Visualisasi kompleksitas keputusan sejarah yang dirasakan.
Ali bin Abi Thalib adalah sosok sentral dalam sejarah awal Islam. Sebagai sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, dan salah satu orang pertama yang memeluk Islam, kedudukannya dianggap sangat dekat dengan inti ajaran dan kenabian. Harapan besar komunitas Muslim, terutama bagi mereka yang sangat setia pada garis keturunan dan jasa awal, terpusat padanya. Ketika Nabi wafat, terjadi pergeseran dramatis dalam suksesi kepemimpinan yang menimbulkan riak-riak emosional dan politik yang mendalam.
Kekecewaan yang muncul bukanlah sekadar kegagalan pribadi, melainkan refleksi dari ketegangan fundamental mengenai bagaimana komunitas Islam harus melanjutkan warisan Nabi. Bagi sebagian pengikut, kepemimpinan seharusnya mengikuti garis nasab dan pengakuan langsung dari Nabi, sebuah posisi yang diyakini teguh dipegang oleh Ali. Melihat proses pengambilan keputusan yang mengarah pada penetapan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai Khalifah pertama, memicu rasa ketidakadilan dan pengabaian terhadap hak prerogatif yang ia yakini.
Periode segera setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah masa paling rentan bagi umat Muslim. Dalam pertemuan Saqifah Bani Sa'idah, proses pemilihan khalifah pertama dilakukan dengan cepat. Meskipun Ali adalah seorang tokoh yang sangat dihormati karena keberaniannya (seperti dalam banyak peperangan besar) dan ilmunya yang luas, ia tidak hadir dalam pertemuan krusial tersebut. Ketiadaan ini, terlepas dari alasannya, dimanfaatkan oleh faksi-faksi lain untuk mengukuhkan pilihan mereka.
Dalam perspektif Ali dan para pendukungnya, proses tersebut dianggap tidak sepenuhnya mewakili konsensus penuh atau mengabaikan wasiat implisit Nabi. Kekecewaan Ali saat itu sering digambarkan bukan sebagai pemberontakan terbuka terhadap otoritas yang sah, melainkan sebagai kesedihan mendalam atas apa yang ia lihat sebagai penyimpangan dari jalur ideal yang seharusnya diikuti oleh umat. Ia memilih untuk menahan diri dan berkhidmat dalam diam, sebuah tindakan yang oleh sejarawan diinterpretasikan sebagai bentuk ketaatan tertinggi, meskipun diiringi oleh rasa getir.
Kekecewaan Ali bin Abi Thalib memiliki implikasi yang jauh melampaui masa kekhalifahan pertama. Pengalamannya membentuk narasi yang berbeda dalam sejarah Islam. Hal ini menjadi titik tolak utama bagi kelompok yang kemudian dikenal sebagai Syiah, yang meyakini bahwa kepemimpinan (Imamah) adalah hak ilahi yang ditetapkan melalui Nabi untuk Ali dan keturunannya. Bagi mereka, penundaan atau pengalihan kekhalifahan adalah sebuah tragedi historis yang mencederai keutuhan visi kenabian.
Namun, perlu dicatat bahwa interpretasi terhadap "kekecewaan" ini beragam. Beberapa riwayat menunjukkan bahwa Ali kemudian menyatakan baiat (sumpah setia) kepada tiga khalifah pertama. Tindakan ini menunjukkan kematangan politik dan spiritualnya; ia memilih persatuan komunitas di atas ambisi pribadi, meskipun luka kekecewaan itu mungkin tetap ada. Ia tetap menjadi penasihat penting dan figur otoritas keilmuan bagi para khalifah yang berkuasa.
Ironisnya, Ali akhirnya naik menjadi Khalifah keempat, namun masa kepemimpinannya diwarnai oleh konflik internal yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti Perang Jamal dan Perang Siffin. Setelah bertahun-tahun menahan diri, ketika akhirnya ia memegang tampuk kekuasaan, stabilitas yang ia dambakan tidak kunjung datang. Konflik-konflik ini sering dilihat sebagai puncak dari akumulasi ketegangan politik dan sosial yang akarnya telah tertanam sejak peristiwa Saqifah.
Bagi Ali, kekecewaan ini mungkin berubah bentuk: dari kekecewaan karena tidak diakui menjadi keputusasaan melihat umat yang dipimpinnya terpecah belah oleh perselisihan duniawi, persis seperti yang pernah diperingatkan oleh Nabi. Warisan Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa bahkan tokoh paling saleh pun dapat merasakan kepedihan ketika visi ideal mereka tentang keadilan dan kepemimpinan terbentur oleh realitas politik yang keras dan perebutan kekuasaan. Kisah ini tetap relevan sebagai pengingat akan harga yang harus dibayar untuk persatuan dan keadilan dalam komunitas besar.