Menggali Samudra Makna di Balik Tulisan Arab Alhamdulillahi Rabbil Alamin
Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.
Setiap hari, lebih dari satu miliar Muslim di seluruh dunia melantunkan sebuah kalimat agung, setidaknya tujuh belas kali dalam ibadah shalat mereka. Kalimat ini begitu familier di telinga, begitu ringan di lisan, hingga terkadang maknanya yang seluas samudra terasa lewat begitu saja. Kalimat itu adalah Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin. Ia adalah ayat kedua dari surat pembuka Al-Qur'an, Surat Al-Fatihah, sebuah deklarasi fundamental yang menjadi pondasi bagi seluruh ajaran Islam. Di balik kesederhanaan susunan katanya, tersembunyi sebuah pemahaman dunia (worldview) yang utuh, sebuah pengakuan yang menggetarkan jiwa, dan sebuah kunci untuk membuka pintu ketenangan dan rasa syukur.
Artikel ini akan mengajak Anda untuk menyelam lebih dalam, melampaui sekadar hafalan dan pengucapan. Kita akan membedah setiap kata dari tulisan arab Alhamdulillahi Rabbil Alamin, mengurai lapis demi lapis maknanya, menelusuri posisinya yang strategis dalam Al-Qur'an, dan merenungkan bagaimana kalimat singkat ini dapat mentransformasi cara kita memandang kehidupan, baik di saat lapang maupun sempit. Ini adalah perjalanan untuk menemukan kembali keagungan dalam hal yang paling sering kita ucapkan, untuk merasakan getaran iman setiap kali lisan kita berucap, "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."
Membedah Kalimat Agung: Tafsir Kata demi Kata
Untuk memahami kedalaman sebuah bangunan, kita harus memeriksa fondasi dan setiap batu bata yang menyusunnya. Demikian pula dengan kalimat ini. Keagungannya tersusun dari pilihan kata yang sangat presisi dan kaya makna dalam bahasa Arab. Mari kita perhatikan tulisan arab Alhamdulillahi Rabbil Alamin dan membedahnya kata per kata.
ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ
Transliterasi dari tulisan arab tersebut adalah: Al-ḥamdu lillāhi rabbil-'ālamīn.
Makna 'Al-Hamdu' (ٱلْحَمْدُ): Pujian yang Paripurna dan Mutlak
Kata pertama, Al-Hamdu, seringkali diterjemahkan secara sederhana sebagai "pujian". Namun, terjemahan ini belum mampu menangkap seluruh esensi yang terkandung di dalamnya. Dalam khazanah bahasa Arab, terdapat beberapa kata yang berdekatan maknanya dengan pujian, seperti 'Madh' dan 'Syukr'. Memahami perbedaan di antara ketiganya adalah kunci untuk membuka makna 'Al-Hamdu'.
Madh (المدح) adalah pujian yang diberikan kepada sesuatu atau seseorang karena kualitas eksternal atau kebaikan yang dimilikinya. Pujian ini bisa diberikan kepada sesama makhluk. Seseorang bisa memuji keindahan sebuah lukisan, kecerdasan seorang ilmuwan, atau kedermawanan seorang filantropis. Namun, 'madh' bisa jadi tidak tulus dan terkadang berlebihan demi mencari muka. Ia juga seringkali ditujukan pada sifat-sifat yang tidak sepenuhnya berasal dari subjek yang dipuji, seperti pujian pada ketampanan atau garis keturunan.
Syukr (الشكر), yang diterjemahkan sebagai "syukur" atau "terima kasih", adalah sebuah respons terhadap kebaikan atau nikmat yang telah diterima. Rasa syukur muncul karena adanya manfaat yang kita peroleh. Kita bersyukur kepada seseorang yang telah menolong kita. Dengan kata lain, 'syukr' bersifat reaktif; ada sebab (nikmat) yang mendahuluinya. Cakupannya lebih sempit, yaitu sebatas pada kebaikan yang telah kita rasakan secara langsung.
Lalu, apa itu Al-Hamdu (الحمد)? 'Hamd' adalah tingkatan pujian yang jauh lebih tinggi dan lebih komprehensif. Ia adalah pujian yang didasari oleh cinta (mahabbah) dan pengagungan (ta'zhim). 'Hamd' diberikan bukan hanya karena nikmat yang diterima, melainkan karena kesempurnaan sifat dan esensi Zat yang dipuji itu sendiri. Kita memuji Allah (melakukan 'hamd') bukan hanya karena Dia memberi kita rezeki, tetapi karena Dia adalah Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki) pada esensi-Nya. Kita memuji-Nya bukan hanya saat kita sehat, tetapi karena Dia adalah Asy-Syafi (Maha Penyembuh) pada hakikat-Nya. 'Hamd' mencakup 'syukr', tetapi tidak sebaliknya. Semua rasa syukur adalah bagian dari 'hamd', tetapi 'hamd' jauh lebih luas karena ia mencakup pujian atas sifat-sifat Allah yang agung, bahkan yang tidak kita rasakan manfaatnya secara langsung.
Keajaiban berikutnya terletak pada awalan 'Al-' (ال) pada kata 'Al-Hamdu'. Dalam tata bahasa Arab, awalan ini dikenal sebagai 'alif lam lil istighraq', yang berfungsi untuk mencakup keseluruhan, totalitas, atau generalitas. Jadi, 'Al-Hamdu' tidak berarti "sebuah pujian" atau "sebagian pujian", melainkan SEGALA PUJIAN. Ia mencakup setiap jenis pujian yang pernah terucap, yang sedang terucap, dan yang akan terucap. Pujian dari para malaikat, para nabi, manusia, jin, bahkan gemerisik daun dan deburan ombak yang bertasbih kepada-Nya—semua itu terangkum dalam satu kata: 'Al-Hamdu'. Ia adalah pernyataan bahwa totalitas pujian yang sempurna dan absolut, dari awal zaman hingga akhir zaman, adalah milik Allah semata.
Makna 'Lillahi' (لِلَّٰهِ): Kepemilikan Mutlak Sang Pencipta
Setelah menetapkan bahwa seluruh pujian yang ada adalah satu kesatuan yang utuh, kalimat ini kemudian menegaskan kepada siapa pujian itu ditujukan. Kata 'Lillahi' (لِلَّٰهِ) terdiri dari dua bagian: preposisi 'Li-' (لِ) dan nama agung 'Allah' (ٱللَّٰه).
Preposisi 'Li-' dalam konteks ini memiliki makna kepemilikan (milkiyyah) dan kelayakan (istihaqaq). Ini berarti pujian tersebut bukan hanya "untuk" Allah, tetapi secara hakiki adalah "milik" Allah. Dialah pemilik tunggal segala pujian. Pujian apa pun yang diberikan makhluk kepada makhluk lain pada dasarnya adalah pujian yang kembali kepada Allah, karena Dialah sumber dari segala kebaikan dan kesempurnaan yang ada pada makhluk tersebut. Jika kita memuji kecerdasan seorang ilmuwan, kita sejatinya sedang memuji Allah yang telah menganugerahkan kecerdasan itu. Jika kita mengagumi keindahan alam, kita sejatinya sedang mengagumi Allah Sang Maha Pencipta keindahan itu.
Kemudian, nama 'Allah'. Ini bukan sekadar sebutan untuk "Tuhan". Dalam teologi Islam, 'Allah' adalah Ism al-A'zham, Nama Yang Paling Agung. Nama ini bersifat unik, tidak memiliki bentuk jamak, tidak memiliki gender, dan tidak berasal dari kata lain. Ia adalah nama diri (proper name) bagi satu-satunya Zat yang wajib disembah, yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan (Asma'ul Husna wa Sifatul 'Ulya). Nama-nama lain seperti Ar-Rahman (Maha Pengasih), Al-Ghafur (Maha Pengampun), atau Al-Khaliq (Maha Pencipta) adalah nama-nama yang menjelaskan sifat-sifat dari Zat yang bernama 'Allah'. Dengan menyebut 'Lillahi', kita menegaskan bahwa totalitas pujian itu adalah milik Zat yang tunggal, esa, dan memiliki seluruh kesempurnaan yang tak terbatas.
Makna 'Rabb' (رَبِّ): Tuhan Sang Pemelihara dan Pendidik
Kata 'Rabb' (رَبِّ) sering diterjemahkan sebagai "Tuhan" atau "Lord". Lagi-lagi, terjemahan ini menyederhanakan sebuah konsep yang sangat kaya. Kata 'Rabb' dalam bahasa Arab berasal dari akar kata yang mengandung makna penciptaan, kepemilikan, pengaturan, pemeliharaan, dan pendidikan (tarbiyah). Seorang 'Rabb' bukan hanya pencipta yang kemudian meninggalkan ciptaan-Nya. Dia adalah Sang Pencipta yang juga:
- Al-Malik (Sang Pemilik): Dia memiliki kekuasaan dan kepemilikan absolut atas segala sesuatu. Tidak ada satu atom pun di alam semesta yang bergerak di luar kepemilikan dan kehendak-Nya.
- Al-Mudabbir (Sang Pengatur): Dia secara aktif dan terus-menerus mengatur segala urusan ciptaan-Nya. Pergerakan galaksi, siklus air di bumi, detak jantung dalam dada kita, hingga rezeki seekor semut di dalam tanah—semuanya berada dalam pengaturan-Nya yang presisi.
- Ar-Razzaq (Sang Pemberi Rezeki): Dia yang menjamin rezeki bagi setiap makhluk-Nya, dari paus di lautan hingga mikroba terkecil. Rezeki ini tidak hanya bersifat materi (makanan, minuman), tetapi juga non-materi seperti ilmu, kesehatan, dan hidayah.
- Al-Murabbi (Sang Pendidik dan Pemelihara): Ini adalah salah satu makna 'Rabb' yang paling indah. Allah tidak hanya menciptakan dan mengatur, tetapi juga memelihara dan "mendidik" ciptaan-Nya tahap demi tahap menuju kesempurnaan yang telah Dia tetapkan. Biji yang tumbuh menjadi pohon, janin yang berkembang di dalam rahim, hingga seorang hamba yang dibimbing-Nya melalui berbagai ujian untuk meningkatkan derajat imannya—semua itu adalah bentuk dari tarbiyah Allah.
Dengan menyebut Allah sebagai 'Rabb', kita mengakui sebuah hubungan yang sangat intim dan dinamis. Dia bukan dewa yang jauh di singgasana-Nya, melainkan Pemelihara yang Maha Dekat, yang mengatur setiap detail kehidupan kita dengan penuh hikmah dan kasih sayang. Pengakuan ini melahirkan rasa aman dan tawakal, bahwa kita berada dalam penjagaan sebaik-baiknya Penjaga.
Makna 'Al-'Alamin' (ٱلْعَالَمِينَ): Seluruh Alam Semesta Tanpa Batas
Kata terakhir, 'Al-'Alamin' (ٱلْعَالَمِينَ), adalah bentuk jamak dari kata 'alam' (عَالَم), yang berarti "dunia" atau "alam". Penggunaan bentuk jamak di sini sangatlah signifikan. Ia tidak merujuk pada satu dunia saja (planet Bumi), tetapi pada seluruh alam, semua dunia, semua semesta. Ini adalah sebuah pengakuan atas keagungan kekuasaan Allah yang melampaui batas imajinasi manusia.
'Al-'Alamin' mencakup segala sesuatu selain Allah (siwallah). Ini termasuk:
- Alam yang terlihat (Alam Syahadah): Manusia, hewan, tumbuhan, lautan, gunung, planet, bintang, galaksi-galaksi yang jumlahnya miliaran. Semua yang dapat dijangkau oleh sains dan panca indera kita hanyalah sebagian kecil dari 'Al-'Alamin'.
- Alam yang gaib (Alam Ghaib): Dunia para malaikat, dunia jin, Arsy, Kursi, surga, dan neraka. Alam-alam yang keberadaannya kita yakini melalui wahyu, meskipun kita tidak dapat melihatnya.
- Alam dalam berbagai dimensi: Para ulama tafsir juga menyebutkan bahwa ia mencakup alam manusia, alam hewan, alam tumbuhan, dan setiap spesies sebagai 'alam'-nya sendiri. Masing-masing memiliki hukum dan tatanannya sendiri yang diatur oleh Sang Rabb.
Kata 'Al-'Alamin' menghancurkan kesombongan dan pandangan antroposentris (manusia sebagai pusat segalanya). Ia menyadarkan kita bahwa kita hanyalah satu bagian kecil dari ciptaan Allah yang tak terhingga luasnya. Allah adalah 'Rabb' bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk semut, untuk bintang di gugusan Andromeda, dan untuk makhluk-makhluk lain yang tidak kita ketahui. Kesadaran ini melahirkan rasa takjub dan kerendahan hati yang luar biasa di hadapan Sang Pencipta.
Jadi, jika kita gabungkan kembali, kalimat Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin bukanlah sekadar "Segala puji bagi Tuhan semesta alam". Ia adalah sebuah deklarasi agung yang sarat makna: "Seluruh totalitas pujian yang sempurna dan absolut, yang didasari oleh cinta dan pengagungan, secara hakiki adalah milik Zat yang bernama 'Allah', Sang Pencipta yang juga Pemilik, Pengatur, Pemberi Rezeki, dan Pendidik bagi seluruh alam semesta, yang terlihat maupun yang gaib, yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui."
Alhamdulillahi Rabbil Alamin dalam Jantung Al-Qur'an dan Ibadah
Keagungan sebuah kalimat tidak hanya terletak pada makna intrinsiknya, tetapi juga pada posisi dan konteks di mana ia diletakkan. Penempatan ayat Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin dalam Al-Qur'an dan dalam ritual ibadah sehari-hari memiliki hikmah yang sangat mendalam.
Permata di Awal Al-Fatihah, Pintu Gerbang Al-Qur'an
Surat Al-Fatihah disebut sebagai Ummul Qur'an (Induk Al-Qur'an) karena ia merangkum seluruh pokok ajaran yang akan dirinci dalam 113 surat setelahnya. Ayat ini datang tepat setelah seorang hamba mengucapkan "Bismillahir-rahmanir-rahim" (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Setelah menyebut nama-Nya sebagai tanda memulai, hal pertama yang diajarkan Allah kepada hamba-Nya bukanlah sebuah perintah, larangan, atau bahkan permintaan. Hal pertama adalah adab: etika berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Dan adab tertinggi adalah dengan memulainya dengan pujian.
Dengan mengucapkan Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, kita seolah-olah mengetuk pintu rahmat Allah dengan cara yang paling sopan. Kita tidak langsung meminta, "Ya Allah, berikan aku ini dan itu." Sebaliknya, kita mengawali dialog dengan mengakui keagungan-Nya, kedaulatan-Nya, dan kesempurnaan-Nya. Ini mengajarkan kita sebuah prinsip fundamental dalam hubungan antara hamba dan Tuhan: hubungan yang dibangun di atas pengakuan dan pengagungan, bukan semata-mata transaksional.
Ayat ini juga menjadi pondasi logis bagi ayat-ayat selanjutnya dalam Al-Fatihah. Mengapa kita harus tunduk pada-Nya? Karena Dia adalah Rabbil 'Alamin. Mengapa kita meyakini kasih sayang-Nya? Karena pujian sempurna hanya milik-Nya, dan sifat dasar-Nya adalah Ar-Rahman Ar-Rahim. Mengapa kita hanya beribadah dan meminta pertolongan kepada-Nya (Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in)? Karena Dia adalah satu-satunya Rabbil 'Alamin, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan demikian, ayat ini bukan sekadar kalimat pembuka, melainkan premis utama yang menjadi dasar bagi seluruh "kontrak" antara manusia dan Tuhan yang tertuang dalam Al-Fatihah.
Dzikir yang Diulang di Setiap Rakaat: Kalibrasi Jiwa
Hikmah terbesarnya mungkin terletak pada kewajiban membacanya di setiap rakaat shalat. Mengapa harus diulang-ulang? Bukankah sekali saja cukup? Jawabannya terletak pada fitrah manusia yang pelupa (insan dari kata nasiya, yang berarti lupa). Dalam kesibukan dunia, kita sering kali lupa akan hakikat ini. Kita mulai merasa bahwa kesuksesan kita adalah murni hasil kerja keras kita. Kita menyandarkan harapan pada makhluk. Kita cemas akan masa depan seolah-olah tidak ada yang mengaturnya. Kita menjadi sombong saat diberi nikmat dan putus asa saat ditimpa musibah.
Shalat, dengan Al-Fatihah di dalamnya, berfungsi sebagai momen "kalibrasi" jiwa. Minimal lima kali sehari, kita ditarik keluar dari hiruk pikuk dunia untuk kembali kepada titik nol, kepada kebenaran hakiki. Kita berdiri di hadapan-Nya dan sekali lagi menegaskan: "Ya Allah, segala pujian hanya milik-Mu. Engkaulah yang mengatur segalanya, bukan aku, bukan bosku, bukan siapa pun. Engkaulah Rabb bagi seluruh alam semesta ini."
Pengulangan ini ibarat mengisi ulang baterai spiritual. Ia membersihkan karat-karat kesombongan, keluh kesah, dan kecemasan yang menempel di hati sepanjang hari. Ia meluruskan kembali kompas kehidupan kita, mengingatkan siapa diri kita (hamba) dan siapa Tuhan kita (Rabbil 'Alamin). Dengan pengulangan inilah, makna yang agung itu diharapkan tidak hanya berhenti di akal, tetapi meresap ke dalam sanubari dan menjelma menjadi keyakinan yang kokoh, yang kemudian termanifestasi dalam setiap tindakan, pikiran, dan perasaan kita di luar shalat.
Dimensi Spiritual dan Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari
Memahami tulisan arab Alhamdulillahi Rabbil Alamin dan maknanya akan menjadi sia-sia jika tidak membawa perubahan nyata dalam kehidupan kita. Kalimat ini bukan mantra magis, melainkan sebuah paradigma, sebuah cara pandang yang jika diinternalisasi akan mengubah segalanya.
Lebih dari Sekadar Ucapan: Sebuah Pernyataan Tauhid yang Murni
Di jantung kalimat ini terletak esensi dari Tauhid, yaitu mengesakan Allah. Ketika kita mengatakan Al-Hamdu Lillahi (Segala puji milik Allah), kita secara implisit menafikan adanya pihak lain yang berhak menerima pujian hakiki. Ini adalah bentuk Tauhid Uluhiyyah, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah satu-satunya yang berhak disembah dan diagungkan.
Ketika kita mengatakan Rabbil 'Alamin (Tuhan seluruh alam), kita menegaskan keyakinan bahwa hanya Allah satu-satunya yang menciptakan, memiliki, dan mengatur alam semesta. Tidak ada kekuatan lain yang beroperasi di luar kehendak-Nya. Ini adalah bentuk Tauhid Rububiyyah. Dengan satu kalimat singkat, kita telah mengikrarkan dua pilar utama akidah Islam. Inilah mengapa kalimat ini begitu fundamental dan kuat.
Kunci Menuju Rasa Syukur dan Qana'ah (Kepuasan Batin)
Manusia modern seringkali terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk mendapatkan lebih. Media sosial mempertontonkan kehidupan orang lain yang tampak lebih baik, memicu rasa iri dan tidak puas. Obat dari penyakit hati ini adalah dengan menghayati makna Alhamdulillah.
Ketika kita benar-benar yakin bahwa segala puji milik Allah, Sang Rabb yang mengatur segalanya, kita akan mulai melihat tangan-Nya dalam setiap detail kehidupan. Kita tidak lagi menganggap remeh nikmat udara yang kita hirup, detak jantung yang normal, atau seteguk air yang menyegarkan. Semuanya adalah anugerah dari Sang Rabb yang layak disambut dengan "Alhamdulillah". Perspektif ini mengalihkan fokus kita dari apa yang tidak kita miliki kepada anugerah tak terhingga yang telah kita miliki. Hasilnya adalah qana'ah, yaitu rasa cukup dan puas dengan ketetapan Allah. Hati yang dipenuhi qana'ah adalah hati yang paling kaya dan paling damai.
Alhamdulillah di Saat Lapang dan Sempit: Tanda Iman yang Matang
Mengucapkan Alhamdulillah saat menerima kabar baik adalah hal yang mudah. Namun, iman seorang hamba benar-benar diuji ketika ia mampu mengucapkannya di tengah kesulitan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kita dua adab dalam menyikapi keadaan:
- Ketika mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, beliau mengucapkan:
"Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmus shalihat" (Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan). - Ketika menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan, beliau mengucapkan:
"Alhamdulillahi 'ala kulli hal" (Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan).
Mengucapkan "Alhamdulillah" di saat sulit bukanlah bentuk kepasrahan yang pasif atau penyangkalan terhadap rasa sakit. Sebaliknya, ia adalah puncak dari keyakinan dan prasangka baik kepada Allah. Ini adalah pengakuan bahwa bahkan dalam musibah ini, ada hikmah, ada kebaikan, ada rencana dari Sang Rabb yang Maha Bijaksana dan Maha Pengasih. Mungkin musibah ini datang untuk menghapus dosa, untuk mengangkat derajat, atau untuk mengajarkan kita sebuah pelajaran berharga. Keyakinan seperti inilah yang membuat seorang mukmin tetap tegar dan tidak putus asa, karena ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia selalu berada dalam pemeliharaan Rabbil 'Alamin.
Keutamaan dan Pahala Mengucapkannya
Banyak hadits yang menjelaskan betapa bernilainya ucapan Alhamdulillah di sisi Allah. Ia bukan sekadar kata-kata, melainkan ibadah yang memiliki bobot yang berat. Di antara keutamaannya:
- Memenuhi Timbangan Amal: Rasulullah bersabda, "...dan ucapan 'Alhamdulillah' itu memenuhi timbangan (mizan)." (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa besar pahala yang terkandung dalam satu ucapan tulus ini.
- Kalimat yang Paling Dicintai Allah: Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda bahwa kalimat yang paling dicintai Allah setelah Al-Qur'an adalah empat: "Subhanallah, Alhamdulillah, La ilaha illallah, dan Allahu Akbar." (HR. Muslim).
- Pembuka Pintu Surga: Diceritakan bahwa ucapan Alhamdulillah akan menjadi salah satu seruan para penghuni surga, sebagai ekspresi kebahagiaan dan syukur abadi mereka atas nikmat yang Allah berikan.
Mengetahui keutamaan ini seharusnya memotivasi kita untuk lebih sering membasahi lisan dengan dzikir ini, menjadikannya respons spontan kita terhadap setiap peristiwa dalam hidup, sebagai wujud nyata dari iman kita kepada Allah, Rabbil 'Alamin.
Kesimpulan: Lautan yang Tak Bertepi
Kita telah melakukan perjalanan singkat untuk menyelami makna dari tulisan arab Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Kita telah melihat bagaimana setiap katanya dipilih dengan presisi ilahiah, bagaimana posisinya dalam Al-Qur'an dan shalat penuh dengan hikmah, dan bagaimana penghayatannya dapat mengubah total cara kita menjalani hidup. Namun, apa yang telah kita urai ini hanyalah setetes air dari samudra maknanya yang tak bertepi.
Kalimat ini adalah fondasi. Ia adalah pengakuan pertama dan terakhir. Ia adalah sumber kekuatan saat lemah, sumber harapan saat putus asa, dan sumber kerendahan hati saat berjaya. Ia adalah worldview seorang Muslim yang utuh, terangkum dalam lima kata yang agung. Ia mengajarkan kita bahwa hidup ini dimulai dengan pujian dan diakhiri dengan pujian, karena segala urusan bermula dan akan kembali kepada-Nya.
Maka, marilah kita berusaha untuk tidak lagi membiarkan kalimat ini lewat begitu saja. Setiap kali kita melantunkannya dalam shalat, setiap kali kita mengucapkannya setelah bersin, setiap kali kita menyelesaikannya setelah makan, mari kita berhenti sejenak. Hadirkanlah maknanya dalam hati. Rasakanlah getaran pengakuan bahwa seluruh pujian yang ada di langit dan di bumi adalah milik-Nya, Allah, satu-satunya Rabb yang memelihara kita dan seluruh alam semesta. Dengan begitu, ucapan "Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin" tidak lagi hanya menjadi gerakan lisan, tetapi menjadi denyut nadi keimanan yang sesungguhnya.