Manifesto Iman Universal: Menyelami Samudra Makna Al-Baqarah Ayat 136
Di jantung peradaban manusia, pertanyaan tentang keyakinan, kebenaran, dan hubungan dengan Sang Pencipta senantiasa bergema. Berbagai risalah telah diturunkan, para utusan telah diutus, dan beragam jalan spiritual telah terbentang. Dalam keragaman ini, Islam hadir membawa sebuah deklarasi agung yang merangkum esensi dari seluruh pesan ilahi. Deklarasi ini terabadikan dengan indah dalam Al-Qur'an, khususnya dalam Surah Al-Baqarah, ayat 136. Ayat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah manifesto iman yang bersifat universal, inklusif, dan fundamental.
Ayat ini mengajak umat manusia untuk melihat melampaui sekat-sekat nama, zaman, dan bangsa. Ia menuntun kita pada pemahaman bahwa sumber segala kebenaran adalah satu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, semua utusan yang membawa pesan dari sumber yang satu ini adalah bagian dari satu mata rantai kenabian yang mulia. Mempercayai sebagian dan mengingkari sebagian yang lain sama halnya dengan memutus rantai tersebut, sebuah tindakan yang merusak keutuhan iman itu sendiri.
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
"Katakanlah (hai orang-orang mukmin): 'Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya'."
Ayat yang luar biasa ini adalah sebuah pernyataan sikap, sebuah ikrar yang mendefinisikan identitas seorang muslim. Ia bukan hanya tentang keyakinan personal, tetapi sebuah seruan kolektif yang harus diucapkan bersama-sama. Mari kita selami lebih dalam setiap frasa dari ayat mulia ini untuk memahami keluasan dan kedalaman maknanya.
Perintah untuk Mendeklarasikan Iman: Makna di Balik "Qūlū" (Katakanlah)
Ayat ini diawali dengan kata perintah dalam bentuk jamak: "Qūlū", yang berarti "Katakanlah oleh kalian semua". Ini bukan perintah yang ditujukan kepada individu secara terpisah, melainkan kepada komunitas orang-orang beriman. Penggunaan bentuk jamak ini mengandung beberapa makna penting. Pertama, ia menekankan bahwa akidah atau keyakinan dalam Islam bukanlah urusan pribadi yang terisolasi, melainkan sebuah fondasi komunal. Iman yang benar akan melahirkan sebuah umat yang bersatu di atas prinsip yang sama.
Kedua, perintah untuk "mengatakan" menandakan bahwa iman bukan hanya sesuatu yang tersembunyi di dalam hati. Ia harus diartikulasikan, diumumkan, dan dinyatakan dengan lisan. Deklarasi lisan ini memiliki kekuatan untuk memperteguh keyakinan di dalam hati dan menjadi syiar yang menunjukkan identitas kolektif umat. Dalam konteks turunnya ayat ini di Madinah, di mana komunitas Muslim hidup berdampingan dengan komunitas Yahudi dan Nasrani, deklarasi ini menjadi penegas posisi dan prinsip dasar kaum Muslimin. Ini adalah cara untuk mengatakan, "Inilah kami, inilah fondasi keyakinan kami," dengan jelas dan tanpa keraguan.
Ketiga, perintah ini juga berfungsi sebagai metode pengajaran (talqin). Dengan mengulang-ulang deklarasi ini, seorang mukmin terus-menerus diingatkan akan pilar-pilar imannya. Ia menjadi sebuah zikir dan pengingat konstan tentang cakupan iman yang diwajibkan oleh Allah. Ini adalah cara untuk menanamkan akidah yang lurus ke dalam sanubari setiap anggota komunitas, dari generasi ke generasi.
Fondasi Utama: "Āmannā Billāh" (Kami Beriman kepada Allah)
Setelah perintah untuk berbicara, kalimat pertama yang harus diucapkan adalah "Āmannā Billāh" (Kami beriman kepada Allah). Ini adalah titik awal dan pusat dari segala keyakinan. Semua pilar iman lainnya adalah cabang yang tumbuh dari pokok tauhid ini. Beriman kepada Allah bukanlah sekadar pengakuan akan adanya Tuhan. Dalam konsepsi Islam, iman kepada Allah mencakup beberapa dimensi yang tak terpisahkan:
- Iman pada Rububiyah-Nya: Mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Pencipta, Pemilik, Pengatur, dan Pemelihara seluruh alam semesta. Tidak ada kekuatan lain yang berkuasa secara hakiki selain Dia.
- Iman pada Uluhiyah-Nya: Mengakui bahwa hanya Allah-lah yang berhak disembah. Segala bentuk ibadah, doa, pengharapan, dan ketundukan hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ini adalah esensi dari kalimat "La ilaha illallah".
- Iman pada Asma wa Sifat-Nya: Mengimani nama-nama-Nya yang indah (Asmaul Husna) dan sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna sebagaimana yang Dia jelaskan dalam Al-Qur'an dan dijelaskan oleh Rasul-Nya, tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk (tasybih), tanpa meniadakan maknanya (ta'thil), tanpa menanyakan "bagaimana"-nya (takyif), dan tanpa mengubah maknanya (tahrif).
Menempatkan keimanan kepada Allah di urutan pertama adalah penegasan bahwa semua risalah dan semua nabi datang dengan misi utama yang sama: mengajak manusia untuk kembali kepada tauhid, menyembah Allah semata. Tanpa fondasi ini, kepercayaan kepada nabi dan kitab suci akan kehilangan maknanya.
Wahyu yang Turun: Dari Al-Qur'an hingga Kitab-Kitab Terdahulu
Selanjutnya, deklarasi iman meluas kepada wahyu yang diturunkan. Ayat ini membaginya menjadi beberapa kategori yang saling berhubungan, menunjukkan kesinambungan risalah ilahi.
"Wa Mā Unzila Ilainā" (Dan Apa yang Diturunkan kepada Kami)
Frasa ini secara spesifik merujuk pada Al-Qur'an Al-Karim, wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang menjadi pedoman bagi umat Islam. Mengimani Al-Qur'an berarti meyakini bahwa ia adalah firman Allah yang otentik, tidak ada keraguan di dalamnya, terjaga dari perubahan, dan berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Keimanan ini juga mencakup kewajiban untuk membaca, memahami, merenungkan, dan mengamalkan isi kandungannya dalam setiap aspek kehidupan.
Rantai Emas Kenabian: Ibrahim dan Keturunannya
Ayat ini kemudian mengajak kita untuk menelusuri jejak wahyu ke belakang, kepada para bapak moyang para nabi: "Wa Mā Unzila ilā Ibrāhīma, wa Ismā'īla, wa Isḥāqa, wa Ya'qūba wal-Asbāṭ" (Dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya).
Penyebutan nama-nama ini sangat strategis. Nabi Ibrahim 'alaihissalam adalah figur sentral yang dihormati oleh Yahudi, Nasrani, dan Muslim. Beliau adalah "Bapak Tauhid" (Abul Anbiya'), yang dengan gigih memperjuangkan monoteisme murni. Dengan menyebut Ibrahim, Al-Qur'an menegaskan bahwa Islam bukanlah agama baru, melainkan kelanjutan dari "Millah Ibrahim", ajaran tauhid yang lurus (hanif). Wahyu yang diturunkan kepadanya berupa suhuf (lembaran-lembaran) yang berisi prinsip-prinsip dasar keimanan.
Penyebutan Isma'il dan Ishaq, kedua putra Ibrahim, juga sangat penting. Dari garis keturunan Isma'il lahirlah Nabi Muhammad ﷺ. Sementara dari garis keturunan Ishaq, lahirlah Nabi Ya'qub (yang juga bergelar Isra'il) dan kemudian seluruh nabi Bani Israil. Dengan mengakui wahyu yang turun kepada keduanya, Islam merangkul kedua cabang besar kenabian ini, menolak klaim eksklusif dari kelompok mana pun dan menunjukkan universalitas risalah Allah.
Selanjutnya, ada Ya'qub dan Al-Asbāṭ (anak cucunya atau suku-suku). "Al-Asbāṭ" merujuk kepada dua belas putra Nabi Ya'qub yang menjadi cikal bakal dua belas suku Bani Israil. Di antara mereka juga terdapat nabi-nabi, seperti Nabi Yusuf 'alaihissalam. Ini adalah pengakuan eksplisit terhadap akar kenabian dalam sejarah Bani Israil, sebuah penegasan bahwa para nabi mereka adalah utusan Allah yang wajib diimani oleh kaum Muslimin.
Pilar Utama Bani Israil: Musa dan Isa
Setelah menyebutkan para leluhur, ayat ini beralih kepada dua sosok nabi terbesar dari kalangan Bani Israil yang risalahnya memiliki dampak global: "Wa Mā ūtiya Mūsā wa 'Īsā" (Dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa).
Nabi Musa 'alaihissalam menerima kitab suci Taurat, sebuah kitab yang berisi hukum, petunjuk, dan cahaya. Kisahnya yang epik dalam melawan tiran Firaun menjadi simbol perjuangan antara kebenaran dan kebatilan. Umat Islam wajib beriman bahwa Taurat yang asli adalah wahyu dari Allah. Mengimani Musa berarti menghormati perjuangannya, mengakui kenabiannya, dan memuliakan kitab yang dibawanya sebagai bagian dari sejarah wahyu ilahi.
Nabi Isa 'alaihissalam, putra Maryam, menerima kitab suci Injil. Kelahirannya yang ajaib, mukjizat-mukjizatnya yang luar biasa, dan ajarannya yang penuh kasih sayang adalah bukti kebesaran Allah. Islam menempatkan Nabi Isa pada posisi yang sangat terhormat, sebagai salah satu dari lima nabi "Ulul 'Azmi" (nabi-nabi yang memiliki keteguhan hati luar biasa). Umat Islam wajib beriman kepada kenabiannya dan meyakini bahwa Injil yang asli adalah firman Allah. Namun, keimanan ini juga meluruskan beberapa keyakinan yang keliru tentangnya, seperti konsep ketuhanan atau penyaliban, dengan mengembalikannya kepada prinsip tauhid yang murni.
Penggunaan kata "ūtiya" (diberikan) di sini menarik untuk diperhatikan. Kata ini berbeda dari "unzila" (diturunkan). "Unzila" lebih sering digunakan untuk kitab suci yang diturunkan secara bertahap atau dalam bentuk teks yang lengkap, seperti Al-Qur'an. "Ūtiya" memiliki makna yang lebih luas, mencakup tidak hanya kitab suci, tetapi juga hikmah, mukjizat, dan hukum yang Allah berikan kepada seorang nabi. Ini menunjukkan bahwa para nabi tidak hanya menerima teks, tetapi juga pemahaman, kebijaksanaan, dan dukungan ilahi untuk menjalankan misi mereka.
Merangkul Seluruh Utusan: "Wa Mā ūtiyan-Nabiyyūna min Rabbihim"
Untuk memastikan tidak ada seorang pun utusan Allah yang terlewatkan, ayat ini ditutup dengan sebuah kalimat yang menyapu bersih dan bersifat komprehensif: "serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka". Ini adalah pengakuan iman yang total dan tanpa batas. Umat Islam diajarkan untuk meyakini semua nabi dan rasul yang pernah diutus oleh Allah, baik yang namanya disebutkan dalam Al-Qur'an maupun yang tidak. Dipercaya ada ribuan nabi yang telah diutus ke berbagai kaum di seluruh penjuru dunia sepanjang sejarah.
Kalimat ini menanamkan dalam diri seorang mukmin sebuah pandangan sejarah yang luas dan penuh hormat. Setiap peradaban yang pernah menerima seorang utusan Tuhan adalah bagian dari narasi besar petunjuk ilahi. Ini menghapus kesombongan spiritual dan arogansi kelompok. Kebenaran tidak dimonopoli oleh satu kaum atau satu zaman sebelum Islam. Cahaya petunjuk Allah telah bersinar di mana-mana, dan tugas seorang muslim adalah mengakui dan menghormati setiap pancaran cahaya tersebut.
Prinsip Agung: "Lā Nufarriqu Baina Aḥadin Minhum" (Kami Tidak Membeda-bedakan)
Inilah puncak dari deklarasi iman, sebuah prinsip yang membedakan pandangan Islam dari pandangan umat-umat sebelumnya. "Lā nufarriqu baina aḥadin minhum" (Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka). Apa makna dari "tidak membeda-bedakan" ini?
Ini bukan berarti menafikan bahwa para nabi memiliki tingkatan dan keutamaan yang berbeda di sisi Allah. Al-Qur'an sendiri menyatakan, "Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain" (Al-Baqarah: 253). Ada nabi-nabi Ulul 'Azmi yang memiliki kedudukan istimewa karena beratnya ujian dan luasnya dakwah mereka.
Makna "tidak membeda-bedakan" di sini adalah dalam hal kewajiban untuk beriman kepada mereka semua. Seorang muslim tidak boleh berkata, "Saya beriman kepada Musa tetapi tidak kepada Isa," atau "Saya beriman kepada Isa tetapi tidak kepada Muhammad." Mengingkari satu nabi saja sama dengan mengingkari semua nabi, karena mereka semua diutus oleh Tuhan yang sama dan membawa esensi pesan yang sama, yaitu tauhid. Sikap memilah-milah nabi inilah yang dikritik oleh Al-Qur'an sebagai ciri khas sebagian Ahli Kitab pada masa itu, yang menerima nabi dari garis keturunan mereka sendiri tetapi menolak nabi dari garis keturunan lain.
Prinsip ini adalah obat penawar bagi penyakit fanatisme kesukuan dan kebangsaan dalam beragama. Ia mengajarkan bahwa kebenaran bersifat universal dan tidak terikat oleh ras atau geografi. Seorang utusan dari Arab (Muhammad ﷺ), seorang dari Bani Israil (Musa dan Isa), seorang dari Mesopotamia (Ibrahim) semuanya adalah saudara dalam satu misi agung. Mengimani mereka semua tanpa diskriminasi adalah bukti keikhlasan dan keluasan pandangan seorang mukmin.
Puncak Penyerahan Diri: "Wa Naḥnu Lahū Muslimūn" (Dan Kami Hanya Tunduk Patuh kepada-Nya)
Seluruh deklarasi iman yang panjang dan terperinci ini akhirnya bermuara pada satu kesimpulan logis dan spiritual: "Wa naḥnu lahū muslimūn" (Dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya). Kata "Muslimūn" berasal dari akar kata yang sama dengan "Islam", yaitu "aslama", yang berarti berserah diri, tunduk, dan patuh.
Kalimat ini adalah penegasan akhir yang mengikat semua elemen sebelumnya. Setelah mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan mengakui semua utusan-Nya sebagai pembawa kebenaran, maka konsekuensi alaminya adalah penyerahan diri total hanya kepada-Nya. "Lahū" (kepada-Nya) diletakkan di depan untuk memberikan penekanan makna "hanya", yang dalam ilmu balaghah disebut "taqdim ma haqqut ta'khir yufidul hashr wal qashr". Artinya, ketundukan dan kepasrahan kami tidak terbagi. Ia murni dan eksklusif hanya untuk Allah, Tuhan yang mengutus Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, dan semua nabi lainnya.
Ini juga merupakan definisi sejati dari "Islam". Islam bukanlah sekadar nama sebuah agama, tetapi sebuah sikap batin, sebuah kondisi spiritual di mana seorang hamba melepaskan egonya, kehendaknya, dan hawa nafsunya untuk sepenuhnya tunduk pada kehendak dan syariat Tuhannya. Dalam pengertian ini, semua nabi dan pengikut mereka yang setia pada ajaran tauhid adalah "muslim" dalam arti generik. Nabi Ibrahim adalah seorang muslim, Nabi Musa adalah seorang muslim, dan Nabi Isa adalah seorang muslim, karena mereka semua berserah diri kepada Allah.
Dengan demikian, ayat ini membawa kita pada sebuah perjalanan iman yang lengkap. Dimulai dari perintah untuk bersuara, dilanjutkan dengan fondasi tauhid, merentang ke seluruh sejarah kenabian tanpa diskriminasi, dan diakhiri dengan puncak penyerahan diri yang total. Ini adalah cetak biru akidah seorang mukmin, sebuah pandangan dunia yang luas, inklusif, dan berpusat hanya pada Allah.
Implikasi dan Relevansi Abadi
Surah Al-Baqarah ayat 136 bukanlah sekadar ayat teologis yang kering. Ia memiliki implikasi praktis yang sangat mendalam dan relevan sepanjang masa. Di dunia yang semakin terhubung namun seringkali terpecah oleh konflik identitas, ayat ini menawarkan sebuah paradigma yang mencerahkan.
- Dasar Dialog Antarumat Beragama: Ayat ini menyediakan fondasi yang kokoh untuk membangun dialog yang saling menghormati dengan pemeluk agama samawi lainnya, khususnya Yahudi dan Nasrani. Dengan mengakui para nabi yang mereka muliakan, Islam membuka pintu untuk mencari titik temu dan membangun jembatan pemahaman, bukan tembok permusuhan.
- Menghilangkan Arogansi Spiritual: Prinsip "tidak membeda-bedakan" menanamkan kerendahan hati. Ia mengajarkan bahwa hidayah Allah tidak terbatas pada satu kelompok saja. Ini mendorong seorang muslim untuk menghormati jejak-jejak kebenaran di mana pun ia ditemukan, sambil tetap berpegang teguh pada kesempurnaan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.
- Memperkuat Identitas Muslim: Jauh dari melemahkan, pandangan universal ini justru memperkuat identitas seorang muslim. Ia menunjukkan bahwa Islam bukanlah fenomena sejarah yang terisolasi, melainkan kulminasi dari sebuah tradisi wahyu yang agung dan panjang. Seorang muslim adalah pewaris dari seluruh warisan kenabian, dari Adam hingga Muhammad ﷺ.
- Meneguhkan Keyakinan pada Al-Qur'an: Dengan menyatakan bahwa Al-Qur'an datang untuk membenarkan (musaddiq) kitab-kitab sebelumnya, ayat ini meningkatkan keyakinan kita pada Al-Qur'an sebagai penjaga dan penyempurna wahyu ilahi (muhaimin). Ia bukan hanya mengulang, tetapi juga meluruskan, menyempurnakan, dan menjaganya dari penyelewengan.
Sebagai kesimpulan, Surah Al-Baqarah ayat 136 adalah samudra hikmah yang tak bertepi. Ia adalah deklarasi agung yang mendefinisikan iman dalam Islam sebagai sebuah bangunan yang kokoh, berakar pada tauhid yang murni, ditopang oleh pilar-pilar pengakuan terhadap seluruh nabi, dan beratapkan penyerahan diri total kepada Allah SWT. Mengucapkannya dengan lisan, meresapinya dalam hati, dan mewujudkannya dalam tindakan adalah jalan untuk mencapai esensi sejati dari menjadi seorang "muslim" yang tunduk dan patuh kepada Tuhan semesta alam.