Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW, adalah salah satu tokoh paling dihormati dalam sejarah Islam. Dikenal sebagai gerbang ilmu pengetahuan ("Bab al-Ilm") dan seorang panglima perang yang gigih, kata-kata dan aforismenya yang tercatat dalam Nahj al-Balaghah (Jalan Kepicikan) tetap relevan hingga hari ini. Ketika Ali berbicara, itu bukan sekadar ucapan, melainkan pancaran hikmah yang mendalam mengenai etika, spiritualitas, politik, dan hakikat kehidupan manusia.
Salah satu tema sentral dalam ajaran Ali adalah urgensi ilmu pengetahuan dan bahaya kebodohan yang disertai kesombongan. Ia sering mengingatkan umatnya untuk mencari ilmu dengan kerendahan hati, karena ilmu yang sejati akan membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang fana dan yang abadi. Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah: "Apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib mengenai sifat manusia dan tantangan hidup?" Jawabannya tersebar dalam nasihat-nasihatnya yang tajam dan penuh refleksi.
Ali mengajarkan bahwa kesulitan adalah proses pemurnian jiwa. Ia pernah menyatakan: "Kesabaran itu ada dua jenis: sabar atas sesuatu yang tidak kamu sukai, dan sabar menahan diri dari sesuatu yang kamu sukai." Ini menunjukkan pemahaman mendalam bahwa perjuangan batin jauh lebih berat daripada perjuangan eksternal. Ujian bukan datang untuk menghancurkan, melainkan untuk menguji seberapa kuat fondasi iman seseorang. Jika seseorang bersabar dalam menghadapi kesenangan duniawi—menolak godaan yang tampak manis namun merusak—maka ia telah mencapai tingkat kesabaran spiritual yang tinggi.
"Bukan kekayaan yang membuat orang besar, tetapi ilmu pengetahuan dan akhlak yang mulia."
Ali bin Abi Thalib dikenal sangat waspada terhadap daya pikat duniawi (dunya). Ia melihat dunia sebagai tempat persinggahan sementara yang sering kali menjanjikan kebahagiaan palsu. Ketika membahas harta, nasihatnya selalu mengarah pada tanggung jawab sosial. Bagi Ali, kekayaan hanyalah amanah yang harus digunakan untuk menegakkan keadilan dan membantu yang membutuhkan, bukan untuk pamer atau kesenangan diri sendiri. Ia menekankan bahwa penumpukan harta tanpa amal saleh akan menjadi beban di akhirat.
Dalam konteks ini, ketika Ali bin Abi Thalib berbicara tentang dunia, ia menyoroti kecepatan ia akan meninggalkannya. Ia menggambarkan dunia laksana bayangan yang mengikuti, namun jika diburu, ia akan lari. Pandangan ini mendorong pengikutnya untuk fokus pada investasi akhirat—amal jariyah, ilmu bermanfaat, dan ketakwaan—yang nilainya tidak pernah tergerus oleh waktu.
Salah satu nasihat paling terkenal dari Ali berkaitan dengan kendali diri, khususnya lidah. Ia sering menekankan bahwa lidah adalah sumber utama kehancuran banyak orang.
"Jaga lidahmu seolah-olah engkau menjaga hartamu."
Menurut pandangan Ali, kata-kata yang terucap adalah ikatan yang tidak bisa ditarik kembali. Fitnah, gosip, dan perkataan sia-sia merusak hubungan antarmanusia dan merendahkan derajat spiritual pembicara. Sebaliknya, ia memuji keheningan yang bijaksana. Keheningan memberi waktu untuk berpikir, merenung, dan memilih kata yang tepat, yang sering kali lebih bernilai daripada seribu kata yang diucapkan sembarangan. Keheningan adalah wadah di mana hikmah dapat berkembang.
Sebagai seorang pemimpin, pandangan Ali tentang keadilan sangat tegas dan tidak kompromi. Ia percaya bahwa fondasi pemerintahan yang kuat adalah keadilan yang diterapkan tanpa memandang status sosial atau kekerabatan. Ia pernah berkata bahwa ketidakadilan akan menghancurkan sebuah peradaban, meskipun peradaban itu tampak kokoh. Bagi Ali, pemimpin sejati adalah pelayan rakyatnya, yang lebih mementingkan kesejahteraan kolektif daripada keuntungan pribadi. Menegakkan keadilan adalah ujian terberat bagi mereka yang diberi mandat kekuasaan.
Refleksi mendalam mengenai ajaran Ali bin Abi Thalib menunjukkan bahwa kebijaksanaan yang ia wariskan bukan hanya teori, melainkan panduan praktis untuk hidup bermartabat. Setiap kalimat yang keluar darinya mengandung panggilan untuk introspeksi: evaluasi niat, kendalikan nafsu, cari ilmu, dan berpegang teguh pada keadilan. Inilah mengapa, bahkan di era modern, ketika kita bertanya, "Apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib?", kita mencari jawaban yang akan menuntun kita menuju kehidupan yang lebih bermakna dan etis. Warisannya adalah pengingat bahwa kekuatan terbesar terletak pada keselarasan antara pengetahuan yang dimiliki dan tindakan yang dilakukan.