Dalam setiap lafaz zikir, doa, dan kajian, kaum Muslimin sering kali menyandingkan nama agung "Allah" dengan sebuah frasa singkat namun penuh makna: Ta'ala (تَعَالَى). Ucapan "Allah Ta'ala" mengalir begitu saja dari lisan, menjadi sebuah penegasan yang menyempurnakan penyebutan nama Sang Pencipta. Namun, sudahkah kita merenungi kedalaman makna yang terkandung di dalamnya? Kata ini bukanlah sekadar pelengkap atau hiasan bahasa, melainkan sebuah samudra tauhid yang merangkum salah satu sifat paling fundamental bagi Allah: Sifat Ketinggian atau Al-'Uluww.
Memahami makna "Ta'ala" adalah gerbang untuk mengenal keagungan Rabb semesta alam. Ia membawa kita pada sebuah perjalanan spiritual untuk menyadari posisi kita sebagai hamba yang rendah di hadapan Pencipta Yang Maha Tinggi. Artikel ini akan mengupas secara mendalam makna, dimensi, dan implikasi dari sifat agung ini, menelusuri jejaknya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, serta melihat bagaimana para ulama terdahulu memahaminya, agar penyebutan "Allah Ta'ala" tidak lagi menjadi rutinitas lisan semata, tetapi menjadi getaran iman yang menggetarkan jiwa.
Akar Bahasa dan Makna Etimologis "Ta'ala"
Untuk memahami sebuah konsep dalam Islam, pendekatan terbaik sering kali dimulai dari bahasanya, yaitu Bahasa Arab, bahasa Al-Qur'an. Kata Ta'ala (تَعَالَى) berasal dari akar kata tiga huruf, yaitu 'Ain-Lam-Waw (ع-ل-و). Akar kata ini secara konsisten merujuk pada makna ketinggian, keluhuran, dan superioritas. Dari akar yang sama, lahir berbagai kata lain yang saling berkaitan, seperti:
- 'Uluww (عُلُوّ): Ketinggian itu sendiri, sebuah nomina abstrak.
- 'Alī (عَلِيّ): Sesuatu yang tinggi atau luhur. Ini juga merupakan salah satu Asma'ul Husna, Al-'Aliyy (Yang Maha Tinggi).
- A'lā (أَعْلَى): Bentuk superlatif yang berarti "paling tinggi". Ini juga merupakan salah satu nama Allah, Al-A'la.
- Muta'ālī (مُتَعَالٍ): Yang Maha Luhur, yang meninggikan diri-Nya dari segala kekurangan. Ini juga adalah nama Allah, Al-Muta'ali.
Kata "Ta'ala" sendiri berada dalam wazan (pola kata) tafā'ala (تَفَاعَلَ). Dalam tata bahasa Arab, wazan ini sering kali menunjukkan makna kesungguhan, kesempurnaan, atau sebuah sifat yang melekat pada Dzat itu sendiri secara inheren. Jadi, ketika kita mengatakan "Allah Ta'ala", kita tidak hanya mengatakan bahwa Allah itu tinggi, tetapi kita menegaskan bahwa Dia memiliki Sifat Ketinggian yang sempurna, mutlak, dan melekat pada Dzat-Nya. Ketinggian-Nya bukanlah sesuatu yang diperoleh atau diberikan, melainkan merupakan hakikat dari Dzat-Nya yang Agung. Makna ini menyiratkan bahwa Dia Maha Tinggi dari segala sesuatu, melampaui segala pemikiran, dan suci dari segala perumpamaan dengan makhluk-Nya.
Tiga Dimensi Ketinggian Allah (Al-'Uluww)
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah, merinci Sifat Ketinggian Allah (Al-'Uluww) ke dalam tiga dimensi yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Memahami ketiga dimensi ini akan memberikan gambaran yang utuh tentang makna "Ta'ala".
1. Ketinggian Dzat ('Uluww Adz-Dzat)
Ini adalah dimensi yang paling sering menjadi pembahasan, yaitu keyakinan bahwa Dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala secara hakiki berada di atas seluruh makhluk-Nya, terpisah dari mereka, dan bersemayam di atas 'Arsy. 'Arsy adalah makhluk Allah yang paling besar dan paling tinggi, yang menjadi atap bagi seluruh alam semesta. Keyakinan ini bukanlah hasil dari logika atau filsafat, melainkan bersandar pada nas-nas syar'i yang sangat jelas dan melimpah.
Dalil-dalil mengenai Ketinggian Dzat Allah sangatlah banyak, di antaranya:
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
"(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy." (QS. Thaha: 5)
Ayat ini dan enam ayat serupa lainnya dalam Al-Qur'an secara tegas menyatakan istiwa' Allah di atas 'Arsy. Para ulama salaf memahami istiwa' sebagai ketinggian dan kebersemayaman yang sesuai dengan keagungan Allah, tanpa membayangkannya (takyif), tanpa menyerupakannya dengan makhluk (tamtsil), tanpa menolaknya (ta'thil), dan tanpa mengubah maknanya (tahrif).
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi." (QS. Al-A'la: 1)
Nama Allah "Al-A'la" (Yang Paling Tinggi) secara langsung menunjukkan Ketinggian Dzat-Nya di atas segala sesuatu. Perintah untuk menyucikan nama-Nya yang Maha Tinggi ini adalah pengakuan atas posisi-Nya yang absolut.
Dalil lainnya adalah hadis-hadis Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam peristiwa Mi'raj, Rasulullah naik ke langit untuk bertemu dengan Allah. Dalam khutbah saat Haji Wada', beliau menunjuk ke langit seraya berkata, "Ya Allah, saksikanlah!" sebagai isyarat arah ketinggian. Bahkan fitrah manusia yang lurus, ketika berdoa dan memohon kepada Allah, secara spontan akan mengangkat tangan dan menengadahkan wajah ke atas, ke arah langit. Ini adalah bukti fitrah yang ditanamkan Allah dalam diri setiap manusia tentang di mana Rabb mereka berada.
2. Ketinggian Kedudukan dan Sifat ('Uluww Al-Qadr)
Dimensi kedua adalah keyakinan bahwa Allah Maha Tinggi dari segi kedudukan, kemuliaan, dan sifat-sifat-Nya. Seluruh sifat-Nya adalah sifat kesempurnaan yang paling puncak, tidak ada satu pun cela atau kekurangan padanya. Dia Maha Sempurna dalam pengetahuan-Nya, kekuasaan-Nya, kebijaksanaan-Nya, keadilan-Nya, dan seluruh sifat-sifat-Nya yang lain.
Ketinggian ini berarti Allah suci dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya. Dia tidak mengantuk dan tidak tidur, tidak memiliki anak atau sekutu, tidak merasa lelah, dan tidak memerlukan bantuan dari siapa pun. Sebaliknya, seluruh makhluk bergantung sepenuhnya kepada-Nya.
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. An-Nahl: 60)
Al-Matsal Al-A'la di sini berarti sifat yang paling tinggi dan paling sempurna. Segala perumpamaan baik yang bisa dibayangkan oleh akal manusia, maka sifat Allah jauh lebih tinggi dan lebih sempurna dari itu. Sifat-sifat-Nya tidak dapat diserupakan dengan sifat makhluk. Sebagaimana firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syura: 11)
Ayat ini adalah kaidah emas dalam memahami sifat Allah. Bagian pertama ("Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia") menolak penyerupaan (tamtsil), sedangkan bagian kedua ("dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat") menetapkan sifat bagi-Nya tanpa menolaknya (ta'thil). Kita menetapkan bahwa Allah mendengar dan melihat, tetapi pendengaran dan penglihatan-Nya Maha Tinggi dan tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk.
3. Ketinggian Kekuasaan dan Penaklukan ('Uluww Al-Qahr)
Dimensi ketiga adalah Ketinggian Kekuasaan, di mana Allah Maha Tinggi dengan kekuasaan-Nya yang absolut, menaklukkan, dan menguasai seluruh makhluk-Nya. Tidak ada satu pun di alam semesta ini, dari yang terkecil hingga yang terbesar, yang bisa keluar dari genggaman kekuasaan-Nya atau menentang kehendak-Nya. Semuanya tunduk, patuh, dan berada di bawah dominasi-Nya.
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
"Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-An'am: 18)
Frasa fawqa 'ibadihi (di atas hamba-hamba-Nya) di sini mengandung makna ketinggian Dzat sekaligus ketinggian kekuasaan. Dia di atas mereka secara Dzat dan juga di atas mereka dengan kekuasaan-Nya. Semua raja, penguasa, orang kuat, dan tiran di dunia ini pada hakikatnya adalah hamba yang lemah di hadapan kekuasaan Allah yang mutlak. Mereka tidak bisa bergerak atau berbuat kecuali dengan izin dan kehendak-Nya. Ketika Dia berkehendak, Dia dapat menghancurkan mereka dalam sekejap mata.
Ketinggian kekuasaan ini memberikan rasa aman bagi orang beriman dan rasa takut bagi orang yang zalim. Orang beriman tahu bahwa pelindung mereka adalah Dzat yang kekuasaan-Nya tak terkalahkan. Sementara itu, orang yang melampaui batas seharusnya sadar bahwa mereka tidak akan pernah bisa lari dari kekuasaan Allah Yang Maha Menaklukkan.
Ketiga dimensi ketinggian ini—Dzat, Sifat, dan Kekuasaan—adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam makna "Ta'ala". Mengimani salah satunya namun mengingkari yang lain akan menghasilkan pemahaman yang pincang tentang keagungan Allah. Ahlus Sunnah wal Jama'ah meyakini ketiganya secara bersamaan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar'i.
Menyelaraskan Ketinggian Allah dengan Kedekatan-Nya
Sebagian orang mungkin merasa bingung. Al-Qur'an dengan sangat jelas menetapkan bahwa Allah Maha Tinggi di atas 'Arsy-Nya. Namun, di sisi lain, Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa Allah itu dekat, bahkan sangat dekat. Perhatikan ayat-ayat berikut:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (QS. Al-Baqarah: 186)
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
"Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (QS. Qaf: 16)
Bagaimana kita menyelaraskan antara sifat Ketinggian (Al-'Uluww) dengan sifat Kedekatan (Al-Qurb) ini? Apakah ada kontradiksi? Jawabannya adalah sama sekali tidak ada kontradiksi bagi siapa pun yang memahami keagungan Allah. Para ulama menjelaskan bahwa kedua sifat ini benar dan harus diimani secara bersamaan. Ketinggian Allah adalah Ketinggian Dzat-Nya, sementara kedekatan-Nya adalah kedekatan dengan ilmu, pendengaran, penglihatan, kekuasaan, dan pengawasan-Nya.
Dengan Dzat-Nya, Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk, bersemayam di atas 'Arsy. Namun, dengan ilmu-Nya, Dia mengetahui segala sesuatu, tidak ada satu pun daun yang gugur atau bisikan hati yang luput dari pengetahuan-Nya. Dengan pendengaran-Nya, Dia mendengar setiap suara. Dengan penglihatan-Nya, Dia melihat setiap gerakan. Dengan kekuasaan-Nya, Dia mengatur setiap urusan di alam semesta. Inilah makna kebersamaan dan kedekatan Allah (ma'iyyah).
Analogi yang sering digunakan oleh para ulama—sekalipun perumpamaan untuk Allah adalah perumpamaan yang Maha Tinggi—adalah matahari. Dzat matahari berada jauh di langit, namun cahayanya, panasnya, dan pengaruhnya sampai kepada kita di bumi. Tentu saja, keagungan Allah jauh melampaui perumpamaan ini. Dia Maha Tinggi dengan Dzat-Nya, namun Dia dekat dengan hamba-Nya melalui sifat-sifat-Nya yang sempurna. Dia mendengar doa kita meskipun Dia berada di atas 'Arsy. Dia melihat perbuatan kita meskipun Dia terpisah dari makhluk-Nya. Ketinggian Dzat-Nya tidak menafikan kedekatan-Nya dengan ilmu dan pengawasan-Nya, dan sebaliknya, kedekatan-Nya tidak berarti Dzat-Nya bercampur baur dengan makhluk (paham hulul dan ittihad yang sesat).
Implikasi Iman kepada Sifat Allah "Ta'ala" dalam Kehidupan
Meyakini dan meresapi makna "Allah Ta'ala" memiliki dampak yang luar biasa dalam kehidupan seorang Muslim. Iman ini bukan sekadar pengetahuan teoretis, tetapi sebuah kekuatan yang membentuk karakter, sikap, dan pandangan hidup.
1. Menumbuhkan Pengagungan (Ta'dzim) yang Sejati
Menyadari bahwa Rabb yang kita sembah adalah Dzat Yang Maha Tinggi di atas segalanya akan melahirkan pengagungan yang tulus di dalam hati. Kita akan merasa betapa kecil dan tidak berartinya diri kita di hadapan keagungan-Nya. Perasaan inilah yang menjadi inti dari ibadah. Shalat kita akan lebih khusyuk, zikir kita akan lebih bermakna, dan sujud kita akan terasa lebih nikmat karena kita tahu bahwa kita sedang merendahkan bagian tubuh termulia (wajah) di hadapan Dzat Yang Maha Tinggi.
2. Mengarahkan Hati dan Doa ke Atas
Iman kepada Ketinggian Allah secara alami akan mengarahkan hati dan tujuan ibadah kita hanya kepada-Nya. Ketika kita menghadapi kesulitan, hati kita akan tertuju ke langit, memohon pertolongan dari Dzat yang berada di atas. Ketika kita berdoa, tangan kita terangkat ke atas sebagai ekspresi fitrah yang mengakui keberadaan-Nya di tempat yang Maha Tinggi. Ini memurnikan tauhid kita, memastikan bahwa segala harapan, permohonan, dan rasa takut hanya ditujukan kepada Allah semata.
3. Melahirkan Sifat Tawadhu' (Rendah Hati)
Kesadaran akan Ketinggian Mutlak milik Allah akan mengikis habis benih-benih kesombongan dalam diri manusia. Sombong adalah sifat yang paling dibenci Allah, karena pada hakikatnya, kesombongan adalah upaya makhluk untuk menyaingi sifat kebesaran dan ketinggian Sang Pencipta. Orang yang benar-benar memahami makna "Ta'ala" akan selalu merasa rendah hati, baik di hadapan Allah (hablun minallah) maupun di hadapan sesama manusia (hablun minannas). Ia sadar bahwa segala kelebihan yang ia miliki—harta, jabatan, ilmu—hanyalah titipan dari Dzat Yang Maha Tinggi dan tidak pantas untuk disombongkan.
4. Memberikan Ketenangan dan Optimisme
Ketika kita yakin bahwa segala urusan di alam semesta ini diatur dari atas 'Arsy oleh Dzat Yang Maha Tinggi, Maha Bijaksana, dan Maha Pengasih, maka hati akan menjadi tenang. Kita tahu bahwa tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Semuanya berada dalam kendali dan pengawasan-Nya. Keyakinan ini memberikan kekuatan untuk menghadapi ujian, karena kita tahu bahwa di balik setiap kesulitan, ada hikmah dari Rabb Yang Maha Tinggi. Ia juga menumbuhkan optimisme, karena pertolongan dari Dzat Yang Maha Kuasa pasti akan datang pada waktu yang tepat.
5. Menjaga Diri dari Perbuatan Maksiat
Iman kepada Allah Ta'ala, yang Maha Tinggi dan melihat segala sesuatu dari atas 'Arsy-Nya, adalah benteng yang kokoh dari perbuatan dosa. Seseorang yang merasa diawasi oleh Dzat yang keberadaan-Nya melampaui langit dan bumi akan merasa malu dan takut untuk berbuat maksiat, bahkan di saat sendirian. Ia tahu bahwa meskipun tidak ada manusia yang melihat, Allah Al-'Aliyy Al-A'la senantiasa melihatnya dari atas 'Arsy-Nya.
Sikap Para Salafus Shalih Terhadap Sifat Ketinggian
Para generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in (Salafus Shalih), memiliki sikap yang jelas dan tegas dalam mengimani sifat Ketinggian Allah. Mereka semua bersepakat (ijma') untuk menetapkan apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan mengenai sifat ini, tanpa melakukan penafsiran menyimpang (ta'wil) yang mengarah pada penolakan hakikat sifat tersebut.
Ketika Imam Malik bin Anas, salah satu dari empat imam mazhab besar, ditanya tentang firman Allah "Ar-Rahman 'alal 'Arsy istawa" (QS. Thaha: 5), khususnya tentang bagaimana (kaifa) Allah ber-istiwa', beliau memberikan jawaban yang menjadi kaidah emas bagi Ahlus Sunnah:
"Istiwa' itu maknanya maklum (diketahui dalam bahasa Arab, yaitu tinggi dan bersemayam), tata caranya majhul (tidak diketahui oleh akal kita), mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentang 'bagaimana'-nya adalah bid'ah."
Jawaban cerdas ini menunjukkan manhaj (metodologi) para salaf. Mereka menetapkan makna bahasa dari sifat tersebut, meyakininya sebagai sebuah kewajiban iman, namun menyerahkan pengetahuan tentang "bagaimana" hakikatnya kepada Allah. Akal manusia yang terbatas tidak akan pernah mampu menjangkau hakikat Dzat dan Sifat Sang Pencipta yang tidak terbatas. Sikap inilah yang paling selamat, paling berilmu, dan paling bijaksana.
Demikian pula dengan para imam lainnya seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, semuanya memiliki akidah yang sama dalam menetapkan Sifat Ketinggian Allah di atas makhluk-Nya. Keyakinan ini termaktub dengan jelas dalam kitab-kitab akidah mereka dan diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari akidah Islam yang murni.
Kesimpulan: Merenungi Kembali "Allah Ta'ala"
Kata "Ta'ala" yang sering kita ucapkan bukanlah sekadar kata sifat biasa. Ia adalah sebuah deklarasi akidah, sebuah pengakuan akan keagungan Allah yang tiada tara. Ia merangkum keyakinan akan Ketinggian Dzat-Nya di atas 'Arsy, Ketinggian Sifat-Sifat-Nya yang sempurna dan suci dari segala kekurangan, serta Ketinggian Kekuasaan-Nya yang menaklukkan seluruh alam semesta.
Memahami makna ini secara mendalam akan mengubah cara kita memandang Allah, diri kita sendiri, dan dunia di sekitar kita. Ia akan menanamkan rasa pengagungan, mengarahkan ibadah kita hanya kepada-Nya, menyuburkan benih kerendahan hati, memberikan ketenangan jiwa, dan menjadi perisai dari perbuatan dosa. Setiap kali lisan kita berucap "Allah Ta'ala", semoga hati kita turut bergetar, meresapi keagungan Dzat yang kita sebut nama-Nya. Dialah Rabb kita, Al-'Aliyy, Al-A'la, Al-Muta'ali. Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan.