Ilustrasi Harmoni Sholawat dan Ukhuwah
Dalam lanskap dakwah Islam di Indonesia, nama-nama besar seringkali muncul membawa semangat pembaharuan sekaligus pelestarian tradisi. Di antara tokoh-tokoh tersebut, sosok Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf dan Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri menempati posisi penting sebagai pembawa obor kecintaan kepada Rasulullah SAW. Kedua habib ini, meskipun memiliki jalur dakwah yang berbeda, bersatu dalam misi utama: menyebarkan kecintaan melalui lantunan sholawat dan pengajaran akhlak mulia.
Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf, yang akrab disapa Habib Syech, dikenal luas melalui majelis akbarnya, Ahbabul Musthofa. Beliau adalah maestro sholawat yang mampu menyatukan jamaah dari berbagai latar belakang hanya dengan lantunan merdu dan penuh penghayatan. Musik sholawat yang dibawanya bukan sekadar nyanyian, melainkan sebuah metode dakwah yang efektif meruntuhkan sekat sosial dan mendekatkan hati umat kepada junjungan Nabi Muhammad. Kekuatan dakwah Habib Syech terletak pada kemampuannya menjaga tradisi qasidah klasik namun disajikan dengan aransemen modern yang diterima oleh generasi muda. Ribuan jamaah dari penjuru negeri rela hadir dalam setiap pengajiannya, menunjukkan betapa kuatnya magnet spiritual yang dipancarkan oleh beliau.
Sementara itu, Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri, sering kali dikaitkan dengan peran pentingnya dalam pengembangan ilmu agama dan institusi pendidikan Islam. Beliau adalah representasi dari ulama yang mengedepankan kedalaman ilmu, sanad keilmuan yang kuat, serta peran aktif dalam memajukan umat melalui pendidikan formal dan informal. Sosok Habib Ali Zainal Abidin mewarisi semangat keilmuan dari para pendahulunya, menjadikannya figur yang disegani dalam forum-forum keilmuan.
Jika Habib Syech fokus pada pendekatan emosional dan spiritual melalui kecintaan, maka Habib Ali Zainal Abidin memperkuat fondasi umat melalui pemahaman ajaran agama yang komprehensif. Kedua pendekatan ini sangat vital dalam ekosistem dakwah. Dakwah tanpa hati yang lembut cenderung kaku, sementara dakwah tanpa ilmu yang kokoh rentan terhadap kekeliruan. Kombinasi antara kelembutan spiritual yang ditawarkan oleh Habib Syech dan kedalaman keilmuan yang diwakili oleh pemikiran Habib Ali Zainal Abidin menciptakan keseimbangan yang dibutuhkan umat masa kini.
Kisah hidup kedua habib ini mengajarkan pentingnya integritas. Mereka tidak hanya berdakwah dengan lisan, tetapi juga dengan perbuatan. Kesederhanaan dalam hidup, komitmen terhadap tradisi Ahlul Bait, dan semangat melayani umat tanpa memandang status sosial adalah ciri khas yang menonjol. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, kedua tokoh ini berhasil menempatkan diri sebagai pemersatu. Mereka mengingatkan bahwa hakikat Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Majelis shalawat yang dipimpin Habib Syech sering kali menjadi ajang silaturahmi akbar, di mana perbedaan politik atau pandangan disampingkan demi satu tujuan: memuji Rasulullah. Hal serupa juga terlihat dalam lingkungan keilmuan yang ditekuni oleh Habib Ali Zainal Abidin, di mana diskusi dilakukan dengan adab dan rasa hormat terhadap perbedaan pendapat ilmiah. Mereka berdua adalah cerminan nyata dari teladan yang diajarkan oleh para leluhur mereka.
Kehadiran dan pengaruh Habib Syech dan Habib Ali Zainal Abidin membuktikan bahwa dakwah Islam dapat berkembang secara dinamis tanpa harus meninggalkan akar historisnya. Mereka memastikan bahwa kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW tetap menjadi poros utama pergerakan umat, baik melalui lantunan merdu yang menggetarkan jiwa maupun melalui penguatan pilar-pilar keilmuan yang menopang peradaban Islam. Warisan mereka adalah ajakan untuk terus mencintai, belajar, dan menebar kebaikan.