Pendahuluan: Sebuah Misi di Tanah yang Terkutuk
Dalam lipatan sejarah kemanusiaan yang panjang, terukir kisah-kisah para nabi dan rasul yang diutus sebagai pelita di tengah kegelapan. Mereka datang membawa pesan tauhid, ajakan untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, serta tuntunan moral untuk membangun peradaban yang luhur. Salah satu kisah yang paling menggugah dan sarat akan pelajaran adalah perjuangan Nabi Luth 'alaihissalam. Beliau bukanlah seorang nabi yang diutus kepada kaum penyembah berhala yang masif atau penguasa yang zalim secara politik, melainkan kepada sebuah masyarakat yang telah terjerumus ke dalam palung kemaksiatan yang belum pernah ada sebelumnya. Misinya adalah sebuah seruan agung: mengajak umatnya untuk meninggalkan perbuatan keji yang telah menjadi identitas dan kebanggaan mereka.
Nabi Luth AS adalah keponakan dari Nabi Ibrahim AS, Khalilullah (Kekasih Allah). Beliau beriman kepada risalah yang dibawa oleh pamannya dan turut serta dalam hijrahnya meninggalkan negeri Babilonia yang penuh dengan kemusyrikan. Setelah beberapa waktu, atas perintah Allah SWT, Nabi Luth ditugaskan untuk berdakwah di sebuah wilayah yang terletak di dekat Laut Mati, yang dikenal sebagai negeri Sodom (Sodom dan Gomorrah). Negeri ini subur, makmur, dan menjadi jalur persinggahan para pedagang. Namun, di balik kemakmuran materinya, tersembunyi sebuah kebobrokan moral yang telah mencapai tingkat paling menjijikkan.
Potret Kelam Masyarakat Sodom: Ketika Fitrah Dibalikkan
Untuk memahami betapa beratnya tugas yang diemban oleh Nabi Luth, kita harus terlebih dahulu menyelami kondisi masyarakat yang dihadapinya. Kaum Sodom bukanlah sekadar masyarakat yang melakukan dosa secara sembunyi-sembunyi. Mereka adalah komunitas yang secara terang-terangan, tanpa rasa malu, dan bahkan dengan bangga mempraktikkan perbuatan keji yang menentang fitrah manusia. Perbuatan yang menjadi ciri khas mereka adalah homoseksualitas, di mana kaum lelaki mendatangi sesama lelaki untuk melampiaskan nafsu syahwat mereka, dan meninggalkan para wanita yang telah Allah ciptakan sebagai pasangan mereka.
Al-Qur'an mengabadikan dialog Nabi Luth yang menggambarkan betapa perbuatan ini merupakan sesuatu yang benar-benar baru dalam sejarah kejahatan manusia. Beliau berkata, sebagaimana diceritakan dalam Surah Al-A'raf ayat 80-81: "Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: 'Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita; bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas'."
Perbuatan ini bukanlah satu-satunya dosa mereka. Kemaksiatan utama tersebut menjadi pintu gerbang bagi berbagai bentuk kerusakan lainnya. Mereka adalah kaum yang terkenal dengan kejahatan di jalanan. Merampok para musafir yang melintas adalah hal yang biasa. Mereka tidak memiliki rasa amanah, sering mengkhianati janji, dan melakukan berbagai bentuk kezaliman satu sama lain. Majelis-majelis dan tempat perkumpulan mereka, yang seharusnya menjadi tempat bermusyawarah untuk kebaikan, justru dipenuhi dengan kemungkaran, senda gurau yang kotor, dan perencanaan kejahatan. Mereka melakukannya secara terbuka, tanpa ada satu pun yang merasa perlu untuk mencegah atau menasihati. Kejahatan telah menjadi norma, sementara kebaikan dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan patut dicurigai. Ini adalah cerminan masyarakat yang telah mati hati nuraninya, di mana standar baik dan buruk telah sepenuhnya terbalik.
Dakwah Awal Nabi Luth: Seruan Lembut di Tengah Kerasnya Hati
Di tengah-tengah masyarakat yang sudah sedemikian rusak itulah Nabi Luth memulai dakwahnya. Sebagaimana metode para nabi lainnya, beliau memulai dengan pendekatan yang penuh hikmah, logika yang jernih, dan peringatan yang tulus. Beliau tidak datang dengan caci maki, melainkan dengan ajakan yang menyentuh akal dan fitrah.
1. Mengajak untuk Bertakwa kepada Allah
Pondasi dari setiap dakwah para nabi adalah tauhid dan takwa. Nabi Luth mengingatkan kaumnya akan eksistensi Allah, Sang Pencipta yang telah memberikan mereka segala kenikmatan. Beliau berkata, "Mengapa kamu tidak bertakwa?" (Asy-Syu'ara: 161). Ini adalah pertanyaan retoris yang mendasar. Bagaimana mungkin kalian, yang hidup di atas bumi-Nya, menghirup udara-Nya, dan menikmati rezeki-Nya, tidak memiliki rasa takut dan hormat kepada-Nya? Takwa adalah kunci untuk membuka pintu kebaikan dan menutup pintu keburukan. Dengan mengajak mereka bertakwa, Nabi Luth berusaha membangun kembali fondasi moral mereka yang telah runtuh.
2. Menegaskan Statusnya sebagai Rasul yang Terpercaya
Untuk meyakinkan mereka, Nabi Luth memperkenalkan dirinya. "Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu." (Asy-Syu'ara: 162). Beliau bukanlah orang asing yang haus kekuasaan atau mencari keuntungan duniawi. Mereka mengenalnya dengan baik, mengetahui nasab dan kejujurannya. Beliau menegaskan bahwa risalah yang dibawanya bukanlah karangannya sendiri, melainkan amanah dari Allah. Dengan status "al-amin" (yang terpercaya), beliau berharap mereka mau mendengarkan dan merenungkan apa yang disampaikannya.
3. Menyeru untuk Menaati Ajarannya
Setelah mengajak bertakwa dan memperkenalkan diri, seruan selanjutnya adalah ketaatan. "Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku." (Asy-Syu'ara: 163). Ketaatan ini bukanlah untuk kepentingan pribadi Nabi Luth, melainkan untuk kebaikan dan keselamatan kaumnya sendiri. Menaati seorang rasul berarti menaati Allah yang mengutusnya, dan jalan ketaatan adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan di dunia dan akhirat.
4. Menjelaskan Ketulusan Dakwahnya
Nabi Luth menyadari bahwa salah satu penghalang dakwah adalah tuduhan mencari imbalan materi. Oleh karena itu, beliau segera menepis kemungkinan tersebut. "Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam." (Asy-Syu'ara: 164). Pernyataan ini menunjukkan ketulusan yang murni. Beliau tidak menginginkan harta, jabatan, atau pujian dari mereka. Satu-satunya yang beliau harapkan adalah pahala dari Allah SWT. Ini adalah argumen kuat yang seharusnya membuat mereka berpikir bahwa seruan ini benar-benar datang dari hati yang tulus dan menghendaki kebaikan bagi mereka.
Demikianlah, Nabi Luth menyusun dakwahnya secara sistematis dan penuh kasih sayang. Beliau membangun argumen dari pondasi yang paling dasar: pengenalan kepada Tuhan, kepercayaan kepada utusan-Nya, ajakan kepada ketaatan, dan penegasan akan ketulusan misi yang diembannya.
Penolakan Keras dan Arogansi Kaum Sodom
Logika yang jernih dan seruan yang tulus dari Nabi Luth ternyata tidak mampu menembus dinding kesombongan dan kebejatan yang telah mengeras di hati kaum Sodom. Alih-alih merenung, mereka justru memberikan respons yang penuh dengan cemoohan, penolakan, dan ancaman.
Jawaban mereka menunjukkan betapa mereka memandang perbuatan keji itu sebagai sesuatu yang normal dan bahkan sebagai hak mereka. Mereka tidak melihatnya sebagai sebuah dosa, melainkan sebagai gaya hidup. Mereka berkata, "Apakah kamu patut mendatangi laki-laki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas." (Asy-Syu'ara: 165-166). Pertanyaan Nabi Luth ini dijawab dengan ancaman. "Mereka menjawab: 'Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir'." (Asy-Syu'ara: 167).
Ancaman pengusiran ini menunjukkan arogansi mereka. Nabi Luth, yang mengajak kepada kebersihan dan kesucian, dianggap sebagai pengganggu ketertiban umum. Ajaran moralnya dianggap sebagai ancaman bagi "kebebasan" mereka untuk berbuat maksiat. Mereka tidak ingin ada suara kebenaran di tengah-tengah mereka. Mereka ingin hidup dalam kegelapan tanpa ada cahaya yang mengingatkan betapa kelamnya kondisi mereka. Inilah tabiat para penentang kebenaran di setiap zaman: ketika argumen mereka habis, mereka akan menggunakan kekuasaan dan intimidasi untuk membungkam suara kebenaran.
Bahkan, mereka mencemooh Nabi Luth dan para pengikutnya yang sedikit jumlahnya dengan sebutan "orang-orang yang sok suci". Sebagaimana diceritakan dalam Surah Al-A'raf ayat 82: "Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: 'Usirlah mereka (Luth dan pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri'." Sungguh sebuah logika yang terbalik. Orang yang menjaga kesucian dianggap sebagai aib, sementara orang yang berkubang dalam kekotoran dianggap sebagai warga yang normal. Inilah puncak dari kerusakan sebuah masyarakat, ketika nilai-nilai luhur menjadi bahan olokan.
Keteguhan Hati Sang Nabi dan Pengkhianatan dari Dalam
Menghadapi penolakan, cemoohan, dan ancaman yang bertubi-tubi tidak membuat Nabi Luth surut langkah. Beliau tetap teguh pada pendiriannya, menyatakan dengan tegas kebenciannya terhadap perbuatan mereka. "Luth berkata: 'Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu'." (Asy-Syu'ara: 168). Pernyataan ini bukan sekadar ungkapan emosi, melainkan sebuah deklarasi prinsip. Beliau menegaskan bahwa tidak akan ada kompromi dalam masalah kemungkaran. Beliau tidak akan pernah meridai atau mendiamkan perbuatan keji tersebut, apa pun risikonya.
Namun, ujian terberat bagi Nabi Luth tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam rumahnya sendiri. Istrinya, yang seharusnya menjadi pendukung utama dalam misi dakwahnya, justru berpihak kepada kaumnya yang kafir. Ia tidak secara langsung melakukan perbuatan keji tersebut, tetapi ia meridai dan mendukungnya. Ia menjadi mata-mata bagi kaum Sodom, membocorkan informasi tentang tamu-tamu yang datang ke rumah Nabi Luth. Pengkhianatannya adalah tikaman dari belakang yang sangat menyakitkan.
Kisah istri Nabi Luth menjadi pelajaran abadi yang diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur'an (Surah At-Tahrim: 10) sebagai contoh bagi orang-orang kafir. Allah berfirman bahwa kedekatan fisik dengan seorang nabi sekalipun tidak akan memberikan manfaat apa pun jika di dalam hati tidak ada iman. Istrinya hidup seatap dengan sumber hidayah, setiap hari mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, dan menyaksikan langsung akhlak mulia suaminya. Namun, semua itu tidak mampu mengubah hatinya yang telah condong kepada kemungkaran. Ini adalah bukti nyata bahwa hidayah adalah murni karunia Allah, dan ikatan kekerabatan tidak menjamin keselamatan di akhirat. Ujian ini pasti sangat membebani jiwa Nabi Luth, namun beliau tetap sabar dan menyerahkan segala urusannya kepada Allah SWT.
Puncak Ujian: Kedatangan Tamu-Tamu Agung
Setelah dakwah berjalan sekian lama tanpa hasil yang signifikan, dan kaum Sodom semakin menjadi-jadi dalam kesesatannya, sampailah pada babak akhir dari kisah mereka. Allah SWT mengutus beberapa malaikat yang menyamar sebagai pemuda-pemuda yang sangat tampan. Sebelum tiba di Sodom, para malaikat ini singgah terlebih dahulu di kediaman Nabi Ibrahim AS untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran Ishaq dan memberitahukan tujuan utama mereka: membinasakan kaum Luth.
Ketika para malaikat ini tiba di kota Sodom dalam wujud manusia, Nabi Luth melihat mereka. Seketika, hatinya menjadi sangat gelisah dan cemas. Beliau tahu betul tabiat kaumnya. Kehadiran pemuda-pemuda tampan ini pasti akan memancing nafsu bejat mereka. Beliau merasa dadanya sesak, tidak tahu bagaimana cara melindungi tamu-tamunya. Al-Qur'an menggambarkan kegelisahan beliau: "Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: 'Ini adalah hari yang amat sulit'." (Hud: 77).
Nabi Luth berusaha menyembunyikan kedatangan tamunya dan membawa mereka masuk ke rumahnya secara diam-diam. Namun, istrinya yang khianat melihat mereka. Dengan cepat, ia memberikan isyarat kepada kaumnya bahwa di rumah Luth ada tamu-tamu yang luar biasa rupawan. Berita ini menyebar secepat kilat. Tidak lama kemudian, kaumnya datang berbondong-bondong ke rumah Nabi Luth dengan niat jahat yang sudah jelas. Mereka mengepung rumah itu, berteriak-teriak, dan menuntut agar tamu-tamu itu diserahkan kepada mereka.
Ini adalah puncak dari kebejatan mereka. Mereka tidak lagi memiliki rasa malu, rasa hormat kepada tuan rumah, atau rasa takut. Nafsu telah membutakan mata hati mereka sepenuhnya. Nabi Luth, dalam posisi yang sangat terjepit, keluar menghadapi mereka. Beliau mencoba untuk terakhir kalinya menyentuh sisa-sisa fitrah dan harga diri yang mungkin masih ada pada mereka. Beliau menawarkan putri-putrinya untuk mereka nikahi secara sah, sebuah upaya putus asa untuk mengalihkan mereka dari perbuatan yang terkutuk itu.
Beliau berkata: "Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?" (Hud: 78).
Tawaran ini bukanlah tawaran harfiah untuk melakukan zina, melainkan ajakan untuk kembali ke jalan yang benar melalui pernikahan yang sah, sesuai syariat. "Putri-putriku" bisa bermakna putri kandungnya atau para wanita dari kaumnya, karena seorang nabi adalah bapak bagi umatnya. Namun, seruan yang memilukan ini tidak digubris. Mereka menjawab dengan congkak: "Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki." (Hud: 79).
Jawaban ini adalah penegasan final. Mereka secara terbuka menyatakan bahwa fitrah mereka telah rusak total. Mereka tidak lagi memiliki ketertarikan kepada lawan jenis, dan hanya menginginkan para lelaki. Saat itu, Nabi Luth merasa benar-benar putus asa dan tidak berdaya. Beliau berseru: "Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)." (Hud: 80).
Intervensi Ilahi dan Turunnya Azab yang Mengerikan
Tepat di saat Nabi Luth merasa di titik terlemahnya, pertolongan Allah pun datang. Para tamu itu akhirnya membuka identitas mereka yang sebenarnya. "Para utusan (malaikat) itu berkata: 'Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggumu'." (Hud: 81).
Para malaikat kemudian memberikan instruksi yang jelas. Nabi Luth dan keluarganya (kecuali istrinya) diperintahkan untuk segera meninggalkan negeri itu pada akhir malam. Mereka juga diperingatkan dengan keras: jangan ada seorang pun yang menoleh ke belakang. Perintah ini mengandung makna simbolis yang dalam. Menoleh ke belakang berarti masih ada ikatan hati atau rasa penasaran terhadap kaum yang akan diazab, sesuatu yang tidak pantas bagi orang-orang yang telah diselamatkan.
Ketika kaum Sodom mencoba menerobos masuk, atas izin Allah, Malaikat Jibril memukulkan ujung sayapnya ke wajah mereka, membuat mereka semua menjadi buta. Mereka meraba-raba dalam kebingungan, tidak dapat menemukan jalan pulang. Ini adalah mukjizat sekaligus azab pendahuluan bagi mereka.
Nabi Luth dan para pengikutnya yang beriman segera melaksanakan perintah tersebut. Mereka berjalan dalam kegelapan malam, meninggalkan tanah air yang penuh dengan kenangan pahit perjuangan dakwah, menuju keselamatan yang telah Allah janjikan. Istrinya, karena hatinya telah terpaut pada kaumnya yang durhaka, tertinggal di belakang atau menurut riwayat lain, ia menoleh ke belakang ketika mendengar suara gemuruh azab, sehingga ia pun ikut tertimpa azab yang sama.
Ketika waktu subuh tiba, azab Allah yang telah ditetapkan pun turun. Peristiwa ini digambarkan dengan sangat dahsyat dalam Al-Qur'an. Allah SWT membalikkan negeri mereka, yang di atas menjadi di bawah. Kemudian, Allah menghujani mereka dengan batu-batu dari tanah liat yang terbakar (sijjil), yang turun secara bertubi-tubi dan telah ditandai di sisi Tuhan. Setiap batu seolah telah memiliki targetnya masing-masing.
"Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim." (Hud: 82-83).
Dalam sekejap, peradaban yang sombong dan makmur itu hancur lebur. Tidak ada yang tersisa kecuali puing-puing dan danau yang berair asin dan berbau busuk, yang kini dikenal sebagai Laut Mati, sebagai monumen abadi atas dahsyatnya murka Allah terhadap kaum yang melampaui batas.
Pelajaran dan Ibrah dari Kisah Nabi Luth
Kisah Nabi Luth dan kaum Sodom bukanlah sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah sebuah cermin besar yang Allah bentangkan bagi umat manusia hingga akhir zaman, sarat dengan pelajaran yang sangat relevan.
1. Bahaya Penyimpangan Fitrah
Pelajaran utama adalah betapa berbahayanya ketika manusia menentang dan membalikkan fitrah yang telah Allah tetapkan. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan, untuk melestarikan keturunan dan membangun kehidupan yang harmonis. Ketika fitrah ini diingkari, yang terjadi adalah kerusakan, bukan hanya pada level individu, tetapi juga pada tatanan sosial secara keseluruhan.
2. Kemaksiatan yang Dinormalisasi adalah Awal Kehancuran
Kaum Sodom tidak hanya melakukan dosa, mereka menormalisasikannya, melakukannya secara terang-terangan, dan bangga dengannya. Mereka bahkan menganggap orang yang menentang dosa tersebut sebagai "aneh" dan "pengganggu". Ketika sebuah masyarakat telah sampai pada titik di mana kemungkaran dianggap biasa dan kebaikan dianggap asing, maka masyarakat itu sedang berjalan menuju jurang kehancurannya sendiri.
3. Pentingnya Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Perjuangan Nabi Luth adalah manifestasi dari prinsip agung amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran). Meskipun beliau sendirian dan menghadapi seluruh kaumnya, beliau tidak pernah berhenti bersuara. Ini mengajarkan bahwa seorang mukmin memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan kebenaran, meskipun ia berada dalam posisi minoritas. Diam terhadap kemungkaran adalah bentuk persetujuan yang bisa mengundang murka Allah.
4. Kesabaran dan Keteguhan dalam Berdakwah
Nabi Luth menghadapi penolakan, cemoohan, dan ancaman selama bertahun-tahun. Namun, beliau tidak pernah putus asa. Beliau terus menyampaikan risalah Allah dengan sabar dan argumen yang kuat. Kisahnya adalah inspirasi bagi setiap juru dakwah dan siapa saja yang berjuang di jalan kebenaran, bahwa hasil akhir ada di tangan Allah, sementara tugas kita adalah berusaha dengan ikhlas dan sabar.
5. Ikatan Akidah Lebih Kuat dari Ikatan Darah
Kisah istri Nabi Luth adalah bukti paling nyata bahwa ikatan iman (akidah) adalah ikatan yang paling hakiki di sisi Allah. Kedekatan nasab atau pernikahan dengan orang saleh tidak akan menyelamatkan seseorang jika ia tidak beriman. Sebaliknya, orang-orang beriman adalah saudara, meskipun tidak memiliki hubungan darah.
6. Azab Allah itu Nyata dan Pasti
Kisah ini adalah peringatan keras bahwa Allah tidak pernah main-main dengan ancaman-Nya. Azab-Nya bisa datang dalam bentuk yang tidak terduga dan sangat dahsyat. Meskipun Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sifat adil dan kerasnya siksa-Nya juga merupakan sebuah kebenaran yang tidak boleh dilupakan. Peringatan di akhir ayat tentang azab Sodom, "...dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim," adalah pesan universal yang berlaku untuk setiap kaum zalim di setiap zaman.
Penutup: Refleksi untuk Masa Kini
Kisah perjuangan Nabi Luth yang gigih mengajak umatnya untuk meninggalkan perbuatan keji adalah sebuah narasi abadi tentang pertarungan antara kesucian dan kekotoran, antara hidayah dan kesesatan, antara kebenaran dan kebatilan. Di tengah arus zaman modern yang terkadang mengaburkan batas-batas moral, kisah ini hadir kembali sebagai pengingat yang kuat akan pentingnya berpegang teguh pada fitrah, menjaga kesucian diri dan masyarakat, serta tidak pernah lelah menyerukan kebaikan. Semoga kita dapat memetik hikmah yang mendalam dari kisah ini dan senantiasa berada di jalan yang diridai oleh Allah SWT, terlindung dari segala bentuk kemungkaran yang dapat mendatangkan murka-Nya.