Membedah Makna Hudus: Konsep Keterciptaan dalam Filsafat dan Teologi Islam
Pendahuluan: Memahami Kata Kunci Teologis
Dalam khazanah intelektual Islam, khususnya dalam disiplin ilmu kalam (teologi dialektis) dan filsafat, terdapat berbagai istilah teknis yang menjadi pilar bagi bangunan argumen yang kompleks. Salah satu istilah yang paling fundamental dan sering menjadi titik tolak pembahasan tentang eksistensi Tuhan adalah hudus. Pertanyaan "hudus artinya apa?" bukan sekadar pertanyaan linguistik, melainkan sebuah gerbang untuk memahami cara pandang para teolog Muslim dalam membuktikan adanya Sang Pencipta melalui observasi terhadap alam semesta. Memahami konsep hudus berarti menyelami salah satu argumen rasional paling klasik dan berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam.
Secara sederhana, hudus (حدوث) berasal dari akar kata Arab ha-da-tsa (حدث) yang berarti 'terjadi', 'menjadi baru', atau 'muncul setelah sebelumnya tidak ada'. Dari akar kata yang sama, lahir kata hadits (حديث) yang berarti 'baru' atau 'perkataan (yang baru diucapkan)'. Dalam konteks teologis, hudus adalah sebuah sifat atau keadaan yang menunjukkan bahwa sesuatu memiliki awal, ia ada setelah sebelumnya didahului oleh ketiadaan. Sesuatu yang bersifat hudus disebut sebagai hadits atau muhdats. Konsep ini menjadi sangat penting karena ia berdiri sebagai antitesis dari konsep qidam (قدم), yang berarti 'dahulu', 'azali', atau 'ada tanpa permulaan'. Sesuatu yang bersifat qidam disebut sebagai qadim.
Dengan demikian, seluruh realitas dapat dibagi menjadi dua kategori fundamental: yang qadim (ada tanpa awal) dan yang hadits (ada setelah tiada). Para teolog Muslim (mutakallimun) berpendapat bahwa hanya Allah SWT yang bersifat qadim, sementara segala sesuatu selain-Nya, yang biasa kita sebut sebagai alam semesta ('alam), bersifat hudus. Dari premis inilah sebuah argumen logis yang kuat dibangun untuk membuktikan eksistensi Tuhan, yang dikenal sebagai Dalil Hudutsul 'Alam (Argumen Keterbaharuan Alam).
Antitesis Hudus: Konsep Qidam sebagai Sifat Khas Tuhan
Untuk memahami hudus secara lebih mendalam, kita harus melihat lawannya, yaitu qidam. Qidam bukanlah sekadar 'tua' atau 'sudah ada sejak lama'. Konsep ini melampaui dimensi waktu. Qidam berarti eksistensi yang absolut, yang tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak terikat oleh konsep "sebelum". Waktu itu sendiri adalah bagian dari ciptaan, sehingga Sang Pencipta harus berada di luar dan sebelum adanya waktu. Eksistensi-Nya tidak memiliki titik start. Ia tidak pernah "mulai" ada, karena Ia "selalu" ada secara niscaya.
Para ulama tauhid menegaskan bahwa sifat qidam adalah salah satu sifat salbiyah, yaitu sifat yang menafikan hal-hal yang tidak layak bagi Allah. Dengan mengatakan Allah itu Qadim, kita menafikan sifat hudus dari-Nya. Artinya, mustahil bagi Allah untuk memiliki permulaan. Mengapa ini penting? Karena jika Tuhan memiliki permulaan, berarti Ia diciptakan. Jika Ia diciptakan, maka Ia membutuhkan pencipta lain. Pencipta lain itu pun jika memiliki permulaan, akan membutuhkan pencipta lainnya lagi, dan begitu seterusnya. Rantai ini akan terus mundur tanpa akhir (regressus ad infinitum), sebuah kemustahilan logis. Oleh karena itu, harus ada satu penyebab pertama yang tidak disebabkan oleh apapun, yang eksistensinya niscaya dan tidak memiliki awal. Itulah entitas yang kita sebut Tuhan, yang bersifat Qadim.
"Sifat Qidam menegaskan kemandirian absolut Tuhan. Eksistensi-Nya tidak bergantung pada apapun dan tidak diawali oleh apapun, termasuk waktu. Sementara hudus adalah tanda ketergantungan dan keterciptaan."
Di sisi lain, segala sesuatu yang kita amati di alam semesta ini—mulai dari galaksi, bintang, planet, gunung, lautan, pohon, hewan, hingga manusia—semuanya memiliki ciri-ciri hudus. Kita tahu bahwa setiap manusia dilahirkan, artinya ia ada setelah sebelumnya tidak ada. Kita tahu bintang-bintang terbentuk dari nebula dan suatu saat akan mati. Bahkan gunung dan lautan pun mengalami proses pembentukan yang memakan waktu jutaan tahun. Seluruh alam semesta, menurut sains modern, memiliki titik awal yang dikenal sebagai Big Bang. Semua ini adalah manifestasi dari sifat hudus. Alam semesta dan segala isinya adalah kontingen, artinya keberadaannya tidak niscaya; ia bisa saja tidak ada, dan keberadaannya memerlukan sebab di luar dirinya. Sifat hudus inilah yang menjadi "jejak" Sang Pencipta pada ciptaan-Nya.
Dalil Hudutsul 'Alam: Argumen Rasional dari Keterbaharuan Alam
Inti dari pembahasan hudus adalah penggunaannya dalam argumen teologis untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Argumen ini, yang dipopulerkan oleh aliran Mu'tazilah dan kemudian disempurnakan oleh Asy'ariyah dan Maturidiyah, dapat dirangkum dalam sebuah silogisme sederhana namun sangat kuat:
- Premis Mayor: Segala sesuatu yang hadits (baru, memiliki awal) pasti membutuhkan muhdits (pencipta, pembuat awal).
- Premis Minor: Alam semesta ini bersifat hadits.
- Kesimpulan (Natijah): Maka, alam semesta ini pasti memiliki muhdits (Pencipta), yaitu Tuhan.
Argumen ini tampak sederhana, tetapi kekuatan logisnya terletak pada pembuktian kedua premis tersebut. Mari kita bedah satu per satu.
Membuktikan Premis Mayor: Setiap yang Baru Membutuhkan Pembuat
Premis pertama sering dianggap sebagai aksioma atau kebenaran yang terbukti dengan sendirinya (self-evident). Akal sehat kita secara intuitif menerima bahwa sesuatu tidak bisa muncul dari ketiadaan mutlak (ex nihilo nihil fit). Jika Anda menemukan sebuah jam tangan di padang pasir, Anda tidak akan pernah menyimpulkan bahwa jam itu muncul dengan sendirinya dari butiran pasir yang tertiup angin. Anda pasti akan menyimpulkan ada pembuat jam yang cerdas yang merancangnya. Jika sebuah puisi yang indah tidak mungkin tercipta tanpa seorang penyair, dan sebuah lukisan mahakarya tidak mungkin ada tanpa seorang pelukis, maka bagaimana mungkin alam semesta yang jauh lebih kompleks, teratur, dan agung ini bisa ada tanpa seorang Pencipta?
Prinsip ini dikenal sebagai prinsip kausalitas. Setiap akibat pasti memiliki sebab. Kemunculan sesuatu yang baru adalah sebuah "akibat", sehingga ia pasti memiliki "sebab" yang mendahuluinya. Menolak premis ini berarti menolak dasar dari pemikiran rasional dan sains itu sendiri. Sains bekerja dengan mencari sebab dari setiap fenomena alam. Oleh karena itu, premis ini secara umum diterima oleh akal sehat dan logika.
Membuktikan Premis Minor: Alam Semesta Itu Hadits (Baru)
Bagian inilah yang menjadi fokus utama para mutakallimun. Bagaimana cara membuktikan bahwa alam semesta ini, secara keseluruhan, memiliki awal? Mereka tidak memiliki teleskop Hubble atau bukti Big Bang, sehingga mereka menggunakan argumen filosofis yang didasarkan pada observasi. Argumen utama mereka dikenal sebagai argumen aksiden (sifat).
Langkah-langkah argumennya adalah sebagai berikut:
1. Alam Semesta Tersusun dari Jauhar dan 'Aradh
Para teolog membagi entitas yang ada di alam menjadi dua kategori:
- Jauhar (Substansi): Esensi sesuatu yang dapat berdiri sendiri, seperti atom, partikel, atau benda-benda fisik (batu, kayu, air). Ini adalah "wadah" dari sifat-sifat.
- 'Aradh (Aksiden/Atribut): Sifat-sifat yang menempel pada jauhar dan tidak bisa ada tanpanya. Contohnya adalah gerak, diam, warna, bentuk, panas, dingin, ukuran, dan sebagainya. Sebuah gerakan tidak bisa ada tanpa ada sesuatu yang bergerak. Warna merah tidak bisa ada tanpa ada benda yang berwarna merah.
Seluruh alam semesta ini, dari partikel terkecil hingga galaksi terbesar, adalah kumpulan dari jauhar (substansi) yang tidak pernah lepas dari 'aradh (sifat-sifatnya).
2. Semua 'Aradh (Sifat) Bersifat Hadits
Langkah kedua adalah membuktikan bahwa semua sifat ('aradh) ini bersifat baru (hadits). Ini sangat mudah dibuktikan melalui pengamatan. Gerak adalah sesuatu yang baru, karena ia didahului oleh diam. Diam juga baru, karena ia bisa didahului oleh gerak. Sebuah pohon yang tadinya hijau (sifat warna) menjadi kuning. Air yang tadinya dingin (sifat suhu) menjadi panas. Seseorang yang tadinya diam kemudian bergerak. Perubahan konstan ini menunjukkan bahwa setiap sifat ('aradh) memiliki titik awal. Sifat "bergerak" pada sebuah bola dimulai saat bola itu ditendang. Sifat "panas" pada air dimulai saat kompor dinyalakan.
Karena setiap sifat ('aradh) selalu didahului oleh ketiadaannya atau oleh sifat lain yang berlawanan, maka dapat disimpulkan bahwa semua 'aradh adalah hadits (memiliki permulaan).
3. Apa yang Tak Terpisahkan dari yang Hadits Juga Hadits
Langkah ketiga adalah postulat logis yang krusial: "Ma la yakhlu 'anil hawadits fahuwa hadits" (Sesuatu yang tidak pernah terlepas dari hal-hal yang baru, maka ia pun baru). Jika sebuah entitas (jauhar) tidak pernah bisa eksis tanpa ditempeli oleh sifat-sifat yang baru ('aradh), maka logisnya, entitas itu sendiri juga harus baru.
Bayangkan sebuah dinding. Dinding itu (jauhar) tidak mungkin ada tanpa warna tertentu ('aradh). Jika warna-warnanya (putih, lalu dicat biru, lalu kusam) semuanya adalah hal yang baru, maka mustahil dinding itu sendiri bersifat abadi (qadim). Jika dinding itu qadim, ia seharusnya sudah ada sejak azali. Pertanyaannya, saat azali itu ia berwarna apa? Jika berwarna putih, maka sifat "putih" itu juga harus qadim, padahal kita sudah buktikan semua 'aradh itu hadits. Jika tidak berwarna, itu mustahil karena setiap benda fisik pasti punya atribut. Satu-satunya kesimpulan yang logis adalah, karena dinding itu tidak bisa lepas dari sifat-sifat yang silih berganti dan baru, maka dinding itu sendiri juga harus baru.
4. Kesimpulan: Alam Semesta (Jauhar) adalah Hadits
Karena seluruh alam semesta ini adalah kumpulan jauhar (substansi/materi) yang tidak pernah terlepas dari 'aradh (sifat-sifat seperti gerak, diam, perubahan), dan karena semua 'aradh itu terbukti hadits, maka alam semesta secara keseluruhan juga pasti bersifat hadits. Alam semesta memiliki permulaan.
Dengan terbuktinya premis minor ini, dan dikombinasikan dengan premis mayor yang diterima secara rasional, maka kesimpulan dari Dalil Hudutsul 'Alam menjadi kokoh: Alam semesta ini memiliki Pencipta yang mengadakannya dari tiada.
Sifat-sifat Sang Muhdits (Pencipta)
Argumen hudus tidak hanya berhenti pada pembuktian adanya Pencipta. Dari argumen yang sama, kita bisa mendeduksikan beberapa sifat niscaya dari Sang Pencipta tersebut:
- Qadim (Azali): Sang Pencipta haruslah Qadim, karena jika Ia hadits, Ia juga butuh pencipta lain, yang akan membawa pada kemustahilan logika regresi tak terbatas.
- Mukhalafatu lil Hawadits (Berbeda dengan Makhluk): Karena Ia adalah Pencipta dari segala sesuatu yang hadits, maka Ia sendiri tidak boleh bersifat hadits. Ia harus berbeda dari ciptaan-Nya dalam segala hal. Ia tidak tersusun dari jauhar dan 'aradh.
- Qiyamuhu bi Nafsihi (Berdiri Sendiri): Ia tidak membutuhkan tempat atau entitas lain untuk eksis, karena semua itu adalah ciptaan-Nya.
- Wahdaniyyah (Esa): Argumen tentang keesaan Tuhan juga bisa diturunkan. Jika ada dua pencipta yang qadim, akan terjadi potensi konflik kehendak yang mustahil. Keteraturan alam semesta menunjukkan adanya satu Kehendak Tunggal.
- Qudrah (Kuasa) dan Iradah (Berkehendak): Proses menciptakan sesuatu dari ketiadaan (hudus) membuktikan adanya Kekuasaan yang absolut (Qudrah) dan Kehendak (Iradah) untuk memilih menciptakan pada waktu tertentu, bukan sebelumnya atau sesudahnya.
Dengan demikian, konsep hudus menjadi jembatan rasional yang tidak hanya membawa kita pada kesimpulan adanya Tuhan, tetapi juga pada pemahaman dasar tentang sifat-sifat-Nya yang transenden.
Perspektif Sejarah dan Perdebatan Pemikiran
Meskipun argumen hudus menjadi andalan teologi Sunni (Asy'ariyah dan Maturidiyah), ia tidak lahir dalam ruang hampa dan juga tidak luput dari perdebatan.
Akar Pemikiran: Mu'tazilah dan Pengaruh Filsafat Yunani
Argumen tentang hudus 'alam secara sistematis pertama kali dikembangkan oleh kaum Mu'tazilah, sebuah aliran teologi rasionalis pada awal era Abbasiyah. Mereka sangat dipengaruhi oleh metode dialektika dan logika dari filsafat Yunani yang baru diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Mereka menggunakan argumen atomisme (konsep jauhar fard atau atom tunggal) untuk membangun argumen keterbaharuan alam. Bagi mereka, pembuktian eksistensi Tuhan melalui akal adalah kewajiban pertama bagi seorang mukmin.
Adaptasi dan Penyempurnaan oleh Asy'ariyah
Imam Al-Asy'ari, pendiri mazhab Asy'ariyah, pada awalnya adalah seorang Mu'tazilah. Setelah keluar dari aliran tersebut, ia tidak membuang seluruh metode rasional mereka. Sebaliknya, ia mengambil argumen hudus, membersihkannya dari beberapa pandangan Mu'tazilah yang dianggap menyimpang (seperti keyakinan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri), dan menjadikannya sebagai fondasi teologi Sunni. Para pengikutnya, seperti Imam Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini, terus menyempurnakan dan mempertahankan argumen ini dari berbagai kritik.
Kritik dari Kalangan Filsuf Muslim (Falasifah)
Para filsuf Muslim yang terpengaruh oleh neoplatonisme, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, memiliki pandangan yang berbeda. Mereka setuju bahwa alam semesta membutuhkan Tuhan sebagai "Penyebab Pertama" (First Cause) atau "Wajib al-Wujud" (Eksistensi Niscaya). Namun, mereka tidak sependapat bahwa alam semesta ini hadits dalam artian diciptakan dari ketiadaan pada satu titik waktu tertentu (creatio ex nihilo).
Menurut mereka, alam semesta ini "qadim" dalam aspek waktu, tetapi "hudus" dalam aspek esensi. Artinya, alam semesta ini selalu ada bersama Tuhan, tetapi eksistensinya bergantung secara terus-menerus pada Tuhan, layaknya cahaya yang selalu memancar dari matahari. Proses ini mereka sebut sebagai emanasi (al-fayd). Bagi mereka, Tuhan yang sempurna haruslah selalu "mencipta" atau "beremanasi", sehingga alam semesta pun haruslah abadi. Perdebatan sengit antara mutakallimun dan falasifah mengenai hal ini diabadikan dalam karya monumental Imam Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf), yang kemudian dibantah oleh Ibnu Rusyd dalam Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dari Kerancuan).
Kritik dari Kalangan Lain
Beberapa pemikir seperti Ibnu Taimiyah mengkritik metode ilmu kalam, termasuk penggunaan argumen jauhar dan 'aradh. Ia berpendapat bahwa metode pembuktian eksistensi Tuhan yang paling sesuai adalah yang tertera dalam Al-Qur'an (dalil fitrah dan dalil observasi alam secara langsung), bukan melalui terminologi filosofis yang rumit dan dianggapnya sebagai bid'ah. Meskipun demikian, mayoritas ulama Sunni tetap menerima dan mengajarkan argumen hudus sebagai salah satu alat rasional yang valid untuk memperkuat keimanan.
Relevansi Konsep Hudus di Era Modern
Di zaman modern yang didominasi oleh sains, apakah konsep kuno seperti hudus masih relevan? Jawabannya adalah ya, bahkan mungkin lebih relevan dari sebelumnya. Paradigma ilmiah modern, terutama dalam kosmologi, justru memberikan dukungan yang kuat terhadap premis minor dari argumen hudus, yaitu "alam semesta ini hadits".
"Teori Big Bang, yang saat ini menjadi model standar kosmologi, menyatakan bahwa alam semesta—termasuk ruang dan waktu itu sendiri—bermula dari sebuah titik singularitas yang sangat padat dan panas sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu. Ini adalah penegasan ilmiah bahwa alam semesta memiliki awal."
Sebelum abad ke-20, pandangan ilmiah yang dominan adalah model Steady State Universe (Alam Semesta Keadaan Tetap), yang beranggapan bahwa alam semesta ini statis dan abadi, tidak memiliki awal dan akhir. Pandangan ini lebih dekat dengan pandangan para falasifah. Namun, penemuan Edwin Hubble tentang ekspansi alam semesta dan penemuan radiasi latar gelombang mikro kosmik menjadi bukti kuat yang meruntuhkan model tersebut dan mengukuhkan teori Big Bang.
Dengan demikian, sains modern secara tidak langsung telah membuktikan premis "alam semesta bersifat hadits". Tentu saja, sains berhenti di situ. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang menyebabkan Big Bang atau apa yang ada "sebelum" itu, karena itu berada di luar ranah metode ilmiah. Di sinilah argumen filosofis dan teologis seperti Dalil Hudutsul 'Alam mengambil alih, memberikan jawaban rasional: jika alam semesta memiliki permulaan, ia pasti membutuhkan Pemula (Initiator) atau Pencipta (Creator) yang berada di luar ruang dan waktu.
Konsep hudus juga relevan dalam perdebatan melawan ateisme baru yang terkadang mengklaim bahwa alam semesta bisa muncul dari "ketiadaan". Para teolog akan menunjukkan bahwa "ketiadaan" yang dibicarakan oleh beberapa fisikawan (seperti fluktuasi kuantum dalam vakum) bukanlah ketiadaan filosofis yang mutlak. Vakum kuantum adalah sesuatu yang memiliki hukum fisika dan energi. Ia bukanlah ketiadaan murni. Oleh karena itu, argumen bahwa "setiap yang baru membutuhkan sebab" tetap berlaku.
Implikasi Spiritual dari Memahami Hudus
Di luar fungsinya sebagai argumen teologis, pemahaman dan penghayatan akan konsep hudus memiliki dampak spiritual yang mendalam bagi seorang individu.
Pertama, menumbuhkan kerendahan hati (tawadhu'). Menyadari bahwa diri kita dan segala sesuatu di sekitar kita bersifat hudus—baru, fana, dan bergantung—akan mengikis kesombongan. Kita ada bukan karena kekuatan kita sendiri. Eksistensi kita adalah sebuah anugerah, sebuah pinjaman dari Sang Pencipta. Kita berasal dari ketiadaan dan akan kembali pada-Nya. Kesadaran ini menempatkan manusia pada posisi yang semestinya: sebagai hamba ('abd) di hadapan Tuhannya (Rabb).
Kedua, meningkatkan rasa syukur (syukur). Jika eksistensi kita adalah sebuah pemberian, maka setiap momen kehidupan, setiap tarikan napas, setiap nikmat yang kita rasakan adalah hadiah yang patut disyukuri. Memahami hudus mengubah cara kita memandang dunia; dari sesuatu yang "memang seharusnya ada" menjadi sebuah keajaiban yang dihadirkan dari ketiadaan oleh kehendak dan kemurahan Sang Pencipta.
Ketiga, memperkuat ketergantungan kepada Tuhan (tawakkal). Sebagai makhluk yang hadits, kita secara inheren lemah dan terbatas. Kita tidak bisa mengandalkan diri sendiri sepenuhnya. Kesadaran akan ketergantungan fundamental kita kepada Sang Qadim, yang Maha Kuasa dan Maha Mandiri, akan mendorong kita untuk bersandar dan bertawakkal kepada-Nya dalam segala urusan. Kita menyadari bahwa sumber segala kekuatan dan solusi atas setiap masalah hanyalah Dia yang eksistensi-Nya tidak bergantung pada apapun.
Keempat, memberikan makna dan tujuan. Jika alam semesta ini diciptakan (muhdats) oleh Pencipta yang Maha Bijaksana, maka penciptaan ini tidak mungkin sia-sia. Pasti ada tujuan dan hikmah di baliknya. Konsep hudus membuka pintu untuk merenungkan tujuan hidup kita sebagai bagian dari skema penciptaan yang agung, mendorong kita untuk mencari ridha Sang Muhdits yang telah menganugerahkan kita karunia keberadaan.
Kesimpulan
Jawaban atas pertanyaan "hudus artinya apa?" jauh lebih luas dari sekadar definisi kamus "baru" atau "memiliki permulaan". Hudus adalah sebuah konsep kunci yang membuka pemahaman kita tentang realitas dari perspektif teologi Islam. Ia adalah sifat yang melekat pada seluruh alam semesta, menjadi penanda keterciptaannya dan ketergantungannya pada Sang Pencipta. Melalui pemahaman tentang hudus dan lawannya, qidam, para teolog membangun sebuah argumen rasional yang kokoh (Dalil Hudutsul 'Alam) untuk membuktikan eksistensi Tuhan yang Qadim, Esa, dan Berbeda dari makhluk-Nya.
Di era modern, temuan-temuan sains seperti teori Big Bang justru semakin memperkuat relevansi argumen ini. Namun, yang lebih penting, internalisasi makna hudus dapat mengubah seorang mukmin dari sekadar percaya menjadi yakin, dari sekadar tahu menjadi sadar. Kesadaran akan status kita sebagai makhluk yang hadits di hadapan Pencipta yang Qadim adalah inti dari spiritualitas Islam, yang melahirkan sikap rendah hati, syukur, tawakkal, dan pencarian makna hidup yang sejati.