Jauh sebelum kata "sebelum" memiliki makna, sebelum denting pertama waktu berbunyi, dan sebelum partikel terkecil materi terbentuk, terdapat sebuah realitas yang melampaui segala pemahaman manusia. Inilah yang dikenal sebagai Zaman Azali—sebuah bentangan eksistensi tanpa permulaan, sebuah keabadian di masa lalu di mana hanya ada Tuhan dalam keesaan-Nya. Konsep ini bukanlah sekadar penanda waktu, karena waktu itu sendiri adalah makhluk. Zaman Azali adalah kondisi, sebuah keadaan wujud yang fundamental, absolut, dan menjadi sumber dari segala sesuatu yang kemudian ada. Memahaminya bukan berarti mencoba menempatkannya dalam garis waktu kita, melainkan mencoba menyentuh batas-batas nalar kita untuk merenungkan hakikat Yang Maha Awal.
Istilah "Azali" berasal dari akar kata Arab yang merujuk pada sesuatu yang tidak memiliki titik awal. Ia adalah lawan dari konsep fana, yang memiliki permulaan dan akhir. Manusia, alam semesta, malaikat, dan segala sesuatu selain Tuhan adalah ciptaan yang memiliki titik "mulai". Eksistensi mereka bersyarat, bergantung pada Sang Pencipta. Sebaliknya, eksistensi Tuhan di Zaman Azali adalah niscaya dan tidak bersyarat. Dia ada bukan karena diciptakan, melainkan karena Dia adalah Wujud itu sendiri. Ini adalah fondasi paling dasar dari teologi monoteistik: bahwa ada Satu Realitas Tertinggi yang keberadaan-Nya tidak bergantung pada apa pun, sementara keberadaan segala sesuatu yang lain bergantung sepenuhnya pada-Nya.
Membedah Makna: Azali dan Abadi
Untuk memahami kedalaman konsep Zaman Azali, penting untuk membedakannya dari pasangannya, yaitu Abadi. Keduanya sering digunakan bersamaan untuk menggambarkan sifat keabadian Tuhan, namun menunjuk pada dua arah yang berlawanan dalam spektrum eksistensi. Azali menunjuk ke masa lalu yang tak berawal, sementara Abadi menunjuk ke masa depan yang tak berakhir.
Keazalian: Tanpa Awal Mula
Keazalian, atau *Qidam* dalam terminologi teologis, adalah sifat Tuhan yang menegaskan bahwa Dia tidak didahului oleh ketiadaan. Tidak pernah ada momen di mana Tuhan tidak ada. Jika Tuhan memiliki permulaan, maka Dia pasti diciptakan oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu pun harus memiliki pencipta, dan begitu seterusnya, yang akan membawa kita pada kemunduran tak terhingga (*infinite regress*). Ini adalah sebuah paradoks logis yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Oleh karena itu, akal dan wahyu menuntun pada kesimpulan bahwa harus ada Penyebab Pertama yang tidak disebabkan, sebuah Wujud Awal yang tidak diawali. Inilah Tuhan dalam keazalian-Nya. Sifat ini mutlak milik-Nya semata. Segala sesuatu selain Dia, yang disebut sebagai *hadits* (sesuatu yang baru), memiliki titik permulaan.
Keabadian: Tanpa Akhir
Di sisi lain, keabadian atau *Baqa* adalah sifat Tuhan yang menegaskan bahwa Dia tidak akan pernah mengalami akhir atau ketiadaan. Eksistensi-Nya terus-menerus dan tidak terputus oleh apa pun. Sementara beberapa makhluk, seperti surga, neraka, atau jiwa manusia, diyakini akan ada selamanya atas kehendak-Nya, keabadian mereka bersifat *kontingen* atau mungkin. Artinya, mereka abadi bukan karena kodrat mereka sendiri, melainkan karena dianugerahi keabadian oleh Tuhan. Sebaliknya, keabadian Tuhan bersifat *niscaya* dan inheren dalam Dzat-Nya. Dia Abadi karena Dia adalah sumber dari segala eksistensi.
Dengan demikian, Zaman Azali adalah domain di mana sifat *Qidam* termanifestasi secara absolut. Itu adalah "ruang" non-fisik di mana hanya Sang Azali yang ada. Semua atribut-Nya yang lain—Pengetahuan, Kekuasaan, Kehendak, Kehidupan, Pendengaran, Penglihatan—juga bersifat azali, ada bersama Dzat-Nya tanpa permulaan. Pemahaman ini krusial karena ia membebaskan kita dari jebakan antropomorfisme, yaitu membayangkan Tuhan dalam kerangka waktu dan ruang manusiawi.
Tuhan dan Atribut-Nya dalam Keazalian
Di dalam kesendirian Zaman Azali, sebelum pena penciptaan menuliskan takdir pertama, Tuhan telah ada dengan segala kesempurnaan-Nya. Atribut atau sifat-sifat-Nya bukanlah sesuatu yang muncul atau berkembang; mereka sama azali-nya dengan Dzat-Nya. Ini adalah poin sentral yang membedakan konsepsi Tuhan dalam teologi monoteis dari pandangan lain yang mungkin melihat dewa sebagai entitas yang berevolusi.
Ilmu (Pengetahuan) yang Azali
Salah satu atribut terpenting adalah Ilmu atau Pengetahuan Tuhan yang meliputi segalanya. Di Zaman Azali, Tuhan sudah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi, sedang terjadi, dan tidak akan pernah terjadi, serta bagaimana jika sesuatu yang tidak terjadi itu terjadi. Pengetahuan-Nya tidak diperoleh melalui pengalaman atau pembelajaran; ia bersifat langsung, lengkap, dan mutlak. Seluruh cetak biru alam semesta, setiap detail dari kehidupan semut terkecil hingga pergerakan galaksi terbesar, setiap pilihan yang akan dibuat oleh setiap manusia, semuanya telah hadir dalam Ilmu-Nya yang azali. Ini bukan berarti peristiwa-peristiwa tersebut sudah "terjadi" di Zaman Azali, melainkan pengetahuannya telah ada secara sempurna. Konsep ini seringkali menjadi titik perdebatan dalam diskusi tentang takdir dan kehendak bebas, namun dalam konteks keazalian, ia menegaskan kemahatahuan Tuhan yang absolut dan tak terbatas oleh waktu.
Iradah (Kehendak) dan Qudrah (Kekuasaan) yang Azali
Bersamaan dengan Ilmu, ada Iradah (Kehendak) dan Qudrah (Kekuasaan). Kehendak Tuhan adalah apa yang menentukan segala sesuatu yang terjadi. Tidak ada daun yang jatuh atau atom yang bergerak tanpa Kehendak-Nya. Kehendak ini juga azali, namun manifestasinya, yaitu penciptaan, terjadi pada momen yang telah ditentukan oleh Kehendak itu sendiri. Kekuasaan-Nya adalah kemampuan untuk mewujudkan apa pun yang Dia kehendaki. Kekuasaan ini tidak terbatas dan tidak memerlukan sarana atau bantuan. Di Zaman Azali, Kekuasaan ini ada dalam potensi absolut, siap untuk memanifestasikan Kehendak-Nya untuk menciptakan alam semesta dari ketiadaan murni. Perintah "Jadilah!" (*Kun*) adalah manifestasi dari Iradah dan Qudrah yang azali, yang mentransformasikan apa yang ada dalam Ilmu-Nya menjadi kenyataan yang teramati.
Eksistensi di Zaman Azali adalah eksistensi yang murni, absolut, dan mandiri. Ia adalah samudra keheningan di mana potensi segala sesuatu terkandung dalam Pengetahuan dan Kekuasaan Sang Pencipta, menunggu saat yang tepat untuk dimunculkan oleh Kehendak-Nya.
Jembatan Menuju Ciptaan: Dari Ketiadaan Menuju Keberadaan
Bagaimana transisi dari Zaman Azali, di mana hanya ada Tuhan, ke alam ciptaan yang penuh dengan keragaman dan kehidupan terjadi? Pertanyaan ini telah menjadi subjek kontemplasi mendalam bagi para teolog dan filsuf selama berabad-abad. Jawabannya terletak pada pemahaman bahwa penciptaan bukanlah sebuah "kebutuhan" bagi Tuhan, melainkan sebuah manifestasi dari sifat-sifat-Nya, seperti Al-Khaliq (Maha Pencipta) dan Ar-Rahman (Maha Pengasih).
Penciptaan bukanlah proses evolusioner dari Dzat Tuhan. Akidah yang dipegang teguh adalah bahwa Tuhan terpisah dari ciptaan-Nya. Dia tidak menyatu, berinkarnasi, atau menjadi bagian dari alam semesta. Sebaliknya, Dia menciptakan dari ketiadaan (*creatio ex nihilo*). Sebelum penciptaan, yang ada hanyalah Tuhan. Tidak ada materi purba, tidak ada ruang hampa, tidak ada energi laten yang menunggu untuk dibentuk. Yang ada hanyalah ketiadaan mutlak dari segala sesuatu selain Dia. Maka, tindakan penciptaan adalah tindakan memunculkan sesuatu yang sebelumnya sama sekali tidak ada, hanya berdasarkan Kehendak dan Kekuasaan-Nya.
Momen penciptaan ini adalah titik di mana "waktu" seperti yang kita kenal dimulai. Waktu, ruang, materi, dan hukum-hukum fisika adalah bagian dari tatanan ciptaan itu sendiri. Mencoba bertanya "apa yang Tuhan lakukan sebelum menciptakan alam semesta?" adalah sebuah pertanyaan yang keliru secara konseptual, karena kata "sebelum" itu sendiri mensyaratkan adanya waktu. Di Zaman Azali, tidak ada "sebelum" atau "sesudah". Yang ada hanyalah keberadaan Tuhan yang abadi dan tak berubah.
Perjanjian Azali: Dialog Pertama dengan Kemanusiaan
Salah satu konsep paling mendalam yang menghubungkan manusia secara langsung dengan Zaman Azali adalah "Perjanjian Azali" atau *Mitsaq*. Ini adalah sebuah peristiwa primordial yang disebutkan dalam kitab suci, di mana Tuhan mengumpulkan seluruh ruh manusia yang akan pernah lahir, jauh sebelum mereka diciptakan dalam bentuk fisik di dunia.
Dialog di Alam Ruh
Dalam peristiwa agung ini, Tuhan bertanya kepada kumpulan ruh tersebut, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Dan serempak, seluruh ruh menjawab, "Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." Dialog ini bukanlah percakapan verbal seperti yang kita kenal, melainkan sebuah pengakuan primordial, sebuah kesaksian fitrah yang ditanamkan ke dalam esensi setiap jiwa manusia. Peristiwa ini terjadi di luar kerangka waktu dan ruang duniawi, di sebuah alam yang sesuai dengan kondisi ruhani.
Perjanjian ini memiliki implikasi yang luar biasa bagi pemahaman kita tentang diri dan tujuan hidup. Pertama, ia menegaskan bahwa setiap manusia lahir dengan *fitrah*, yaitu sebuah kecenderungan bawaan untuk mengakui dan menyembah Tuhan. Rasa takjub saat melihat keindahan alam, dorongan untuk mencari makna di balik penderitaan, atau kerinduan akan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri—semua ini dapat dilihat sebagai gema dari perjanjian di Zaman Azali. Ia adalah bisikan di lubuk jiwa yang mengingatkan kita akan asal-usul dan komitmen pertama kita.
Amanah dan Tanggung Jawab
Kedua, perjanjian ini menjadi dasar bagi konsep *amanah* (kepercayaan) dan tanggung jawab. Karena kita telah bersaksi, kita tidak bisa lagi beralasan di kemudian hari bahwa kita tidak pernah tahu atau tidak pernah diberi petunjuk. Kesaksian ini menjadikan kita makhluk yang akuntabel atas pilihan-pilihan kita di dunia. Kehidupan di bumi menjadi panggung ujian untuk membuktikan apakah kita akan tetap setia pada perjanjian primordial tersebut atau melupakannya karena terbuai oleh godaan duniawi. Kebebasan memilih yang diberikan kepada manusia menjadi sarana untuk mengaktualisasikan kesaksian tersebut secara sadar dan sukarela.
Perjanjian Azali, oleh karena itu, adalah jembatan spiritual yang menghubungkan eksistensi fana kita dengan realitas abadi. Ia memberitahu kita bahwa identitas kita tidak dimulai saat kita lahir, tetapi jauh di kedalaman masa lalu yang tak terhingga, dalam sebuah dialog langsung dengan Sang Pencipta. Ini memberikan martabat dan tujuan yang luar biasa bagi perjalanan hidup manusia.
Implikasi Filosofis dan Spiritual dari Zaman Azali
Merenungkan konsep Zaman Azali bukan hanya latihan intelektual, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual yang dapat mengubah cara kita memandang diri sendiri, alam semesta, dan Tuhan. Implikasinya meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan, dari etika hingga makna eksistensial.
Rendah Hati di Hadapan Yang Maha Awal
Salah satu buah spiritual yang paling jelas adalah tumbuhnya rasa rendah hati yang mendalam. Ketika kita menyadari bahwa keberadaan kita hanyalah sekejap mata dalam bentangan keabadian, dan bahwa eksistensi kita sepenuhnya bergantung pada Kehendak Sang Azali, maka segala bentuk kesombongan menjadi tidak relevan. Kekuatan, kekayaan, kecerdasan, dan pencapaian duniawi lainnya tampak kecil jika dibandingkan dengan Realitas Absolut yang ada sebelum segala sesuatu ada. Kesadaran ini menuntun pada sikap tawadhu, penyerahan diri, dan pengakuan atas keterbatasan serta kebergantungan kita.
Menemukan Ketenangan dalam Takdir
Pemahaman bahwa segala sesuatu telah ada dalam Ilmu Tuhan yang azali dapat memberikan ketenangan yang luar biasa dalam menghadapi suka dan duka kehidupan. Ini bukan berarti pasrah secara pasif, melainkan percaya bahwa ada hikmah dan rencana yang lebih besar di balik setiap peristiwa. Ketika kita yakin bahwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan dan semuanya berada dalam genggaman Pengetahuan dan Kekuasaan Tuhan, kita dapat menghadapi kesulitan dengan kesabaran dan menyambut kebahagiaan dengan rasa syukur. Ini adalah fondasi dari konsep tawakal, yaitu berusaha sekuat tenaga sambil menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Tuhan.
Makna di Balik Kehidupan yang Fana
Konsep Zaman Azali memberikan jawaban atas pertanyaan eksistensial tentang tujuan hidup. Jika kita berasal dari sebuah perjanjian suci dengan Tuhan, maka hidup ini bukanlah perjalanan tanpa tujuan dari ketiadaan menuju ketiadaan. Sebaliknya, ia adalah sebuah misi untuk memenuhi janji tersebut. Setiap tindakan ibadah, setiap perbuatan baik, setiap upaya untuk menegakkan keadilan menjadi cara kita untuk menegaskan kembali kesaksian primordial: "Benar, Engkau adalah Tuhanku." Ini mengubah aktivitas sehari-hari menjadi ladang ibadah dan memberikan makna abadi pada kehidupan yang pada dasarnya fana.
Memandang Alam Semesta sebagai Tanda
Dengan memahami bahwa alam semesta adalah manifestasi dari Kehendak yang Azali, cara kita memandang dunia pun berubah. Setiap fenomena alam—dari terbitnya matahari hingga mekarnya bunga, dari kompleksitas sel hingga luasnya galaksi—bukan lagi sekadar proses mekanis yang dingin. Semuanya menjadi *ayat* atau tanda-tanda yang menunjuk kepada Sang Pencipta. Alam semesta menjadi sebuah kitab terbuka yang menceritakan keagungan, kebijaksanaan, dan keindahan Tuhan. Kontemplasi terhadap ciptaan (tafakur) menjadi sebuah jalan untuk lebih mengenal Sang Pencipta yang Azali dan Abadi.
Kesimpulan: Gema Keazalian dalam Jiwa Manusia
Zaman Azali bukanlah sebuah dongeng tentang masa lalu yang jauh atau konsep abstrak yang hanya relevan bagi para teolog. Ia adalah kebenaran fundamental yang menopang seluruh realitas. Ia adalah jawaban atas pertanyaan "mengapa ada sesuatu daripada tidak ada sama sekali?". Jawabannya adalah karena ada Sang Wujud Niscaya, Yang Awal tanpa permulaan, yang karena kasih dan kebijaksanaan-Nya, menghendaki adanya ciptaan.
Bagi setiap individu, gema Zaman Azali bersemayam dalam lubuk jiwa. Kerinduan akan kebenaran, keindahan, dan keabadian yang sering kita rasakan adalah jejak dari asal-usul ruhani kita. Perjanjian yang kita ikrarkan di alam primordial itu terus memanggil kita untuk kembali kepada sumber kita, untuk hidup selaras dengan fitrah kita, dan untuk memenuhi tujuan penciptaan kita.
Pada akhirnya, perjalanan memahami Zaman Azali adalah perjalanan untuk mengenal Tuhan. Dan dalam proses mengenal-Nya, kita akan menemukan hakikat diri kita yang sebenarnya. Kita akan menyadari bahwa kita bukanlah entitas yang terisolasi dan kebetulan, melainkan bagian dari sebuah narasi agung yang dimulai dari keheningan Samudra Azali, diwujudkan di panggung dunia, dan akan kembali kepada-Nya, Sang Awal dan Sang Akhir.