Refleksi dari Sosok Agung
Dalam hiruk pikuk kehidupan duniawi, kita sering kali mencari sandaran, validasi, dan pemenuhan kebutuhan emosional kita dari sesama manusia. Kita menaruh harapan besar pada teman, keluarga, pasangan, atau bahkan pemimpin, berharap mereka akan menjadi sumber kebahagiaan yang tidak pernah kering. Namun, sejarah dan ajaran para tokoh besar telah mengajarkan sebuah kebenaran yang pahit namun membebaskan: terlalu bergantung pada manusia adalah resep pasti menuju kekecewaan.
Salah satu suara paling bijaksana yang memperingatkan kita mengenai hal ini adalah Ali bin Abi Thalib, seorang sahabat terkemuka dan khalifah keempat umat Islam. Beliau dikenal dengan kearifannya yang mendalam, dan nasihatnya mengenai sifat manusia tetap relevan hingga kini. Inti dari kebijaksanaannya adalah pengakuan bahwa manusia, sekuat, secerdas, atau sebaik apa pun mereka, tetaplah makhluk yang terbatas dan fana.
Ilustrasi: Batasan dukungan insani.
Sifat Dasar Harapan yang Difokuskan
Ali bin Abi Thalib menekankan bahwa hati yang terlalu berharap pada ciptaan pasti akan terluka. Mengapa demikian? Karena manusia memiliki sifat lupa, berubah, lelah, dan pasti akan mati. Ketika kita menggantungkan kebahagiaan sejati atau rasa aman kita pada sesuatu yang berubah-ubah (seperti kondisi emosi, kekayaan, atau kesetiaan orang lain), maka fondasi hidup kita menjadi rapuh.
Ini bukan berarti kita harus menjadi penyendiri atau tidak berinteraksi sosial. Islam mengajarkan kita untuk bersilaturahmi, berbuat baik, dan menerima kebaikan. Namun, ada perbedaan krusial antara berinteraksi secara sehat dengan menempatkan harapan tertinggi dan bersandar sepenuhnya.
Ketika kita menempatkan harapan utama pada Allah (Tuhan Yang Maha Kekal), bantuan dari sesama manusia akan terasa seperti bonus yang menyenangkan, bukan kebutuhan mutlak yang jika tidak terpenuhi akan menghancurkan hari kita. Jika seseorang mengecewakan kita, kita tidak merasa hancur lebur, karena sumber kekuatan utama kita tidak pernah berubah atau mengecewakan.
Menyeimbangkan Ketergantungan
Filosofi ini mendorong kita untuk mengembangkan ketahanan diri. Ketika kita belajar untuk tidak terlalu berharap pada reaksi orang lain terhadap perbuatan baik kita, kita menjadi lebih tulus dalam beramal. Kita beramal karena itu adalah perintah atau kebenaran, bukan karena mengharapkan pujian atau balasan yang pasti dari manusia.
Manusia bisa gagal memenuhi ekspektasi kita karena mereka sendiri sedang berjuang dengan kelemahan dan keterbatasan mereka. Dengan menyadari hal ini, kita dapat mengurangi beban ekspektasi yang tidak realistis pada mereka, sekaligus menjaga hati kita dari sakit hati yang berulang. Fokus utama harus dialihkan dari validasi eksternal menuju integritas internal dan hubungan vertikal dengan Sang Pencipta.
Kesimpulan yang dapat diambil dari hikmah ini adalah: Bergaullah dengan manusia seolah-olah mereka adalah bagian dari rencana besar Tuhan, layani mereka dengan sebaik mungkin, namun tempatkan jangkar harapanmu pada sesuatu yang abadi dan tidak pernah berubah. Hanya dengan begitu, jiwa akan menemukan kedamaian sejati di tengah ketidakpastian dunia.