Taqarrub: Esensi Perjalanan Menuju Sang Pencipta
Dalam samudra kehidupan yang luas, setiap jiwa manusia memiliki kerinduan mendasar untuk terhubung, untuk menemukan makna, dan untuk merasakan kedekatan dengan sesuatu yang lebih agung dari dirinya sendiri. Kerinduan ini adalah fitrah, sebuah gema primordial yang tertanam dalam sanubari. Dalam khazanah spiritual Islam, perjalanan untuk memenuhi kerinduan ini dikenal dengan satu istilah yang sarat makna: Taqarrub.
Lantas, taqarrub adalah sebuah konsep yang sering kita dengar, namun seberapa dalam kita memahaminya? Apakah ia sekadar rangkaian ritual ibadah yang dilakukan secara mekanis? Ataukah ia merupakan sebuah proses transformasi batin yang menyeluruh, sebuah perjalanan hati yang tiada henti menuju sumber segala cinta dan ketenangan, Allah Subhanahu wa Ta'ala? Artikel ini akan mengupas tuntas esensi taqarrub, dari makna dasarnya hingga manifestasinya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai panduan bagi setiap jiwa yang merindukan kedekatan dengan Rabb-nya.
Membedah Makna Taqarrub: Lebih dari Sekadar Kata
Secara etimologi, kata "taqarrub" berasal dari bahasa Arab, dari akar kata qaf-ra-ba (قَرَبَ) yang berarti "dekat". Kata ini kemudian membentuk berbagai derivasi yang semuanya berpusat pada makna kedekatan, seperti qarib (dekat), qurban (sesuatu yang mendekatkan diri), dan aqrabun (kerabat terdekat). Dengan demikian, secara harfiah, taqarrub berarti "upaya untuk mendekat" atau "proses mendekatkan diri".
Namun, dalam terminologi syar'i, makna taqarrub adalah jauh lebih dalam. Ia bukan sekadar kedekatan fisik yang bisa diukur dengan jarak. Taqarrub ilallah adalah sebuah perjalanan spiritual seorang hamba untuk mendekatkan dirinya kepada Allah SWT melalui segala bentuk ketaatan, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Ini adalah sebuah usaha sadar dan berkelanjutan untuk meraih cinta, ridha, dan rahmat-Nya, dengan harapan untuk merasakan kehadiran-Nya dalam setiap detak jantung dan helaan napas.
Taqarrub bukanlah destinasi akhir, melainkan perjalanan seumur hidup. Ia adalah seni mengubah setiap aktivitas, dari yang paling sakral hingga yang paling profan, menjadi sebuah jembatan yang menghubungkan hati hamba dengan Sang Khaliq.
Penting untuk dipahami bahwa kedekatan ini bersifat satu arah dari sisi hamba. Allah, dengan ilmu dan kekuasaan-Nya, sudah senantiasa dekat dengan hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya, "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." Kedekatan yang dimaksud dalam taqarrub adalah kedekatan dalam bentuk perhatian, rahmat, ampunan, dan pertolongan Allah yang diraih oleh hamba melalui usahanya.
Tiga Pilar Fundamental dalam Perjalanan Taqarrub
Perjalanan taqarrub tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Ia harus dibangun di atas fondasi yang kokoh agar tidak mudah goyah oleh badai godaan dan tantangan. Terdapat tiga pilar utama yang menjadi penopang bagi setiap amal agar bernilai sebagai sarana taqarrub yang diterima di sisi Allah SWT.
1. Al-Iman: Fondasi Keyakinan yang Menancap Kuat
Pilar pertama dan yang paling fundamental adalah keimanan (Al-Iman). Tanpa iman, segala amal ibadah akan menjadi bangunan tanpa dasar, indah di luar namun rapuh di dalam. Iman adalah pembenaran dalam hati, pengakuan dengan lisan, dan pembuktian dengan perbuatan. Iman inilah yang menjadi bahan bakar utama yang mendorong seorang hamba untuk memulai dan melanjutkan perjalanan taqarrub. Bagaimana mungkin seseorang ingin mendekat kepada Dzat yang tidak ia yakini keberadaan-Nya, keagungan-Nya, dan kasih sayang-Nya?
Keimanan ini mencakup keyakinan yang teguh terhadap rukun iman, terutama ma'rifatullah (mengenal Allah). Mengenal Allah melalui nama-nama-Nya yang indah (Asmaul Husna) dan sifat-sifat-Nya yang mulia (Sifatullah) akan menumbuhkan rasa cinta (mahabbah), takut (khauf), dan harap (raja') di dalam hati. Rasa inilah yang menjadi motor penggerak utama dalam setiap langkah taqarrub. Semakin dalam pengenalan seorang hamba kepada Rabb-nya, semakin besar pula kerinduannya untuk mendekat.
2. Al-Ikhlas: Kemurnian Niat sebagai Ruh Amalan
Jika iman adalah fondasi, maka keikhlasan (Al-Ikhlas) adalah ruh yang menghidupkan setiap amalan. Taqarrub adalah sebuah proses yang sangat personal antara hamba dan Tuhannya, sehingga niat menjadi penentu utama nilainya. Ikhlas berarti memurnikan tujuan dari segala perbuatan hanya untuk mencari wajah Allah semata, bukan untuk pujian manusia (riya'), bukan untuk didengar orang lain (sum'ah), dan bukan pula untuk keuntungan duniawi.
Sebuah amal yang besar bisa menjadi kecil nilainya di sisi Allah karena niat yang tercemar, sebaliknya, amal yang terlihat kecil bisa menjadi sangat agung karena dilandasi keikhlasan yang murni. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya." Niat yang ikhlas mengubah pekerjaan mencari nafkah menjadi ibadah, mengubah senyuman kepada sesama menjadi sedekah, dan mengubah kesabaran dalam menghadapi musibah menjadi ladang pahala. Ikhlas adalah pemurni yang menyaring setiap tindakan dari kotoran-kotoran duniawi, menjadikannya persembahan yang layak bagi Sang Maha Suci.
3. Al-Ittiba': Mengikuti Jejak Sang Teladan Utama
Pilar ketiga adalah Al-Ittiba', yaitu mengikuti tuntunan dan cara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Cinta kepada Allah menuntut adanya pembuktian, dan cara pembuktian terbaik adalah dengan mengikuti jalan yang telah digariskan oleh utusan-Nya. Allah SWT berfirman, "Katakanlah (Muhammad), 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ittiba' memastikan bahwa energi dan semangat kita dalam beribadah tersalurkan pada jalur yang benar dan diridhai. Ia melindungi kita dari perbuatan mengada-ada dalam agama (bid'ah) yang justru dapat menjauhkan kita dari Allah, meskipun niat awalnya baik. Mengikuti Sunnah Nabi, baik dalam ibadah mahdhah (ritual murni) seperti shalat dan puasa, maupun dalam ibadah ghairu mahdhah seperti akhlak dan muamalah, adalah wujud ketaatan dan cinta yang paling otentik. Dengan ittiba', kita memastikan bahwa setiap langkah taqarrub kita berada di atas rel yang lurus menuju keridhaan-Nya.
Jalan-Jalan Menuju Kedekatan: Sarana Praktis Taqarrub
Setelah memahami pilar-pilarnya, pertanyaan selanjutnya adalah: melalui jalan apa sajakah kita bisa menempuh perjalanan taqarrub ini? Islam telah menyediakan berbagai sarana, dari yang wajib hingga yang sunnah, yang semuanya berfungsi sebagai tangga untuk menaiki puncak kedekatan dengan Allah SWT.
Ibadah Fardhu: Kewajiban sebagai Gerbang Utama
Amalan yang paling dicintai Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya adalah apa yang telah Dia wajibkan. Ini adalah jalur utama, jalan tol spiritual yang harus dilalui oleh setiap hamba.
- Shalat Lima Waktu: Ini adalah mi'raj (kenaikan) seorang mukmin, dialog langsung dengan Sang Pencipta lima kali sehari. Shalat yang dikerjakan dengan tuma'ninah (tenang) dan khusyu' (fokus) bukan hanya menggugurkan kewajiban, tetapi juga membersihkan jiwa, mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan menjadi sumber kekuatan spiritual yang luar biasa.
- Puasa Ramadhan: Sebuah madrasah (sekolah) tahunan yang melatih kesabaran, pengendalian diri, dan empati. Dengan menahan lapar dan dahaga karena Allah, seorang hamba membuktikan ketaatannya dan merasakan penderitaan kaum dhuafa, yang pada gilirannya akan melembutkan hatinya.
- Zakat: Ibadah sosial yang membersihkan harta dan jiwa. Zakat adalah wujud nyata kepedulian dan rasa syukur, sebuah pengakuan bahwa sebagian dari harta yang kita miliki adalah hak orang lain. Ia mendekatkan hamba kepada Allah melalui pintu kasih sayang kepada sesama makhluk.
- Haji bagi yang Mampu: Puncak perjalanan spiritual yang menyatukan jutaan umat Islam dari seluruh dunia. Haji adalah simbol kepasrahan total, melepaskan semua atribut duniawi untuk menjadi tamu Allah di tanah suci.
Amalan Sunnah: Langkah-Langkah Ekstra Menuju Cinta-Nya
Jika ibadah fardhu adalah modal utama, maka amalan sunnah adalah keuntungan dan investasi yang akan mengangkat derajat seorang hamba ke tingkat yang lebih istimewa. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah berfirman, "...dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya..."
Sarana taqarrub melalui amalan sunnah sangatlah luas, di antaranya:
- Shalat-shalat Sunnah: Seperti shalat Tahajjud di sepertiga malam terakhir, shalat Dhuha di pagi hari, dan shalat Rawatib yang mengiringi shalat fardhu. Tahajjud adalah waktu paling mustajab untuk berdoa dan bermunajat, saat di mana seorang hamba bisa mengadukan segala keluh kesahnya secara personal kepada Rabb-nya.
- Tilawah dan Tadabbur Al-Qur'an: Membaca Al-Qur'an adalah bercakap-cakap dengan Allah melalui firman-Nya. Lebih dari sekadar membaca, mentadabburi (merenungkan) ayat-ayat-Nya akan membuka cakrawala pemahaman, memberikan petunjuk, dan menenangkan hati yang gundah.
- Dzikir (Mengingat Allah): Menjaga lisan dan hati agar senantiasa basah dengan mengingat Allah (tasbih, tahmid, tahlil, takbir) adalah cara termudah dan teringan untuk terus terhubung dengan-Nya di setiap waktu dan keadaan. Dzikir adalah benteng bagi hati dari kelalaian.
- Doa: Doa adalah otaknya ibadah. Ia adalah pengakuan akan kelemahan diri dan kebergantungan total kepada kekuatan Allah. Melalui doa, seorang hamba menjalin komunikasi yang intim, memohon, berharap, dan berserah diri kepada-Nya.
- Sedekah dan Infak: Memberi sebagian dari apa yang kita cintai di jalan Allah adalah bukti keimanan yang kuat. Sedekah tidak akan mengurangi harta, justru ia membuka pintu-pintu rezeki dan keberkahan yang tak terduga.
Akhlak Mulia: Taqarrub Melalui Interaksi dengan Makhluk
Perjalanan taqarrub adalah proses yang holistik, tidak hanya mencakup hubungan vertikal dengan Allah (hablum minallah), tetapi juga hubungan horizontal dengan sesama makhluk (hablum minannas). Akhlak yang mulia merupakan cerminan dari kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Seseorang yang dekat dengan Allah, hatinya akan dipenuhi dengan rahmat, sehingga ia akan memancarkan kebaikan kepada sekelilingnya.
Beberapa contoh akhlak sebagai sarana taqarrub:
- Birrul Walidain (Berbakti kepada Orang Tua): Keridhaan Allah terletak pada keridhaan orang tua. Melayani, menghormati, dan mendoakan mereka adalah salah satu pintu surga yang paling cepat dan utama.
- Menyambung Silaturahmi: Menjaga hubungan baik dengan sanak saudara adalah amalan yang mendatangkan rahmat, memperpanjang umur, dan melapangkan rezeki.
- Menjadi Bermanfaat bagi Sesama: Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Menolong orang yang kesulitan, memberikan ilmu, atau sekadar menebar senyum adalah bentuk-bentuk taqarrub yang sangat agung.
- Kejujuran, Amanah, dan Menepati Janji: Sifat-sifat ini adalah pilar karakter seorang mukmin. Menjaganya dalam setiap transaksi dan interaksi adalah wujud nyata dari rasa takut dan pengawasan Allah (muraqabah).
Setiap perbuatan baik yang diniatkan untuk mencari ridha Allah, sekecil apapun itu, adalah sebuah anak tangga dalam perjalanan taqarrub. Jangan pernah meremehkan senyuman tulus atau menyingkirkan duri dari jalan, karena keduanya bisa menjadi pemberat timbangan kebaikan.
Buah Manis dari Perjalanan Taqarrub
Setiap perjalanan yang melelahkan tentu menjanjikan hasil yang sepadan. Perjalanan taqarrub, meskipun penuh tantangan, menawarkan buah-buah manis yang bisa dipetik baik di dunia maupun di akhirat kelak. Manfaat ini bukan hanya bersifat spiritual, tetapi juga memberikan dampak nyata pada kualitas hidup seorang hamba.
Ketenangan Jiwa yang Hakiki (Sakinah)
Di tengah hiruk pikuk dunia yang penuh dengan kecemasan dan ketidakpastian, hati yang dekat dengan Allah akan menemukan oase ketenangan yang tidak akan ditemukan di tempat lain. Allah berfirman, "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." Ketenangan ini bukan berarti bebas dari masalah, tetapi kemampuan untuk tetap tegar dan damai di tengah badai masalah, karena keyakinan penuh bahwa Allah senantiasa bersamanya.
Menjadi Wali Allah: Perlindungan dan Pertolongan Langsung
Puncak dari taqarrub adalah ketika seorang hamba mencapai derajat waliyullah (kekasih Allah). Ketika Allah telah mencintai seorang hamba, Dia akan menjadi pelindung utamanya. Dalam Hadits Qudsi yang telah disebutkan sebelumnya, Allah melanjutkan firman-Nya, "Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan, dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, niscaya akan Aku lindungi." Ini adalah jaminan penjagaan ilahi yang luar biasa bagi mereka yang tulus dalam perjalanan mendekat kepada-Nya.
Kecintaan Makhluk dan Kemudahan Urusan
Ketika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memerintahkan Jibril untuk mencintainya, dan Jibril akan mengumumkannya kepada penduduk langit, lalu penduduk bumi pun akan menerimanya dengan cinta. Orang yang dekat dengan Allah akan memiliki kewibawaan dan pesona ruhani yang membuat orang lain merasa segan, hormat, dan nyaman berada di dekatnya. Selain itu, Allah akan memberikan jalan keluar (makhraj) dari setiap kesulitan dan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.
Kenikmatan Puncak di Akhirat
Semua kenikmatan dunia hanyalah bayang-bayang pucat jika dibandingkan dengan balasan yang menanti di akhirat. Buah termanis dari perjalanan taqarrub adalah keridhaan Allah dan kesempatan untuk memandang Wajah-Nya yang Mulia di surga. Ini adalah puncak segala kenikmatan, sebuah anugerah yang membuat semua kenikmatan surga lainnya terasa tak berarti. Inilah tujuan akhir dari setiap jiwa yang merindukan pertemuan dengan Kekasih sejatinya.
Tantangan dan Rintangan di Jalan Taqarrub
Jalan menuju kedekatan ilahi bukanlah jalan yang mulus dan bertabur bunga. Ia adalah jalan pendakian yang terjal dan penuh rintangan. Mengenali rintangan-rintangan ini adalah langkah awal untuk bisa mengatasinya.
Godaan Setan: Musuh abadi manusia ini tidak akan pernah rela melihat seorang hamba mendekat kepada Tuhannya. Setan akan membisikkan keraguan, rasa was-was, menumbuhkan kemalasan, dan menghiasi kemaksiatan agar terlihat indah.
Hawa Nafsu: Musuh yang datang dari dalam diri sendiri ini seringkali lebih berbahaya. Kecenderungan jiwa untuk bersantai, menuruti keinginan syahwat, dan mencari kesenangan sesaat adalah penghalang besar dalam konsistensi beribadah.
Kecintaan Berlebih pada Dunia (Hubbud Dunya): Ketika hati telah terikat pada gemerlap dunia, pada harta, tahta, dan popularitas, maka ruang untuk Allah di dalam hati akan semakin sempit. Dunia akan menjadi tujuan, bukan lagi sarana.
Lingkungan yang Buruk: Manusia adalah makhluk sosial yang mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Berteman dengan orang-orang yang lalai akan membuat semangat ibadah menjadi kendor, sementara berteman dengan orang-orang saleh akan saling mengingatkan dalam kebaikan.
Untuk mengatasi semua ini, seorang hamba memerlukan bekal berupa ilmu, kesabaran, keistiqamahan (konsistensi), doa yang tak putus, dan senantiasa mencari lingkungan yang mendukung perjalanan spiritualnya.
Kesimpulan: Sebuah Panggilan untuk Memulai Perjalanan
Pada akhirnya, taqarrub adalah esensi dari penghambaan itu sendiri. Ia adalah denyut nadi kehidupan seorang mukmin, sebuah kompas yang mengarahkan setiap langkah, kata, dan niat menuju satu titik pusat: keridhaan Allah SWT. Ia bukanlah monopoli para ulama atau ahli ibadah, melainkan sebuah panggilan terbuka bagi setiap jiwa yang merasa kosong dan merindukan makna, bagi setiap hati yang lelah dengan kepalsuan dunia dan mendambakan ketenangan sejati.
Perjalanan ini tidak menuntut kita untuk menjadi sempurna dalam semalam. Ia adalah proses bertahap, selangkah demi selangkah. Dimulai dengan memperbaiki yang wajib, lalu dihiasi dengan amalan-amalan sunnah, dibungkus dengan niat yang ikhlas, dan dilandasi oleh akhlak yang mulia. Setiap usaha, sekecil apapun, akan dihargai. Setiap tetes air mata penyesalan akan dipandang. Setiap langkah yang terseok-seok menuju-Nya akan disambut dengan rahmat-Nya yang membentang luas.
Maka, marilah kita menjawab panggilan ini. Mari kita mulai perjalanan taqarrub kita hari ini, dari titik di mana kita berada sekarang. Karena pada hakikatnya, mendekat kepada Allah adalah perjalanan untuk menemukan versi terbaik dari diri kita sendiri, dan pulang ke rumah sejati tempat segala kedamaian bersemayam.