Membedah Hukum Pacaran dalam Timbangan Syariat Islam
Pendahuluan: Sebuah Fenomena yang Meresap dalam Kultur
Istilah "pacaran" telah menjadi bagian tak terpisahkan dari leksikon sosial modern, khususnya di kalangan remaja dan dewasa muda. Ia merujuk pada sebuah jalinan hubungan romantis antara seorang laki-laki dan perempuan yang belum terikat dalam ikatan pernikahan. Aktivitas di dalamnya sangat beragam, mulai dari komunikasi intens, pertemuan rutin, saling memberi hadiah, hingga sentuhan fisik yang lebih intim. Fenomena ini begitu lumrah sehingga seringkali dianggap sebagai fase wajar dalam pencarian pasangan hidup. Namun, sebagai seorang Muslim yang menjadikan syariat sebagai pedoman utama, pertanyaan fundamental yang harus diajukan adalah: "Bagaimana Islam memandang praktik ini? Apa sesungguhnya hukumnya pacaran?"
Menjawab pertanyaan ini bukanlah sekadar memberikan label "halal" atau "haram" secara singkat. Hal ini menuntut sebuah pemahaman yang mendalam terhadap prinsip-prinsip dasar Islam dalam mengatur interaksi antara lawan jenis. Islam adalah agama yang paripurna (kamil), yang tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual (mahdhah), tetapi juga seluruh aspek kehidupan, termasuk cara kita menjalin hubungan sosial. Tujuannya satu: menjaga kemuliaan manusia, melindungi kehormatan, dan menutup segala pintu yang dapat menjerumuskan kepada kerusakan dan kemaksiatan. Oleh karena itu, untuk memahami hukum pacaran, kita harus terlebih dahulu menyelami kerangka aturan yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan.
Prinsip Dasar Interaksi Lawan Jenis dalam Islam
Sebelum kita menimbang praktik pacaran secara spesifik, penting untuk memahami batasan-batasan (hudud) yang telah digariskan oleh syariat. Batasan ini bukanlah untuk mengekang, melainkan untuk melindungi dan memuliakan, baik laki-laki maupun perempuan.
1. Perintah Menundukkan Pandangan (Ghadul Bashar)
Pintu pertama menuju ketertarikan yang bisa berujung pada penyimpangan adalah pandangan mata. Mata diibaratkan sebagai panah beracun dari iblis. Karenanya, Allah memerintahkan kaum beriman, laki-laki dan perempuan, untuk menjaga pandangan mereka dari hal-hal yang tidak halal untuk dilihat. Perintah ini tertuang dengan sangat jelas dalam Al-Qur'an.
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.'" (QS. An-Nur: 30)
Perintah serupa juga ditujukan kepada kaum perempuan di ayat berikutnya (QS. An-Nur: 31). Menundukkan pandangan bukan berarti berjalan sambil melihat ke tanah sepanjang waktu. Ia berarti mengalihkan pandangan dari melihat lawan jenis dengan syahwat, tidak memelototi, dan tidak menikmati keindahan fisik yang bukan haknya. Prinsip ini adalah benteng pertahanan pertama. Pacaran, pada esensinya, justru mendorong seseorang untuk saling memandang, mengagumi, dan menikmati penampilan fisik pasangannya, yang secara langsung bertentangan dengan perintah fundamental ini.
2. Larangan Berduaan (Khalwat)
Prinsip krusial kedua adalah larangan berkhalwat, yaitu berduaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram di tempat yang sepi atau tersembunyi dari pandangan orang lain. Larangan ini sangat tegas karena situasi seperti ini membuka peluang besar bagi setan untuk membisikkan godaan dan menjerumuskan keduanya ke dalam perbuatan dosa. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan, melainkan yang ketiganya adalah setan." (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Hadits ini sangat gamblang. Kehadiran "pihak ketiga", yaitu setan, bukanlah kiasan semata. Setan akan aktif menghiasi perbuatan maksiat, membuatnya tampak indah, dan mendorong keduanya untuk melanggar batas-batas Allah. Aktivitas "berduaan" di kafe, bioskop, taman, atau bahkan di dalam mobil adalah inti dari banyak praktik pacaran modern. Ini adalah pelanggaran langsung terhadap larangan khalwat.
3. Larangan Ikhtilat dan Sentuhan Fisik
Ikhtilat adalah bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dalam suatu tempat tanpa adanya batasan yang syar'i. Meskipun ada beberapa interaksi yang diperbolehkan karena kebutuhan (seperti dalam pendidikan, pekerjaan, atau muamalah jual-beli), interaksi tersebut harus tetap menjaga adab: menjaga pandangan, berbicara seperlunya dan dengan cara yang sopan, serta tidak menunjukkan gerak-gerik yang menggoda.
Lebih jauh lagi, Islam secara tegas melarang segala bentuk sentuhan fisik antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Berpegangan tangan, berpelukan, atau lebih dari itu adalah hal yang diharamkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan peringatan yang sangat keras mengenai hal ini:
"Sungguh, jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya." (HR. Thabrani)
Ancaman yang begitu keras ini menunjukkan betapa besarnya dosa menyentuh non-mahram. Padahal, sentuhan fisik seringkali dianggap sebagai "bumbu" dan ekspresi kasih sayang dalam pacaran. Dari sini, kita bisa melihat jurang pemisah yang sangat lebar antara prinsip Islam dan praktik pacaran.
Dalil Utama Mengenai Larangan Mendekati Zina
Dalil yang menjadi landasan paling kokoh dalam menghukumi pacaran adalah firman Allah Ta'ala yang melarang kita untuk mendekati perbuatan zina. Ini adalah sebuah kaidah pencegahan (saddu adz-dzari'ah) yang luar biasa. Allah tidak hanya melarang zinanya, tetapi juga semua jalan, sarana, dan perantara yang dapat mengantarkan kepada perbuatan keji tersebut.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra': 32)
Kata kunci dalam ayat ini adalah "وَلَا تَقْرَبُوا" (walaa taqrabuu) yang berarti "janganlah kamu mendekati". Ini adalah bentuk larangan yang lebih kuat daripada sekadar "janganlah kamu berzina". Artinya, segala gerbang, lorong, dan aktivitas yang menjadi pengantar menuju zina hukumnya juga haram.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "mendekati zina" adalah melakukan hal-hal yang menjadi pemicunya. Mari kita analisis aktivitas pacaran dan hubungannya dengan ayat ini:
- Pandangan Mata: Saling memandang dengan syahwat adalah zina mata.
- Percakapan Mesra: Berbicara dengan kata-kata rayuan dan romantis adalah zina lisan.
- Mendengarkan Rayuan: Mendengarkan kata-kata yang membangkitkan syahwat adalah zina telinga.
- Sentuhan Fisik: Berpegangan tangan atau lebih dari itu adalah zina tangan.
- Berjalan Menuju Tempat Janjian: Melangkahkan kaki untuk bertemu dalam rangka maksiat adalah zina kaki.
- Keinginan dan Angan-angan: Hati yang berangan-angan dan mendambakan perbuatan terlarang adalah zina hati.
Semua ini dijelaskan dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, dia pasti menemuinya. Zina kedua mata adalah melihat, zina lisan adalah berbicara, dan jiwa itu berkeinginan dan berangan-angan, lalu kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika kita merenungi hadits ini, kita akan menemukan bahwa pacaran adalah sebuah "paket lengkap" yang memfasilitasi hampir semua jenis "zina kecil" ini. Ia adalah sebuah proses yang secara sistematis dan bertahap membawa pelakunya dari satu pintu maksiat ke pintu maksiat berikutnya, yang puncaknya adalah perzinaan yang sesungguhnya (zina farj). Oleh karena itu, berdasarkan dalil ini saja, sudah sangat jelas bahwa pacaran dalam format yang kita kenal saat ini adalah haram karena ia adalah jalan paling mulus dan paling populer untuk "mendekati zina".
Menjawab Argumen dan Pembenaran Seputar Pacaran
Meskipun dalil-dalilnya sangat jelas, masih banyak yang mencoba mencari pembenaran atau membuat pengecualian. Mari kita bahas beberapa argumen yang paling sering dilontarkan.
Argumen 1: "Pacaran kami sehat dan Islami, hanya untuk saling mengenal."
Ini adalah argumen yang paling umum. Pelakunya mengklaim bahwa hubungan mereka "berbeda", "positif", dan "syar'i". Mereka mungkin tidak bertemu berduaan, hanya berkomunikasi lewat pesan, dan bahkan saling mengingatkan untuk shalat atau mengaji. Namun, argumen ini memiliki beberapa kelemahan fatal.
Pertama, esensi masalahnya bukan pada aktivitas "positif" yang dilakukan, melainkan pada status hubungan itu sendiri. Adanya ikatan emosional khusus, rasa memiliki, cemburu, dan kerinduan antara dua orang yang bukan mahram adalah sumber masalahnya. Hati menjadi tertambat pada selain Allah dan pada sesuatu yang belum halal baginya. Ini adalah pintu masuk bagi "zina hati", yaitu ketika hati mulai berangan-angan dan mendambakan pasangannya.
Kedua, ini adalah bentuk tipu daya setan yang sangat halus. Setan tidak langsung mengajak kepada perzinaan. Ia memulainya dengan langkah-langkah kecil yang dibungkus dengan kebaikan. Saling mengingatkan shalat bisa berlanjut menjadi obrolan pribadi, lalu curhat, lalu berlanjut pada panggilan video, hingga akhirnya timbul keinginan untuk bertemu. Ini adalah jebakan "langkah demi langkah" (khutuwat asy-syaitan) yang Allah telah peringatkan kita untuk tidak mengikutinya.
Ketiga, proses "saling mengenal" yang sejati dalam Islam memiliki jalur yang terhormat, yaitu Ta'aruf, yang akan kita bahas nanti. Pacaran, bahkan yang dilabeli "Islami", seringkali penuh dengan kepura-puraan (ja'im - jaga image), di mana masing-masing pihak hanya menunjukkan sisi terbaiknya, menyembunyikan sisi buruknya. Pengenalan yang terjadi seringkali dangkal dan bias oleh perasaan cinta yang membabi buta.
Argumen 2: "Tanpa pacaran, bagaimana bisa tahu cocok atau tidak? Nanti seperti membeli kucing dalam karung."
Analogi ini keliru dari dasarnya. Menikah bukanlah transaksi jual-beli. Pernikahan adalah ibadah, sebuah mitsaqan ghalizha (perjanjian yang agung). Islam memberikan metode yang jauh lebih efektif dan terhormat untuk mengetahui kecocokan.
Cara syar'i untuk "mengenal" calon pasangan adalah melalui proses pengumpulan informasi (tahqiq). Kita bisa bertanya kepada orang-orang yang paling mengenalnya: keluarganya, sahabat dekatnya, gurunya, atau rekan kerjanya. Informasi dari sumber-sumber objektif ini seringkali jauh lebih akurat daripada penilaian kita sendiri yang sudah dibutakan oleh cinta saat pacaran. Kita bisa bertanya tentang agamanya, akhlaknya, bagaimana ia bermuamalah dengan orang tuanya, bagaimana manajemen emosinya, dan visi hidupnya.
Selain itu, Islam mensyariatkan proses nadzar, yaitu melihat calon pasangan dengan didampingi mahram. Tujuannya adalah untuk menimbulkan kemantapan hati. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Mughirah bin Syu’bah yang ingin meminang seorang wanita: “Lihatlah dia, karena itu lebih dapat menimbulkan kasih sayang di antara kalian berdua.” (HR. Tirmidzi). Nadzar bukanlah ajang untuk memelototi, melainkan untuk melihat secara wajar demi sebuah keputusan besar. Proses ini, ditambah dengan shalat Istikharah untuk memohon petunjuk Allah, adalah metode "due diligence" yang jauh lebih unggul dan diberkahi.
Argumen 3: "Niat kami baik, tulus untuk menikah."
Dalam kaidah fiqh Islam, "Al-ghayah la tubarrir al-wasilah" (Tujuan tidak menghalalkan cara). Sebuah niat yang baik dan mulia, yaitu pernikahan, harus dicapai melalui cara-cara yang baik dan diridhai oleh Allah. Tidak bisa sebuah tujuan yang suci ditempuh melalui jalan yang haram dan penuh maksiat.
Ibaratnya, seseorang yang ingin membangun masjid (tujuan mulia) tidak boleh melakukannya dengan uang hasil merampok (cara haram). Demikian pula, membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah tidak bisa dimulai dengan menabrak rambu-rambu syariat. Keberkahan (barakah) sebuah pernikahan seringkali berbanding lurus dengan sejauh mana proses menuju pernikahan itu menjaga kesucian dan ketaatan kepada Allah. Memulai dengan pacaran berarti memulai dengan ketidaktaatan, yang berisiko menghilangkan keberkahan dari pernikahan itu sendiri.
Dampak Negatif Pacaran dari Berbagai Sisi
Larangan Islam terhadap pacaran bukan tanpa alasan. Praktik ini membawa banyak sekali dampak negatif (madharat), baik dari sisi spiritual, psikologis, maupun sosial.
1. Kerusakan Spiritual
- Melemahkan Iman: Terus-menerus melakukan hal yang dilarang akan mengikis keimanan secara perlahan. Hati menjadi keras dan sulit menerima nasihat.
- Melalaikan Ibadah: Waktu, pikiran, dan energi tersedot untuk memikirkan pacar. Shalat menjadi tidak khusyuk, tilawah Al-Qur'an terabaikan, dan kewajiban lainnya seringkali dinomorduakan.
- Hilangnya Rasa Malu (Haya'): Rasa malu adalah cabang keimanan. Pacaran secara bertahap akan mengikis rasa malu, membuat perbuatan yang tadinya dianggap tabu menjadi biasa.
- Kehilangan Keberkahan: Melakukan sesuatu yang dimurkai Allah akan mencabut keberkahan dari hidup, waktu, dan rezeki seseorang.
2. Kerusakan Psikologis dan Emosional
- Penyakit Hati: Pacaran adalah ladang subur bagi penyakit hati seperti cemburu buta, was-was, curiga berlebihan, dan ketergantungan emosional yang tidak sehat.
- Sakit Hati dan Trauma: Mayoritas hubungan pacaran berakhir dengan perpisahan. Rasa sakit hati, kecewa, dan trauma akibat putus cinta bisa sangat mendalam dan memengaruhi kesehatan mental serta pandangan terhadap pernikahan di masa depan.
- Hilangnya Kehormatan Diri: Terutama bagi perempuan, menyerahkan hati dan bahkan fisik kepada seseorang yang belum halal adalah sebuah bentuk penurunan harga diri. Jika hubungan berakhir, ia akan menanggung beban emosional yang lebih berat.
- Menurunkan Standar: Ketika sudah terlanjur "cinta", seseorang seringkali menurunkan standarnya dan memaklumi kekurangan fatal pada pasangannya (misalnya, tidak shalat atau akhlak buruk) dengan harapan ia akan berubah. Harapan kosong ini sering berujung pada kekecewaan besar.
3. Kerusakan Sosial
- Menimbulkan Fitnah: Hubungan pacaran sering menjadi bahan gunjingan (ghibah) dan prasangka buruk (su'udzon) di tengah masyarakat.
- Merusak Hubungan Keluarga: Banyak kasus pacaran yang dilakukan sembunyi-sembunyi (backstreet) dari orang tua. Ini adalah bentuk kebohongan dan pengkhianatan terhadap kepercayaan orang tua.
- Risiko Kehamilan di Luar Nikah: Ini adalah dampak terburuk yang bisa terjadi, yang akan menghancurkan masa depan kedua belah pihak dan keluarga mereka, serta melahirkan anak dengan status yang problematis secara syar'i dan sosial.
Solusi Islam: Jalan Terhormat Menuju Pernikahan Barakah
Islam tidak hanya melarang, tetapi juga memberikan solusi yang indah, terhormat, dan penuh keberkahan. Jalan ini menjaga kemuliaan laki-laki dan perempuan, melibatkan keluarga, serta menempatkan keridhaan Allah sebagai prioritas utama. Proses ini dikenal dengan istilah Ta'aruf.
Tahapan 1: Ta'aruf (Proses Perkenalan)
Ta'aruf secara harfiah berarti "saling mengenal". Namun, ta'aruf dalam konteks pernikahan sangat berbeda dengan pacaran. Berikut adalah ciri-ciri utamanya:
- Niat yang Lurus: Ta'aruf dimulai dengan niat yang jelas sejak awal, yaitu untuk menikah dalam waktu dekat, bukan untuk coba-coba atau main-main.
- Adanya Perantara (Mediator): Proses ini idealnya melibatkan pihak ketiga yang dipercaya, seperti orang tua, guru ngaji, atau sahabat yang shalih/shalihah. Perantara ini berfungsi untuk menjembatani komunikasi awal dan menjaga agar proses berjalan sesuai koridor syar'i.
- Tidak Ada Khalwat: Semua interaksi, baik pertemuan maupun komunikasi, harus bebas dari khalwat. Jika ada pertemuan, wajib didampingi oleh mahram dari pihak perempuan.
- Fokus pada Substansi: Pembicaraan dalam ta'aruf tidak berpusat pada rayuan gombal, melainkan pada hal-hal esensial yang akan menjadi fondasi rumah tangga. Contohnya: pemahaman agama, visi dan misi pernikahan, rencana keuangan, pandangan tentang pendidikan anak, kondisi kesehatan, dan kesiapan menanggung hak serta kewajiban sebagai suami/istri.
- Waktu yang Terbatas: Ta'aruf tidak dilakukan berlarut-larut. Ia memiliki jangka waktu yang jelas. Jika setelah bertukar informasi dan melakukan nadzar dirasa ada kecocokan, proses dilanjutkan ke jenjang berikutnya. Jika tidak, proses dihentikan dengan baik-baik tanpa ada hati yang tersakiti atau dendam.
Tahapan 2: Nadzar (Melihat Calon Pasangan)
Setelah proses tukar informasi (biodata/CV ta'aruf) dan komunikasi yang dimediasi, jika ada ketertarikan, dilanjutkan dengan proses nadzar. Pihak laki-laki datang untuk melihat calonnya secara langsung. Proses ini harus didampingi mahram dan tujuannya adalah untuk memantapkan hati, bukan untuk pacaran terselubung.
Tahapan 3: Khitbah (Peminangan/Lamaran)
Jika kedua belah pihak merasa mantap dan setuju, pihak keluarga laki-laki akan datang secara resmi untuk meminang (melamar) pihak perempuan. Khitbah adalah ikatan janji untuk menikah. Penting untuk dicatat, status setelah khitbah masih tetap non-mahram. Mereka belum halal. Batasan-batasan syariat seperti larangan khalwat dan sentuhan fisik masih berlaku sepenuhnya. Khitbah hanya berfungsi sebagai "tanda" bahwa perempuan tersebut sudah dipinang dan tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain.
Tahapan 4: Akad Nikah
Ini adalah puncak dari segala proses. Dengan dilangsungkannya akad nikah yang sah, maka hubungan keduanya menjadi halal. Semua yang tadinya haram (saling memandang, bersentuhan, berduaan) menjadi halal dan bahkan bernilai ibadah. Inilah gerbang menuju cinta dan kasih sayang yang diridhai dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kesimpulan: Memilih Jalan Ketaatan
Berdasarkan paparan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta analisis terhadap praktik pacaran itu sendiri, dapat disimpulkan dengan sangat tegas bahwa pacaran dalam format yang umum dikenal di masyarakat hukumnya adalah haram. Hal ini dikarenakan pacaran merupakan pintu gerbang terbesar menuju perbuatan zina, serta mencakup berbagai larangan syariat seperti khalwat, ikhtilat yang tidak syar'i, pandangan yang tidak terjaga, dan sentuhan fisik dengan non-mahram.
Islam tidak sedang memberangus fitrah cinta dalam diri manusia. Sebaliknya, Islam sangat memuliakan cinta dan meletakkannya pada wadah yang paling terhormat, yaitu pernikahan. Syariat Islam memberikan panduan yang lengkap, mulai dari proses ta'aruf hingga akad nikah, untuk memastikan bahwa jalinan suci antara seorang laki-laki dan perempuan dimulai dengan ketaatan, dijaga dengan kesucian, dan dipenuhi dengan keberkahan dari Allah Ta'ala.
Memilih untuk tidak pacaran mungkin terasa berat di tengah arus budaya populer yang begitu deras. Namun, di situlah letak ujian keimanan. Meninggalkan sesuatu yang haram karena takut kepada Allah akan digantikan dengan sesuatu yang jauh lebih baik. Percayalah pada janji Allah bahwa laki-laki yang baik adalah untuk perempuan yang baik, dan sebaliknya. Sibukkanlah diri dengan memperbaiki kualitas iman dan takwa, pantaskan diri menjadi hamba-Nya yang shalih/shalihah, dan serahkan urusan jodoh kepada-Nya. Niscaya, Allah akan datangkan pasangan terbaik, melalui cara terbaik, di waktu terbaik.