Dialog Abadi: Mengupas Makna Perjanjian Jiwa dalam Al-A'raf 172
Jauh di dalam lubuk sanubari setiap insan, tersemat sebuah pertanyaan fundamental yang menggema melintasi ruang dan waktu: Dari manakah kita berasal? Apakah tujuan keberadaan kita? Mengapa ada getaran halus dalam diri yang seolah-olah mengenali adanya kekuatan Maha Agung, bahkan ketika logika mencoba menampiknya? Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah sekadar produk pemikiran filsafat, melainkan bisikan dari sebuah memori kuno, sebuah perjanjian primordial yang telah terpatri dalam esensi setiap jiwa. Al-Qur'an, dalam keagungannya, menyingkap tabir peristiwa luar biasa ini melalui satu ayat yang sarat makna di dalam Surat Al-A'raf.
Ayat ke-172 dari Surat Al-A'raf adalah sebuah jendela yang membuka pemahaman kita tentang asal-usul kesadaran spiritual manusia. Ia mengisahkan sebuah dialog agung antara Sang Pencipta, Allah SWT, dengan seluruh calon umat manusia di sebuah alam yang mendahului eksistensi duniawi. Ini bukan sekadar cerita, melainkan fondasi dari identitas spiritual kita, sebuah pengingat akan janji yang pernah kita ikrarkan, dan alasan mengapa seruan menuju kebenaran selalu terasa akrab di relung jiwa.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.' (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: 'Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).'"
Ayat ini, yang dikenal sebagai Ayat Al-Mitsaq atau Ayat Perjanjian, adalah kunci untuk memahami konsep fitrah, tanggung jawab individu, dan universalitas pesan tauhid. Melalui artikel ini, kita akan menyelami kedalaman makna yang terkandung di dalamnya, menjelajahi pandangan para mufasir, mengaitkannya dengan konsep-konsep kunci dalam Islam, dan merenungkan relevansinya yang abadi dalam kehidupan kita yang modern dan seringkali membingungkan.
Membedah Teks Suci: Analisis Lafaz per Lafaz
Untuk menangkap esensi penuh dari ayat ini, mari kita pecah menjadi beberapa bagian dan merenungkan makna mendalam dari setiap frasa yang digunakan.
1. "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan..."
Perintah untuk "mengingat" (إِذْ - idz) segera menempatkan pembaca dalam posisi sebagai saksi sebuah peristiwa agung. Ini bukan sekadar informasi, tetapi sebuah ajakan untuk melakukan refleksi mendalam. Penggunaan kata "Rabbuka" (Tuhanmu) yang bersifat personal menunjukkan hubungan yang intim dan langsung antara Sang Pencipta dengan setiap individu yang diajak bicara (dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW dan seluruh umat manusia). Kata "Rabb" sendiri mengandung makna Pemelihara, Pendidik, dan Pengatur, bukan sekadar Pencipta yang pasif. Ini mengisyaratkan bahwa dialog yang akan terjadi adalah bagian dari proses tarbiyah (pendidikan) ilahiah paling awal bagi ruh manusia.
2. "...keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka..."
Frasa "min banii Aadama min zhuhuurihim" (dari anak-anak Adam, dari sulbi mereka) telah menjadi subjek diskusi panjang di kalangan ulama. Secara literal, ini menggambarkan proses fisik di mana seluruh keturunan dikeluarkan dari "punggung" atau "tulang sulbi" nenek moyang mereka. Beberapa riwayat hadis bahkan melukiskannya seolah-olah seluruh jiwa manusia dikeluarkan dari tulang sulbi Adam AS dalam bentuk dzarr (partikel-partikel kecil seperti semut). Namun, banyak mufasir modern juga melihatnya sebagai bahasa kiasan yang kuat, yang melambangkan totalitas dan kesinambungan umat manusia dari generasi ke generasi, semua berasal dari sumber yang satu.
3. "...dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka..."
"Wa asyhadahum 'alaa anfusihim" (dan Dia membuat mereka bersaksi atas diri mereka sendiri). Ini adalah inti dari peristiwa tersebut. Kesaksian ini bukan seperti kesaksian di pengadilan dunia. Kata "asyhada" menyiratkan sebuah proses di mana Allah membuat jiwa-jiwa itu 'melihat' atau 'menyaksikan' dengan kesadaran penuh akan sebuah kebenaran fundamental tentang diri mereka sendiri. Kebenaran itu adalah hubungan mereka dengan Sang Pencipta. Ini adalah momen pencerahan primordial, di mana setiap jiwa diberi kemampuan untuk mengenali Tuhannya.
4. "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" (Alastu bi Rabbikum?)
Inilah pertanyaan abadi yang diajukan oleh Allah. Bentuk pertanyaannya (negasi-interogatif) bukanlah karena Allah ragu atau membutuhkan informasi, melainkan untuk meminta penegasan yang paling kuat. "Alastu...?" ("Bukankah Aku...?") adalah gaya bahasa yang menuntut jawaban afirmatif yang tak terbantahkan. Pertanyaan ini langsung menyentuh esensi terdalam dari eksistensi: pengakuan akan ketuhanan (Rububiyah) Allah. Pertanyaan ini ditanamkan dalam setiap jiwa sebagai cetak biru spiritual mereka.
5. "Mereka menjawab: 'Betul, kami menjadi saksi.'" (Qooluu balaa syahidnaa)
Jawaban serentak dari seluruh jiwa. Kata "Balaa" adalah jawaban afirmatif yang sangat kuat untuk pertanyaan negatif, yang berarti "Tentu saja! Sungguh!". Ini berbeda dari "Na'am" (Ya). "Balaa" meniadakan negasi dalam pertanyaan dan menegaskan kebenarannya dengan keyakinan penuh. "Syahidnaa" (kami bersaksi) adalah penegasan atas kesadaran dan pengakuan yang telah mereka alami. Ini adalah ikrar tauhid pertama dan paling universal yang diucapkan oleh seluruh umat manusia, sebuah deklarasi yang mengikat setiap jiwa kepada Penciptanya.
6. "Agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan..."
Bagian akhir ayat ini menjelaskan hikmah dan tujuan dari perjanjian tersebut. Ia berfungsi sebagai penegakan hujjah atau argumen yang tak terbantahkan. Allah, dalam keadilan-Nya yang sempurna, memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat beralasan di Hari Penghakiman. Tidak ada yang bisa berkata, "Kami tidak pernah tahu," atau "Tidak ada yang memberitahu kami." Perjanjian ini memastikan bahwa pengetahuan dasar tentang Tuhan adalah sesuatu yang inheren, bukan semata-mata diperoleh dari luar. Dengan demikian, alasan ketidaktahuan ("innaa kunnaa 'an haadzaa ghaafiliin" - sesungguhnya kami lengah terhadap ini) menjadi tidak valid.
Tafsir dan Spektrum Pandangan Ulama
Kekayaan penafsiran Islam memungkinkan kita untuk melihat Ayat Al-Mitsaq dari berbagai sudut pandang, yang saling melengkapi dan memperdalam pemahaman kita.
Pandangan Literalistik: Peristiwa di Alam Dzarr
Pandangan ini, yang dipegang oleh banyak ulama klasik seperti Ibnu Katsir, bersandar pada hadis-hadis yang diriwayatkan, salah satunya dari Umar bin Khattab RA. Dalam riwayat tersebut, disebutkan bahwa Allah SWT mengusap punggung Adam AS dan mengeluarkan seluruh keturunannya yang akan lahir hingga hari kiamat. Jiwa-jiwa tersebut, yang tampak seperti partikel-partikel kecil (dzarr), kemudian diambil sumpahnya. Pendekatan ini memahami ayat tersebut sebagai deskripsi dari sebuah peristiwa historis yang benar-benar terjadi di alam ruh, sebuah dimensi yang berada di luar jangkauan persepsi duniawi kita. Peristiwa ini adalah fakta gaib yang wajib diimani. Keindahannya terletak pada penegasannya bahwa hubungan kita dengan Allah mendahului keberadaan fisik kita, menjadikan ikatan tersebut sebagai yang paling fundamental dan abadi.
Pandangan Metaforis: Penanaman Fitrah
Sebagian ulama lain, termasuk beberapa pemikir rasionalis dan mufasir kontemporer, menafsirkan ayat ini secara lebih metaforis atau simbolis. Menurut mereka, "mengeluarkan keturunan dari sulbi" dan "dialog" tersebut bukanlah peristiwa yang terjadi dalam satu waktu dan tempat, melainkan sebuah penggambaran puitis tentang proses penciptaan manusia yang di dalamnya Allah menanamkan potensi bawaan untuk mengenali-Nya. "Dialog" tersebut adalah bahasa kiasan untuk instalasi "software" ilahi dalam "hardware" manusia, yang dikenal sebagai fitrah. Kesaksian "Balaa, syahidnaa" adalah representasi dari kondisi primordial setiap jiwa yang diciptakan dalam keadaan suci dan cenderung kepada tauhid. Pandangan ini tidak menafikan kebenaran ayat tersebut, tetapi memahaminya sebagai penjelasan tentang hakikat penciptaan manusia, bukan sebagai laporan peristiwa kronologis.
Sintesis Keduanya: Peristiwa dan Potensi
Banyak ulama, termasuk cendekiawan terkemuka Indonesia M. Quraish Shihab, mencoba menjembatani kedua pandangan ini. Mereka berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara keduanya. Sangat mungkin bahwa sebuah peristiwa faktual di alam ruh benar-benar terjadi, dan dampak dari peristiwa itulah yang terwujud sebagai fitrah dalam diri setiap manusia di dunia. Perjanjian di alam Dzarr menjadi sebab, dan fitrah tauhid menjadi akibatnya. Dengan demikian, getaran iman yang kita rasakan dalam hati adalah gema dari jawaban "Balaa, syahidnaa" yang pernah kita ucapkan. Pendekatan sintesis ini menghargai baik teks wahyu (nash) maupun realitas psikologis dan spiritual manusia.
Konsep-Konsep Kunci yang Terkait dengan Perjanjian Jiwa
Ayat Al-A'raf 172 tidak berdiri sendiri. Ia merupakan pusat dari sebuah jaringan konsep teologis yang saling berhubungan dan membentuk dasar pandangan dunia Islam.
1. Fitrah: Kompas Spiritual Bawaan Manusia
Fitrah adalah konsep yang paling erat kaitannya dengan Ayat Al-Mitsaq. Ia adalah disposisi atau kodrat asli manusia yang suci, lurus, dan memiliki kecenderungan alami untuk mengakui keberadaan dan keesaan Tuhan. Rasulullah SAW bersabda, "Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." Hadis ini menegaskan bahwa keimanan kepada Tuhan bukanlah sesuatu yang asing, melainkan kondisi "default" manusia. Lingkungan, pendidikan, dan pilihan hiduplah yang kemudian dapat merawat, menumbuhkan, atau sebaliknya menutupi dan mengotori cahaya fitrah ini. Perjanjian primordial adalah momen di mana fitrah ini diaktifkan dan dikalibrasi untuk selamanya menuju pengenalan akan Rabb-nya. Oleh karena itu, dakwah dan risalah para nabi pada hakikatnya adalah sebuah proses tazkir, yaitu "mengingatkan" manusia akan apa yang sudah ada di dalam diri mereka, bukan menanamkan sesuatu yang sama sekali baru.
2. Tauhid: Inti dari Perjanjian
Pertanyaan "Alastu bi Rabbikum?" adalah pertanyaan tentang tauhid rububiyah, yaitu pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan, Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta. Jawaban "Balaa, syahidnaa" adalah ikrar tauhid yang paling murni. Seluruh ajaran Islam, mulai dari syahadat, shalat, hingga muamalah, adalah manifestasi dan cara untuk menjaga konsistensi dengan ikrar primordial ini dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang melakukan syirik (menyekutukan Allah), pada hakikatnya ia sedang mengkhianati perjanjian paling mendasar yang pernah dibuat oleh jiwanya sendiri. Ia mengingkari kesaksiannya yang pertama dan paling fundamental.
3. Amanah dan Tanggung Jawab (Taklif)
Dengan adanya kesaksian ini, manusia secara inheren memikul sebuah amanah atau kepercayaan besar. Amanah ini adalah untuk menjalani hidup di dunia sesuai dengan perjanjian tersebut, yaitu dengan beribadah hanya kepada Allah. Ayat ini menjadi dasar bagi konsep taklif (pembebanan tanggung jawab). Karena setiap jiwa telah diberi pengetahuan dasar tentang Tuhannya, maka ia layak untuk dimintai pertanggungjawaban atas pilihan-pilihannya di dunia. Ini menggarisbawahi prinsip keadilan ilahi. Allah tidak akan menghisab seseorang atas sesuatu yang tidak ia ketahui. Namun, pengetahuan tentang eksistensi-Nya telah ditanamkan sejak awal, sehingga setiap manusia memiliki titik awal yang sama dalam perjalanan spiritualnya.
Implikasi dan Relevansi dalam Kehidupan Modern
Di tengah deru dunia modern yang penuh dengan materialisme, agnostisisme, dan berbagai distraksi, Ayat Al-A'raf 172 menawarkan jangkar spiritual yang kokoh dan relevansi yang luar biasa.
Pencarian Makna di Era Nihilisme
Banyak manusia modern merasakan kehampaan eksistensial, sebuah perasaan bahwa hidup tidak memiliki makna atau tujuan. Ayat ini memberikan jawaban yang tegas: tujuan kita adalah untuk memenuhi perjanjian kita. Pencarian makna yang dirasakan oleh setiap manusia, terlepas dari latar belakang budaya atau agamanya, sesungguhnya adalah gema dari fitrah yang merindukan Tuhannya. Kekosongan itu muncul ketika kita mencoba mengisi ruang yang seharusnya untuk Tuhan dengan hal-hal lain—harta, tahta, atau bahkan ideologi. Ayat ini mengingatkan kita bahwa pemenuhan sejati hanya ditemukan ketika kita kembali menyelaraskan hidup kita dengan ikrar "Balaa, syahidnaa."
Dasar Dialog Antar-iman dan Humanisme
Konsep bahwa setiap manusia memiliki fitrah yang sama dan pernah berdiri bersama dalam satu perjanjian universal memberikan dasar yang kuat untuk persaudaraan kemanusiaan. Ini mengajarkan kita untuk melihat setiap orang, bahkan yang berbeda keyakinan, sebagai sesama pemegang janji primordial. Dorongan untuk berbuat baik, menegakkan keadilan, dan mencintai kebenaran yang ditemukan di berbagai budaya dan agama dapat dipahami sebagai manifestasi dari cahaya fitrah yang sama. Ini membuka pintu untuk dialog yang saling menghormati, dengan kesadaran bahwa kita semua berbagi asal-usul spiritual yang sama.
Menemukan Kekuatan di Tengah Krisis Iman
Keraguan adalah bagian dari perjalanan iman. Ketika seorang mukmin merasa imannya goyah oleh pertanyaan-pertanyaan sulit atau cobaan hidup yang berat, ayat ini berfungsi sebagai pengingat yang menenangkan. Ia seolah berbisik, "Ingatlah, engkau sudah mengenal-Nya. Jauh sebelum pikiranmu dipenuhi keraguan, jiwamu telah bersaksi dengan penuh keyakinan." Ini mendorong kita untuk tidak hanya mencari jawaban di luar, melalui buku atau ceramah, tetapi juga untuk melihat ke dalam, melakukan introspeksi, dan mencoba mendengarkan kembali suara fitrah yang mungkin tertutupi oleh kebisingan dunia. Shalat, zikir, dan tadabbur Al-Qur'an adalah cara-cara untuk membersihkan debu yang menutupi cermin fitrah kita.
Meneguhkan Prinsip Akuntabilitas Individu
Di zaman di mana seringkali mudah untuk menyalahkan lingkungan, sistem, atau masa lalu atas kegagalan kita, Ayat Al-Mitsaq mengembalikan fokus pada tanggung jawab pribadi. Kesaksian itu bersifat individual ("'alaa anfusihim" - atas diri mereka sendiri). Di Hari Kiamat, tidak ada yang bisa beralasan dengan mengatakan, "Saya hanya mengikuti orang tua saya," atau "Saya adalah produk dari masyarakat saya." Perjanjian ini menetapkan bahwa setiap jiwa memiliki hubungan langsung dan pribadi dengan Allah, dan akan dimintai pertanggungjawaban secara individu atas bagaimana ia menjaga perjanjian tersebut. Ini adalah panggilan untuk kemandirian spiritual dan keberanian untuk memilih jalan kebenaran, bahkan jika harus sendirian.
Kesimpulan: Gema Janji yang Tak Pernah Padam
Surat Al-A'raf ayat 172 lebih dari sekadar ayat. Ia adalah piagam eksistensi setiap manusia. Ia adalah bab pembuka dari kisah perjalanan kita, sebuah prolog yang terjadi di alam keabadian sebelum kita terlempar ke dalam panggung ujian dunia. Ia menceritakan tentang sebuah momen di mana kita, dalam bentuk ruh yang paling murni, menatap keagungan Tuhan kita dan dengan sadar mengikrarkan pengakuan dan kesaksian kita.
Perjanjian ini adalah DNA spiritual kita. Ia menjelaskan mengapa jiwa merindukan sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Ia menjelaskan mengapa keindahan alam semesta bisa menggetarkan hati kita dengan rasa takjub. Ia menjelaskan mengapa seruan azan terasa akrab dan menenangkan. Semua itu adalah gema dari satu jawaban agung yang pernah kita ucapkan bersama: "Balaa, syahidnaa" — "Tentu saja, kami bersaksi."
Tugas kita selama hidup di dunia yang singkat ini adalah untuk hidup selaras dengan kesaksian tersebut. Menjaga fitrah kita agar tetap bersih, menyiraminya dengan ilmu dan ibadah, dan melindunginya dari polusi syirik dan maksiat. Setiap shalat adalah pembaharuan janji, setiap sujud adalah pengulangan pengakuan, dan setiap tarikan napas adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa kita tidak pernah melupakan dialog abadi antara jiwa kita dengan Rabb-nya.