Makrifatullah: Puncak Perjalanan Mengenal Allah

Simbol Cahaya Ilahi di Tengah Hati Makrifatullah Simbol cahaya ilahi di tengah hati, representasi Makrifatullah.

Pendahuluan: Sebuah Panggilan untuk Mengenal

Di dalam sanubari setiap insan, tersembunyi sebuah kerinduan purba, sebuah pertanyaan esensial yang tak lekang oleh waktu: Siapakah aku? Dari mana aku berasal? Dan ke mana tujuanku? Pertanyaan-pertanyaan ini, pada hakikatnya, adalah gema dari sebuah panggilan yang lebih agung, yaitu panggilan untuk mengenal Sang Pencipta. Dalam khazanah spiritual Islam, perjalanan untuk menjawab panggilan ini dikenal dengan istilah yang sarat makna: Makrifatullah.

Makrifatullah bukanlah sekadar pengetahuan intelektual atau kumpulan informasi teologis. Ia jauh melampaui itu. Ia adalah pengetahuan yang meresap ke dalam jiwa, sebuah pengenalan yang lahir dari hati yang bening, yang disinari oleh cahaya ilahi. Ia adalah pengalaman langsung akan kebesaran, keindahan, dan kedekatan Allah SWT. Jika ilmu adalah mengetahui tentang api dari deskripsi buku, maka makrifat adalah merasakan kehangatan api itu sendiri. Ia adalah transformasi dari "mengetahui tentang" menjadi "mengenal secara hakiki".

Perjalanan menuju makrifat adalah esensi dari tujuan penciptaan manusia itu sendiri. Allah SWT berfirman dalam sebuah Hadis Qudsi yang masyhur, "Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku suka untuk dikenal, lalu Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku." Ayat ini secara gamblang menunjukkan bahwa eksistensi kita di alam semesta ini adalah sebuah panggung di mana kita diberi kesempatan untuk menjadi saksi dan pengenal (al-'arif) akan kemahakuasaan-Nya. Dengan demikian, makrifatullah bukanlah pilihan, melainkan tujuan tertinggi dan kebahagiaan sejati bagi seorang hamba. Artikel ini akan menjadi sebuah upaya untuk menjelajahi samudera makrifat yang tak bertepi, menyelami konsep-konsep dasarnya, menapaki jalan-jalannya, mengenali buah-buah manisnya, serta mewaspadai rintangan yang menghadang.

Memahami Konsep Dasar Makrifatullah

Definisi dan Hakikat Makrifat

Secara etimologis, kata "makrifat" (ma'rifah) berasal dari bahasa Arab, dari akar kata 'arafa-ya'rifu-'irfan, yang berarti mengetahui atau mengenal. Namun, dalam terminologi tasawuf, maknanya jauh lebih dalam daripada sekadar "ilmu" (pengetahuan). Imam Al-Ghazali membedakan keduanya dengan sangat jelas. Ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan panca indera, bersifat konseptual dan dapat dijelaskan dengan kata-kata. Sementara makrifat adalah pengetahuan yang dianugerahkan Allah langsung ke dalam hati seorang hamba (al-qalb), bersifat intuitif, dan melampaui batas-batas rasionalitas dan bahasa. Ia adalah sebuah "rasa" (dzauq) spiritual yang tidak bisa sepenuhnya diungkapkan, hanya bisa dialami.

Hakikat makrifat adalah tersingkapnya tabir (hijab) yang memisahkan hamba dengan Tuhannya. Hati manusia ibarat cermin. Dalam keadaan fitrah, ia bersih dan mampu memantulkan cahaya kebenaran. Namun, dosa, kelalaian, dan keterikatan pada dunia membuatnya kotor dan berkarat. Perjalanan menuju makrifat adalah proses membersihkan dan mengilapkan cermin hati ini (tazkiyatun nafs) sehingga ia siap menerima pancaran cahaya ilahi (nur). Ketika cahaya itu masuk, sang hamba tidak lagi melihat alam semesta sebagai entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebagai manifestasi (tajalli) dari Asma dan Sifat Allah. Ia melihat jejak Sang Pelukis dalam setiap lukisan, mendengar melodi Sang Komposer dalam setiap simfoni alam.

Perbedaan antara Ilmu dan Makrifat

Untuk memahami makrifat lebih dalam, penting untuk menegaskan perbedaannya dengan ilmu. Keduanya penting, namun berada pada level yang berbeda.

Sederhananya, seorang ahli geologi memiliki ilmu tentang gunung, komposisi batunya, dan proses terbentuknya. Namun, seorang 'arif (orang yang memiliki makrifat) ketika memandang gunung yang sama, ia menyaksikan keagungan (Al-'Azim), kekokohan (Al-Matin), dan keindahan (Al-Jamil) Sang Pencipta. Ilmunya telah bertransformasi menjadi makrifat.

Landasan dalam Al-Qur'an dan Sunnah

Konsep makrifat bukanlah sebuah inovasi, melainkan berakar kuat pada sumber utama ajaran Islam. Al-Qur'an dan Sunnah penuh dengan isyarat yang mengajak manusia untuk menempuh jalan ini.

"Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?" (QS. Adz-Dhariyat: 20-21)

Ayat ini adalah undangan terbuka untuk melakukan tafakur, baik ke alam semesta (makrokosmos) maupun ke dalam diri sendiri (mikrokosmos), sebagai sarana untuk mengenal Sang Pencipta. Perintah untuk "memperhatikan" bukan sekadar melihat dengan mata fisik, tetapi merenung dengan mata hati (bashirah).

Demikian pula dalam firman-Nya yang lain:

"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah..." (QS. Muhammad: 19)

Kata "Fa'lam" (Maka ketahuilah) di sini bukanlah sekadar perintah untuk mengetahui secara hafalan, melainkan sebuah dorongan untuk merealisasikan pengetahuan tauhid ini ke dalam seluruh relung jiwa, yang merupakan inti dari makrifatullah. Dalam banyak hadis, Rasulullah SAW juga mengajarkan doa-doa yang mencerminkan kerinduan mendalam untuk mengenal Allah. Salah satu doa beliau yang terkenal adalah, "Ya Allah, perlihatkanlah kepadaku hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya." Ini adalah doa untuk memohon dibukakannya mata hati, agar dapat melihat realitas di balik penampakan lahiriah, yang tak lain adalah manifestasi dari kebenaran ilahi.

Tingkatan-Tingkatan dalam Perjalanan Makrifat

Perjalanan mengenal Allah bukanlah proses sekali jadi. Ia adalah pendakian spiritual yang memiliki tingkatan-tingkatan, sesuai dengan kesucian hati dan kesungguhan seorang hamba. Para ulama tasawuf sering membaginya menjadi beberapa tahapan, yang secara umum dapat diringkas menjadi tiga tingkatan utama.

1. Ma'rifah al-'Ammah (Pengenalan Umum)

Ini adalah tingkatan makrifat yang dimiliki oleh kaum beriman secara umum. Pengenalan ini didasarkan pada dalil-dalil rasional dan pengamatan terhadap ciptaan-Nya. Seseorang pada tingkatan ini mengenal Allah melalui آثار (jejak-jejak) dan أفْعال (perbuatan-perbuatan)-Nya di alam semesta. Ia melihat keteraturan galaksi, presisi perputaran bumi, kompleksitas sel, dan keajaiban kehidupan sebagai bukti tak terbantahkan akan adanya Sang Pencipta Yang Maha Cerdas dan Maha Kuasa.

Pengenalan ini penting dan merupakan fondasi awal. Namun, ia masih bersifat pengenalan dari luar. Ibaratnya, seseorang mengenal seorang seniman besar hanya melalui karya-karyanya yang dipajang di galeri. Ia mengagumi lukisannya, namun belum pernah bertemu, berbicara, atau mengenal pribadi sang seniman itu sendiri. Hati pada level ini mengakui keberadaan dan kekuasaan Allah, namun hubungannya masih bersifat transaksional dan formal, didasari oleh harapan akan surga dan ketakutan akan neraka.

2. Ma'rifah al-Khasṣah (Pengenalan Khusus)

Ini adalah tingkatan para khawwas (orang-orang khusus) yang telah melampaui sekadar melihat ciptaan. Mereka mulai mengenal Allah melalui Asma (Nama-Nama) dan Sifat-Sifat-Nya. Perjalanan mereka tidak lagi berhenti pada "apa yang Dia ciptakan", melainkan berlanjut pada "siapa Dia" melalui manifestasi sifat-Nya.

Ketika melihat hujan turun menyuburkan tanah yang gersang, hati mereka tidak hanya berkata, "Maha Besar Allah," tetapi mereka menyaksikan manifestasi dari sifat Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki) dan Ar-Rahman (Maha Pengasih). Ketika mereka diuji dengan kesulitan lalu diberi jalan keluar, mereka merasakan secara langsung sifat Al-Fattah (Maha Pembuka) dan Al-Latif (Maha Lembut). Seluruh alam semesta dan setiap peristiwa dalam hidupnya menjadi cermin yang memantulkan keindahan Asma'ul Husna.

Pada tingkatan ini, ibadah tidak lagi terasa sebagai kewajiban, melainkan sebagai kebutuhan dan kenikmatan. Hubungan dengan Allah menjadi lebih personal dan intim. Rasa cinta (mahabbah) mulai tumbuh subur, mengalahkan rasa takut dan harap. Mereka beribadah bukan lagi karena menginginkan surga atau takut neraka, melainkan karena kerinduan dan kecintaan kepada-Nya semata, sebagaimana ucapan Rabi'ah al-'Adawiyah yang terkenal.

3. Ma'rifah al-Akhasṣ al-Khasṣah (Pengenalan Paling Khusus)

Ini adalah puncak dari perjalanan makrifat, tingkatan para nabi, rasul, dan para wali Allah yang paling agung (awliya'). Di sini, pengenalan tidak lagi melalui ciptaan atau sifat, melainkan pengenalan akan Dzat Allah itu sendiri, sejauh yang dimungkinkan bagi seorang makhluk. Ini adalah level penyaksian (musyahadah) langsung dengan mata hati (bashirah).

Pada tahap ini, sang 'arif mengalami apa yang disebut fana' (lebur atau sirna). Kesadaran akan "ke-aku-an" dirinya lenyap, yang ada hanyalah kesadaran akan Allah. Ia merasa dirinya tidak memiliki eksistensi hakiki, karena satu-satunya wujud yang sejati adalah Allah. Ini bukan berarti penyatuan wujud (ittihad atau hulul), yang merupakan penyimpangan akidah, melainkan sirnanya kesadaran diri di hadapan keagungan-Nya. Bagaikan setetes air yang jatuh ke samudra, ia tidak hilang, tetapi identitasnya sebagai "tetesan" menjadi tidak relevan lagi di dalam kebesaran samudra.

Setelah fana', ia akan dianugerahi kondisi baqa' (kekal), di mana ia kembali kepada kesadaran normal, namun kini ia hidup, melihat, mendengar, dan bertindak bersama Allah. Setiap gerak-geriknya selaras dengan kehendak-Nya. Ia menjadi manifestasi dari akhlak ilahi di muka bumi, menebarkan rahmat dan kebijaksanaan. Ini adalah tingkatan yang dijelaskan dalam Hadis Qudsi, "...Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan..."

Jalan dan Sarana Menuju Makrifatullah

Makrifatullah adalah anugerah murni dari Allah, namun ia tidak turun begitu saja. Ada jalan (thariqah) yang harus ditempuh dan usaha (mujahadah) yang harus dilakukan oleh seorang hamba untuk mempersiapkan dirinya menerima anugerah agung tersebut. Hati adalah wadahnya, dan wadah ini harus dibersihkan dan disiapkan terlebih dahulu.

1. Taubat Nasuha dan Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa)

Langkah pertama dan paling fundamental adalah taubat, yaitu kembali kepada Allah dengan penyesalan yang tulus atas segala dosa dan kelalaian. Taubat adalah proses membersihkan lapisan-lapisan karat dosa yang menutupi cermin hati. Tanpa taubat yang sungguh-sungguh, perjalanan spiritual tidak akan pernah bisa dimulai.

Setelah taubat, proses dilanjutkan dengan Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa). Ini adalah peperangan seumur hidup melawan hawa nafsu (jihad al-nafs) dan penyakit-penyakit hati. Seorang salik (penempuh jalan spiritual) harus berusaha keras untuk mencabut sifat-sifat tercela (madzmumah) dari dalam dirinya, seperti:

Sebagai gantinya, ia harus menghiasi hatinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah) seperti ikhlas, tawadhu', sabar, syukur, zuhud, dan tawakal. Proses ini ibarat mengosongkan gelas yang kotor sebelum mengisinya dengan air yang jernih.

2. Ibadah yang Khusyuk dan Konsisten

Ibadah-ibadah fardhu adalah tiang utama dalam perjalanan ini. Shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, dan haji adalah sarana yang ditetapkan Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Namun, yang terpenting bukan hanya pelaksanaan ritualnya, melainkan ruh dan kekhusyukan di dalamnya.

Shalat, misalnya, adalah mi'raj seorang mukmin. Ia adalah momen dialog langsung dengan Allah. Shalat yang khusyuk akan mampu mencegah perbuatan keji dan munkar karena ia menumbuhkan perasaan muraqabah (merasa diawasi Allah). Demikian pula dengan puasa, yang bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi melatih pengendalian diri dan menundukkan syahwat, yang merupakan salah satu syarat utama untuk menjernihkan hati.

Selain ibadah fardhu, memperbanyak ibadah sunnah (nawafil) adalah cara untuk meraih cinta Allah, sebagaimana disebutkan dalam Hadis Qudsi. Shalat tahajud di keheningan malam, puasa Senin-Kamis, sedekah, dan amalan sunnah lainnya adalah investasi spiritual yang akan mempercepat pendakian menuju makrifat.

3. Zikir (Mengingat) dan Tafakur (Merenung)

Jika penyucian jiwa adalah membersihkan cermin hati, maka zikir adalah proses mengilapkannya. Zikir adalah mengingat Allah secara terus-menerus, baik dengan lisan (dzikr al-lisan) maupun dengan hati (dzikr al-qalbi). Dengan memperbanyak ucapan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan istighfar, hati akan menjadi lembut, tenang, dan hidup dengan cahaya ilahi. Puncak dari zikir adalah ketika hati senantiasa terhubung dengan Allah dalam setiap keadaan, baik saat berdiri, duduk, maupun berbaring.

"...Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28)

Sementara zikir adalah tentang fokus pada Sang Pencipta, tafakur adalah merenungkan ciptaan-Nya. Seorang salik meluangkan waktu untuk merenungi keagungan langit dan bumi, keajaiban pergantian siang dan malam, detail-detail rumit dalam tubuhnya sendiri, serta hikmah di balik setiap ayat Al-Qur'an. Tafakur yang mendalam akan melahirkan keyakinan yang kokoh dan kekaguman yang tak terhingga, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas makrifat kepada Allah. Satu jam tafakur yang berkualitas seringkali dinilai lebih utama daripada ibadah ritual semalam suntuk yang tanpa perenungan.

4. Mencari Guru Pembimbing (Mursyid)

Jalan menuju makrifat adalah jalan yang terjal, penuh liku, dan banyak jebakan tersembunyi dari nafsu dan setan. Oleh karena itu, para ulama tasawuf menekankan pentingnya memiliki seorang guru pembimbing (mursyid atau syaikh) yang telah menempuh jalan tersebut dan mencapai tujuannya. Guru ini berfungsi sebagai dokter spiritual yang dapat mendiagnosis penyakit-penyakit hati muridnya, memberikan resep amalan yang sesuai, dan membimbingnya melewati setiap rintangan.

Seorang mursyid yang sejati adalah pewaris para nabi, yang sanad keilmuan dan spiritualnya bersambung hingga Rasulullah SAW. Ia tidak mengajak kepada dirinya, melainkan menuntun muridnya untuk sampai kepada Allah. Tanpa bimbingan seorang ahli, seorang penempuh jalan spiritual rentan tersesat, terjebak dalam kesombongan spiritual (merasa sudah mencapai tingkatan tinggi), atau salah menafsirkan pengalaman-pengalaman rohani yang dialaminya.

Buah dan Tanda-Tanda Makrifatullah

Seseorang yang telah dianugerahi makrifatullah, meskipun dalam tingkatan yang paling awal sekalipun, akan menunjukkan perubahan signifikan dalam dirinya. Pengetahuannya tentang Allah akan termanifestasi dalam sikap, perilaku, dan cara pandangnya terhadap kehidupan. Berikut adalah beberapa buah dan tanda dari makrifat.

1. Ketenangan Jiwa yang Hakiki (Sakinah)

Buah pertama dan yang paling terasa adalah ketenangan jiwa. Hatinya tidak lagi mudah gelisah oleh urusan dunia. Kehilangan harta, jabatan, atau pujian manusia tidak membuatnya hancur. Mendapatkan semua itu pun tidak membuatnya lalai. Ia telah menemukan sumber kebahagiaan yang abadi, yaitu kedekatan dengan Allah. Hatinya telah menjadi seperti samudra yang dalam; riak-riak di permukaan tidak akan mengganggu ketenangan di kedalamannya. Ia merasakan kebenaran firman Allah, "Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."

2. Cinta yang Mendalam kepada Allah (Mahabbatullah)

Pengenalan akan melahirkan cinta. Semakin seseorang mengenal keindahan, kebaikan, dan kemurahan Allah, semakin meluap-luap pula cintanya kepada-Nya. Cinta ini menjadi motor penggerak utama dalam hidupnya. Ia beribadah karena cinta, ia meninggalkan maksiat karena cinta, dan ia berbuat baik kepada sesama makhluk sebagai wujud cintanya kepada Sang Khaliq. Kerinduan untuk bertemu dengan-Nya (liqa'ullah) menjadi cita-cita tertingginya.

3. Keseimbangan Antara Takut (Khauf) dan Harap (Raja')

Seorang 'arif tidak akan pernah merasa aman dari murka Allah, sekaligus tidak akan pernah putus asa dari rahmat-Nya. Pengenalannya akan sifat keagungan (Jalal) Allah menumbuhkan rasa takut (khauf) yang membuatnya senantiasa waspada dan menjauhi larangan-Nya. Di sisi lain, pengenalannya akan sifat keindahan (Jamal) dan kasih sayang Allah menumbuhkan harapan (raja') yang membuatnya selalu optimis dan berprasangka baik kepada Tuhannya. Ia terbang menuju Allah dengan dua sayap yang seimbang: khauf dan raja'.

4. Akhlak yang Mulia (Akhlaqul Karimah)

Makrifat yang sejati pasti tercermin dalam akhlak sehari-hari. Ia akan menjadi pribadi yang rendah hati, karena sadar akan kehinaan dirinya di hadapan Allah. Ia akan menjadi pemaaf, karena meneladani sifat Allah Al-Ghafur. Ia akan menjadi dermawan, karena meneladani sifat Allah Al-Karim. Ia akan sabar dalam menghadapi ujian, karena yakin semua datang dari Allah yang Maha Bijaksana (Al-Hakim). Akhlaknya adalah cerminan dari Asma'ul Husna yang telah meresap dalam jiwanya.

5. Memandang dengan Mata Hati (Bashirah)

Orang yang memiliki makrifat tidak lagi tertipu oleh penampilan lahiriah dunia. Mata hatinya (bashirah) telah terbuka. Ia mampu melihat hikmah di balik setiap musibah dan pelajaran di balik setiap peristiwa. Baginya, tidak ada yang namanya kebetulan. Semua adalah bagian dari skenario agung Allah yang penuh kebijaksanaan. Ia melihat tangan Allah bekerja di setiap detail kehidupan, sehingga hatinya senantiasa rida (ridha) dengan segala ketetapan-Nya.

Tantangan dan Hambatan di Jalan Makrifat

Jalan menuju puncak spiritual ini bukanlah jalan yang mulus dan bebas hambatan. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi oleh seorang salik. Mengenali rintangan-rintangan ini adalah separuh dari kemenangan.

1. Tipu Daya Dunia dan Hawa Nafsu

Dunia dengan segala perhiasannya (harta, takhta, wanita/pria) adalah ujian terbesar. Keterikatan hati pada dunia akan membuat hati menjadi gelap dan berat untuk melangkah menuju Allah. Demikian pula dengan hawa nafsu (nafs al-ammarah bi al-su'), yaitu dorongan dalam diri yang selalu mengajak kepada keburukan. Ia adalah musuh paling berbahaya karena berada di dalam diri kita sendiri. Menundukkan hawa nafsu memerlukan perjuangan (mujahadah) yang tiada henti.

2. Bisikan dan Jebakan Setan

Setan adalah musuh yang nyata. Ia akan senantiasa berusaha menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ketika seseorang mulai menapaki jalan spiritual, godaan setan akan semakin halus dan canggih. Ia tidak lagi menggoda dengan maksiat yang jelas, tetapi bisa melalui pintu ibadah itu sendiri. Setan akan membisikkan rasa 'ujub (bangga diri) atas amalan yang dilakukan, riya' (pamer) agar dipuji orang, atau bahkan menanamkan keraguan-keraguan filosofis untuk melemahkan iman.

3. Kesalahpahaman dan Sikap Ekstrem

Salah satu bahaya terbesar dalam perjalanan makrifat adalah jatuh ke dalam kesalahpahaman atau ekstremisme. Sebagian orang, karena merasakan pengalaman spiritual tertentu, merasa sudah tidak perlu lagi menjalankan syariat (hukum-hukum lahiriah seperti shalat dan puasa). Mereka beranggapan syariat hanya untuk orang awam, sementara mereka sudah sampai pada tingkat hakikat. Ini adalah kesesatan yang nyata. Imam Junaid Al-Baghdadi menegaskan, "Semua jalan tertutup bagi makhluk, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasulullah SAW." Makrifat yang benar justru akan membuat seseorang semakin patuh dan cinta kepada syariat.

Bahaya lainnya adalah klaim-klaim berlebihan seperti mengaku telah menyatu dengan Tuhan (ittihad/hulul) atau mengaku telah mencapai tingkatan kenabian. Ini biasanya terjadi karena ego yang belum sepenuhnya tunduk, yang kemudian membajak pengalaman spiritual untuk kepentingan diri sendiri. Di sinilah kembali peran penting seorang guru mursyid untuk meluruskan dan membimbing.

Kesimpulan: Sebuah Perjalanan Seumur Hidup

Makrifatullah adalah samudera yang tak bertepi, sebuah perjalanan penemuan yang paling agung dan memuaskan bagi jiwa manusia. Ia adalah inti dari keberagamaan, tujuan akhir dari segala ibadah, dan kunci menuju kebahagiaan abadi. Perjalanan ini dimulai dengan membersihkan hati, diisi dengan zikir dan tafakur, dilandasi oleh kepatuhan pada syariat, dan dipuncaki dengan anugerah cinta dan pengenalan langsung dari-Nya.

Mencapai puncak makrifat mungkin hanya dianugerahkan kepada segelintir hamba pilihan-Nya. Namun, setiap langkah yang kita ambil di jalan ini, setiap upaya untuk lebih mengenal-Nya, adalah sebuah nilai yang tak terhingga di sisi Allah. Ia bukanlah tujuan yang dicapai lalu berhenti, melainkan sebuah proses pendakian tanpa akhir, karena Keagungan Allah pun tiada batasnya. Semoga kita semua dijadikan hamba-hamba-Nya yang senantiasa merindukan-Nya, berjalan menuju-Nya, dan dianugerahi setetes dari lautan makrifat-Nya, yang akan menentramkan jiwa kita di dunia dan di akhirat.

🏠 Homepage