Tajrid adalah: Memurnikan Hati dan Jiwa dalam Islam
Dalam samudra luas spiritualitas Islam, terdapat berbagai istilah dan konsep yang menjadi kompas bagi para penempuh jalan (salik) menuju Tuhannya. Salah satu konsep yang paling fundamental, namun seringkali disalahpahami, adalah tajrid. Tajrid bukan sekadar sebuah kata, melainkan sebuah keadaan batin, sebuah proses, dan sebuah tujuan yang menjadi inti dari perjalanan penyucian jiwa. Memahami tajrid adalah memahami esensi dari penyerahan diri, membedah makna tauhid dalam tataran praktis, dan mengarahkan seluruh eksistensi diri hanya kepada Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Secara sederhana, tajrid adalah proses "menelanjangi" atau "mengosongkan" hati dari segala sesuatu selain Allah. Ini adalah sebuah upaya sadar untuk melepaskan belenggu-belenggu yang mengikat jiwa pada dunia, pada makhluk, pada sebab-akibat, bahkan pada diri sendiri. Tujuannya satu: agar hati menjadi sebuah cermin yang jernih, yang hanya memantulkan Cahaya Ilahi, tanpa distorsi dan tanpa penghalang. Perjalanan ini bukanlah perjalanan yang mudah, ia adalah perjuangan seumur hidup yang menuntut kesungguhan, kesabaran, dan bimbingan.
Membedah Makna Tajrid: Dari Akar Kata hingga Istilah Sufistik
Etimologi: Mengupas Lapisan Makna
Untuk memahami sebuah konsep secara utuh, kita perlu menelusurinya hingga ke akar bahasanya. Kata "tajrid" (تجريد) berasal dari akar kata Arab ثلاثي (tiga huruf) yaitu ج-ر-د (ja-ra-da). Akar kata ini memiliki makna dasar yang berkisar pada tindakan mengupas, menelanjangi, melepaskan, memisahkan, atau membuat sesuatu menjadi murni dan tanpa campuran. Dari akar kata yang sama, lahir beberapa kata lain yang membantu kita memahami nuansa makna tajrid:
- Jarada (جَرَدَ): Berarti "ia mengupas kulit" atau "ia menelanjangi". Ini menunjukkan tindakan aktif untuk menghilangkan lapisan luar.
- Jarid (جَرِيْد): Pelepah kurma yang sudah dibersihkan dari daun-daunnya, menyisakan batang intinya yang kokoh. Ini adalah metafora yang indah untuk tajrid; membuang hal-hal yang tidak esensial untuk menemukan inti yang sejati.
- Mujarrad (مُجَرَّد): Kata sifat yang berarti "abstrak," "murni," "tanpa tambahan," atau "sendirian." Sesuatu yang mujarrad adalah sesuatu yang telah terpisah dari atribut-atribut fisik atau materi, menyisakan esensinya saja. Dalam konteks spiritual, hati yang mujarrad adalah hati yang murni, terbebas dari keterikatan.
Dari penelusuran etimologis ini, kita mendapatkan gambaran bahwa tajrid adalah sebuah proses aktif dan sadar untuk "mengupas" hati dari segala lapisan yang menutupinya dari cahaya Allah. Ini adalah proses pemurnian yang intensif.
Terminologi Sufistik: Mengosongkan Wadah Hati
Dalam terminologi para sufi (ahli tasawuf), tajrid adalah salah satu maqam (stasiun spiritual) atau hal (keadaan spiritual) yang krusial. Para ulama tasawuf mendefinisikan tajrid sebagai pengosongan hati dari segala sesuatu selain Allah (ma siwallah). Ini bukan berarti menafikan eksistensi ciptaan, melainkan menafikan posisi ciptaan sebagai sandaran, tujuan, dan sumber harapan di dalam hati.
Salah seorang sufi besar, Syaikh Ibn 'Atha'illah as-Sakandari dalam kitabnya yang monumental, Al-Hikam, memberikan banyak sekali petunjuk mengenai tajrid. Beliau tidak mendefinisikannya dalam satu kalimat, melainkan menjelaskannya melalui berbagai aforisma yang mendalam. Esensinya adalah bahwa tajrid merupakan realisasi penuh dari tauhid, di mana seorang hamba tidak lagi melihat adanya pelaku, pemberi, atau penghalang yang hakiki selain Allah SWT.
Imam Al-Qushayri dalam Ar-Risalah al-Qushairiyyah menjelaskan bahwa tajrid adalah ketika seorang hamba keluar dari ketergantungan pada sebab-sebab (asbab) dan memurnikan tauhidnya dengan bersandar hanya kepada Allah, Sang Penyebab dari segala sebab (Musabbib al-Asbab). Hati yang telah mencapai tajrid tidak akan goyah oleh datang atau perginya dunia. Kekayaan tidak membuatnya sombong, dan kemiskinan tidak membuatnya putus asa, karena pandangannya telah menembus realitas materi dan tertuju hanya kepada Sang Pemberi Rezeki.
Tajrid vs. Zuhud: Perbedaan Mendasar antara Batin dan Lahir
Seringkali, konsep tajrid disamakan atau dicampuradukkan dengan konsep zuhud. Meskipun keduanya saling berkaitan erat, keduanya memiliki perbedaan yang fundamental. Memahami perbedaan ini sangat penting agar tidak salah dalam melangkah.
- Zuhud (الزهد): Secara umum, zuhud lebih berorientasi pada aspek lahiriah atau tindakan. Zuhud adalah sikap tidak cinta dan tidak terikat pada dunia dalam bentuk harta, pangkat, dan kesenangan yang fana. Seorang yang zahid (pelaku zuhud) mungkin akan memilih hidup sederhana, memiliki sedikit harta, dan menjauhi kemewahan. Fokusnya adalah pada tindakan "meninggalkan" dunia secara fisik.
- Tajrid (التجريد): Tajrid, di sisi lain, adalah keadaan batiniah. Ia adalah pekerjaan hati. Fokusnya bukan pada "memiliki" atau "tidak memiliki," melainkan pada "terikat" atau "tidak terikat." Seseorang bisa saja memiliki harta yang melimpah, namun hatinya mencapai derajat tajrid. Hatinya tidak bersandar pada harta itu, ia melihat harta itu sebagai amanah dari Allah yang datang dan pergi atas kehendak-Nya. Sebaliknya, seseorang bisa saja miskin dan tidak memiliki apa-apa (zuhud secara lahiriah), namun hatinya belum mencapai tajrid. Hatinya mungkin masih dipenuhi angan-angan tentang kekayaan, iri pada orang lain, atau terus-menerus mengeluh tentang kemiskinannya. Ketiadaan harta di tangannya tidak serta-merta berarti ketiadaan cinta dunia di dalam hatinya.
Contoh paripurna dari tajrid dalam kekayaan adalah Nabi Sulaiman 'alaihissalam. Beliau memiliki kerajaan dan kekayaan yang tak tertandingi, namun hatinya tidak pernah lalai dari Allah. Beliau berkata, "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)." Contoh paripurna tajrid dalam kesederhanaan adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang seringkali dapurnya tidak mengepul berhari-hari, namun hatinya adalah hati yang paling kaya karena dipenuhi oleh Allah.
Dengan demikian, tajrid adalah tingkatan yang lebih tinggi dan lebih subtil daripada zuhud. Zuhud adalah gerbangnya, sedangkan tajrid adalah istananya. Zuhud adalah latihan bagi anggota badan, sedangkan tajrid adalah pemurnian bagi sang raja, yaitu hati.
Dua Pilar Utama Tajrid: Tauhid dan Ikhlas
Konsep tajrid tidak berdiri sendiri. Ia ditopang oleh dua pilar paling fundamental dalam ajaran Islam: Tauhid dan Ikhlas. Bahkan, dapat dikatakan bahwa tajrid adalah manifestasi paling murni dari kedua pilar ini dalam kehidupan seorang hamba.
Tajrid al-Tauhid: Memurnikan Kalimat Syahadat
Pilar pertama dan utama adalah Tajrid al-Tauhid, atau pemurnian tauhid. Kalimat La ilaha illallah (Tiada tuhan selain Allah) bukan sekadar ucapan di lisan. Ia adalah sebuah deklarasi pembebasan. Deklarasi ini menuntut kita untuk menanggalkan dan menghancurkan semua "ilah-ilah" atau "tuhan-tuhan" kecil yang kita sembah secara sadar maupun tidak sadar di dalam hati. Apa saja tuhan-tuhan kecil itu?
- Hawa Nafsu: Keinginan dan syahwat yang kita ikuti secara membabi buta, seolah-olah ia adalah tuan yang harus dipatuhi.
- Materi dan Harta: Ketika hati bersandar pada uang, pekerjaan, atau aset sebagai penjamin keamanan dan kebahagiaan.
- Makhluk: Ketergantungan pada atasan untuk promosi, pada dokter untuk kesembuhan, atau pada orang lain untuk validasi dan pujian.
- Ego (Ana): Merasa diri mampu melakukan sesuatu karena kekuatan, kecerdasan, atau kehebatan diri sendiri, dan melupakan bahwa semua itu adalah karunia dari Allah.
Tajrid al-Tauhid adalah proses "mengupas" semua ilah palsu ini dari singgasana hati, sehingga hanya tersisa satu Raja yang berkuasa mutlak, yaitu Allah SWT. Hati yang telah mencapai tajrid tauhid akan melihat segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Pujian tidak membuatnya terbang, cacian tidak membuatnya tumbang. Keuntungan tidak membuatnya lupa diri, kerugian tidak membuatnya putus asa. Pandangannya telah menembus tirai sebab-akibat (asbab) dan menyaksikan Sang Pengatur di baliknya (Musabbib al-Asbab).
Tajrid al-Ikhlas: Memurnikan Niat dan Amalan
Pilar kedua adalah Tajrid al-Ikhlas, atau pemurnian keikhlasan. Jika tauhid adalah tentang kepada siapa kita menyembah, maka ikhlas adalah tentang mengapa kita menyembah. Sebuah amalan, betapapun hebatnya secara lahiriah, akan menjadi debu yang beterbangan jika tidak dilandasi oleh niat yang murni hanya untuk Allah.
Tajrid al-Ikhlas berarti membersihkan niat dan amalan dari segala bentuk syirik tersembunyi (syirk al-khafi). Penyakit-penyakit niat ini sangat halus dan seringkali tidak disadari, di antaranya:
- Riya' (Pamer): Beramal agar dilihat dan dipuji oleh manusia.
- Sum'ah (Ingin Didengar): Menceritakan amalan agar didengar dan dikagumi oleh orang lain.
- 'Ujub (Bangga Diri): Merasa kagum dengan amalan sendiri dan memandang diri lebih baik dari orang lain.
- Mencari Imbalan Duniawi: Bersedekah agar bisnis lancar, atau shalat Dhuha hanya dengan niat agar rezeki dimudahkan, tanpa tujuan utama mendekatkan diri kepada Allah.
Proses tajrid menuntut kita untuk terus-menerus memeriksa dan memurnikan niat kita sebelum, selama, dan setelah beramal. Sebelum beramal, kita bertanya: "Untuk siapa aku melakukan ini?" Selama beramal, kita menjaga hati agar tetap fokus kepada Allah. Setelah beramal, kita menyerahkan hasilnya kepada Allah dan segera melupakannya, tidak mengungkit-ungkitnya atau merasa telah berjasa. Inilah puncak keikhlasan, di mana seorang hamba beramal seolah-olah ia tidak pernah beramal, karena ia sadar bahwa kemampuan untuk beramal itu sendiri adalah taufik dan hidayah dari Allah semata.
Dimensi dan Tingkatan Tajrid dalam Kehidupan
Tajrid bukanlah sebuah konsep abstrak yang hanya bisa dicapai di ruang-ruang khalwat. Ia adalah sebuah prinsip hidup yang bisa dan harus diterapkan dalam setiap dimensi kehidupan, mulai dari ibadah ritual hingga interaksi sosial. Tentu saja, kedalaman dan kualitas tajrid berbeda-beda pada setiap orang, sesuai dengan tingkat spiritualitasnya.
Tajrid dalam Ketergantungan (Tawakkal)
Ini adalah dimensi tajrid yang paling sering dibahas. Tajrid dalam tawakkal adalah tentang memurnikan sandaran hati hanya kepada Allah, sambil tetap menjalankan usaha (ikhtiar) secara lahiriah. Ini adalah titik keseimbangan yang sangat sulit, di mana banyak orang tergelincir. Ada dua ekstrem yang salah:
- Mengandalkan Usaha Sepenuhnya: Ini adalah sikap orang yang lalai. Ia bekerja keras, berobat ke dokter terbaik, menyusun strategi paling jitu, dan meyakini bahwa hasil yang didapat adalah murni karena usahanya. Ia lupa bahwa usahanya hanyalah sebab, sedangkan yang menentukan hasilnya adalah Allah.
- Meninggalkan Usaha Sepenuhnya: Ini adalah sikap orang yang keliru memahami tawakkal (disebut tawakul atau kemalasan). Ia hanya berdoa dan menunggu tanpa melakukan ikhtiar apapun, dengan dalih pasrah kepada Allah. Ini bertentangan dengan sunnatullah dan ajaran syariat.
Tajrid yang benar berada di tengah-tengah. Anggota badannya (jawarih) bergerak aktif menjalankan sebab-sebab yang diperintahkan atau diizinkan syariat. Ia bekerja, belajar, berobat, dan merencanakan. Namun, hatinya (qalb) tetap tenang, diam, dan bersandar sepenuhnya hanya kepada Allah. Ia yakin seyakin-yakinnya bahwa usahanya tidak memiliki kekuatan untuk mendatangkan hasil. Usaha hanyalah bentuk ketaatan dan adab kepada Allah, sedangkan hasil mutlak berada dalam genggaman-Nya.
Ibn 'Atha'illah berkata, "Di antara tanda keberpalingan dari Allah adalah ketika engkau merasa resah saat sebab-sebab (duniawi) terputus darimu." Hati yang sudah mencapai tajrid tidak akan panik ketika kehilangan pekerjaan, karena ia tahu bahwa pekerjaan bukanlah pemberi rezeki, melainkan hanya salah satu pintu rezeki. Sang Pemberi Rezeki yang hakiki, Allah, memiliki ribuan pintu lainnya.
Tajrid dalam Ibadah dan Muamalah
Dalam ibadah, tajrid berarti membersihkan setiap gerakan dan bacaan dari kebiasaan mekanis dan pikiran yang melayang. Ia berusaha menghadirkan hati, menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan Rabbul 'Alamin. Shalatnya bukan lagi sekadar rutinitas penggugur kewajiban, melainkan sebuah mi'raj, sebuah dialog intim dengan Sang Kekasih.
Dalam muamalah (interaksi sosial), tajrid berarti melakukan segala sesuatu karena Allah. Ia berbuat baik kepada orang tua sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Ia menolong tetangga karena mengharap ridha Allah. Ia bekerja dengan jujur dan profesional karena merasa diawasi oleh Allah. Ia tidak mengharapkan balasan, ucapan terima kasih, atau pujian dari manusia. Jika ia mendapatkannya, ia bersyukur. Jika tidak, hatinya tetap lapang karena tujuannya sejak awal bukanlah makhluk, melainkan Al-Khaliq.
Langkah-Langkah Praktis Menuju Tajrid
Mencapai tajrid adalah sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan latihan terus-menerus (riyadhah) dan perjuangan melawan diri sendiri (mujahadah). Ini bukanlah sesuatu yang bisa diraih dalam semalam. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa ditempuh:
1. Muhasabah dan Muraqabah (Introspeksi dan Merasa Diawasi)
Langkah pertama adalah kesadaran. Luangkan waktu setiap hari untuk muhasabah, yaitu mengintrospeksi diri. Tanyakan pada hati: "Hari ini, seberapa banyak tindakanku yang murni untuk Allah? Seberapa sering aku bersandar pada selain-Nya? Apa 'tuhan' kecil yang paling sering menguasai hatiku hari ini—egoku, hartaku, atau validasi orang lain?"
Setelah muhasabah, tingkatkan ke level muraqabah, yaitu menanamkan kesadaran bahwa Allah senantiasa melihat dan mengawasi, bahkan apa yang tersembunyi di dalam dada. Kesadaran ini, jika terus dilatih, akan menjadi rem yang kuat dari niat-niat yang bengkok dan ketergantungan pada makhluk.
2. Memperbanyak Dzikir dan Tafakkur
Hati ibarat sebuah wadah. Ia tidak bisa kosong. Jika tidak diisi dengan mengingat Allah (dzikir), ia pasti akan diisi dengan mengingat dunia. Dzikir lisan yang disambungkan dengan hati secara terus-menerus akan menggeser kecintaan pada dunia dan menumbuhkan kecintaan pada Allah. Semakin hati terisi oleh Allah, semakin mudah ia melepaskan selain-Nya.
Lengkapi dzikir dengan tafakkur, yaitu merenung. Renungkan tentang kefanaan dunia dan keabadian akhirat. Renungkan tentang keagungan ciptaan Allah untuk menyadari betapa kecilnya diri kita. Renungkan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah, seperti Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki), Al-Qawiyy (Maha Kuat), Al-Wakil (Maha Pemelihara), untuk menumbuhkan rasa tawakkal dan melepaskan sandaran pada selain-Nya.
3. Mujahadah an-Nafs (Berjuang Melawan Hawa Nafsu)
Tajrid tidak akan tercapai tanpa perjuangan aktif melawan hawa nafsu (mujahadah). Nafsu selalu mengajak kita untuk bersandar pada yang terlihat, yang terasa, dan yang segera. Ia mengajak untuk mencintai pujian, membenci kritikan, dan bergantung pada materi. Melatih diri untuk melawan keinginan-keinginan ini adalah inti dari mujahadah. Ini bisa dilakukan dengan:
- Puasa sunnah: Melatih diri mengendalikan syahwat perut dan lainnya.
- Menyedikitkan tidur dan bicara: Mengurangi hal-hal yang melalaikan hati.
- Menyengaja melakukan hal yang dibenci nafsu (selama tidak haram): Misalnya, ketika nafsu ingin dipuji, paksakan diri untuk menyembunyikan amalan. Ketika nafsu enggan memberi, paksakan diri untuk bersedekah.
4. Shuhbah (Bersahabat dengan Orang Saleh)
Lingkungan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi hati. Sulit untuk mencapai tajrid jika kita terus-menerus bergaul dengan para pecinta dunia yang obrolannya hanya seputar harta, tahta, dan tren terbaru. Carilah sahabat-sahabat saleh (shuhbah) yang ketika kita memandangnya, kita teringat Allah. Yang ketika kita mendengar ucapannya, semangat kita untuk akhirat bertambah. Idealnya, menempuh jalan ini adalah dengan bimbingan seorang guru spiritual (mursyid) yang telah melewati jalan ini terlebih dahulu dan dapat menunjukkan peta serta rambu-rambunya.
Tantangan dan Kesalahpahaman Seputar Tajrid
Sebagai sebuah konsep yang dalam dan subtil, tajrid seringkali dihinggapi kesalahpahaman. Selain itu, mengamalkannya di era modern memiliki tantangan tersendiri.
Kesalahpahaman 1: Tajrid Berarti Pasif dan Meninggalkan Usaha
Ini adalah kesalahpahaman yang paling umum dan berbahaya. Banyak yang mengira bahwa untuk mencapai tajrid, seseorang harus berhenti bekerja, tidak perlu berobat ketika sakit, dan hanya duduk berdiam diri di masjid. Ini adalah pemahaman yang fatalistik dan keliru. Islam adalah agama keseimbangan. Tajrid adalah amalan hati, bukan amalan anggota badan. Badan wajib bergerak sesuai syariat, sementara hati wajib bersandar hanya pada Allah.
Lihatlah Hajar, ibunda Nabi Ismail. Ketika ditinggal di lembah gersang Makkah dan kehabisan air, ia tidak hanya duduk berdoa. Ia berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Badannya berusaha maksimal mencari sebab (air), namun hatinya tidak pernah lepas dari memohon dan berharap hanya kepada Allah. Dan pertolongan Allah (air Zamzam) datang bukan dari arah usahanya, melainkan dari bawah telapak kaki bayinya, sebagai tanda bahwa usaha hanyalah wasilah, sedangkan hasilnya datang dari arah yang Allah kehendaki.
Kesalahpahaman 2: Tajrid Hanya untuk Kalangan Elit Spiritual
Ada anggapan bahwa tajrid adalah konsep "langit" yang hanya relevan bagi para sufi, kiai, atau ahli ibadah yang menghabiskan waktunya di pesantren atau zawiyah. Ini juga tidak tepat. Prinsip tajrid—yaitu memurnikan niat dan sandaran hati—berlaku untuk setiap Muslim, apapun profesinya.
Seorang pedagang bisa mengamalkan tajrid dengan niat berdagang untuk menafkahi keluarga karena Allah, dan hatinya bersandar pada Allah sebagai pemberi keuntungan, bukan pada kelihaiannya bernegosiasi. Seorang dokter mengamalkan tajrid dengan merawat pasien sebaik mungkin sebagai amanah dari Allah, dan hatinya bersandar pada Allah sebagai Penyembuh hakiki, bukan pada obat atau keahlian medisnya. Seorang pemimpin mengamalkan tajrid dengan memimpin secara adil karena takut kepada Allah, bukan karena mencari popularitas atau kekuasaan. Tajrid adalah ruh yang bisa ditiupkan ke dalam setiap aktivitas duniawi, sehingga aktivitas tersebut bernilai ibadah.
Tantangan di Era Modern
Mengamalkan tajrid di era modern memiliki tantangan yang unik. Kita hidup dalam budaya yang secara sistematis dirancang untuk menciptakan ketergantungan pada selain Allah:
- Budaya Konsumerisme: Terus-menerus menciptakan keinginan dan membuat kita merasa bahagia dan aman dengan memiliki barang-barang terbaru.
- Media Sosial: Menjadi panggung raksasa untuk riya' dan mencari validasi. Nilai diri diukur dari jumlah "likes," "followers," dan komentar pujian. Ini adalah musuh utama dari tajrid al-ikhlas.
- Banjir Informasi dan Hiburan: Membuat hati terus-menerus sibuk dengan hal-hal yang tidak penting, sehingga sulit untuk meluangkan waktu untuk dzikir, tafakkur, dan muhasabah.
Menghadapi tantangan ini membutuhkan kesadaran dan perjuangan yang lebih besar. Diperlukan disiplin untuk membatasi paparan terhadap hal-hal yang merusak hati dan secara sadar mengalokasikan waktu untuk "mengisi daya" spiritual, agar hati tidak sepenuhnya terseret oleh arus materialisme dan kelalaian.
Kesimpulan: Tajrid sebagai Esensi Perjalanan Pulang
Pada hakikatnya, tajrid adalah esensi dari kalimat tauhid. Ia adalah perjalanan seumur hidup untuk memurnikan dan mengosongkan rumah hati agar layak dihuni oleh Cahaya Sang Pemilik Rumah yang sejati, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini bukanlah tentang membenci atau meninggalkan dunia, melainkan tentang menempatkan dunia pada posisi yang semestinya: di genggaman tangan, bukan di dalam relung hati. Dunia digunakan sebagai ladang untuk beramal dan sebagai jembatan menuju akhirat, tetapi tidak pernah dijadikan sebagai tujuan akhir atau sandaran utama.
Perjalanan tajrid adalah perjalanan "pulang". Kita berasal dari Allah (inna lillah) dan akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji'un). Tajrid adalah proses melepaskan semua "bekal" dan "oleh-oleh" duniawi yang memberatkan, sehingga kita bisa kembali kepada-Nya dalam keadaan ringan, bersih, dan dengan hati yang selamat (qalbun salim). Ini adalah sebuah perjuangan, namun buahnya adalah kemerdekaan sejati; kemerdekaan dari perbudakan makhluk, perbudakan nafsu, dan perbudakan dunia. Dan tidak ada kenikmatan yang lebih besar daripada merasakan kebebasan dan ketenangan dalam naungan penjagaan-Nya semata.