Ilustrasi mata yang selalu terjaga

Allah Tidak Pernah Tidur: Penjagaan Abadi di Balik Keterbatasan Makhluk

Dalam kesunyian malam yang paling pekat, ketika seluruh dunia terlelap dalam buaian mimpi, ada satu kesadaran agung yang semestinya menentramkan setiap jiwa. Di saat kelopak mata manusia tak lagi sanggup terjaga, ketika tubuh yang fana menuntut haknya untuk beristirahat, ada Zat yang Maha Perkasa, yang tidak pernah disentuh oleh kantuk apalagi tidur. Inilah salah satu pilar fundamental dalam akidah seorang muslim: keyakinan bahwa Allah SWT, Sang Pencipta, Pengatur, dan Pemelihara alam semesta, tidak pernah tidur. Konsep ini bukan sekadar kalimat dogmatis, melainkan sebuah samudra makna yang menyimpan jaminan keamanan, keadilan, dan kasih sayang yang tak terbatas.

Manusia adalah makhluk yang terikat oleh siklus. Kita membutuhkan istirahat untuk memulihkan energi, menjernihkan pikiran, dan memperbaiki sel-sel tubuh yang lelah. Tidur adalah keniscayaan biologis, sebuah tanda kelemahan dan ketergantungan kita. Bayangkan seorang penjaga yang paling waspada sekalipun, ia pasti memiliki titik lelah. Seorang pemimpin yang paling kuat, ia harus menyerah pada kantuk. Sistem keamanan tercanggih di dunia pun memerlukan pemeliharaan dan bisa mengalami jeda. Keterbatasan ini melekat pada esensi kemakhlukan. Namun, bagaimana mungkin alam semesta yang maha luas ini—dengan miliaran galaksi, triliunan bintang, dan planet-planet yang beredar pada orbitnya dengan presisi luar biasa—bisa bergantung pada Zat yang memiliki kelemahan serupa? Jawabannya jelas: mustahil.

"Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur."

Kutipan di atas adalah bagian dari ayat yang paling agung dalam Al-Qur'an, yaitu Ayat Kursi (QS. Al-Baqarah: 255). Ayat inilah yang menjadi fondasi utama pemahaman kita tentang sifat Allah yang tidak pernah tidur. Frasa "لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ" (Lā ta'khużuhū sinatun wa lā naum) secara harfiah berarti "tidak mengantuk dan tidak tidur". Penggunaan dua kata ini—sinah (kantuk) dan naum (tidur)—bukanlah tanpa tujuan. Ia menunjukkan penafian yang absolut dan bertingkat. Allah tidak hanya tidak tidur (naum), bahkan rasa kantuk (sinah), yaitu permulaan dari tidur atau kelalaian sekecil apa pun, tidak pernah menyentuh-Nya. Ini adalah penegasan kesempurnaan-Nya yang mutlak.

Tafsir Mendalam: Makna di Balik "Sinah" dan "Naum"

Untuk menyelami keagungan sifat ini, kita perlu memahami perbedaan linguistik dan teologis antara 'sinah' dan 'naum'. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa sinah adalah rasa kantuk yang mulai menyerang mata dan kepala, sebuah kondisi transisi menuju tidur di mana kesadaran mulai menurun. Sementara naum adalah kondisi tidur lelap di mana kesadaran hilang sepenuhnya. Al-Qur'an menggunakan kedua kata ini untuk menolak segala bentuk kekurangan, dari yang paling ringan hingga yang paling total, dari Zat Allah SWT.

Penafian ini secara langsung berkaitan dengan dua sifat Allah yang disebutkan sebelumnya dalam ayat yang sama: Al-Hayy (Yang Maha Hidup) dan Al-Qayyum (Yang Maha Berdiri Sendiri dan Mengurus Makhluk-Nya). Kehidupan Allah adalah kehidupan yang sempurna, abadi, tanpa awal dan tanpa akhir. Kehidupan yang sempurna tidak mungkin memiliki cacat seperti kelelahan atau kebutuhan untuk istirahat. Tidur adalah saudara kematian; ia adalah jeda dalam kehidupan. Maka, bagi Zat Yang Maha Hidup secara absolut, tidur adalah suatu kemustahilan.

Selanjutnya, sifat Al-Qayyum menegaskan bahwa Allah tidak hanya hidup untuk diri-Nya sendiri, tetapi Dia adalah penopang dan pengurus segala sesuatu di langit dan di bumi. Eksistensi seluruh alam semesta, dari pergerakan partikel sub-atomik hingga rotasi galaksi raksasa, bergantung sepenuhnya pada pemeliharaan-Nya setiap saat. Jika Sang Qayyum tertimpa kantuk barang sedetik saja, niscaya hancurlah seluruh tatanan alam ini. Langit akan runtuh, bumi akan berguncang, dan kehidupan akan musnah. Oleh karena itu, penegasan bahwa Allah tidak tidur adalah konsekuensi logis dari sifat-Nya sebagai Al-Hayy dan Al-Qayyum. Ini adalah jaminan bahwa alam semesta berada dalam kendali yang konstan, tanpa jeda, tanpa interupsi.

Implikasi Keyakinan Ini dalam Kehidupan Seorang Mukmin

Memahami bahwa Allah tidak tidur bukanlah sekadar pengetahuan intelektual. Ia adalah sebuah keyakinan yang seharusnya meresap ke dalam hati dan mengubah cara kita memandang dunia, diri sendiri, dan hubungan kita dengan Sang Pencipta. Keyakinan ini melahirkan buah-buah manis dalam bentuk ketenangan jiwa, kewaspadaan diri, dan optimisme yang tak tergoyahkan.

1. Sumber Ketenangan dan Rasa Aman (Sakinah)

Di tengah dunia yang penuh dengan ketidakpastian, kecemasan, dan ketakutan, kesadaran bahwa ada penjaga yang tidak pernah lelah adalah sumber ketenangan yang tiada tara. Ketika kita mengunci pintu di malam hari, memasang alarm, atau menyewa penjaga, kita melakukannya karena kesadaran akan kerapuhan kita saat tidur. Kita rentan. Namun, semua sistem keamanan buatan manusia memiliki celah.

Seorang mukmin yang menghayati sifat ini akan merasakan kedamaian yang mendalam. Ia tahu bahwa saat ia terlelap, Allah tetap terjaga mengawasinya. Saat ia menghadapi masalah yang membuatnya tidak bisa tidur, ia tahu bahwa Allah mendengar setiap keluh kesahnya, bahkan yang hanya terucap dalam hati. Doa yang dipanjatkan di keheningan malam tidak akan pernah sia-sia, karena ia ditujukan kepada Zat yang tidak pernah lalai. Inilah yang membuat seorang hamba dapat menyerahkan segala urusannya dengan penuh tawakal, setelah ia berusaha sekuat tenaga. Ia tidur dengan hati yang tenang, karena tahu bahwa urusannya, keluarganya, dan hartanya berada dalam penjagaan terbaik yang tak tertandingi.

Rasa aman ini juga berlaku dalam skala yang lebih besar. Ketika kita melihat kekacauan di dunia, perang, bencana alam, atau krisis ekonomi, mudah bagi kita untuk merasa putus asa. Namun, keyakinan bahwa Sang Pengatur alam semesta tidak pernah tidur mengingatkan kita bahwa segala sesuatu terjadi di bawah pengawasan-Nya. Ada hikmah di balik setiap kejadian, dan rencana-Nya yang agung sedang berjalan, meskipun terkadang akal kita yang terbatas tidak mampu memahaminya.

2. Jaminan Keadilan yang Mutlak

Salah satu sumber penderitaan terbesar bagi manusia adalah ketidakadilan. Seringkali, di dunia ini, orang yang zalim tampak berjaya, sementara yang tertindas semakin menderita. Hukum bisa dibeli, kebenaran bisa diputarbalikkan, dan saksi bisa dibungkam. Namun, keyakinan bahwa Allah tidak tidur adalah jaminan bahwa tidak ada satu pun kezaliman yang akan luput dari perhitungan-Nya.

Mata manusia bisa terpejam, tetapi mata Allah tidak. Telinga manusia bisa tak mendengar jeritan orang yang teraniaya di ruang tertutup, tetapi pendengaran Allah meliputi segala sesuatu. Setiap tetes air mata orang yang dizalimi, setiap niat busuk seorang penindas, setiap kata dusta yang diucapkan di pengadilan, semuanya terekam dengan sempurna di sisi-Nya. Pengawasan-Nya yang abadi adalah mahkamah tertinggi yang tak bisa disuap atau dikelabui.

Bagi orang yang terzalimi, keyakinan ini adalah sumber kekuatan dan kesabaran. Ia tahu bahwa meskipun keadilan di dunia tidak ia dapatkan, keadilan di akhirat pasti akan ditegakkan. Doanya adalah senjata yang paling ampuh, karena ia memohon kepada Hakim yang paling adil dan tidak pernah tidur. Sebaliknya, bagi orang yang zalim, sifat ini adalah peringatan yang paling keras. Mereka mungkin bisa lari dari hukum dunia, tetapi mereka tidak akan pernah bisa lari dari pengawasan Allah. Setiap detik yang mereka lalui adalah detik di mana kejahatan mereka disaksikan, dan hisabnya pasti akan datang.

3. Mendorong Kewaspadaan Diri (Muraqabah)

Jika Allah tidak pernah tidur dan selalu mengawasi, maka ini berarti tidak ada satu pun perbuatan kita, baik atau buruk, yang luput dari pandangan-Nya. Kesadaran ini, yang dikenal sebagai muraqabah, adalah inti dari ihsan: beribadah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.

Sifat ini memotivasi seorang hamba untuk senantiasa berbuat kebaikan, bahkan ketika tidak ada seorang pun yang melihat. Sedekah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi, air mata taubat yang menetes di kegelapan malam, atau bantuan tulus kepada sesama tanpa mengharap pujian—semuanya disaksikan dan dicatat oleh Allah. Ini menumbuhkan keikhlasan, karena tujuan utama dari perbuatan baik bukanlah pengakuan manusia, melainkan keridhaan dari Zat yang pengawasan-Nya sempurna.

Di sisi lain, muraqabah juga berfungsi sebagai rem yang kuat dari perbuatan dosa. Ketika godaan untuk berbuat maksiat datang di saat sepi, ketika tidak ada mata manusia yang memandang, seorang mukmin akan teringat bahwa Allah Maha Melihat. Dinding yang tebal, pintu yang terkunci, dan kegelapan malam tidak dapat menjadi penghalang bagi penglihatan-Nya. Kesadaran inilah yang menjaga kehormatan diri, membentengi dari perbuatan keji, dan mendorong seseorang untuk segera bertaubat ketika tergelincir dalam kesalahan. Ia malu untuk berbuat dosa di hadapan Tuhannya yang selalu terjaga dan memperhatikannya dengan penuh rahmat, menanti kepulangannya.

Kontras Sempurna: Keagungan Pencipta dan Keterbatasan Ciptaan

Untuk lebih menghargai kesempurnaan sifat Allah ini, ada baiknya kita merenungkan kembali betapa berlawanannya sifat ini dengan kondisi kita sebagai makhluk. Tidur adalah kebutuhan primer manusia. Tanpa tidur, fungsi kognitif kita menurun drastis, emosi kita menjadi tidak stabil, dan kesehatan fisik kita terancam. Kita adalah makhluk yang rapuh, yang membutuhkan jeda untuk dapat berfungsi.

Kebutuhan akan tidur ini menunjukkan beberapa hal fundamental tentang kemanusiaan kita:

Allah SWT, sebaliknya, sama sekali tidak memiliki sifat-sifat ini. Dia tidak bergantung pada apa pun (Al-Ghaniyy). Dia Maha Kuat dan tidak pernah berada dalam kondisi lemah (Al-Qawiyy). Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, di setiap waktu dan tempat, tanpa ada jeda atau interupsi (Al-'Alim). Dengan membandingkan kelemahan kita dengan kesempurnaan-Nya, rasa takjub dan pengagungan (ta'zhim) kepada Allah akan semakin tumbuh di dalam hati. Kita akan menyadari betapa kita sangat membutuhkan-Nya, sementara Dia sama sekali tidak membutuhkan kita. Penjagaan-Nya atas diri kita saat kita tidur adalah salah satu bentuk kasih sayang-Nya yang paling nyata, sebuah anugerah yang seringkali kita lupakan.

Manifestasi dalam Ibadah: Doa di Sepertiga Malam

Salah satu manifestasi terindah dari keyakinan bahwa Allah tidak tidur tercermin dalam anjuran ibadah di malam hari, khususnya shalat tahajud. Ketika sebagian besar manusia sedang terlelap, seorang hamba memilih untuk bangun, meninggalkan kenyamanan tempat tidurnya, untuk bermunajat kepada Tuhannya. Mengapa waktu ini begitu istimewa? Karena ini adalah waktu di mana seorang hamba secara sadar "menemui" Tuhannya yang selalu terjaga.

Dalam sebuah hadis qudsi, disebutkan bahwa Allah SWT turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir seraya berfirman, "Siapakah yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapakah yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapakah yang memohon ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni." Ini adalah dialog yang luar biasa. Di saat dunia hening, Sang Raja alam semesta menawarkan rahmat, pengabulan doa, dan ampunan-Nya secara langsung.

Orang yang bangun di waktu ini adalah orang yang benar-benar memahami bahwa Allah tidak tidur. Ia tidak merasa sedang berbicara pada kekosongan. Ia yakin bahwa setiap rintihan, setiap permohonan, dan setiap isak tangisnya didengar dengan jelas oleh Zat Yang Maha Mendengar. Ibadah di tengah malam adalah bukti cinta dan keyakinan, sebuah pengorbanan waktu istirahat yang fana untuk meraih keintiman dengan Zat yang Abadi dan tidak pernah beristirahat dalam mencurahkan kasih sayang-Nya.

Kesimpulan: Hidup di Bawah Naungan Penjagaan yang Abadi

Keyakinan bahwa Allah tidak mengantuk dan tidak tidur adalah lebih dari sekadar konsep teologis. Ia adalah jangkar spiritual yang menambatkan kapal kehidupan kita di tengah samudra ketidakpastian. Ia adalah selimut hangat yang memberikan rasa aman di malam-malam yang dingin dan penuh kekhawatiran. Ia adalah cermin yang memantulkan kelemahan kita dan pada saat yang sama menunjukkan keagungan dan kesempurnaan Pelindung kita.

Dengan menghayati makna ini, seorang mukmin akan menjalani hidup dengan perspektif yang berbeda. Ia akan lebih tenang dalam menghadapi cobaan, karena ia tahu Penolongnya tidak pernah lalai. Ia akan lebih berani dalam memperjuangkan kebenaran, karena ia yakin Hakim yang Maha Adil selalu menjadi saksinya. Ia akan lebih waspada dalam setiap langkahnya, karena ia sadar bahwa tidak ada satu pun perbuatannya yang tersembunyi dari Pengawas yang Maha Teliti. Dan yang terpenting, ia akan merasakan cinta yang luar biasa, karena menyadari bahwa Zat yang begitu agung dan perkasa, yang sama sekali tidak membutuhkan kita, memilih untuk terus-menerus terjaga demi mengurus dan memelihara kita, hamba-Nya yang lemah dan sering lupa.

Maka, biarlah keyakinan ini meresap dalam setiap helaan napas kita. Ketika mata kita mulai terpejam di malam hari, serahkanlah diri kita sepenuhnya kepada Dia yang kelopak mata-Nya tidak pernah terkatup. Dan ketika kita terbangun di pagi hari, bersyukurlah kepada-Nya karena telah menjaga kita sepanjang malam. Karena hidup di bawah kesadaran bahwa Allah tidak tidur adalah hidup dalam naungan keamanan, keadilan, dan kasih sayang yang abadi.

🏠 Homepage