kemenangan total telah diraih dan manusia berbondong-bondong memeluk Islam, perintah yang datang bukanlah untuk berpesta pora, berbangga diri, atau membalas dendam. Sebaliknya, perintahnya adalah untuk kembali kepada Allah dengan tiga amalan spiritual:

Ayat ditutup dengan penegasan "إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا" (Sungguh, Dia Maha Penerima tobat). Ini adalah sebuah penegasan yang menenangkan hati, bahwa sebanyak apapun kekurangan kita, pintu tobat Allah selalu terbuka lebar bagi hamba-Nya yang mau kembali.

Fondasi Argumentasi: Mengapa An-Nasr adalah Surat Madaniyyah

Setelah memahami karakteristik surat Makkiyyah dan Madaniyyah serta menelaah kandungan Surat An-Nasr, kita dapat dengan yakin menyimpulkan statusnya. Berbagai dalil dan analisis, baik dari segi waktu, konteks, maupun isi, semuanya mengarah pada satu kesimpulan: surat An-Nasr tergolong surat Madaniyyah.

1. Dalil Waktu Turun (Asbabun Nuzul) yang Definitif

Ini adalah argumen terkuat. Berdasarkan kriteria waktu (sebelum atau sesudah hijrah), Surat An-Nasr secara mutlak jatuh dalam kategori Madaniyyah. Riwayat-riwayat yang shahih menyatakan bahwa surat ini adalah salah satu surat terakhir yang turun, jika bukan yang paling akhir secara lengkap.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, beliau berkata, "Surat terakhir yang turun secara lengkap adalah إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ." (HR. Muslim).

Para ahli sejarah dan tafsir, seperti Imam Al-Bukhari, meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa surat ini turun di Mina pada hari-hari Tasyriq saat pelaksanaan Haji Wada' (Haji Perpisahan) pada tahun 10 Hijriah. Ada juga pendapat lain yang menyatakan surat ini turun setelah peristiwa Fathu Makkah pada tahun 8 Hijriah.

Kedua peristiwa ini—Fathu Makkah (8 H) dan Haji Wada' (10 H)—terjadi jauh setelah peristiwa Hijrah. Oleh karena itu, berdasarkan kaidah utama yang membedakan Makkiyyah dan Madaniyyah (yaitu waktu), tidak ada keraguan sedikit pun bahwa Surat An-Nasr adalah surat Madaniyyah. Meskipun lokasinya di Mina (dekat Mekkah), kaidah yang dipakai adalah kaidah waktu, bukan tempat. Ini adalah contoh klasik penerapan kaidah "Madaniyyah adalah yang turun setelah Hijrah, sekalipun di Mekkah."

2. Analisis Konteks Sejarah yang Sangat Jelas

Konten surat ini sangat spesifik merujuk pada sebuah peristiwa besar dalam sejarah Islam, yaitu Fathu Makkah dan dampaknya. Peristiwa penaklukan Mekkah dan masuknya manusia secara berbondong-bondong ke dalam Islam adalah fenomena yang terjadi pada fase Madinah, tepatnya di akhir periode kenabian.

Pada periode Mekkah, situasinya justru berkebalikan. Umat Islam adalah minoritas yang tertindas, mengalami boikot, siksaan, dan persekusi. Jangankan melihat manusia masuk Islam berbondong-bondong, mempertahankan keimanan satu orang saja sudah merupakan perjuangan yang luar biasa. Tema kemenangan besar dan konversi massal sama sekali tidak sesuai dengan konteks fase Mekkah. Tema ini hanya relevan dan baru terwujud setelah Nabi dan para sahabat membangun kekuatan politik dan militer di Madinah, yang puncaknya adalah Fathu Makkah. Oleh karena itu, konteks sejarah yang digambarkan oleh surat ini secara tegas menempatkannya dalam periode Madinah.

3. Kesesuaian Kandungan dengan Ciri Khas Surat Madaniyyah

Jika kita tinjau kembali karakteristik surat Madaniyyah, kita akan menemukan kecocokan yang sempurna dengan Surat An-Nasr.

Sebaliknya, surat ini tidak mengandung ciri-ciri khas Makkiyyah. Tidak ada perdebatan tentang Tauhid dengan kaum musyrikin, tidak ada penekanan pada hari kiamat untuk menakut-nakuti mereka yang ingkar, dan tidak ada kisah-kisah umat terdahulu untuk menghibur Nabi di tengah penindasan. Fokusnya adalah pada buah dari perjuangan yang telah usai.

4. Pandangan Para Ulama Tafsir Klasik

Konsensus (ijma') atau setidaknya pendapat mayoritas mutlak (jumhur) para ulama tafsir klasik dan kontemporer mengklasifikasikan Surat An-Nasr sebagai Madaniyyah.

Dengan demikian, dari berbagai sudut pandang—waktu turun, konteks sejarah, analisis konten, hingga pandangan para mufasir otoritatif—semua bukti secara konvergen menunjukkan satu kebenaran yang tak terbantahkan.

Mutiara Hikmah dari Surat Kemenangan

Di balik statusnya sebagai surat Madaniyyah dan penanda kemenangan, Surat An-Nasr menyimpan lautan hikmah yang relevan sepanjang zaman. Ia bukan sekadar catatan sejarah, melainkan pedoman abadi tentang bagaimana seorang hamba harus bersikap di hadapan nikmat Tuhannya.

Hakikat Kemenangan Adalah Milik Allah

Pelajaran pertama dan utama adalah penegasan bahwa kemenangan sejati bukanlah hasil dari kehebatan strategi, jumlah pasukan, atau kekuatan persenjataan. Kemenangan adalah "Nashrullah", pertolongan yang datang dari Allah. Ini menanamkan sikap tawakal yang mendalam di hati seorang mukmin, bahwa dalam setiap perjuangan, tugas kita adalah berusaha semaksimal mungkin, namun hasilnya kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. Sikap ini membebaskan jiwa dari ketergantungan pada materi dan menyandarkannya pada Yang Maha Kuasa.

Etika Kemenangan dalam Islam: Syukur, Tasbih, dan Istighfar

Surat ini mengajarkan adab atau etika tertinggi saat meraih kesuksesan. Ketika Firaun merasa di puncak kuasa, ia berkata "Akulah tuhanmu yang paling tinggi." Ketika Qarun meraih kekayaan, ia berkata "Ini semua karena ilmu yang ada padaku." Sebaliknya, ketika Nabi Muhammad SAW meraih kemenangan terbesar, perintah Allah adalah: "Sucikan Tuhanmu, puji Dia, dan mohon ampun kepada-Nya." Ini adalah formula ilahi untuk menjaga hati dari penyakit paling mematikan: kesombongan. Kemenangan seharusnya tidak membuat kita lupa diri, melainkan membuat kita semakin dekat dan tunduk kepada Sang Pemberi Kemenangan.

Isyarat Tersembunyi: Sempurnanya Misi dan Dekatnya Wafat Rasulullah SAW

Hikmah yang paling menyentuh dari surat ini adalah pemahaman para sahabat bahwa ia merupakan isyarat dekatnya ajal Rasulullah SAW. Terdapat sebuah riwayat terkenal, di mana Umar bin Khattab RA pernah bertanya kepada para sahabat senior tentang makna surat ini. Banyak yang menafsirkannya secara harfiah sebagai perintah untuk bersyukur. Namun, ketika ditanya kepada Abdullah bin Abbas RA yang saat itu masih muda, beliau menjawab, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' maka itulah tanda dekatnya ajalmu. Maka bertasbihlah dan mohonlah ampun." Umar pun membenarkan tafsiran tersebut.

Logikanya adalah, jika tujuan utama diutusnya seorang rasul adalah untuk memenangkan agama Allah di muka bumi, maka ketika kemenangan paripurna itu telah tiba dan manusia telah menerima risalahnya, berarti tugas sang rasul telah selesai. Dan jika tugas telah selesai, maka tiba saatnya untuk kembali kepada Sang Pengutus. Pemahaman ini menunjukkan betapa dalamnya para sahabat menggali makna Al-Qur'an, tidak hanya pada lapisan teks, tetapi juga pada isyarat-isyarat di baliknya.

Menggali Relevansi An-Nasr di Kehidupan Kontemporer

Pesan Surat An-Nasr tidak berhenti di abad ke-7. Ia terus bergema dan menawarkan panduan bagi kehidupan kita di era modern, baik dalam skala personal maupun komunal.

Menghadapi 'Kemenangan' Pribadi dengan Spirit An-Nasr

Setiap kita pasti mengalami 'kemenangan' atau 'kesuksesan' dalam hidup. Mungkin itu adalah kelulusan studi, mendapatkan pekerjaan impian, meraih promosi jabatan, berhasil dalam sebuah proyek, atau mencapai target finansial. Surat An-Nasr mengajarkan kita untuk merespons semua pencapaian itu bukan dengan arogansi, melainkan dengan formula "Tasbih, Tahmid, Istighfar".

Dengan mengamalkan spirit ini, kesuksesan tidak akan membuat kita lalai, melainkan justru meningkatkan kualitas spiritual kita.

Membangun Komunitas dan Bangsa

Dalam konteks yang lebih luas, pelajaran dari surat ini sangat relevan untuk para pemimpin dan anggota masyarakat. Ketika sebuah komunitas, organisasi, atau bahkan negara mencapai kemajuan dan kejayaan, godaan untuk menjadi sombong dan menindas yang lain sangatlah besar. Surat An-Nasr mengingatkan bahwa puncak kekuasaan adalah saat yang paling krusial untuk menunjukkan kerendahan hati, bersyukur kepada Tuhan, dan memohon ampunan atas segala kebijakan yang mungkin kurang adil atau sempurna. Kemenangan sejati bukanlah menaklukkan musuh, melainkan menaklukkan ego di saat berada di puncak.

Kesimpulannya, pertanyaan "surat An-Nasr tergolong surat apa?" membawa kita pada sebuah perjalanan yang jauh lebih dalam dari sekadar klasifikasi akademis. Ia membuka pintu untuk memahami sejarah perjuangan Islam, kedalaman makna wahyu, dan yang terpenting, esensi sikap seorang hamba di hadapan Tuhannya. Statusnya sebagai surat Madaniyyah dikukuhkan oleh dalil waktu, konteks, konten, dan konsensus ulama. Namun, hikmahnya melampaui batas ruang dan waktu, mengajarkan kita bahwa setiap pertolongan dan kemenangan harus disambut dengan kesucian hati, pujian tiada henti, dan permohonan ampun yang tulus, karena sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat.

🏠 Homepage