Dalam samudra kehidupan yang luas dan tak jarang bergelombang, setiap manusia adalah seorang musafir. Kita berlayar membawa kapal jiwa, terkadang di bawah langit biru yang cerah, namun tak jarang pula dihantam badai dan teror kegelapan malam. Di saat-saat seperti itulah, ketika dayung terasa patah dan layar terkoyak, satu-satunya cahaya yang mampu menembus pekatnya keputusasaan adalah harapan. Namun, bukan sembarang harapan. Ini adalah harapan yang tertambat pada sauh yang paling kokoh, yang paling abadi, dan yang tidak akan pernah mengecewakan: harapan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Berharap kepada Allah, atau dalam terminologi Islam dikenal sebagai Ar-Raja', bukanlah sekadar angan-angan kosong atau optimisme buta. Ia adalah sebuah keyakinan yang berakar kuat dalam sanubari, sebuah bentuk ibadah hati yang agung, dan pilar fundamental yang menopang keimanan seorang hamba. Ia adalah seni menatap masa depan dengan senyuman, bukan karena kita tahu apa yang akan terjadi, melainkan karena kita tahu siapa yang memegang kendali atas segala sesuatu. Ia adalah energi spiritual yang mendorong kita untuk terus melangkah, bahkan ketika kaki terasa lelah dan jalan di depan tampak terjal.
Artikel ini akan mengajak kita untuk menyelami lebih dalam makna sejati dari berharap kepada Allah. Kita akan menjelajahi fondasinya yang kokoh dalam Al-Qur'an dan Sunnah, memetik buah-buah manisnya yang dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari, serta mempelajari cara-cara praktis untuk memupuk dan merawat harapan ini agar senantiasa mekar di taman hati kita. Karena pada akhirnya, berharap kepada Allah adalah kunci untuk membuka pintu ketenangan, sumber kekuatan yang tak pernah kering, dan kompas yang menuntun kita kembali ke haribaan-Nya, tidak peduli seberapa jauh kita tersesat atau seberapa kuat badai menerpa.
Makna dan Fondasi Berharap Kepada Allah (Ar-Raja')
Untuk memahami kekuatan sejati dari berharap kepada Allah, kita harus terlebih dahulu mengerti esensinya. Ar-Raja' bukan sekadar emosi pasif, melainkan sebuah sikap batin yang aktif, cerdas, dan didasari oleh ilmu. Ia adalah penantian seorang hamba terhadap sesuatu yang ia cintai—baik itu kebaikan dunia, ampunan dosa, atau surga—dari Rabb yang Maha Pemurah, setelah ia mengerahkan usaha terbaiknya.
Syarat-syarat Harapan yang Benar
Para ulama menjelaskan bahwa harapan yang benar (Raja') memiliki syarat dan rukun, yang membedakannya dari angan-angan kosong (Tamanni) atau rasa aman yang menipu (Ghurur). Harapan yang terpuji harus didasari oleh tiga pilar utama:
- Cinta (Mahabbah) kepada Allah: Harapan lahir dari kecintaan kepada Dzat yang diharapkan. Kita berharap kepada Allah karena kita mencintai-Nya, merindukan rahmat-Nya, dan mendambakan pertemuan dengan-Nya.
- Takut (Khauf) kepada Allah: Harapan yang sehat selalu diiringi rasa takut. Takut akan murka-Nya jika kita melanggar perintah-Nya. Rasa takut ini berfungsi sebagai rem yang mencegah kita dari perbuatan dosa dan kelalaian.
- Amal Saleh (Usaha): Inilah pembeda paling krusial. Harapan sejati selalu mendorong pemiliknya untuk berbuat. Seseorang yang berharap panen akan menanam benih, merawatnya, dan menyiraminya. Demikian pula, seorang hamba yang berharap akan rahmat Allah akan berusaha menapaki jalan-jalan yang mendatangkan rahmat tersebut, yaitu dengan ketaatan.
Seseorang yang hanya berangan-angan tanpa beramal, seperti petani yang berharap panen tanpa pernah mencangkul sawah, maka harapannya disebut Tamanni. Sementara orang yang terus berbuat maksiat sambil merasa yakin akan diampuni tanpa bertaubat, ia telah tertipu oleh Ghurur. Harapan yang benar adalah harapan seorang hamba yang bertaubat, yang menyesali dosanya, dan berharap ampunan-Nya seraya bertekad untuk menjadi lebih baik.
Fondasi Harapan: Mengenal Sifat-sifat Allah
Kekuatan harapan kita kepada Allah berbanding lurus dengan kedalaman pengenalan (ma'rifah) kita terhadap-Nya. Semakin kita mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang Maha Indah (Asmaul Husna), semakin kokoh pula bangunan harapan di dalam hati. Harapan kita tidak bersandar pada kekuatan diri yang lemah, melainkan pada sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna.
Perenungan terhadap beberapa nama-Nya akan menyuburkan benih harapan:
- Ar-Rahman, Ar-Rahim (Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang): Rahmat-Nya mendahului murka-Nya. Kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Ketika kita merenungi betapa luasnya rahmat Allah, hati kita dipenuhi harapan bahwa kita pun akan dicurahi rahmat tersebut.
- Al-Ghafur, Al-Ghaffar, Al-'Afuww (Yang Maha Pengampun): Tidak peduli seberapa besar dosa seorang hamba, ampunan Allah jauh lebih besar. Nama-nama ini adalah panggilan bagi para pendosa untuk kembali, sebuah jaminan bahwa pintu taubat selalu terbuka. Ini menumbuhkan harapan akan pengampunan.
- Al-Karim, Al-Wahhab (Yang Maha Pemurah, Maha Pemberi): Allah memberi tanpa diminta dan memberi lebih dari yang diminta. Kemurahan-Nya tidak terbatas. Ini mengajarkan kita untuk tidak pernah ragu meminta dan berharap akan karunia-Nya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
- Al-Fattah (Yang Maha Pembuka): Dia-lah yang membuka segala pintu yang tertutup. Pintu rezeki, pintu solusi, pintu hidayah, pintu kesembuhan. Ketika kita merasa buntu dan semua jalan tampak tertutup, mengingat nama Al-Fattah akan menyalakan kembali api harapan.
- Al-Mujib (Yang Maha Mengabulkan Doa): Allah telah berjanji untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Keyakinan pada sifat ini menjadikan setiap doa yang kita panjatkan sebagai benih harapan yang kita tanam, yakin bahwa Allah mendengar dan akan menjawabnya dengan cara yang terbaik.
Dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah
Fondasi harapan kepada Allah tertancap kuat dalam firman-Nya dan sabda Rasul-Nya. Ayat-ayat dan hadits ini bukan sekadar teks, melainkan surat cinta dari Sang Pencipta yang memanggil hamba-Nya untuk tidak pernah putus asa.
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-Zumar: 53)
Ayat ini adalah lautan harapan bagi setiap pendosa. Ia adalah seruan langsung dari Allah yang melarang kita dari penyakit paling mematikan bagi jiwa: putus asa (al-ya's). Ia menjanjikan ampunan total bagi siapa saja yang mau kembali kepada-Nya.
Dalam sebuah Hadits Qudsi yang agung, Allah berfirman melalui lisan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam suatu kelompok, Aku akan mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini secara eksplisit mengikat respons Allah dengan harapan dan prasangka baik hamba-Nya. Ketika kita berprasangka baik bahwa Allah akan menolong, mengampuni, dan memberi, maka itulah yang akan kita dapatkan. Ini adalah undangan terbuka untuk selalu memelihara optimisme ilahiah di dalam dada.
Manfaat dan Buah Manis Berharap Kepada Allah
Menanam pohon harapan kepada Allah di taman hati akan menghasilkan buah-buah manis yang tak ternilai harganya. Buah ini tidak hanya bisa dinikmati di akhirat kelak, tetapi juga dapat dirasakan langsung dalam kehidupan kita di dunia, memberikan keteduhan dan kekuatan dalam menghadapi teriknya cobaan.
Ketenangan Jiwa di Tengah Badai Kehidupan
Salah satu buah termanis dari berharap kepada Allah adalah ketenangan jiwa (sakinah). Di dunia yang penuh dengan ketidakpastian, kecemasan adalah tamu yang sering datang tanpa diundang. Kita cemas akan masa depan, rezeki, kesehatan, dan nasib anak-anak kita. Harapan kepada Allah berfungsi sebagai sauh yang menjaga kapal jiwa kita tetap stabil di tengah ombak kecemasan.
Ketika kita yakin bahwa segala urusan berada dalam genggaman Dzat Yang Maha Bijaksana dan Maha Penyayang, beban di pundak terasa lebih ringan. Kita melakukan bagian kita—berusaha dan berdoa—lalu kita serahkan hasilnya kepada-Nya dengan hati yang lapang. Kita tahu bahwa apa pun ketetapan-Nya, itulah yang terbaik bagi kita, meskipun terkadang akal kita yang terbatas belum mampu memahaminya. Keyakinan inilah yang melahirkan ketenangan sejati, ketenangan yang tidak bisa dibeli dengan harta sebanyak apa pun.
Sumber Kekuatan untuk Bangkit dari Kegagalan
Hidup adalah rangkaian ujian, dan kegagalan adalah bagian tak terpisahkan darinya. Kegagalan dalam studi, bisnis, atau hubungan bisa terasa menghancurkan dan melumpuhkan. Di titik terendah inilah, harapan kepada Allah menjadi bahan bakar untuk bangkit kembali.
Seorang mukmin yang memiliki harapan tidak akan pernah melihat kegagalan sebagai akhir dari segalanya. Sebaliknya, ia melihatnya sebagai bagian dari proses pembelajaran yang Allah tetapkan. Ia yakin bahwa di balik setiap pintu yang tertutup, Allah telah menyiapkan pintu lain yang lebih baik. Ia percaya bahwa setiap kesulitan yang ia hadapi akan menghapus dosa-dosanya dan mengangkat derajatnya. Harapan ini memberinya resiliensi atau daya lenting yang luar biasa. Ia mungkin jatuh berkali-kali, tetapi selama harapannya kepada Allah tetap menyala, ia akan selalu menemukan kekuatan untuk berdiri kembali.
Mendorong Ibadah dan Ketaatan
Harapan yang benar bukanlah alasan untuk bermalas-malasan, justru sebaliknya, ia adalah motivator terbesar untuk beramal. Rasa cinta dan harapan akan balasan dari Allah—berupa ridha, pahala, dan surga-Nya—mendorong seorang hamba untuk bersemangat dalam beribadah.
Shalat tidak lagi terasa sebagai beban, melainkan sebagai momen indah untuk berdialog dengan Dzat yang dicintai dan diharapkan. Puasa menjadi ringan karena harapan akan pahala yang tak terhingga. Sedekah menjadi mudah karena keyakinan bahwa Allah akan membalasnya dengan berlipat ganda. Harapan mengubah ibadah dari sekadar rutinitas mekanis menjadi sebuah persembahan cinta yang penuh makna dan kerinduan.
Membuka Pintu Rahmat dan Ampunan
Tindakan berharap kepada Allah itu sendiri adalah sebuah ibadah. Ketika seorang hamba menengadahkan tangannya, dengan hati yang penuh harap memohon ampunan, sesungguhnya ia sedang mengamalkan salah satu bentuk penghambaan yang paling dicintai Allah. Ia mengakui kelemahannya dan mengakui kemahakuasaan serta kemurahan Rabb-nya.
Kisah tentang seorang pria dari Bani Israil yang telah membunuh seratus orang adalah contoh yang luar biasa. Meskipun dosanya begitu besar, harapannya akan rahmat Allah mendorongnya untuk berhijrah mencari ampunan. Di tengah perjalanan, ajal menjemputnya. Para malaikat rahmat dan malaikat azab pun berselisih. Allah dengan kemurahan-Nya memerintahkan bumi untuk diukur, dan mendapati jasadnya lebih dekat sejengkal ke negeri tujuan taubatnya. Maka, ia pun diampuni. Kisah ini mengajarkan bahwa harapan yang tulus, yang diiringi dengan langkah nyata menuju perbaikan, mampu membuka pintu rahmat Allah seluas-luasnya.
Menumbuhkan Sikap Optimis dan Husnudzan
Berharap kepada Allah secara otomatis akan membentuk pola pikir yang positif dan optimis. Pola pikir ini dikenal sebagai husnudzan billah (berbaik sangka kepada Allah). Seorang hamba yang senantiasa berbaik sangka kepada Rabb-nya akan mampu melihat hikmah di balik setiap kejadian, bahkan yang tampak buruk sekalipun.
Jika ia diberi nikmat, ia bersyukur dan yakin itu adalah karunia Allah. Jika ia ditimpa musibah, ia bersabar dan yakin itu adalah cara Allah untuk membersihkannya dari dosa atau mengangkatnya ke derajat yang lebih tinggi. Ia tidak mudah mengeluh atau menyalahkan takdir. Pola pikir ini tidak hanya membuat hidupnya lebih bahagia dan damai, tetapi juga selaras dengan janji Allah dalam hadits qudsi, "Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku." Ketika kita berprasangka baik, maka kebaikanlah yang akan kita temui.
Cara Praktis Membangun dan Memupuk Harapan
Harapan kepada Allah bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Ia adalah tunas yang harus ditanam, dirawat, dan dipupuk secara konsisten agar tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan rindang. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa kita lakukan untuk membangun dan menyuburkan harapan di dalam hati.
1. Memperdalam Ilmu Tauhid dan Ma'rifatullah
Akar dari harapan adalah pengenalan (ma'rifah) kepada Allah. Mustahil kita bisa berharap secara maksimal kepada Dzat yang tidak kita kenal. Oleh karena itu, langkah pertama dan utama adalah meluangkan waktu untuk belajar. Pelajari ilmu tauhid, yaitu ilmu yang mengesakan Allah. Pelajari dan renungkan Asmaul Husna, nama-nama-Nya yang indah beserta makna dan implikasinya dalam kehidupan kita.
Bacalah buku-buku atau dengarkan kajian yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah seperti Kemurahan-Nya, Kasih Sayang-Nya, dan Kekuasaan-Nya. Semakin kita menyelami keagungan dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya, semakin kita akan merasa takjub, dan dari ketakjuban itulah lahir rasa cinta dan harapan yang tak terbatas.
2. Tadabbur Al-Qur'an: Membaca Kisah Para Nabi
Al-Qur'an adalah sumber harapan yang tak pernah kering. Di dalamnya, Allah mengabadikan kisah-kisah para nabi dan orang-orang saleh yang menunjukkan kekuatan harapan di saat-saat paling sulit sekalipun.
- Renungkan kisah Nabi Ibrahim 'alaihissalam, yang di usia senjanya tetap berharap dikaruniai seorang anak, dan Allah mengabulkannya.
- Lihatlah Nabi Zakariya 'alaihissalam, yang berdoa dengan suara lirih di mihrabnya, memohon keturunan padahal istrinya mandul dan ia sendiri telah sangat tua. Harapannya tidak sia-sia.
- Belajarlah dari Nabi Ya'qub 'alaihissalam, yang meskipun telah kehilangan Yusuf dan Bunyamin, ia tetap berkata, "Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semua kepadaku." Ia tidak pernah putus asa dari rahmat Allah.
- Ambil ibrah dari Nabi Yunus 'alaihissalam, yang dari dalam perut ikan paus yang gelap gulita, ia menyeru dengan penuh harapan, "Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim." Doa yang dipenuhi harapan itu menembus kegelapan dan dijawab oleh Allah.
Membaca dan merenungkan (tadabbur) kisah-kisah ini akan menyuntikkan dosis harapan yang kuat ke dalam jiwa kita, mengingatkan kita bahwa pertolongan Allah selalu dekat bagi hamba-Nya yang tulus berharap.
3. Merutinkan Dzikir dan Doa
Dzikir (mengingat Allah) dan doa adalah sarana komunikasi langsung antara hamba dengan Rabb-nya. Keduanya adalah media yang sangat efektif untuk memupuk harapan. Perbanyaklah ucapan-ucapan dzikir yang mengagungkan kemurahan dan ampunan Allah, seperti istighfar (memohon ampun), tasbih, tahmid, dan tahlil.
Secara khusus, istighfar memiliki kekuatan luar biasa untuk membuka pintu harapan. Dengan beristighfar, kita mengakui kesalahan kita dan secara bersamaan mengakui bahwa Allah Maha Pengampun, sehingga kita berharap ampunan-Nya. Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang melazimkan istighfar, niscaya Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dari setiap kesempitan, dan kelapangan dari setiap kesusahan, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka." (HR. Abu Dawud).
Begitu pula dengan doa. Jangan pernah lelah dan bosan untuk berdoa. Panjatkan segala hajat dan keluh kesah hanya kepada-Nya. Setiap kali kita mengangkat tangan untuk berdoa, sesungguhnya kita sedang mempraktikkan harapan. Yakinlah bahwa setiap doa didengar dan akan dijawab oleh Allah dengan salah satu dari tiga cara: dikabulkan langsung di dunia, disimpan untuk menjadi pahala di akhirat, atau diganti dengan dihindarkannya kita dari suatu keburukan yang setara.
4. Melakukan Amal Saleh dengan Ikhlas
Seperti yang telah dijelaskan, harapan sejati harus disertai dengan usaha. Amal saleh adalah wujud nyata dari harapan kita. Ketika kita berharap akan surga, kita berusaha menapaki jalannya dengan shalat, puasa, dan sedekah. Ketika kita berharap akan rezeki yang berkah, kita bekerja keras dengan cara yang halal.
Setiap amal saleh yang kita lakukan, sekecil apa pun, adalah seperti menabung di "bank" Allah. Tabungan inilah yang menjadi modal harapan kita. Semakin banyak amal kita, semakin besar pula harapan kita akan balasan baik dari-Nya. Berusahalah melakukan kebaikan secara konsisten, meskipun sedikit. Membantu orang lain, tersenyum kepada saudara, menyingkirkan duri dari jalan—semua itu adalah benih-benih harapan yang kita tanam.
5. Merenungi Nikmat Allah yang Tak Terhingga
Terkadang, kita terlalu fokus pada apa yang belum kita miliki sehingga lupa pada lautan nikmat yang telah Allah berikan. Luangkan waktu setiap hari untuk merenung dan mensyukuri (syukur) nikmat-nikmat tersebut. Nikmat napas, nikmat penglihatan, nikmat kesehatan, nikmat iman, dan nikmat Islam.
Rasa syukur akan membuka mata hati kita untuk melihat betapa pemurahnya Allah. Dzat yang telah memberi kita begitu banyak nikmat tanpa kita minta, tentu tidak akan menelantarkan kita ketika kita memohon kepada-Nya. Syukur atas nikmat di masa lalu dan masa kini akan membangun optimisme dan harapan akan datangnya nikmat di masa yang akan datang. Syukur adalah bahan bakar bagi harapan.
Menyeimbangkan Antara Harapan (Raja') dan Rasa Takut (Khauf)
Dalam Islam, keimanan yang sehat dan seimbang ibarat seekor burung yang terbang menuju Allah. Kepalanya adalah cinta (mahabbah), dan kedua sayapnya adalah harapan (raja') dan rasa takut (khauf). Seekor burung tidak akan bisa terbang dengan stabil jika hanya menggunakan satu sayap, atau jika salah satu sayapnya patah. Demikian pula, seorang mukmin membutuhkan kedua sayap ini untuk menempuh perjalanan spiritualnya dengan lurus dan selamat.
Dua Sayap Burung Iman
Harapan (Raja') tanpa diimbangi rasa takut akan melahirkan sikap meremehkan dosa dan merasa aman dari azab Allah (al-amn min makrillah). Seseorang bisa terjerumus dalam kemaksiatan dengan berpikir, "Ah, Allah kan Maha Pengampun, nanti juga saya akan bertaubat." Sikap ini sangat berbahaya karena menunda taubat dan meremehkan murka Allah.
Sebaliknya, rasa takut (Khauf) tanpa diimbangi harapan akan menjerumuskan seseorang ke dalam keputusasaan (al-qunuth). Ia akan merasa dosanya terlalu besar untuk diampuni, rahmat Allah terlalu jauh untuk diraih, dan ia tidak pantas mendapatkan kebaikan dari-Nya. Keputusasaan adalah dosa besar dan merupakan salah satu senjata utama setan untuk menghancurkan seorang hamba.
Oleh karena itu, seorang mukmin harus mampu menyeimbangkan keduanya. Ia beribadah dengan penuh harap akan pahala Allah, namun di saat yang sama ia juga takut ibadahnya tidak diterima. Ia menjauhi maksiat karena takut akan azab Allah, namun jika tergelincir, ia segera kembali dengan penuh harapan akan ampunan-Nya.
Kapan Salah Satu Sayap Lebih Dominan?
Para ulama memberikan panduan kapan sebaiknya salah satu dari kedua sayap ini lebih didominankan, sesuai dengan kondisi seorang hamba:
- Saat Sehat dan Lapang: Ketika seseorang dalam kondisi sehat, muda, dan memiliki banyak kesempatan, hendaknya rasa takut (khauf) sedikit lebih dominan. Rasa takut ini akan menjadi benteng yang menjaganya dari godaan untuk berbuat dosa dan menyia-nyiakan waktu.
- Saat Berbuat Dosa: Ketika seseorang terlanjur melakukan perbuatan dosa, maka setelah penyesalan, sisi harapan (raja') harus segera dikedepankan. Ia harus yakin seyakin-yakinnya bahwa jika ia bertaubat dengan tulus, Allah pasti akan mengampuninya, tidak peduli seberapa besar dosa tersebut.
- Saat Sakit atau Menjelang Ajal: Di saat-saat seperti ini, seorang hamba harus mengedepankan harapan dan prasangka baik kepada Allah setinggi-tingginya. Ia harus memfokuskan hatinya pada luasnya rahmat dan ampunan Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah." (HR. Muslim).
Harmoni antara harapan dan rasa takut, yang didasari oleh cinta, akan menghasilkan penghambaan yang paling sempurna. Ia akan menjaga seorang hamba tetap berada di jalan yang lurus, tidak terlalu condong ke kanan (meremehkan) ataupun terlalu condong ke kiri (putus asa). Ia akan terus berjalan menuju Rabb-nya dengan langkah yang tegap, hati yang waspada, dan jiwa yang penuh optimisme.
Sebagai penutup, berharap kepada Allah bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah kebutuhan mutlak bagi setiap jiwa yang merindukan ketenangan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Ia adalah seni menyerahkan segala resah kepada Yang Maha Mengatur, menambatkan segala asa kepada Yang Maha Kaya, dan menggantungkan segala mimpi kepada Yang Maha Kuasa.
Di dunia yang fana ini, harapan kepada selain Allah pasti akan berujung pada kekecewaan. Manusia bisa berkhianat, harta bisa sirna, dan kekuatan bisa melemah. Namun, harapan yang disandarkan kepada Allah adalah investasi yang tidak akan pernah merugi. Ia adalah cahaya yang akan terus benderang, bahkan ketika semua lampu di sekitar kita telah padam. Maka, teruslah berharap, teruslah berdoa, dan teruslah berbaik sangka. Karena di ujung setiap lorong gelap penantian, ada cahaya rahmat-Nya yang tak pernah redup, menanti untuk menyambut hamba-hamba-Nya yang tidak pernah berhenti berharap.