Membedah Makna: Arti Surat An-Nasr Ayat Kedua
Al-Qur'an, sebagai firman Allah yang mulia, mengandung lautan hikmah yang tak bertepi. Setiap surat, setiap ayat, bahkan setiap katanya menyimpan makna yang mendalam dan relevan sepanjang zaman. Salah satu surat yang singkat namun padat makna adalah Surat An-Nasr. Surat ke-110 dalam mushaf ini, yang tergolong Madaniyah, membawa kabar gembira sekaligus sebuah pertanda agung. Fokus utama kita dalam pembahasan ini adalah untuk menyelami secara komprehensif makna yang terkandung dalam ayat keduanya.
Sebelum kita mengupas tuntas ayat kedua, marilah kita membaca keseluruhan Surat An-Nasr untuk mendapatkan gambaran utuh tentang konteksnya:
1. iżā jā`a naṣrullāhi wal-fat-ḥ
2. wa ra`aitan-nāsa yadkhulụna fī dīnillāhi afwājā
3. fa sabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfir-h, innahụ kāna tawwābā
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
Surat ini dibuka dengan "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan". Kemudian, ayat kedua yang menjadi inti pembahasan kita, "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah," berfungsi sebagai penjelas dan manifestasi nyata dari pertolongan dan kemenangan tersebut. Ini bukan sekadar kemenangan militer, tetapi sebuah kemenangan spiritual yang puncaknya adalah hidayah yang menyentuh hati manusia secara massal.
Analisis Linguistik Ayat Kedua (Tafsir Lughawi)
Untuk memahami kedalaman sebuah ayat Al-Qur'an, pendekatan pertama yang paling fundamental adalah membedah setiap kata yang digunakan. Allah memilih kata-kata dalam Al-Qur'an dengan presisi yang luar biasa. Mari kita urai frasa demi frasa dari ayat: "وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا".
وَرَأَيْتَ (Wa ra'ayta) - Dan Engkau Melihat
Kata ini diawali dengan huruf 'و' (wa) yang berarti "dan", berfungsi sebagai penghubung dengan ayat sebelumnya. Ia mengikat erat antara datangnya pertolongan Allah dengan peristiwa yang akan disaksikan. Kata 'رَأَيْتَ' (ra'ayta) ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ (khitab). Ini adalah sebuah penegasan bahwa beliau sendirilah yang akan menyaksikan pemandangan luar biasa ini dengan mata kepala beliau.
Kata 'ra'a' (melihat) dalam bahasa Arab bisa memiliki dua makna: penglihatan fisik dengan mata (ru'yah basariyah) dan penglihatan hati atau pemahaman (ru'yah qalbiyah). Dalam konteks ayat ini, mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa makna yang dimaksud mencakup keduanya. Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya akan melihat secara fisik kerumunan manusia yang datang untuk menyatakan keislaman mereka, tetapi beliau juga akan melihat dengan mata hati dan keyakinan bahwa inilah buah dari kesabaran, inilah realisasi dari janji Allah, dan inilah puncak dari perjuangan dakwah beliau selama lebih dari dua dekade. Penglihatan ini adalah sebuah anugerah, sebuah penyejuk mata bagi sang Rasul setelah melalui berbagai rintangan, cemoohan, dan perlawanan.
ٱلنَّاسَ (An-Nāsa) - Manusia
Pemilihan kata 'ٱلنَّاسَ' (An-Nās) yang berarti "manusia" sangatlah signifikan. Kata ini bersifat umum dan inklusif. Allah tidak menyebut "orang-orang Arab", "suku Quraisy", atau kelompok spesifik lainnya. Penggunaan kata 'An-Nās' memberikan isyarat bahwa pesan Islam bersifat universal. Meskipun pada tahap awal realisasinya adalah bangsa Arab di sekitar Jazirah Arabia yang masuk Islam, kata ini membuka cakrawala bahwa pada akhirnya, seluruh umat manusia dari berbagai bangsa dan suku akan terus-menerus memasuki agama Allah. Ini adalah visi besar Islam sebagai rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Ini juga menunjukkan sebuah transformasi besar. 'Manusia' yang tadinya memusuhi, menolak, bahkan memerangi dakwah Islam, kini adalah 'manusia' yang sama yang datang dengan suka rela, tanpa paksaan, untuk tunduk pada kebenaran. Ini adalah pembalikan keadaan yang hanya bisa terjadi atas izin dan pertolongan Allah.
يَدْخُلُونَ (Yadkhulūna) - Mereka Masuk
Kata ini menggunakan bentuk kata kerja masa kini dan akan datang (fi'il mudhari'). Ini bukan bentuk kata kerja lampau (fi'il madhi). Pilihan gramatikal ini sangat penting. Ia tidak menggambarkan sebuah peristiwa yang terjadi sekali lalu selesai. Sebaliknya, 'yadkhulūna' melukiskan sebuah proses yang dinamis, berkelanjutan, dan terus-menerus. Pemandangan manusia yang masuk Islam tidak berhenti pada satu titik, melainkan menjadi sebuah gelombang yang terus datang silih berganti. Nabi ﷺ melihat gelombang pertama, dan proses itu terus berlanjut setelah beliau wafat hingga hari ini dan sampai akhir zaman. Ini adalah sebuah optimisme ilahi bahwa pintu hidayah akan senantiasa terbuka.
Gerakan 'masuk' atau 'yadkhulūn' juga menyiratkan adanya kesadaran dan pilihan. Mereka tidak 'dimasukkan' secara paksa, tetapi mereka 'memasuki'. Ini sejalan dengan prinsip dasar Islam 'laa ikraha fiddin' (tidak ada paksaan dalam agama). Kemenangan yang digambarkan di sini bukanlah kemenangan penaklukan yang memaksa orang untuk tunduk, melainkan kemenangan yang membuka hati sehingga orang memilih untuk masuk ke dalam naungan Islam.
فِى دِينِ ٱللَّهِ (Fī Dīnillāh) - Ke dalam Agama Allah
Frasa ini mendefinisikan tujuan dari gerakan manusia tersebut. Mereka masuk 'ke dalam agama Allah'. Kata 'Dīn' seringkali diterjemahkan sebagai 'agama', namun dalam konsepsi Al-Qur'an, maknanya jauh lebih luas dan komprehensif. 'Dīn' bukan sekadar sistem ritual peribadatan, melainkan sebuah sistem kehidupan yang utuh (way of life) yang mencakup akidah, ibadah, akhlak, muamalah, hukum, dan seluruh aspek kehidupan. Manusia tidak hanya mengadopsi ritual baru, tetapi mereka mentransformasi seluruh cara pandang dan cara hidup mereka untuk selaras dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah.
Penyandaran kata 'Dīn' kepada 'Allah' (Dīnillāh) adalah penegasan fundamental. Ini adalah agama yang bersumber dari Allah, bukan rekayasa manusia. Keotentikan dan kesuciannya terjamin. Manusia tidak masuk ke dalam 'agama Muhammad' atau 'agama orang Arab', melainkan kembali kepada 'agama Allah', Sang Pencipta mereka. Ini menggarisbawahi esensi tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam segala hal, termasuk dalam hal sumber aturan hidup.
أَفْوَاجًا (Afwājā) - Berbondong-bondong
Inilah kata kunci yang melukiskan skala dan magnitudo dari peristiwa tersebut. 'Afwājā' adalah bentuk jamak dari 'fawj', yang berarti sekelompok besar, rombongan, atau delegasi. Kata ini memberikan kontras yang sangat tajam dengan periode awal dakwah di Makkah. Dahulu, orang yang masuk Islam hanya satu per satu, seringkali secara sembunyi-sembunyi, dan harus menghadapi siksaan serta pengucilan. Keluarga terpecah, hubungan sosial retak karena pilihan individu untuk mengikuti kebenaran.
Kini, dengan datangnya pertolongan Allah, situasinya berbalik 180 derajat. Bukan lagi individu yang datang, melainkan 'afwājā'. Seluruh suku, kabilah, dan delegasi dari berbagai penjuru Jazirah Arab datang secara kolektif untuk menyatakan keislaman mereka. Ini adalah sebuah fenomena sosiologis dan spiritual yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penghalang-penghalang utama dakwah—yaitu kekuasaan politik dan hegemoni kaum kafir Quraisy—telah runtuh, sehingga manusia dapat melihat cahaya kebenaran Islam tanpa halangan dan tekanan. Mereka datang dalam kelompok-kelompok besar, menunjukkan bahwa kebenaran Islam telah diterima secara komunal.
Konteks Historis: Puncak Perjuangan Dakwah
Untuk memahami sepenuhnya keagungan ayat ini, kita harus menempatkannya dalam bingkai sejarah yang melatarbelakanginya. Ayat ini bukanlah sebuah pernyataan abstrak, melainkan deskripsi akurat tentang peristiwa nyata yang terjadi sebagai klimaks dari perjuangan dakwah Nabi Muhammad ﷺ.
Peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah)
Peristiwa sentral yang menjadi penanda datangnya 'pertolongan dan kemenangan' adalah Fathu Makkah pada bulan Ramadan tahun ke-8 Hijriah. Makkah, yang selama ini menjadi pusat perlawanan terhadap Islam, jantung kesyirikan, dan tempat di mana Nabi serta para sahabatnya diusir, akhirnya ditaklukkan. Namun, kata 'penaklukan' mungkin kurang tepat untuk menggambarkan peristiwa ini. Ia lebih merupakan 'pembebasan'.
Nabi Muhammad ﷺ memasuki Makkah bukan dengan arogansi seorang penakluk, melainkan dengan ketundukan seorang hamba. Beliau memasuki kota dengan kepala menunduk di atas untanya, sebagai tanda syukur kepada Allah. Tidak ada pertumpahan darah yang masif, tidak ada balas dendam. Justru, beliau mengumumkan amnesti massal dengan kalimatnya yang legendaris, "Pergilah kalian semua, kalian bebas!"
Sikap agung inilah yang meruntuhkan benteng kesombongan terakhir di hati kaum Quraisy dan penduduk Makkah. Mereka menyaksikan secara langsung akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Mereka melihat rahmat, pengampunan, dan kebesaran jiwa dari orang yang selama bertahun-tahun mereka sakiti. Kemenangan ini bukanlah kemenangan pedang, melainkan kemenangan moral dan spiritual. Setelah Ka'bah dibersihkan dari berhala-berhala, orang-orang Makkah pun berbondong-bondong menyatakan keislaman mereka. Inilah awal dari realisasi 'afwājā'.
Tahun Delegasi ('Am al-Wufud)
Setelah Fathu Makkah, hegemoni Quraisy sebagai kekuatan politik dan religius di Jazirah Arab telah berakhir. Suku-suku lain yang selama ini ragu-ragu atau takut untuk menerima Islam kini tidak lagi memiliki penghalang. Mereka berpikir, "Jika penduduk kota suci Makkah dan penjaga Ka'bah saja telah tunduk kepada Muhammad, maka jelas ia berada di atas kebenaran."
Maka, pada tahun ke-9 dan ke-10 Hijriah, dimulailah sebuah periode yang dikenal sebagai 'Am al-Wufud' atau Tahun Para Delegasi. Rombongan-rombongan dari berbagai suku di seluruh penjuru Arabia—dari Yaman di selatan hingga perbatasan Syam di utara—datang ke Madinah. Mereka datang bukan untuk berperang, melainkan untuk belajar tentang Islam dan menyatakan bai'at (sumpah setia) kepada Rasulullah ﷺ. Mereka datang sebagai 'afwājā', rombongan demi rombongan. Ibnu Ishaq, sejarawan Islam terkemuka, mencatat puluhan delegasi yang datang, seperti delegasi dari suku Thaqif, Bani Tamim, Bani Hanifah, Kindah, dan banyak lagi. Pemandangan inilah yang disaksikan oleh Nabi ﷺ dan para sahabat, sebuah pemandangan yang digambarkan dengan begitu indah oleh ayat kedua Surat An-Nasr.
Tafsir Para Ulama Mengenai Ayat Kedua
Para mufasir (ahli tafsir) dari berbagai generasi telah memberikan penjelasan yang kaya mengenai ayat ini, memperdalam pemahaman kita dari berbagai sudut pandang.
Tafsir Ibnu Katsir
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang monumental, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan 'al-Fath' (kemenangan) pada ayat pertama adalah Fathu Makkah. Ini adalah ijma' atau konsensus para ulama. Beliau kemudian menegaskan bahwa sebagai akibat dari kemenangan tersebut, suku-suku Arab yang tadinya saling menunggu sikap dari kaum Quraisy, akhirnya berbondong-bondong masuk Islam. Mereka berkata, "Biarkan Muhammad dan kaumnya (Quraisy). Jika ia menang atas mereka, maka ia adalah seorang nabi yang benar." Ketika kemenangan itu benar-benar terjadi, mereka pun masuk Islam dalam rombongan-rombongan besar. Ibnu Katsir menekankan bahwa jika pada masa Perjanjian Hudaibiyah jumlah kaum muslimin hanya sekitar 1.400 orang, maka dua tahun setelahnya saat Fathu Makkah, pasukan muslimin berjumlah 10.000 orang, dan saat Haji Wada', jumlah mereka sudah mencapai lebih dari 100.000 orang. Ini adalah bukti visual yang tak terbantahkan dari makna 'afwājā'.
Tafsir At-Tabari
Imam At-Tabari, dalam Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, menyajikan berbagai riwayat dari para sahabat dan tabi'in. Beliau mengutip pandangan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, sang ahli tafsir di kalangan sahabat, yang menyatakan bahwa Surat An-Nasr adalah pertanda dekatnya ajal Rasulullah ﷺ. Ketika kemenangan sempurna telah datang dan misi telah tuntas dengan masuknya manusia secara massal ke dalam agama Allah, maka tugas sang Rasul di dunia pun telah berakhir. Pemandangan 'afwājā' adalah tanda penyempurnaan nikmat dan penuntasan risalah. Oleh karena itu, perintah selanjutnya adalah untuk bertasbih, memuji, dan memohon ampun sebagai persiapan untuk bertemu dengan Sang Pemberi tugas, Allah SWT.
Tafsir Al-Mishbah oleh Quraish Shihab
Prof. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah memberikan analisis kontemporer yang mendalam. Beliau menyoroti aspek psikologis dan sosiologis dari fenomena 'afwājā'. Fathu Makkah yang damai dan penuh pengampunan menciptakan "shock therapy" positif bagi masyarakat Arab. Mereka terpesona oleh karakter Nabi ﷺ. Ini membuktikan bahwa daya tarik utama Islam bukanlah kekuatan militer, melainkan keagungan ajaran dan keluhuran akhlak pembawanya. Beliau juga menjelaskan bahwa penggunaan bentuk fi'il mudhari' (yadkhulūna) memberikan optimisme bahwa gelombang manusia yang menerima Islam akan terus berlanjut hingga akhir zaman, melintasi batas-batas geografis dan etnis Jazirah Arab. Ayat ini, menurutnya, adalah sebuah janji ilahi tentang masa depan cerah bagi penyebaran risalah Islam.
Makna dan Pelajaran yang Terkandung
Ayat "wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā" bukan hanya laporan sejarah, tetapi juga sarat dengan pelajaran dan hikmah yang abadi.
Hakikat Kemenangan dalam Islam
Ayat ini mendefinisikan ulang arti kemenangan. Kemenangan sejati bukanlah menaklukkan wilayah, mengumpulkan harta rampasan, atau menundukkan musuh dengan kekuatan. Kemenangan terbesar menurut standar Al-Qur'an adalah ketika manusia mendapatkan hidayah dan kembali kepada Tuhannya. Tujuan utama dari jihad dan dakwah bukanlah untuk menguasai, melainkan untuk membebaskan manusia dari kegelapan syirik dan kezaliman menuju cahaya tauhid dan keadilan. Melihat manusia berbondong-bondong masuk Islam adalah puncak kebahagiaan dan buah termanis dari segala perjuangan.
Buah dari Kesabaran dan Istiqamah
Pemandangan dalam ayat ini tidak datang secara tiba-tiba. Ia adalah hasil dari perjuangan selama 23 tahun yang penuh dengan kesabaran, pengorbanan, air mata, dan darah. Nabi ﷺ dan para sahabat menghadapi penolakan, intimidasi, boikot, penyiksaan, hingga peperangan. Namun, mereka tetap istiqamah (konsisten) di atas jalan kebenaran. Ayat ini adalah penegasan dari sunnatullah (hukum Allah) bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Setiap tetes keringat dan setiap pengorbanan dalam dakwah di jalan Allah tidak akan pernah sia-sia.
Tanda Selesainya Sebuah Misi Agung
Seperti yang dipahami oleh para sahabat besar seperti Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab, surat ini adalah na'yu (berita duka yang tersirat) bagi Rasulullah ﷺ. Ketika sebuah proyek telah mencapai puncaknya, ketika bangunan telah berdiri sempurna, maka selesailah tugas sang arsitek. Masuknya manusia secara massal adalah tanda bahwa risalah Islam telah tertanam kuat di muka bumi. Fondasinya telah kokoh dan akan terus berkembang bahkan setelah sang pembawa risalah wafat. Inilah sebabnya ayat selanjutnya langsung memerintahkan untuk bersiap-siap kembali kepada Allah dengan memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar.
Pentingnya Akhlak dalam Dakwah
Mengapa manusia masuk Islam secara 'afwājā'? Faktor kunci, selain pertolongan Allah, adalah akhlak yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, terutama saat Fathu Makkah. Beliau menunjukkan welas asih kepada musuh yang telah mengusirnya. Beliau menunjukkan kerendahan hati di puncak kekuasaan. Akhlak mulia ini menjadi magnet terkuat yang menarik hati manusia kepada Islam. Ini adalah pelajaran abadi bagi setiap dai (juru dakwah) bahwa keteladanan dan akhlak yang luhur seringkali lebih efektif daripada seribu argumen.
Kemenangan yang digambarkan dalam Surat An-Nasr bukanlah tentang dominasi, melainkan tentang iluminasi. Bukan tentang penaklukan tanah, melainkan tentang pembukaan hati. Ayat kedua adalah lukisan ilahi tentang bagaimana cahaya kebenaran, ketika penghalangnya disingkirkan, akan menyebar dengan sendirinya dan disambut oleh fitrah manusia yang rindu akan Tuhannya.
Kesimpulan: Sebuah Visi Harapan dan Tanggung Jawab
Arti surat An-Nasr ayat kedua, "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah," adalah sebuah ayat yang multifaset. Ia adalah deskripsi historis tentang puncak keberhasilan dakwah Nabi Muhammad ﷺ pasca-Fathu Makkah. Ia adalah analisis linguistik yang menunjukkan sebuah proses yang berkelanjutan dan universal. Ia adalah sumber pelajaran teologis tentang hakikat kemenangan, buah kesabaran, dan pentingnya akhlak dalam menyebarkan risalah.
Lebih dari itu, ayat ini adalah sebuah visi harapan. Ia menanamkan optimisme dalam diri setiap muslim bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang. Ia mengingatkan kita bahwa tugas kita adalah berjuang, bersabar, dan menunjukkan keindahan Islam melalui perbuatan kita. Adapun hidayah dan hasilnya, yaitu masuknya manusia ke dalam agama Allah, adalah murni pertolongan dari-Nya. Ketika kita melihat tanda-tanda kemenangan itu, respons yang diajarkan Al-Qur'an bukanlah kesombongan, melainkan kerendahan hati: kembali memuji Allah, mensucikan-Nya, dan memohon ampunan-Nya, karena sesungguhnya segala daya dan kekuatan hanyalah milik Allah semata.