Warisan Tulisan Agung Nabi Muhammad SAW
Dalam bentangan sejarah peradaban manusia, kekuatan kata-kata yang tertulis seringkali melampaui usia penulisnya, melintasi batas geografis, dan mengubah arah zaman. Tulisan menjadi jembatan antara generasi, wadah ilmu pengetahuan, dan medium penyampaian gagasan yang paling fundamental. Namun, ada satu warisan tulisan yang dampaknya terasa begitu mendalam dan personal bagi miliaran jiwa, yaitu warisan yang terkait dengan Nabi Muhammad SAW. Ketika kita berbicara tentang "tulisan Muhammad SAW", kita tidak hanya merujuk pada goresan tinta di atas perkamen, melainkan sebuah konsep yang jauh lebih luas: sebuah warisan wahyu, diplomasi, hukum, etika, dan seni yang terekam dalam bentuk tulisan dan terus hidup hingga kini.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam berbagai dimensi dari warisan tulisan tersebut. Mulai dari konteks literasi di Jazirah Arab pada masanya, proses pencatatan wahyu Al-Quran yang agung, surat-surat diplomatik yang mengguncang singgasana para kaisar, hingga bagaimana nama dan deskripsinya menginspirasi lahirnya salah satu bentuk seni paling indah di dunia, yaitu kaligrafi Islam. Ini adalah sebuah perjalanan untuk memahami bagaimana kata-kata, baik yang didiktekan maupun yang menginspirasi, membentuk sebuah peradaban yang berpusat pada teks suci dan ajaran kenabian.
Konteks Literasi di Jazirah Arab: Lautan Lisan, Pulau Tulisan
Untuk memahami betapa revolusionernya penekanan Islam pada tulisan, kita harus terlebih dahulu menyelami lanskap budaya Jazirah Arab pra-Islam. Masyarakat saat itu hidup dalam sebuah peradaban yang didominasi oleh tradisi lisan. Kekuatan ingatan adalah segalanya. Syair dan prosa, silsilah keluarga, kisah-kisah kepahlawanan, dan hukum adat dihafalkan dan diwariskan dari mulut ke mulut. Para penyair memiliki kedudukan yang sangat terhormat; mereka adalah juru bicara suku, sejarawan, dan penghibur. Sebuah syair yang indah bisa mengangkat martabat sebuah suku atau meruntuhkan kehormatan suku lain.
Dalam lautan tradisi lisan ini, tulisan adalah sebuah pulau kecil yang jarang disinggahi. Kemampuan baca tulis bukanlah hal yang umum. Bahan untuk menulis pun terbilang sederhana dan tidak praktis. Mereka menggunakan apa pun yang tersedia di lingkungan gurun yang keras: pelepah kurma yang dikeringkan, lempengan batu tipis, tulang belikat unta, potongan kulit, atau perkamen yang mahal. Orang yang mampu menulis, yang dikenal sebagai 'katib', adalah sosok langka dan sangat dihargai, biasanya bekerja untuk para pedagang kaya atau pemimpin suku untuk mencatat perjanjian dagang atau kesepakatan penting.
Kondisi inilah yang membuat kehadiran Al-Quran sebagai sebuah kitab suci yang "tertulis" menjadi sebuah fenomena luar biasa. Di tengah masyarakat yang mengandalkan hafalan, Islam datang dengan perintah eksplisit untuk membaca (Iqra') dan penghormatan yang tinggi terhadap pena (Al-Qalam). Wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW tidak dibiarkan menguap di udara, melainkan segera didiktekan dan dicatat dengan cermat oleh para sahabat yang ditunjuk sebagai juru tulis wahyu. Ini adalah sebuah pergeseran paradigma, dari budaya yang mengandalkan ingatan semata menuju budaya yang menyeimbangkan antara hafalan yang kuat dan dokumentasi tertulis yang akurat.
Figur Nabi Muhammad SAW dan Para Juru Tulis Wahyu
Sebuah aspek penting yang sering dibahas adalah status Nabi Muhammad SAW sebagai seorang ummi. Secara teologis, mayoritas ulama menafsirkan ummi sebagai seseorang yang tidak bisa membaca atau menulis. Ini bukanlah sebuah kekurangan, melainkan sebuah mukjizat dan tanda kebesaran Allah SWT. Fakta bahwa Nabi yang tidak pernah belajar membaca dan menulis dari manusia mampu menyampaikan Al-Quran—sebuah karya sastra dengan keindahan bahasa, kedalaman makna, dan konsistensi yang tak tertandingi—menjadi bukti kuat bahwa Al-Quran bukanlah karangan beliau, melainkan wahyu murni dari Sang Pencipta.
Ketidakmampuan beliau untuk menulis secara pribadi justru melahirkan sebuah sistem pencatatan yang sangat terorganisir dan melibatkan banyak pihak. Setiap kali wahyu turun, Nabi Muhammad SAW akan segera memanggil para sahabat yang memiliki keahlian menulis. Mereka dikenal sebagai Kuttab al-Wahy (Para Juru Tulis Wahyu). Figur-figur terkemuka seperti Zayd bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka'ab, dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan adalah beberapa di antara mereka yang mendapat kehormatan besar ini.
Prosesnya berlangsung dengan sangat teliti. Nabi Muhammad SAW akan membacakan ayat-ayat yang baru diterimanya, dan para juru tulis akan menuliskannya di berbagai media yang tersedia saat itu. Setelah ditulis, Nabi akan meminta tulisan itu dibacakan kembali untuk memastikan tidak ada satu huruf pun yang salah atau terlewat. Proses verifikasi ganda ini menunjukkan betapa besar perhatian yang diberikan untuk menjaga kemurnian teks wahyu sejak awal. Tulisan-tulisan ini kemudian disimpan di rumah Nabi atau dipegang oleh para juru tulis itu sendiri. Paralel dengan proses penulisan, ratusan sahabat lainnya menghafalkan ayat-ayat tersebut langsung dari lisan Nabi, menciptakan sistem pengamanan ganda: hafalan di dalam dada dan tulisan di atas berbagai media.
Al-Quran: Manifestasi Tulisan Wahyu yang Terjaga Sempurna
Warisan tulisan terbesar dari Nabi Muhammad SAW, tanpa keraguan, adalah Al-Quran itu sendiri. Meskipun beliau tidak menulisnya dengan tangan sendiri, seluruh isinya adalah firman Allah yang beliau sampaikan dan perintahkan untuk dituliskan. Al-Quran adalah puncak dari tradisi tulisan dalam Islam, sebuah teks yang diyakini terjaga keasliannya dari generasi ke generasi.
Tahap Penulisan di Masa Nabi
Seperti yang telah dijelaskan, pencatatan Al-Quran dimulai sejak periode awal di Mekkah. Setiap ayat yang turun langsung dicatat. Meskipun pada masa Nabi Muhammad SAW Al-Quran belum terkumpul dalam satu buku (mushaf) seperti yang kita kenal sekarang, seluruh ayatnya telah lengkap tertulis di berbagai kepingan material dan terjaga dalam hafalan ribuan sahabat. Jibril juga senantiasa mengulang (muraja'ah) hafalan Al-Quran bersama Nabi setiap tahunnya di bulan Ramadan, dan dua kali pada tahun terakhir kehidupan beliau, untuk memastikan urutan surat dan ayatnya benar.
Proses Kodifikasi Pasca-Wafatnya Nabi
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, sebuah peristiwa penting memicu proyek besar pengumpulan tulisan-tulisan Al-Quran. Dalam Pertempuran Yamamah, banyak sekali para penghafal Al-Quran (qurra') yang gugur sebagai syuhada. Umar bin Khattab merasa khawatir akan hilangnya sebagian Al-Quran jika para penghafalnya terus berkurang. Beliau lantas mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan semua tulisan Al-Quran yang tersebar menjadi satu kesatuan.
Awalnya, Abu Bakar ragu karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Namun, setelah diyakinkan oleh Umar, beliau menyadari urgensinya dan menunjuk Zayd bin Tsabit, juru tulis wahyu utama, untuk memimpin tugas monumental ini. Zayd, dengan kerendahan hati dan rasa tanggung jawab yang luar biasa, memulai pekerjaannya. Beliau tidak hanya mengandalkan hafalannya sendiri, tetapi menetapkan metode yang sangat ketat: setiap ayat yang akan dikumpulkan harus diverifikasi oleh setidaknya dua orang saksi yang adil, yang menyaksikan langsung ayat itu ditulis di hadapan Nabi, serta dicocokkan dengan hafalan para sahabat lainnya. Hasil dari kerja keras ini adalah sebuah kumpulan tulisan yang disebut Suhuf Abu Bakar, lembaran-lembaran yang berisi seluruh ayat Al-Quran secara lengkap dan tersusun rapi.
Standarisasi di Masa Utsman bin Affan
Beberapa masa kemudian, pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, wilayah Islam telah meluas hingga ke Persia dan Afrika Utara. Umat Islam dari berbagai latar belakang suku dan bahasa mulai membaca Al-Quran dengan dialek (qira'at) yang sedikit berbeda, yang berpotensi menimbulkan perselisihan. Untuk menyatukan umat Islam di atas satu standar bacaan yang merujuk pada dialek Quraisy (dialek di mana Al-Quran pertama kali diturunkan), Khalifah Utsman mengambil langkah penting lainnya.
Beliau membentuk sebuah komite yang kembali dipimpin oleh Zayd bin Tsabit untuk menyalin ulang Suhuf Abu Bakar menjadi beberapa mushaf standar. Mushaf-mushaf ini kemudian dikirim ke pusat-pusat peradaban Islam seperti Kufah, Basra, Damaskus, dan Mekkah, untuk menjadi rujukan utama. Salinan-salinan lain yang tidak sesuai dengan standar ini diperintahkan untuk dimusnahkan demi menjaga kesatuan teks. Langkah inilah yang memastikan bahwa Al-Quran yang kita baca hari ini, dari ujung timur Indonesia hingga ujung barat Maroko, adalah identik dan sama persis dengan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Proses ini adalah bukti nyata dari janji Allah untuk menjaga kitab-Nya, yang diwujudkan melalui usaha tulus para sahabat dalam mendokumentasikan tulisan wahyu.
Surat Diplomatik: Tulisan yang Mengubah Peta Dunia
Selain Al-Quran, bentuk tulisan lain yang sangat signifikan dari era Nabi Muhammad SAW adalah surat-surat yang beliau kirimkan kepada para penguasa dan raja di berbagai belahan dunia. Surat-surat ini bukan sekadar korespondensi biasa; ia adalah proklamasi sebuah risalah universal, sebuah undangan yang berani kepada para pemimpin kekaisaran besar untuk tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Surat-surat ini menunjukkan visi global Nabi, yang memandang Islam bukan hanya untuk bangsa Arab, tetapi untuk seluruh umat manusia.
Setelah Perjanjian Hudaibiyah, yang memberikan periode damai bagi umat Islam, Nabi Muhammad SAW mengutus para delegasi untuk membawa surat-surat bersejarah ini. Setiap surat memiliki struktur yang khas: dimulai dengan Basmalah, menyebutkan identitas pengirim ("Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya"), menyebutkan nama penerima beserta gelarnya, lalu menyampaikan inti pesan yaitu ajakan untuk memeluk Islam (Aslim Taslam - "Masuklah Islam, maka engkau akan selamat").
Stempel Kenabian: Otoritas dalam Tulisan
Untuk memberikan keabsahan dan otoritas pada surat-surat tersebut, Nabi Muhammad SAW membuat sebuah stempel atau cincin perak. Stempel ini memiliki ukiran tiga baris yang dibaca dari bawah ke atas: "Muhammad Rasul Allah" (Muhammad Utusan Allah). Stempel ini dibubuhkan pada setiap surat yang dikirim, berfungsi sebagai tanda resmi kenabian, layaknya tanda tangan atau segel kerajaan pada masa itu. Penggunaan stempel ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang protokol diplomatik dan pentingnya otentikasi dalam komunikasi tertulis antar negara.
Beberapa Surat yang Terkenal
- Kepada Heraklius, Kaisar Romawi Timur (Bizantium): Surat ini dibawa oleh Dihyah al-Kalbi. Isinya mengajak Heraklius untuk memeluk Islam dan mengutip ayat Al-Quran yang mengajak Ahli Kitab untuk bersatu di bawah kalimat tauhid. Riwayat menyebutkan bahwa Heraklius sangat terkesan dan sempat mempertimbangkan ajakan tersebut, meskipun tekanan politik dari para pembesarnya membuatnya tidak jadi memeluk Islam.
- Kepada Kisra (Khosrow II), Kaisar Persia: Surat ini dibawa oleh Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi. Berbeda dengan Heraklius, Kisra bereaksi dengan sangat arogan. Ia merobek-robek surat tersebut. Ketika kabar ini sampai kepada Nabi, beliau berdoa agar kerajaannya juga terkoyak-koyak, dan sejarah mencatat bahwa tak lama kemudian kekaisaran Persia runtuh.
- Kepada Najasyi (Negus), Raja Habasyah (Ethiopia): Najasyi adalah raja yang adil dan telah memberikan suaka kepada Muslim yang hijrah pertama kali. Ia menerima surat Nabi dengan penuh hormat, meletakkannya di matanya, dan menyatakan keimanannya.
- Kepada Muqawqis, Penguasa Mesir: Muqawqis menerima utusan Nabi dengan baik. Meskipun tidak memeluk Islam, ia mengirimkan hadiah balasan berupa dua orang budak perempuan (salah satunya, Mariyah al-Qibtiyyah, kemudian menjadi istri Nabi), kain-kain berharga, dan seekor kuda.
Surat-surat ini adalah bukti tulisan sebagai alat diplomasi yang kuat. Mereka bukan hanya mengumumkan kehadiran sebuah kekuatan spiritual dan politik baru di Jazirah Arab, tetapi juga meletakkan dasar bagi hubungan internasional dalam Islam. Pesannya jelas: perdamaian ditawarkan melalui ketundukan kepada Tuhan, dan penolakan membawa konsekuensi duniawi dan ukhrawi. Ini adalah contoh bagaimana tulisan bisa menjadi alat untuk mengubah dunia.
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya, kepada Heraklius, pembesar Romawi. Keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk. Aku mengajakmu dengan seruan Islam: masuklah Islam, maka engkau akan selamat, dan Allah akan memberimu pahala dua kali lipat..." - Penggalan isi surat kepada Kaisar Heraklius.
Hadis: Dari Lisan Menuju Tulisan Abadi
Jika Al-Quran adalah firman Allah yang didiktekan, maka Hadis adalah rekaman perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat Nabi Muhammad SAW. Awalnya, Hadis lebih banyak dihafalkan dan ditransmisikan secara lisan. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada periode awal, Nabi sempat melarang penulisan Hadis secara umum. Kebijakan ini sangat bijaksana, tujuannya adalah untuk memfokuskan upaya para sahabat pada penulisan dan penghafalan Al-Quran, serta untuk menghindari tercampurnya firman Allah dengan sabda Nabi.
Namun, larangan ini tidak bersifat mutlak. Terdapat pengecualian bagi beberapa sahabat yang memiliki kemampuan mencatat yang baik dan bisa membedakan dengan jelas mana yang wahyu dan mana yang bukan. Salah satu contoh paling terkenal adalah Abdullah bin Amr bin al-Ash, yang diizinkan secara pribadi oleh Nabi untuk menulis apa pun yang beliau sabdakan. Kumpulan catatannya dikenal sebagai "As-Sahifah as-Sadiqah" (Lembaran yang Benar).
Seiring berjalannya waktu, setelah Al-Quran terkodifikasi dengan mapan dan kekhawatiran akan campur aduknya teks hilang, para ulama generasi berikutnya (Tabi'in dan Tabi' al-Tabi'in) mulai merasakan urgensi untuk mendokumentasikan Hadis secara sistematis. Mereka melakukan perjalanan ribuan mil, dari satu kota ke kota lain, hanya untuk mencari, memverifikasi, dan mencatat satu Hadis dari seorang sahabat atau murid sahabat. Gerakan intelektual yang luar biasa ini melahirkan ilmu-ilmu Hadis yang sangat kompleks, seperti ilmu rijal (biografi perawi) dan ilmu mustalah (terminologi Hadis), untuk menyaring riwayat yang shahih (otentik) dari yang dha'if (lemah) atau maudhu' (palsu).
Puncak dari upaya ini adalah lahirnya kitab-kitab Hadis besar, seperti Shahih al-Bukhari oleh Imam Bukhari dan Shahih Muslim oleh Imam Muslim, serta kitab-kitab lainnya (Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah). Kitab-kitab ini adalah hasil dari transformasi tradisi lisan menjadi sebuah korpus tulisan yang sangat rapi dan terverifikasi. Dengan demikian, "tulisan" dalam konteks Hadis adalah wujud dari upaya luar biasa umat Islam untuk mengabadikan jejak kehidupan dan ajaran Nabi mereka, memastikan bahwa sunnah beliau tetap menjadi panduan hidup yang otentik sepanjang masa.
Kaligrafi Nama "Muhammad": Seni Tulisan yang Penuh Cinta
Warisan tulisan Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada konten teks seperti Al-Quran dan Hadis, tetapi juga meluas ke ranah estetika dan spiritual, yaitu seni kaligrafi. Setelah wafatnya Nabi, rasa cinta dan kerinduan yang mendalam dari umat Islam terhadap sosok beliau diekspresikan dalam berbagai cara, salah satunya adalah melalui seni menuliskan namanya dengan indah.
Nama "Muhammad" (محمد) dan "Ahmad" (أحمد) menjadi salah satu objek kaligrafi yang paling sering ditulis setelah lafaz Allah. Para kaligrafer (khattat) dari berbagai era dan wilayah, dari Andalusia hingga Tiongkok, berlomba-lomba untuk menciptakan komposisi kaligrafi nama Nabi yang paling indah. Berbagai gaya kaligrafi, seperti Kufi, Naskh, Thuluth, Diwani, dan Nastaliq, digunakan untuk menorehkan nama suci ini. Setiap goresan kuas atau pena tidak hanya menuntut keterampilan teknis, tetapi juga dijiwai dengan rasa hormat, cinta, dan shalawat.
Kaligrafi nama Nabi seringkali ditempatkan di tempat-tempat yang mulia, berdampingan dengan kaligrafi lafaz Allah di dinding masjid, mihrab, mimbar, hingga hiasan di rumah-rumah Muslim. Komposisi kaligrafi syahadatain (Dua Kalimat Syahadat) juga secara inheren mengandung tulisan nama "Muhammad", menegaskan posisinya sebagai utusan Allah.
Hilya-i-Sharif: Menuliskan Deskripsi, Melukiskan Karakter
Salah satu manifestasi seni tulisan yang paling unik terkait Nabi adalah Hilya-i-Sharif (Deskripsi yang Mulia). Karena penggambaran visual Nabi secara fisik tidak dianjurkan dalam Islam untuk menghindari pengkultusan, para seniman Utsmani mengembangkan sebuah bentuk seni kaligrafi yang "melukiskan" sosok Nabi melalui kata-kata. Hilya adalah sebuah panel kaligrafi yang berisi deskripsi fisik dan karakter moral Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang diriwayatkan oleh para sahabat, terutama Ali bin Abi Thalib.
Sebuah Hilya biasanya memiliki tata letak standar: bagian kepala berisi Basmalah, bagian bulan sabit di tengah berisi deskripsi utama, empat sudut diisi dengan nama empat Khalifah Rasyidin, dan bagian bawah berisi ayat Al-Quran tentang kenabian serta doa. Bagi pemiliknya, Hilya bukan sekadar hiasan. Ia adalah sarana untuk mengingat, merenungkan, dan meneladani kemuliaan akhlak Nabi. Ini adalah contoh paling puncak bagaimana tulisan bisa melampaui fungsinya sebagai penyampai informasi dan menjadi medium untuk koneksi spiritual dan ekspresi cinta yang mendalam.
Kesimpulan: Warisan Tulisan yang Terus Mengalir
Dari penelusuran di atas, menjadi jelas bahwa "tulisan Muhammad SAW" adalah sebuah konsep multifaset yang sangat kaya. Ia bukanlah sekadar artefak sejarah berupa goresan tangan, melainkan sebuah warisan peradaban yang hidup dan dinamis. Warisan ini berwujud dalam:
- Tulisan Wahyu (Al-Quran): Sebuah teks suci yang terjaga keasliannya, menjadi sumber utama hukum, etika, spiritualitas, dan ilmu pengetahuan bagi umat Islam.
- Tulisan Diplomatik (Surat-surat): Dokumen-dokumen bersejarah yang menunjukkan visi global dan keberanian dalam menyebarkan risalah tauhid ke seluruh penjuru dunia.
- Tulisan Terinspirasi (Hadis): Upaya kolektif ribuan ulama untuk mendokumentasikan setiap detail kehidupan Sang Teladan, mengubah tradisi lisan menjadi ilmu tertulis yang kokoh.
- Tulisan Artistik (Kaligrafi): Ekspresi cinta, penghormatan, dan kerinduan melalui seni menuliskan nama dan sifat-sifatnya dengan keindahan yang tak lekang oleh waktu.
Di era digital saat ini, warisan tulisan ini terus bertransformasi. Al-Quran dan Hadis kini dapat diakses melalui aplikasi di gawai, surat-surat diplomatik dipelajari di universitas-universitas di seluruh dunia, dan kaligrafi digital terus berkembang. Namun, esensinya tetap sama. Kata-kata yang didiktekan, diinspirasikan, dan direkam lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu di tengah padang pasir Arabia terus mengalir, membentuk cara pandang, menuntun perilaku, dan mengisi hati miliaran manusia dengan cahaya petunjuk. Inilah warisan tulisan yang sesungguhnya: sebuah warisan yang tidak membeku dalam sejarah, tetapi terus hidup, relevan, dan abadi.